Jakarta - Tidak seperti biasanya, di tiang bendera Gedung Balai Pustaka, Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat pada Ahad (17/10/2010) terkait bendera yang sangat besar. Yang berkibar gagah perwira di pagi yang cerah. Ait, jangan salah, ini bukan sembarang bendera, tetapi Al Liwa (bendera putih bertuliskan dua kalimat syahadat), bendera yang diwariskan Rasulullah SAW kepada kaum Muslimin. Pengibaran bendera tersebut pun merupakan simbol bahwa di dalam gedung tersebut sedang berlangsung acara istimewa yakni silaturahmi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan para ulama, pewaris para nabi.
Benar saja, di ruang utama gedung tersebut nampak sekitar 1100 kiyai, ustadz, santri, aktivis Islam dan tokoh masyarakat nampak antusias mengikuti acara Silaturahmi HTI bersama Ulama dan Tokoh Masyarakat: Menjadi Khairu Ummah dengan Menegakkan Syariah dan Khilafah. Dua buah layar lebar multi media terpampang di kanan dan kiri panggung serta efek suara yang disiapkan Tim Infokom HTI semakin menambah dramatisnya acara. Acara ini pun disiarkan secara langsung melalui radio steaming HTI Channel, www.hizbut-tahrir.or.id.
Pimpinan DPP HTI Ust Rokhmat S Labib hadir memberikan sambutannya, pidato politik disampaikan oleh Jurubicara HTI Ust Ismail Yusanto, sedangkan KH Ihsan Abdul Jalil, salah seorang putra ulama Ponpes Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang Jawa Timur menyampaikan kalimat hikmah.
Di sela-sela itu, diputarlah film dokumentasi Mengenal HTI dan audio video pidato Imam Besar Masjidil Aqsa Syaikh Hisyam Ameera yang menyerukan kaum Muslim sedunia bersatu dalam naungan khilafah, mengerahkan pasukannya untuk melawan kebiadaban Israel.
Ust Rokhmat S Labib menyatakan menegakkan syariah dan khilafah memang tidak mudah. Kaum kafir penjajah seperti Amerika dan sekutunya, selalu saja menghalang-halangi tegaknya syariah dan khilafah dengan berbagai isu pencitraburukan Islam. Oleh karena itu kaum Muslim terutama para ulamanya harus memiliki agenda yang jelas.
“Agenda tersebut adalah menegakkan syariah Islam dalam naungan khilafah!” ujarnya kemudian disambut takbir hadirin. Jangan sampai agenda tersebut terbelokkan oleh berbagai isu yang dibuat oleh penjajah. Sebaliknya, berbagai isu yang ada harus dijadikan poin untuk menjelaskan kepada umat bahwa semua itu muncul karena tidak diterapkannya syariah Islam.
Sedangkan, Ust Ismail Yusanto menyatakan bahwa Hizbut Tahrir berada di Indonesia sejak 25 tahun. Ada yang menanyakan, bagaimana Anda berjuang untuk tegaknya syariah dan khilafah sementara masyarakat belum paham? “Justru karena masyarakat belum paham, tugas kita itulah memahamkan!” ujarnya.
Karena kepentingan untuk memahamkan itulah maka Hizbut Tahrir berjuang secara terang-terangan, menyampaikan visi dan misinya secara tegas dan lugas. Tidak ada satupun cita-cita perjuangan Hizbut Tahrir itu disembunyikan dan dengan itu umat menjadi paham.
“Mungkinkah para kiai dan ustadz bisa ikut berjuang kalau sedari awal Hizbut Tahrir diam?” ujarnya. “Tidak…” serentak hadirin. Karena itu, pilihan pengemban dakwah cuma dua: diam atau bicara, itulah alat perubahan. Dengan bicara itu pulalah, berdasarkan survey SEM Institut pada Maret-April 2010, disebutkan sebanyak 65 persen dari 1200 responden dari berbagai kalangan di 13 kota besar di Indonesia menyatakan mendukung perjuangan HTI dan 12 persen di antaranya bahkan ingin menjadi anggota HTI.
Selanjutnya, KH Ihsan Abdul Jalil mengingatkan hadirin bahwa ciri-ciri ulama ada dua, yakni memiliki ilmu yang tinggi dan takut kepada Allah SWT. Bila hanya ilmu yang tinggi saja tanpa ketakwaan itu namanya hanya ilmuwan bukan ulama!” tegasnya. Karena keulamaannya, tentu saja dakwahnya penuh dengan resiko. “Kalau sekedar mengajar tata cara shalat tentu saja tidak beresiko!” paparnya. Resiko itu muncul ketika mengingatkan umat dan penguasa untuk kembali terikat kepada syariah Islam secara kaffah.
Namun, muncul atau tidak resiko itu, ulama harus tetap di garis depan, tegas menyeru kepada penguasa dan umat untuk mengganti sistem kufur demokrasi ini dengan syariah dan khilafah Islam sebagai bukti memang ulama tersebut takutnya hanya kepada Allah SWT saja, bukan takut ditinggalkan umat atau siksaan penguasa dholim.
Peserta pun nampak antusias, berkali-kali mereka memekikkan takbir setiap pembicara menggugah semangat perjuangan hadirin. Mereka pun tertawa ketika pembicara menceritakan anekdot perjuangan, bahkan menangis ketika Ust Abu Nabila membacakan doa penutup acara.
Habib Khalilullah bin Abu Bakar Al Habsyi Al Hassani, misalnya, merasa gembira dapat mengikuti acara ini. “Alhamdulillah, al faqir (saya, red) merasa gembira karena masih ada kelompok umat manusia yang terkumpul di dalam niat untuk menegakkan Khilafah Islamiyyah, menegakkan syariah Islamiyah, yang saat ini berkumpul di gedung ini” ujar Pimpinan Majlis Dzikir Imdadul Hadadiy, Jakarta Timur tersebut.
Sedangkan peserta lainnya, ulama dari Cikampek KH Ahmad Zainuddin, menyatakan benar-benar bersyukur bisa dipertemukan dengan aktivis HTI di Cikampek sehingga membuatnya lebih tertantang untuk menelaah kembali kitab-kitab kuningnya. Ternyata yang diperjuangkan Hizbut Tahrir di dunia, Jakarta maupun daerah tercantum pula dalam kitab-kitab tersebut.
Agenda menegakkan syariah dan khilafah sesungguhnya adalah harga mati. Tidak bisa diubah, tidak bisa ditukar, memang di tengah-tengah umat wajib dan mutlak harus ada syariah dan khilafah. “Saya katakan harga mati karena penegakkan syariah itu terkait erat dengan iman atau kafir,” ujar Pimpinan Ponpes Al Husna Cikampek itu. Iman kepada Allah dan kafir terhadap thagut. Konsekuensinya menerapkan syariah Allah SWT dalam naungan Khilafah dan kafir terhadap aturan thagut dalam sistem yang berlaku saat ini.
Peserta dari Bogor, KH Yahya Suja’i menyatakan setelah bergaul dengan aktivis HTI di Bogor malah semakin mantap berdakwah menjelaskan kepada umat bahwa sistem yang berlakuk saat ini adalah sistem yang tidak diridhai Allah SWT.
“Setelah selama satu setengah tahun terakhir ini semakin banyak silaturahmi dengan aktivis HTI saya semakin berani berdakwah untuk tegaknya syariah dan khilafah Islamiyah!” tegas Pimpinan Ponpes Ibnu Suja’i, Citeureup, Bogor, Jawa Barat itu.
Ya, karena rasa takutnya hanyalah untuk Allah SWT. Itulah karakter ulama. Allahu Akbar!(mediaumat.com, 18/10/2010)
0 komentar:
Posting Komentar