Pandangan Islam Tentang Asuransi

Asuransi syariah dikampanyekan sebagai alternatif bagi kaum muslim untuk menjalankan akad asuransi. Sesuai dengan fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) tentang Pedoman Umum tentang Asuransi Syariah disebutkan bahwa asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan / atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.

Yang Teristimewa Bagi Wanita

"...Wahai pena..! Titiplah salam kami teruntuk kaum wanita. Tak usah jemu kau kabarkan bahwa mereka adalah lambang kemuliaan. Sampaikanlah bahwa mereka adalah aurat ..."

Sistem Pemerintahan Islam Berbeda dengan Sistem Pemerintahan yang Ada di Dunia Hari ini

Sesungguhnya sistem pemerintahan Islam (Khilafah) berbeda dengan seluruh bentuk pemerintahan yang dikenal di seluruh dunia

Video: Puluhan Ribu Warga Homs Suriah Berikrar, Pertolongan Bukan dari Liga Arab atau Amerika Tapi dari Allah!

.

Analisis : Polugri AS di Asia Tenggara

Secretary of State Amerika Serikat Hillary Clinton 21 Juli 2011 lalu berkunjung ke Indonesia. Sebelumnya, dia melawat dua hari ke India untuk ambil bagian dalam konferensi tingkat menteri ASEAN yang diselenggarakan di Bali 22 Juli.

Khilafah: Solusi, Bukan Ancaman

Berbagai macam dampak destruktif akibat penerapan sistem kapitalis-sekular telah mendorong manusia untuk mencari sistem baru yang mampu mengantarkan mereka menuju kesejahteraan, keadilan, kesetaraan dan kemakmuran. Dorongan itu semakin kuat ketika kebijakan-kebijakan jangka pendek dan panjang selalu gagal mencegah dampak buruk sistem kapitalis.

MIMPI PARA ULAMA BUKAN SEMBARANG MIMPI

Apakah Anda tadi malam bermimpi? Apa mimpi Anda? Kata orang, mimpi hanyalah kembang (bunga) orang tidur. Maksudnya, mimpi tidak bermakna signifikan. Tapi, sebenarnya tidak semua mimpi tak ada artinya.

Nasehat Imam Abdurrahman bin Amru al-Auza’iy :Empat Tipe Pemimpin

Ada nasihat berharga yang disampaikan Imam Abdurrahman bin Amru al-Auza’iy kepada Khalifah Abu Ja’far al-Manshur, ketika ulama besar itu dimintai nasihat.

22 Agustus 2011

Khutbah Idul Fitri 1432H: Raih Hidup Sejahtera dengan Syariah dan Khilafah

RAIH HIDUP SEJAHTERA

DENGAN SYARIAH DAN KHILAFAH

Assalamu ‘alaikum wr. wb.


اَللهُ أَكْبَرُ… اَللهُ أَكْبَرُ… اَللهُ أَكْبَرُ وَ ِللهِ الْحَمْدُ

اَلْحَمْدُ ِللهِ الْعَزِيْزِ الْقَهَّارِ، نَسْتَعِيْنُهُ وَ نَسْتَهْدِيْهِ، وَ نُؤْمِنُ بِهِ وَ نَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَ نَشْكُرُهُ وَ لاَ نَكْفُرُهُ وَ نَخْلَعُ وَ نَتْرُكُ مَنْ يَفْجُرُهُ.

أَشْهَدَ أَنَّ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، اَلْمُتَوَحِّدُ فِيْ الْجَلاَلِ بَكَمَالِ الْجَلاَلِ تَعْظِيْمًا وَ تَقْدِيْرًا،

وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ، وَإِمَامِ الْمُتَّقِيْنَ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الطَّيِّبِيْنَ الطَّاهِرِيْنَ،

يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَ مَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَ يَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ، فَاتَّقُوْا اللهَ يَا عِبَادَ اللهِ.

وَ قَالَ اللهُ تَعَالَى: ]

اَمَّا بَعْدُ

اَللهُ أَكْبَرُ… اَللهُ أَكْبَرُ… اَللهُ أَكْبَرُ وَ ِللهِ الْحَمْدُ

Kaum Muslim rahimakummullah…

Alhamdulillah, hari ini kita berada pada Hari Raya Idul Fitri. Layaknya hari raya, hari ini merupakan hari yang penuh dengan kebahagiaan. Hari ini adalah satu dari dua kebahagiaan yang dijanjikan oleh Allah SWT dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim.

Ucapan takbir, tahlil dan tahmid terus keluar dari hati dan mulut kita semua; menembus langit, menggema ke angkasa. Kalimat thayyibah itu kita lantunkan sebagai rasa syukur kita. Kita berharap, hari ini dosa-dosa kita telah dihapus oleh Allah SWT. Semoga hari ini kita mendapatkan apa yang disabdakan Rasulullah saw.:

إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَرَضَ صِيَامَ رَمَضَانَ عَلَيْكُمْ وَسَنَنْتُ لَكُمْ قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mewajibkan puasa Ramadhan atas kalian dan aku mensunnahkan kepada kalian shalat malamnya. Maka barangsiapa yang melaksanakn puasa dan qiyam Ramadhan dengan dilandasi keimanan dan semata-mata mengharap ridha Allah SWT, maka ia keluar dari dosa-dosanya seperti pada hari dilahirkan oleh ibunya (HR an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Ma’asyiral Muslimin rahimakummullah:

Kita patut bersyukur atas nikmat ini. Namun, di sisi lain hati dan jiwa kita pun masih tetap sakit laksana teriris sembilu. Betapa tidak, sejak Khilafah diruntuhkan oleh agen Inggris, Musthafa Kemal, pada 28 Rajab 1342H, 90 tahun lalu, umat Islam hingga kini berada dalam keterpurukan.

Marilah kita merenung sejenak. Al-Quran menegaskan bahwa Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Kini riba justru dijadikan tulang punggung perekonomian. Utang Indonesia dalam sistem riba pada Juni 2011 ini mencapai Rp 1.716 triliun.

Orang yang mengabaikan fakir-miskin disebut oleh al-Quran sebagai pendusta agama. Faktanya, justru proses pemiskinan terus berjalan dan makin meluas. Di Indonesia saja, jumlah orang miskin yaitu orang yang pengeluarannya kurang dari Rp 211.726,- per bulan atau kurang dari Rp 7 ribuan perhari, jumlahnya mencapai 31,02 juta jiwa. Biaya sekolah mahal. Biaya rumah sakit pun melangit.

Islam menegaskan bahwa air, hutan, barang tambang dan energi merupakan milik rakyat. Realitasnya, semua itu malah diserahkan kepada pihak asing. Listrik diprivatisasi. Uangnya dikorupsi!

Allah SWT mewajibkan penerapan hukum Islam, tetapi yang kini diterapkan adalah kapitalisme-demokrasi dari JJ Rousseau, John Lock, Plato, Adam Smith, dll. Para pejuang yang menyerukan kebenaran di hadapan penguasa oleh Rasulullah saw disebut sebagai penghulu syuhada, sebagaimana Sayidina Hamzah ra. Namun, kini mereka dituduh sebagai fundamentalis bahkan teroris. Dirancanglah RUU Intelijen, RUU Keamanan Nasional dan revisi UU Antiterorisme untuk menghadang perjuangan Islam. Darah kaum Muslim yang diharamkan oleh Rasulullah saw. kini justru ditumpahkan di mana-mana: di Palestina, Irak, Afganistan, Pakistan, Libya, dsb.

Allah SWT menggelari umat Islam dengan khayru ummah (umat terbaik). Faktanya, umat yang mulia ini justru masih dijajah. Dalam sistem Kapitalisme ini, kesejahteraan baik secara materil (mâdiyah), spiritual (rûhiyah), moral (akhlâqiyah) maupun kemanusiaan (insâniyah) hanyalah isapan jempol belaka.


اَللهُ أَكْبَرُ… اَللهُ أَكْبَرُ… اَللهُ أَكْبَرُ وَ ِللهِ الْحَمْدُ

Ma’asyiral Muslimin rahimakummullah…

Pertanyaannya, dimanakah letak kemuliaan dan kesejahteraan itu? Dimanakah kita harus meraihnya? Kemuliaan -yang salah satu bentuknya kesejahteraan hakiki- itu sesungguhnya terletak dalam penerapan hukum Allah SWT, yakni syariah Islam. Allah SWT berfirman:

Siapa saja yang menghendaki kemuliaan maka milik Allahlah kemuliaan itu semuanya… (TQS Fathir [35]: 10).

Dengan gamblang Imam Ibnu Katsir memaknai ayat tersebut, “Siapa saja yang menghendaki kemuliaan di dunia dan akhirat, haruslah ia menaati Allah, niscaya Allah akan menunaikan keinginannya. Sebab, Allahlah Pemilik dunia dan akhirat, dan milik Allah sajalah semua kemuliaan.”

Allah SWT juga berfirman:

Kemuliaan itu hanyalah milik Allah, Rasul-Nya dan orang-orang Mukmin. Akan tetapi, orang-orang munafik itu tiada mengetahui (TQS al-Munafiqun [63]: 8).

Jelaslah, kesejahteraan dan kemuliaan hakiki hanya akan tercapai dengan penerapan syariah Islam. Penerapkan aturan apapun selain Islam hanya akan melahirkan kehidupan yang sempit, jauh dari kesejahteraan hakiki. Allah SWT berfirman:

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta… (TQS Thaha [20]: 124).

Menurut Imam Ibnu Katsir makna “berpaling dari peringatan-Ku” adalah: menyalahi perintah-Ku dan apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku, melupakannya dan mengambil petunjuk dari selainnya (Tafsir al-Quran al-‘Azhim, V/323). Jelaslah, kemuliaan itu hanya ada dalam penerapan syariah Islam.

اَللهُ أَكْبَرُ… اَللهُ أَكْبَرُ… اَللهُ أَكْبَرُ وَ ِللهِ الْحَمْدُ

Ma’asyiral Muslimin rahimakummullah…

Wajar saja, kemuliaan dan kesejahteraan hakiki tidak kunjung datang sampai sekarang. Sebab, penguasa kaum Muslim saat ini mencari kemuliaan bukan pada tempatnya. Mereka menjadikan kaum kafir penjajah sebagai pemimpinnya dan sistem kufur seperti demokrasi sebagai aturan hidupnya. Padahal Allah SWT berfirman:

Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, yaitu orang-orang yang mengambil orang-orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang-orang Mukmin. Apakah mereka mencari kemuliaan di sisi orang kafir itu? Padahal sesungguhnya semua kemuliaan itu milik Allah (TQS an-Nisa’ [4]: 138-139).

Ma’asyiral Muslimin rahimakummullah…

Sekali lagi, kemuliaan yang salah satu bentuknya kesejahteraan itu hanya ada dalam penerapan syariah Islam. Lalu siapakah yang bertanggung jawab melaksanakannya? Siapakah yang menjadi benteng dalam penerapannya? Rasulullah saw. menegaskan bahwa Khalifah (Imam) sebagai penanggung jawabnya. Rasulullah saw. bersabda:

« الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ » (رواه البخارى)

Imam (Khalifah) adalah pemimpin dan dialah yang bertanggung jawab terhadap rakyatnya (HR al-Bukhari).

Dalam syarah Shahih al-Bukhari disebutkan makna hadis ini adalah: “Sesungguhnya Imam (Khalifah) wajib mengurusi urusan rakyatnya, mengurusi pendidikannya dan menasihatinya, baik rakyat laki-laki maupun perempuan.” (Ibnu Bithal, Syarh Shahih al-Bukhari, I/175).

Rasulullah saw. pun menegaskan:

« إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ ‏ ‏يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ »

Sesungguhnya Imam/Khalifah adalah laksana benteng; umat berperang di belakangnya dan dilindungi oleh dia (HR Muslim).

Imam di sini maksudnya adalah khalifah (Mirqah al-Mafatih Syarhu Misykat al-Mashabih, 11/298). Lebih jauh Imam an-Nawawi menyatakan, hadis itu bermakna bahwa Imam/Khalifah merupakan benteng/tameng karena ia melindungi rakyat dari serangan musuh terhadap kaum Muslim, memelihara hubungan kaum Muslim satu sama lain dan menjaga kekayaan Islam. Berdasarkan hal ini makin terang bahwa kemuliaan dan kesejahteraan hanya dapat diraih dengan menerapkan syariah di bawah kepemimpinan Khalifah.

Selain itu, hubungan kesejahteraan dengan syariah dan Khilafah tampak jelas dalam kitab suci al-Quran:

Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; Dia benar-benar akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka; dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka -sesudah mereka berada dalam ketakutan- menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah Aku tanpa mempersekutukan Aku dengan sesuatu pun. Siapa saja yang kafir sesudah janji itu, mereka itulah orang-orang yang fasik (TQS an-Nur [24]: 55).

Dalam ayat tersebut Allah SWT menjanjikan empat hal yang saling terkait. Pertama: kekuasaan/kekhilafahan (istikhlaf). Kedua: peneguhan ajaran Islam (tamkinu ad-din). Ketiga: keamanan (al-amnu). Keempat: ibadah dan tidak syirik.

Adanya huruf waw (dan) dalam ayat itu menegaskan adanya keterkaitan yang kuat antara Khilafah, penerapan syariah Islam dan kesejahteraan baik dalam bidang materi, ruhiah, akhlak maupun kemanusiaan (insaniyah). Waspadalah, ayat itu mengatakan bahwa siapa saja yang mengingkari janji Allah SWT maka ia termasuk orang fasik. Na’udzu billah min dzalik.

Ma’asyiral Muslimin rahimakummullah…

Hanya Khilafah saja sistem yang sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Khalifah akan menghabiskan hidupnya untuk kebahagiaan dan kenyamanan umat Islam. Ia didampingi para pendamping yang siap mengingatkan dan meluruskan dirinya ketika terjadi kesalahan. Ia pemimpin yang mencintai umat dan umat pun mencintai dirinya. Ia ridha terhadap umat dan umat pun ridha terhadap dirinya. Ia mendoakan kebaikan untuk umat dan umat pun mendoakan kebaikan bagi dirinya. Umat menaati dirinya dan ia memberikan kebaikan kepada umat. Umat berlindung kepada dirinya dan ia pun melindungi mereka. Ia menjadi tempat peristirahatan yang menyenangkan dan bahkan ‘surga’ bagi mereka yang mencari perlindungan. Seperti itulah kehidupan para imam/khalifah. Sungguh, mereka ini adalah para kekasih Muhammad saw., yang sangat keras terhadap orang-orang kafir dan penyayang terhadap sesama mereka. Mereka adalah di antara manusia yang terbaik, sebagaimana firman Allah SWT:

Yang bersikap lemah-lembut terhadap orang yang Mukmin dan keras terhadap orang-orang kafir (TQS al-Maidah [5] : 54).

Jelaslah, untuk meraih kemuliaan dan kesejahteraan hanya ada satu cara, yaitu menegakkan syariah dan Khilafah.

Ma’asyiral Muslimin rahimakummullah…

Marilah pada hari Idul Fitri ini kita membulatkan tekad untuk melipatgandakan upaya dan pengorbanan demi tegaknya syariah dan Khilafah itu. Raihlah hidup sejahtera dengan menegakkan syariah dan Khilafah!

اَللهُ أَكْبَرُ… اَللهُ أَكْبَرُ… اَللهُ أَكْبَرُ وَ ِللهِ الْحَمْدُ

Ma’asyiral Muslimin rahimakummullah:

Akhirnya, marilah kita berdoa kepada Allah SWT.

أَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَ الْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ

نَسْأَلُكَ اَللَّهُمَّ اَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ الْكَرِيْمَ رَبِيْعَ قُلُوْبِنَا، وَ نُوْرَ صُدُوْرِنَا، وَ جَلاَءَ اَحْزَانِنَا، وَ ذِهَابَ هُمُوْمِنَا وَ غُمُوْمِنَا، وَ قَائِدَنَا وَ سَائِقَنَا اِلَى رِضْوَانِكَ، اِلَى رِضْوَانِكَ وَ جَنَّاتِكَ جَنَّاتٍ نَعِيْمٍ.

اَللَّهُمَّ اجْعَلِ الْقُرْآنَ شَفِيْعَنَا، وَ حُجَّةً لَنَا لاَ حُجَّةً عَلَيْنَا.

أَللَّهُمَّ اغْفِرْلَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانَا صِغَارًا،

اَللَّهُمَّ ارْحَمْ اُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ رَحْمَةً عَامَّةً تُنْجِيْهِمْ بِهَا من النَّارَ وَتُدْخِلُهُمْ بِهَا الْجَنَّةَ

اَللَّهُمَّ اجْعَلْناَ فِي ضَمَانِكَ وَأَمَانِكَ وَبِرِّكَ وَاِحْسَانِكَ وَاحْرُسْنَا بِعَيْنِكَ الَّتِيْ لاَ تَناَمُ وَاحْفِظْناَ بِرُكْنِكَ الَّذِيْ لاَ يُرَامُ.

اَللَّهُمَّ يَامُنْـزِلَ الْكِتَابِ وَمُهْزِمَ اْلأَحْزَابِ اِهْزِمِ اْليَهُوْدَ وَاَعْوَانَهُمْ وَصَلِيْبِيِّيْنَ وَاَنْصَارَهُمْ وَرَأْسِمَالِيِّيْنَ وَاِخْوَانَهُمْ وَاِشْتِرَاكِيِّيْنَ وَشُيُوْعِيِّيْنَ وَاَشْيَاعَهُمْ

اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ دَوْلَةَ الْخِلاَفَةِ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ تُعِزُّ بِهَا اْلإِسْلاَمَ وَاَهْلَهُ وَتُذِلُّ بِهَا الْكُفْرَ وَاَهْلَهُ، وَ اجْعَلْناَ مِنَ الْعَامِلِيْنَ الْمُخْلِصِيْنَ لِإِقَامَتِهَا

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

وَسُبْحَانَ رَبُّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، كُلُ عَامٍ وَ أَنْتُمْ بِخَيْرٍ.

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Download file word : khuthbah-idul-fitri-1432h-raih-sejahtera-dengan-syariah-khilafah-edit1

Sumber : http://hizbut-tahrir.or.id/2011/08/21/khutbah-idul-fitri-1432h-raih-hidup-sejahtera-dengan-syariah-dan-khilafah/


Konferensi Rajab 1432 H Bandung

Hukum Seputar I’tikaf

I’tikaf berasal dari kata ‘akafa–ya’kufu wa ya’kifu–‘akf[an] wa ‘ukûf[an]. I’tikaf secara bahasa artinya al-lubtsu wa al-habsu wa al-mulâzamah (diam, menahan adiri dan menetapi) (Imam an-Nawawi, al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, kitab al-I’tikâf). I’tikaf juga berarti, luzûm asy-syay’i wa iqbâl ‘alayh (menetapi sesuatu dan menghadap padanya) (Rawwas Qal’ah Ji, Mu’jam Lughah al-Fuqaha; Muhammad ibn Abi al-Fatah al-Ba’li, al-Muthalli’). 
 
Jadi, secara bahasa i’tikaf adalah luzûm asy-syay’i wa al-ihtibâs fîhi (menetapi sesuatu dan menahan diri di dalamnya), yaitu tidak menyibukkan diri dengan yang lain.

Kata ‘akafa dan bentukannya itu dinyatakan di dalam al-Quran sembilan kali. Tujuh kali di antaranya dalam makna bahasanya itu, yaitu QS al-A’raf [7]: 138; Thaha [20]: 91, 97; al-Anbiya’ [21]: 52; al-Hajj [22]: 25; asy-Syu’ara [26]: 71; dan al-Fath [48]: 25. Dua kali dalam makna syar’i-nya yaitu di QS al-Baqarah [2]: 125 dan 187.

Adapun secara syar’i, i’tikaf adalah al-lubtsu fî al-masjid muddat[an] ‘alâ shifah makhshûshah ma’a niyyah at-taqarrub ilalLâh (diam di masjidk selama jangka waktu tertentu dalam kondisi yang spesifik disertai niat taqarrub kepada Allah SWT (Syaikh Mahmud bin Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al-Jâmi’ li Ahkâm ash-Shiyâm).

 
Beberapa Hukum Tentang I’tikaf
I’tikaf merupakan ibadah sunnah. Aisyah ra. menuturkan:

أَنَّ النَّبِىَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Nabi saw. ber-i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau wafat. Kemudian istri-istri beliau ber-i’tikaf sepeninggal beliau (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasai dan Ahmad).

Bahkan saat Nabi saw. tidak bisa ber-i’tikaf karena melakukan safar selama Ramadhan, beliau ber-i’tikaf selama dua puluh hari pada Ramadhan berikutnya. Ini menunjukkan bahwa i’tikaf merupakan taqarrub, yakni ibadah. Ibadah itu bisa fardhu atau sunnah. I’tikaf adalah ibadah sunnah. Abu Said al-Khudzri menuturkan, Rasulullah saw. bersabda, “Aku ber-i’tikaf sepuluh hari pertama mencari malam ini (Lailatul Qadar). Lalu aku ber-i’tikaf sepuluh hari pertengahan. Kemudian aku didatangi dan dikatakan kepadaku bahwa itu di sepuluh hari terakhir. Karena itu, siapa di antara kalian yang suka (mau) ber-i’tikaf hendaklah ia ber-i’tikaf.” Abu Said berkata, “Lalu orang-orang ber-i’tikaf bersama beliau.” (HR Muslim, al-Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan Malik). 

Rasul saw menyandarkan pelaksanaan i’tikaf itu kepada kesukaan (kemauan) orang-orang. Ini menunjukkan bahwa i’tikaf hukumnya sunah. Sebab jika wajib, niscaya tidak akan disandarkan pada kemauan orang.
I’tikaf dilakukan di masjid. Dalam hal ini tidak ada perbedaan, di masjid manapun seorang Muslim boleh ber-i’tikaf. (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 187)

Selain itu banyak hadis yang menyebutkan bahwa Nabi saw. ber-i’tikaf hanya di masjid. Abu Said al-Khudzri menuturkan, Rasul saw. pernah bersabda, “Aku diperlihatkan Lailatul Qadar, tetapi aku dilupakan (waktu persisnya). Karena itu, carilah di sepuluh hari terakhir pada malam ganjil. Aku diperlihatkan bahwa aku sujud di atas air dan tanah. Maka dari itu, siapa saja yang telah ber-i’tikaf bersama Rasulullah saw. hendaklah kembali (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Malik, Ibn Hibban dan al-Baihaqi).

Jika i’tikaf itu tidak harus di masjid, niscaya Nabi saw. tidak menyuruh para Sahabat untuk kembali ke masjid. Semua ini menunjukkan bahwa tempat i’tikaf itu di masjid. Kata al-masâjid atau al-masjid dalam hadis-hadis tentang i’tikaf merupakan kata umum, dan tidak ada nas yang mengkhususkan masjid tertentu saja. Karena itu, i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja, selama itu adalah masjid.

 
Waktu I’tikaf
Tentang waktu untuk ber-i’tikaf, tidak ada nas yang membatasi waktunya. Waktu untuk i’tikaf itu adalah sepanjang tahun, baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. ‘Aisyah ra. Meriwayatkan bahwa Nabi saw. pernah ber-i’tikaf sepuluh hari di bulan Syawal, yakni di akhir Syawal (riwayat al-Bukhari), atau awal Syawal (riwayat Muslim). Umar ra. pernah bercerita kepada Nabi ra. bahwa ia pernah ber-nadzar semasa Jahiliah untuk ber-i’tikaf semalam di Masjid al-Haram. Nabi saw. lalu bersabda, “Penuhi nadzar-mu!” (HR al-Bukhari). Di sini Nabi saw. tidak membatasi waktunya, artinya i’tikaf boleh malam apa saja sepanjang tahun. Memang, Nabi saw. mendawamkan ber-i’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Itu sekadar menunjukkan keutamaannya. I’tikaf sendiri sah dilakukan kapan saja sepanjang tahun, hanya saja di bulan Ramadhan itu lebih utama, dan yang paling utama adalah di sepuluh hari terakhir Ramadhan untuk mencari Lailatul Qadar. Karena itu, hendaknya seorang Muslim bersungguh-sungguh untuk bisa ber-i’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan, terutama untuk mencari keutamaan Lailatul Qadar.

Nabi saw. pernah ber-i’tikaf di bulan Syawal, dan itu bukan bulam puasa. Nabi saw. juga hanya menyuruh Umar ra. agar memenuhi nadzar i’tikaf-nya tanpa menyebutkan harus berpuasa. Jadi, shaum bukan syarat i’tikaf.

I’tikaf juga boleh dimulai kapan saja. Tidak ada nas yang menentukan waktu untuk memulai i’tikaf. Memang ada penuturan Aisyah ra., “Rasulullah saw., jika ingin ber-i’tikaf, menunaikan shalat subuh, lalu masuk ke tempat i’tikaf beliau.” (HR Muslim, an-Nasai, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad). Hadis ini hanya menjelaskan fakta i’tikaf yang dilakukan Nabi saw. Di dalamnya tidak ada penentuan waktu; juga tidak ada larangan untuk memulai i’tikaf di waktu lainnya.

Tentang berapa lama waktu i’tikaf, tidak ada nas yang menentukan batasan jangka waktunya. Karena itu, lamanya ber-i’tikaf kembali pada kemutlakannya. Untuk batas maksimalnya, para ulama sepakat bahwa tidak ada batas maksimal jangka waktu i’tikaf. Sedangkan untuk batas minimal, maka batas minimalnya, adalah jangka waktu yang bisa disebut al-labtsu (diam). Imam asy-Syafii, Ahmad dan Ishaq ibn Rahuwaih mengatakan, bahwa minimal adalah apa yang disebut al-labtsu (diam) dan tidak disyaratkan duduk. Abdurrazaq meriwayatkan, Ya’la bin Umayyah ra.—seorang Sahabat—berkata, “Mari pergi bersama kami ke masjid lalu kita beri’tikaf di dalamnya sesaat.

 
Aktifitas Selama I’tikaf
Saat seseorang ber-i’tikaf, ia boleh keluar dari masjid untuk melakukan sesuatu yang harus dan mendesak dia lakukan saat itu dan hal itu tidak membatalkan i’tikaf-nya. Itu ada dua. Pertama, untuk melakukan kewajiban yang tidak bisa ditunda di waktu lain. Kedua, untuk memenuhi keperluannya sebagai manusia seperti mandi, buang hajat, muntah; mengambil makanan jika tidak ada yang mengantarkan kepadanya; mengambil selimut, mengambil kipas ketika kegerahan; dsb; atau sesuatu yang mendesak harus dia lakukan seperti anaknya sakit dan harus dibawa ke dokter/RS. Dalam kondisi demikian sang mu’takif boleh keluar dan mengantarkan anaknya ke dokter/RS, atau yang semisalnya. Semua itu boleh dilakukan oleh sang mu’takif dan tidak membatalkan i’tikaf-nya. Setelah melakukan semua itu, ia bias kembali ke masjid dan melanjutkan i’tikaf-nya tanpa harus berniat kembali. Adapun hal-hal sunnah atau tidak mendesak dan bisa ditunda di waktu lain, maka jika ia keluar dari masjid untuk melakukannya, i’tikaf-nya batal atau terputus.

Saat ber-i’tikaf di masjid itu, semua hal yang dilarang dilakukan di dalam masjid, juga dilarang dilakukan oleh sang mu’takif dan tidak membatalkan i’tikaf-nya. Setelah melakukan semua itu, ia bisa kembali ke masjid dan melanjutkan i’tikaf-nya tanpa mempengaruhi i’tikaf-nya.

 
I’tikaf Wanita
Wanita sah ber-i’tikaf. Tempatnya adalah di masjid, terpisah dari laki-laki. Jika ia bersuami, maka i’tikaf-nya harus atas izin suaminya. Ia boleh ber-i’tikaf bersama suaminya ataupun tidak, asal i’tikaf-nya itu atas izin suaminya. Namun, ia tidak boleh ber-i’tikaf, jika dia punya suami atau anak yang masih kecil yang tidak ada yang merawat/melayani mereka, sebab hal itu adalah wajib bagi dirinya, sementara i’tikaf adalah sunnah. Jika keduanya berbenturan, yang wajib tentu harus dikedepankan. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman].

14 Agustus 2011

Khilafah: Solusi, Bukan Ancaman


Berbagai macam dampak destruktif akibat penerapan sistem kapitalis-sekular telah mendorong manusia untuk mencari sistem baru yang mampu mengantarkan mereka menuju kesejahteraan, keadilan, kesetaraan dan kemakmuran. Dorongan itu semakin kuat ketika kebijakan-kebijakan jangka pendek dan panjang selalu gagal mencegah dampak buruk sistem kapitalis. Dunia tetap dalam kenestapaan, kemunduran dan keterpurukan. Keadaan inilah yang menjadikan orang berkeyakinan bahwa kesalahan bukan hanya terletak pada kebijakan-kebijakan tersebut, tetapi lebih karena kerusakan permanen dan cacat bawaan yang dikandung oleh Kapitalis-sekularisme.
Untuk itu, perbaikan atas kondisi umat manusia harus dimulai dengan mencabut dan mengganti sistem Kapitalisme dengan sistem baru yang memang benar-benar layak menjadi sistem dunia. Lantas sistem apa yang harus dipilih? Sosialisme-komunisme telah gagal menjadi sistem dunia yang mampu mensejahterakan umat manusia. Bahkan sistem ini telah terbukti menjerumuskan manusia ke dalam lembah kemunduran dan kehancuran. Harapan satu-satunya tinggallah Islam. Islam, dengan sistem Khilafahnya, telah terbukti mampu mengantarkan manusia menuju puncak peradaban dan kemakmuran. Khilafah Islamlah menjadikan akidah Islam sebagai asas penyelenggaraan urusan masyarakat dan negara serta menjadikan syariah Islam sebagai satu-satunya aturan untuk mengatur interaksi yang ada di tengah-tengah masyarakat. Dengan itu terbukti Khilafah dengan syariahnya mampu menciptakan kemakmuran, keadilan dan stabilitas di seluruh dunia.
Dari sini dapat dimengerti bahwa perjuangan untuk menegakkan kembali Khilafah Islam adalah upaya untuk memperbaiki keadaan manusia yang serba terpuruk akibat penerapan sistem Kapitalisme-sekular. Khilafah Islam bukanlah ancaman bagi manusia, tetapi solusi atas problematika manusia di seluruh dunia.


Potret Negara Khilafah
Khilafah Islam adalah sistem pemerintahan yang menjadikan akidah Islam sebagai asas penyelengaraan urusan masyarakat dan negara serta menjadikan syariahnya sebagai satu-satunya aturan untuk mengatur seluruh interaksi yang ada di tengah-tengah masyarakat. Khilafah Islam tegak di atas empat pilar utama, yakni: (1) kedaulatan ada di tangan syariah; (2) kekuasaan di tangan umat; (3) kewajiban membaiat hanya seorang khalifah; (4) hak adopsi hukum ada di tangan Khalifah semata.
Berkaitan dengan poin pertama, Khilafah Islam adalah negara yang tegak di atas sebuah pandangan bahwa kekuasaan tertinggi untuk membuat hukum ada di tangan Asy-Syari’, bukan di tangan rakyat. Oleh karena itu, hukum yang diterapkan untuk mengatur seluruh interaksi rakyat harus bersumber dari wahyu Allah SWT. Rakyat sama sekali tidak memiliki hak untuk menetapkan hukum. Rakyat hanya diberi hak untuk berijtihad dan menggali hukum dari dalil-dalil syariah jika memang mereka memiliki kualifikasi sebagai mujtahid.
Pandangan seperti ini tentu bertolak belakang dengan sistem demokrasi yang menjadikan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam membuat hukum, juga dengan sistem monarki dan kekaisaran absolut yang menetapkan titah raja sebagai hukum yang wajib ditaati. Pandangan semacam ini tentu tidak menjadikan Khalifah memiliki kekuasaan absolut, atau berpotensi menjadi penguasa diktator. Pasalnya, Khalifah tidak memiliki hak untuk menetapkan hukum, tetapi ia wajib tunduk di bawah hukum syariah, sebagaimana kaum Muslim yang lain.
Adapun berkenaan dengan poin kedua (kekuasaan ada di tangan rakyat), syariah Islam telah menetapkan bahwa rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi untuk mengangkat seseorang menjadi khalifah. Artinya, seseorang baru absah menduduki jabatan Khalifah ketika ada pelimpahan kekuasaan dari rakyat. Rakyatlah pemegang kekuasaan tertinggi untuk mengangkat seseorang menjadi kepala negara melalui metode baiat.
Berkaitan dengan poin ketiga (kewajiban rakyat membaiat hanya seorang khalifah), sesungguhnya hal ini menjelaskan dua hal. Pertama: metode syar’i pengangkatan seorang Khalifah adalah baiat yang dilakukan oleh rakyat dengan keridhaan dan atas pilihan mereka. Baiatlah metode syar’i pengangkatan kepala negara (Khalifah) di dalam sistem pemerintahan Islam. Adapun teknis pelaksanaan baiat bisa dilakukan oleh ahlul halli wal ‘aqdi, atau rakyat secara langsung melalui Pemilu. Metode pengangkatan kepala negara seperti ini tentu berbeda dengan metode pengangkatan kepala negara dalam sistem kerajaan dan kekaisaran. Pasalnya, di dalam sistem kerajaan dan kekaisaran, suksesi kekuasaan dilakukan dengan cara pewarisan dari raja atau kaisar sebelumnya kepada putera mahkota. Rakyat, dalam sistem kerajaan dan kekaisaraan, tidak memiliki hak untuk menduduki tampuk kekuasaan. Hal ini menunjukkan bahwa metode pengangkatan kepala negara dalam sistem Khilafah Islamiyah berbeda dengan metode pengangkatan kepala negara dalam sistem kerajaan dan kekaisaran. Kedua: Umat hanya berhak membaiat seorang khalifah. Ini berarti, Khalifah adalah pemimpin umum atas kaum Muslim di seluruh dunia. Tidak dibenarkan alias haram umat Muslim sedunia memiliki banyak pemimpin seperti sekarang ini. Selain itu, banyaknya pemimpin di Dunia Islam terbukti memecah-belah mereka sebagai satu umat.
Adapun poin keempat (hak adopsi hukum ada di tangan Khalifah), maksudnya adalah hak untuk mengadopsi hukum tertentu yang akan diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Khalifahlah satu-satunya pemegang otoritas untuk mengadopsi hukum. Pasalnya, pengaturan urusan rakyat tidak mungkin diatur dengan banyak hukum. Padahal para mujtahid kadang-kadang berselisih pendapat dalam satu urusan. Dalam keadaan seperti ini, harus ditetapkan sebuah hukum untuk mengatur urusan tersebut. Pihak yang berhak untuk mengadopsi sebuah hukum menjadi hukum negara yang mengikat setiap orang yang hidup di bawah Khilafah Islam hanyalah Khalifah. Hanya saja, dalam melakukan proses adopsi hukum tertentu Khalifah harus memperhatikan aspek-aspek berikut ini.Pertama: jika kepala negara tidak bisa melaksanakan pengaturan urusan umat, kecuali dengan mengadopsi hukum tertentu, maka Khalifah wajib melakukan proses tabanni/adopsi hukum. Ini didasarkan pada kaidah syar’iyyah, “Ma lâ yatimmu al-wâjib illâ bihi fahuwa wâjib.” Sebab, Khalifah berkewajiban melakukan pengaturan urusan umat. Jika pengaturan urusan umat tersebut mengharuskan adanya adopsi hukum tertentu oleh Khalifah maka Khalifah harus melakukan adopsi hukum. Misalnya, adopsi hukum dalam masalah perjanjian dengan negara-negara luar. Kedua: jika Khalifah mampu mengatur sebagian urusan umat sesuai dengan syariah Islam, tanpa harus mengadopsi hukum syariah tertentu, maka Khalifah boleh melakukan adopsi hukum dan boleh juga tidak. Misalnya, penetapan jumlah minimal saksi, dan lain-lain.
Adopsi hukum tertentu oleh kepala negara sudah dilakukan sejak masa Khulafaur Rasyidin. Khalifah Abu Bakar ra. Pernah menetapkan hukum syariah tertentu pada kasus pembagian harta dan talak. Beliau membagi harta kepada kaum Muslim dengan kadar dan ukuran yang sama, tanpa memilah mana yang masuk Islam lebih dulu dan mana yang lebih akhir masuk Islam. Dalam masalah talak, beliau menetapkan bahwa ucapan talak tiga tetap jatuh sebagai talak satu. Ini berbeda dengan kebijakan Khalifah Umar bin Khaththab ra. Beliau pernah membagi harta kepada kaum Muslim berdasarkan siapa yang masuk Islam lebih dulu. Siapa yang masuk Islam lebih dulu, diberi bagian yang lebih besar. Beliau juga menetapkan ucapan talak tiga jatuh sebagai tiga kali talak. Beliau pun menetapkan tanah-tanah yang ditaklukkan lewat peperangan sebagai ghanimah untuk pemasukan Baitul Mal, tidak dibagi-bagikan kepada pasukan yang ikut berperang.
Namun demikian, pada masa Khulafaur Rasyidin hingga periode Kekhilafahan setelahnya, proses adopsi hukum hanya terjadi pada hukum-hukum syariah tertentu. Tak satu pun masa Kekhilafahan Islam yang mengadopsi hukum-hukum syariah secara menyeluruh, kecuali pada masa Kekhilafahan Bani Ayyub. Penguasa Bani Ayyub telah mengadopsi (tabanni) mazhab Syafii sebagai undang-undang dasar negara. Hal ini juga pernah terjadi pada Kekhilafahan Utsmani, yang mengadopsi mazhab Hanafi sebagai mazhab negara.
Dalam kitab Ad-Darr al-Mukhtar wa Radd al-Mukhtar (II/131-132) disebutkan bahwa pada masa Kekhilafahan Utsmani, negara menetapkan kesatuan dalam pelaksanaan puasa Ramadhan dan shalat Id. Ketetapan ini didasarkan pada mazhab Hanafi.


Solusi Untuk Dunia
Sebelum tahun 1924, Islam tampil sebagai peradaban paling tinggi dan unggul. Khilafah Islam pun menjadi negara super power yang mampu memimpin hampir di 2/3 wilayah dunia. Keadaan ini tentu telah menyudutkan rival-rival ideologis Islam, yakni Yahudi dan Nasrani. Lalu dirancanglah upaya-upaya untuk melemahkan kekuatan Islam dengan cara menggerogoti persatuan dan kesatuan kaum Muslim, di antaranya melalui penyebaran virus nasionalisme di Dunia Islam. Virus ini sengaja dihembuskan agar kaum Muslim saling bermusuhan dan memisahkan diri dari Kekhilafahan Turki Ustmani. Akhirnya, perlahan-lahan namun pasti, negeri-negeri Islam mulai melepaskan diri dari kekuasaan Islam tanpa tahu untuk apa mereka melepaskan diri.
Agar paham nasionalisme semakin berkembang, Barat menyekolahkan dan memberikan beasiswa kepada mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari negeri-negeri Islam di pendidikan-pendidikan Barat. Di sana mahasiswa-mahasiswa ini dipengaruhi dengan paham nasionalisme dan didorong untuk menyebarluaskannya ke negera asalnya. Cara semacam ini sangat efektif untuk menyebarluaskan nasionalisme ke tengah-tengah kaum Muslim.
Alhasil, nasionalisme yang lahir di negeri-negeri kaum Muslim jelas sengaja ditujukan untuk menghancurkan kesatuan dan persatuan kaum Muslim dan melemahkan kekuasaan Islam. Karena itu, sudah semestinya kaum Muslim menolak ide ini dan kembali pada Khilafah Islam. Khilafahlah model pemerintahan universal yang mampu membangun kebersamaan dan kesatuan universal. Khilafah Islam juga telah terbukti mampu memakmurkan masyarakat dunia saat itu. Khilafah juga sukses mengantarkan manusia menuju persaudaraan universal yang tidak lagi disekat-sekat oleh batas-batas kebangsaan maupun kesukuan. Semua manusia dari berbagai ras, wilayah dan kebudayaan bisa menyatu dan melebur dalam sebuah keluarga besar di bawah naungan Khilafah. Lalu-lintas barang dan jasa tidak lagi tersendat. Semua orang dan barang bebas bergerak di dalam Khilafah Islam tanpa ada proteksi sedikitpun. Akibatnya, perekonomian bergerak dengan sangat dinamis, dan persaudaraan hakiki sebagai manusia benar-benar bisa diwujudkan.
Syariah Islam yang menjadi satu-satunya hukum yang diberlakukan di wilayah Khilafah Islam telah terbukti mampu menciptakan rasa aman dan keadilan. Syariah Islam yang mengatur urusan ekonomi dan moneter juga telah terbukti mampu menciptakan kompetisi pasar yang positif, menggerakkan sektor riil, menghapus transaksi-transaksi spekulatif dan ribawi, menghilangkan dominasi ekonomi di tangan segelintir orang, serta menciptakan distribusi harta yang maksimal. Dari aspek peradilan, syariah Islam yang mengatur urusan peradilan juga terbukti mampu menciptakan keadilan dan rasa aman.
Akhirnya, semua ini sejatinya menyadarkan kita, bahwa Khilafah Islam bukanlah ancaman, tetapi solusi yang sempurna dan paripurna. allahu al-Musta’an wa Huwa Waliyyu at-Tawfiq. []

Haramkah Demonstrasi ?




Oleh: Hafidz Abdurrahman

Di tengah maraknya gelombang unjuk rasa di negeri-negeri Arab, Hai'ah Kibar 'Ulama' Saudi mengeluarkan fatwa yang mengharamkan aksi tersebut. Bagaimana sebenarnya kedudukan aksi yang menuntut perubahan tersebut, boleh atau tidak?

Menarik untuk ditelaah alasan yang dijadikan dasar fatwa Hai'ah Kibar ‘Ulama' Saudi. Dalam fatwanya dinyatakan bahwa:
"Kerajaan Saudi Arabia berdiri berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul, baiat, berpegang teguh pada jamaah dan ketaatan. Karena itu, perbaikan dan nasihat terhadapnya hendaknya tidak dilakukan dengan unjuk rasa serta berbagai cara dan sarana yang bisa menimbulkan fitnah dan perpecahan jamaah. Inilah yang diharamkan oleh ulama' negeri ini, baik dulu maupun sekarang."

"Hai'ah menegaskan keharamnya unjuk rasa di negeri ini. Sebab, cara yang syar'i untuk mewujudkan kemaslahatan, dan tidak menimbulkan kerusakan, adalah saling memberi nasihat (munshahah). Itulah cara yang diajarkan Nabi saw. dan diikuti dengan baik oleh para Sahabat serta para pengikut mereka."

Selain alasan di atas, banyak dinyatakan dalil-dalil yang terkait dengan menjaga persatuan (QS Ali 'Imran [3]- 103), larangan berpecah-belah (QS Ali 'Imran [3]: 105 dan al-An'am [6]: 109), baiat dan ketaatan (HR Muslim).

Perlu dicatat, bahwa fatwa seperti ini bukan yang pertama kali. Sebelumnya, ketika terjadi aksi untuk menumbangkan rezim diktator di Mesir, Husni Mubarak, mufti Arab Saudi, 'Abd al-'Aziz Ali as-Syaikh juga mengeluarkan fatwa tentang keharaman aksi tersebut. Fatwa ini juga ditentang oleh sejumlah ulama' lain dari berbagai negara. Fatwa ini pun bukan untuk kepentingan Islam dan kaum Muslim, tetapi untuk kepentingan rezim Saud, yang mengabdi untuk Inggris dan Amerika.

Fatwa Hai'ah ini juga dipenuhi berbagai klaim. Pertama: Kerajaan Saudi Arabia (KSA) mengklaim konstitusinya berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah, serta menjalankan hukum syariah yang bersumber dari keduanya. Ini jelas klaim bohong karena kenyataannya jelas berbeda. Sistem kerajaan itu sendiri bukanlah sistem Islam karena sistem pemerintahan Islam adalah Khilafah. Sistem kerajaan (monarki) bertentangan dengan sistem pemerintahan Islam yang tidak mengenal, putra mahkota (wilayah al-'ahd). Ini ditegaskan oleh 'Abdurrahman bin 'Abu Bakar saat menolak cara Muawiyah mengangkat Yazid menjadi penggantinya:

“Abdullah al-Madani memberitahuku. Dia berkata, "Aku pernah berada di masjid, ketika Marwan menyampaikan pidato. Dia berkata, 'Sesungguhnya Allah telah menunjukkan kepada Amirul Mukminin pandangan yang baik pada Yazid. Sekiranya beliau menunjuknya sebagai penggantinya, sesungguhnya Abu Bakar dan Umar juga telah melakukannya.' 'Abdurrahman (bin Abu Bakar) berkata, "(Itu tuntunan) Heraklius. Demi Allah, sesungguhnya Abu Bakar tidak pernah menjadikan baiat untuk salah seorang anaknya, maupun anggota keluarganya."’

Kedua: kerajaan ini juga bukan negara kaum Muslim, tetapi entitas keluarga Saud. Ini bertentangan dengan negara yang disyariatkan dalam al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat, yaitu Khilafah. Khilafah adalah negara kaum Muslim di seluruh dunia, bukan hanya entitas keluarga. Bahkan kerajaan ini awalnya justru didirikan oleh Inggris sebagai hadiah atas pengkhianatan Sharif Husein terhadap Khilafah 'Utsmaniyah.

Ketiga: selain bentuk kerajaan yang bertentangan dengan syariah Islam, cara pembaiatan yang dilakukan kepada raja-raja Kerajaan Saudi Arabia juga bertentangan dengan syariah Islam. Sebab, baiat diberikan kepada mereka bukan untuk menjalankan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, dengan menerapkan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan.

Memang sebagian hukum syariah diterapkan di wilayah itu, tetapi di bidang pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan serta politik luar negeri jelas-jelas tidak menerapkan Islam. Di bidang ekonomi, seluruh kekayaan milik umat, seperti minyak, gas dan tambang yang terkandung di perut bumi wilayahnya dimonopoli oleh keluarga kerajaan. Akibatnya, mereka bergelimang harta dan foya-foya, sementara 50% lebih rakyatnya tidak mempunyai rumah. Di bidang sosial, kehidupan di Riyadh, Jeddah atau kota metropolitannya tidak jauh berbeda dengan Paris maupun London. Kaum perempuan dan lelakinya banyak yang bergaul bebas, berzina, pesta seks bahkan menjadi konsumen film porno terbesar. Di bidang pendidikan, Kerajaan Saudi telah menghilangkan materi penting dalam kurikulum mereka, yaitu al-Wala' wa al-Barra' (loyalitas dan disloyalitas) untuk menjalankan proyek deradikalisasi AS. Dalam politik luar negerinya, kerajaan ini juga telah berkhianat kepada kaum Muslim di Palestine dan Irak. Bahkan memberikan wilayahnya kepada AS untuk membuka pangkalan militernya.

Karena itu, baiat untuk mereka justru menyalahi Kitab Allah dan Sunnah Rasul. Dengan begitu, dalil baiat dan ketaatan, sebagaimana riwayat Muslim di atas, tidak relevan untuk diberlakukan. Sebab, baiat dalam hadits tersebut hanya berlaku untuk Khalifah kaum Muslim.

Make dari itu, apa yang dinyatakan dalam konstitusi Kerajaan Saudi itu hanya klaim penuh dusta dan penyesatan untuk menutupi pengkhianatan kerajaan ini kepada Allah, Rasul-Nya dan seluruh kaum Muslim. Inilah yang membuat kaum Muslim di sana marah dan menuntut adanya perubahan. Karena itu, tuntutan untuk melakukan perubahan yang diwujudkan dengan unjuk rasa adalah tuntutan yang sah karena justru Rasul saw. Telah bersabda:

“Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin 'Abd al-Muthallib serta seseorang yang mendatangi seorang imam yang zalim, kemudian memerintah imam itu (pada kemakrufan) dan mencegah dirinya (dari kemungkaran), lalu imam itu pun membunuh dia."

Keempat: puja-puji untuk KSA sebagai khadim al-Haramain (pelayan dua Tanah Suci, Makkah - Madinah), khususnya Masjid al-Haram, karena merupakan kiblat kaum Muslim yang merupakan kemuliaan bagi KSA, sebenarnya justru bertentangan dengan fakta. Di Masjid al Haram tidak boleh ada imam/khatib menyampaikan khutbah, hatta doa yang berisi nasihat, apalagi kritik untuk KSA. Di masjid yang mulia ini tidak boleh ada ulama dari mazhab lain mengajarkan ilmunya, kecuali mazhab Wahabi. Ini berbeda dengan zaman Khilafah dulu saat Imam Syafii, Hanafi, Malik dan Ahmad maupun, imam mazhab lain bisa dengan leluasa mengajarkan ilmunya di masjid mulia ini. KSA juga tidak becus mengurus jamaah haji yang merupakan tamu-tamu Allah. Bahkan KSA menjadikan haji sebagai bisnis tahunan keluarga istana. Semuanya ini bukti, bahwa dalil tentang kemuliaan Tanah Haram dan masjid al-Haram itu tidak layak diberikan kepada mereka.

Kelima: fatwa yang mengutip nas-nas tentang mitsaq yang diambil oleh Allah dari para ulama untuk menyampaikan isi al-Quran (QS Ali 'Imran [3]: 187) dan tidak menyembunyikannya (QS al-Baqarah [2]: 159) seharusnya membuat para mufti itu malu. Sebab, ayat ini menjadi hujjah yang akan memberatkan mereka di hadapan Allah, karena mereka tidak pernah menyampaikan muhasabah dan kritik, kepada raja/penguasa mereka, bahkan menutupi ayat-ayat tentang kewajiban menegakkan Islam secara kaffah di bawah naungan Khilafah. Namun sayangnya, mereka tidak pernah mempunyai rasa malu baik kepada Allah, Rasul-Nya maupun umat Islam. justru mereka terus-menerus menjadi stempel kekuasaan despot, yang menjadi kaki tangan negara-negara penjajah.

Keenam, tentang alasan fitnah dan mafsadat, sebenarnya ini bukan dalil syariah. Karena itu, alasan fitnah maupun mafsadat untuk mengharamkan unjuk rasa tidak ada nilainya di dalam syariah. Sebaliknya, justru adanya KSA dengan segala atributnya, termasuk khadim al-Haramain, telah menjadi fitnah bagi kaum Muslim, yang menyesatkan umat dari kewajibannya untuk menegakkan Islam secara kaffah di bawah naungan Khilafah. KSA sering diklaim sebagai negara Islam yang berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah sehingga baik rakyat Saudi maupun yang lain dininabobokkan seolah sudah ada negara Islam, yaitu KSA. Selain itu, ini juga menjadi mafsadat bagi Islam dan kaum Muslim, karena citra Islam justru diperburuk dengan prilaku KSA dan rakyatnya, termasuk Islam yang mereka praktikkan, yang tidak mencerminkan kemuliaan Islam.


Referensi :
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath at-Bari Syarh Shahih al Bukhari, Dar al-Fikr, Beirut, cet, 1993. IX/547.
An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Kitab al-janaiz, Dar al Fikr, Beirut, 1995, VII/ 32: Ibn Sa'ad, Atht-Thabaqat al Kubra, Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, Beirut, 1997, III/135.
Perjanjian Sykes Picot, pasal 10. Dr. Maufaq Bani Marjeh, Shahwah ar-Rajul al-Marid, Dar al-Bayariq, Beirut, cet. VIII, 1996,
Mahmud al-Khalidi, Al-Bai'ah fi al-Fikr as-Siyasi al-Islami, Muassasah ar-Risalah, 'Amman-Yordania, cet I, 1985
HR al-Hakim, Al-Mustadrak 'ala as-Shahihain, Dar al Kutub al-'Ilmiyyah, Beirut, cet, 1990, III/214.
Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Dar al-Ummah, Beirut, cet III, 2005, III/372.
Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nidzam al-ljma'i. Dar al-Urnmah, Beirut, cet IV, 2003, hlm. 69-70.


Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites