(Tafsir QS Ali Imran [3] Ayat 133)
Oleh Rokhmat S. Labib, M.E.I.
وَسَاِرعُوْا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَّبِكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَ
"Bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhan kalian dan menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa".
Mayoritas mufassir berpendapat, ayat ini merupakan kelanjutan ayat sebelumnya, karena diawali dengan wâwu al-athaf yang menghubungkannya dengan ayat sebelumnya.1 Pada ayat-ayat sebelumnya, kepada orang-orang Mukmin diserukan larangan memakan riba yang berlipat ganda. Mereka lalu diperintahkan agar bertakwa kepada Allah (ayat 130), memelihara diri dari api neraka (ayat 131), dan taat kepada Allah dan Rasul (ayat 132). Baru kemudian seruan dalam ayat ini.
Dalam konteks munâsabah bayna al-âyât (relevansi antar ayat), perintah ini amat tepat. Setelah melarang memakan harta riba, Allah Swt. menyerukan mereka untuk segera bertobat. Pintu ampunan bagi mereka terbuka lebar jika mereka mau menaati larangan tersebut. Lebih dari itu, jika mereka bertakwa kepada-Nya, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Allah Swt. menjanjikan surga bagi mereka.
Tafsir Ayat
Wa sâri‘û (bersegeralah kalian) artinya wa bâdirû wa sâbiqû (bergegas dan berlomba-lombalah kalian).2
Berkaitan dengan perintah untuk merealisasikan amal dalam urusan dîn dan akhirat, al-Quran menggunakan ungkapan yang maknanya 'bersegera';' seperti juga dalam surat al-Hadid ayat 21, al-Baqarah ayat 148, al-Jumuah ayat 9, dan al-Muthaffifin ayat 26.
Ada dua hal yang diperintahkan Allah Swt. untuk segera diraih. Pertama, maghfirat[in] min Rabbikum (ampunan dari Tuhan kalian). Kata maghfirah merupakan bentuk mashdar mîmî dari ghafara yang berarti menutupi.3 Menurut al-Ashfahani, ungkapan maghfirah dari Allah berarti, “Dia menjaga dan melindungi hamba-Nya dari merasakan azab."4
Maghfirah yang diperintahkan untuk segera diraih adalah ampunan dari Allah Swt. (min Rabbikum). Sebab, hanya Allah-lah Yang bisa memberikan ampunan kepada hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya:
وَمَنْ يَغْقِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ اللهُ
Siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? (QS Ali Imran [3]: 135)
Man istifhâm dalam ayat tersebut bermakna inkâri sehingga maknanya: Tidak ada satu pun yang dapat mengampuni dosa kecuali Allah.5 Bersegera menuju ampunan Allah Swt. maksudnya adalah bersegera menuju segala sesuatu yang meniscayakan teraihnya ampunan itu, yakni ketaatan6 dan amal salih yang diperintahkan untuk dikerjakan.7 Perbuatan yang mengantarkan pada maghfirah itu adalah semua jenis ketaatan dan amal salih. Sebab, lafadz ayat ini bersifat mutlak dan umum; tidak ada indikasi yang menunjukkan adanya pengkhususan pada jenis amal salih tertentu.8 Kedua, wa jannat[in] ‘ardhuhâ as-samâwâtu wa al-ardh (surga yang luasnya seluas langit dan bumi). Selain ampunan, orang-orang Mukmin juga diperintahkan untuk bersegera menuju surga. Kata surga di sini maksudnya adalah semua hal yang menyebabkan seseorang dapat masuk surga. Yang dapat mengantarkannya adalah takwa. Sebab, surga itu disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. Artinya, siapa pun yang ingin bersegera masuk surga, ia harus menjadikan dirinya sebagai orang yang bertakwa. Jadi, frasa ini maknanya adalah perintah untuk bersegera menjalankan ketakwaan.
Ungkapan seperti ini lazim disebut majâz musababiyyah, yakni majaz yang menyebutkan musabab (akibat), padahal yang dimaksudkan adalah sebabnya.9 Penggunaan majaz ini dapat lebih menimbulkan 'greget' pada pihak yang diseru untuk bersegera dan tidak menunda-nunda mengerjakan apa yang diserukan. Siapa yang tidak tertarik dengan tawaran surga?
Ampunan maksudnya adalah diampuninya dosa, sementara surga berarti teraihnya pahala Allah Swt. Keduanya disebutkan secara rinci sebagai isyarat bahwa setiap mukallaf wajib merealisasikan keduanya.10 Kata ampunan didahulukan karena orang yang belum bersih dari dari dosa tidak berhak masuk surga. Dengan kata lain, sebelum masuk surga, seorang hamba terlebih dulu harus memperoleh ampunan-Nya.11
Dalam ayat itu, Allah Swt. menyifati surga dengan firman-Nya: 'ardhuhâ as-samâwâtu wa al-ardh (luas surga adalah langit dan bumi). Dalam frasa tersebut adât at-tasybîh dan mudhâf-nya dihilangkan. Maknanya ‘ardhuhâ ka ‘ardhi as-samâwâti wa al-'ardh (luasnya seperti luas langit dan bumi), sebagaimana dalam surat al-Hadid ayat 21.
Dihilangkannya adât at-tasybîh adalah untuk melebihkan (li al-mubâlaghah).12 Secara bahasa, kata al-‘ardh berarti khilâf ath-thûl (lebar, lawan dari panjang). Pada umumnya ath-thûl lebih panjang daripada al-‘ardh. Jika lebarnya saja demikian, lalu bagaimana dengan panjangnya?13 Jadi ungkapan itu menunjukkan betapa luasnya surga; bukan untuk membatasi bahwa luas surga benar-benar seluas langit. Penyerupaan itu hanyalah kinâyah dari betapa luasnya surga karena langit dan bumi merupakan batas paling luas yang diketahui oleh manusia.14
Surga luasnya seperti itu disediakan untuk orang-orang yang bertakwa (u‘iddat li al-muttaqîn. Lalu dua ayat berikutnya menjelaskan sebagian karakter orang yang bertakwa, yaitu: senantiasa berinfak di jalan Allah, baik dalam keadaan lapang maupun sempit; mampu menahan dari dari kemarahan; dan mudah memberikan maaf kepada orang lain (QS Ali Imran [3]: 134). Jika terlanjur berbuat dosa, segera bertobat, yaitu: segera mengingat Allah, menghentikan perbuatan dosanya, meminta ampun-Nya, dan bertekad kuat tidak mengulangi perbuatan dosa itu (QS Ali Imran [3]: 135).
Meraih Ampunan
Seluruh manusia—selain nabi dan rasul—tidak ma‘shûm (terjaga dari dari kesalahan dan dosa). Siapa pun bisa saja terjatuh dalam perbuatan dosa. Solusinya adalah tobat. Anas ra. Menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
«كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ»
"Setiap anak Adam berbuat kesalahan dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang-orang yang bertobat". (HR Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan ad-Darimi).
Sebelum matahari terbit dari barat dan nyawa sampai ke kerongkongan, pintu tobat masih terbuka. Manusia tidak boleh berputus asa terhadap ampunan dan rahmat Allah Swt. Sebab, Allah Swt telah menjanjikan ampunan kepada mereka yang mau bertobat, bahkan terhadap semua dosa. Allah Swt. berfirman:
قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لاَ تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah, "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Alah mengampuni semua dosa. (QS az-Zumar [39]: 53)
Ungkapan adz-dzunûba jamî’â memberikan makna umum. Artinya, semua jenis dosa bisa diampuni Allah Swt., termasuk dosa perbuatan syirik yang digolongkan sebagai dosa paling besar.15 Tidak diampuninya dosa syirik (QS an-Nisa' [4]: 48) hanya jika pelakunya tidak bertobat, artinya meninggal dalam keadaan kafir (lihat, misalnya, QS al-Baqarah [2]: 21). Orang munafik yang hakikinya kafir, jika bertobat, mengadakan perbaikan, berpegang teguh pada agama Allah, dan ikhlas menaati-Nya akan diampuni dan mendapatkan pahala yang besar (lihat QS an-Nisâ' [4]: 145-146). Oleh karena itu, orang kafir (khususnya Nasrani) diseru agar bertobat (QS al-Maidah [5]: 73-74). Jika ampunan sudah tertutup bagi mereka, tentu mereka tidak perlu diseru agar bertobat.
Bertobat adalah menghentikan dan meninggalkan perbuatan dosa, menyesalinya, berazam tidak mengulanginya, dan kembali pada perbuatan yang sesuai dengan syariat. Menyesal dan mohon ampunan, tetapi masih melakukan dan melestarikan perbuatan dosa, belum dikatakan bertobat (QS Ali Imran [3]: 135). Orang bertobat dari riba, misalnya, adalah jika ia berhenti mengambilnya dan meninggalkannya sama sekali. (QS al-Baqarah [2]3: 279).
Tidak Menunda-nunda
Jadi, realisasi sebuah perintah wajib dilaksanakan segera (fawr[an]) dan tidak ditunda-tunda.16 Selain ayat ini (QS Ali Imran [3]: 133), alasan lainnya adalah:
Pertama, begitu keluar ketetapan hukum atas suatu perbuatan atau benda saat itu juga para mukallaf langsung terikat dengan ketetapan hukum tersebut. Ketika ayat riba turun, para sahabat langsung berhenti dan meninggalkan riba. Bahkan sisa riba yang belum dipungut pun ditinggalkan. Ketika ayat haramnya khamr turun, para sahabat langsung berhenti meminumnya dan membuang simpanan khamr mereka. Bahkan yang sedang minum pun langsung membuang khamr yang dipegangnya. Begitu pula sikap para sahabat dalam masalah jilbab dan dalam semua hukum tanpa kecuali.
Kedua, kematian bisa datang kapan saja. Mati dalam keadaan berbuat dosa merupakan sû'u al-khâtimah. Tidak seorangpun tahu kapan waktu ajalnya. Tentu setiap orang tidak ingin mati sû'u al-khâtimah. Menghindarinya hanya bisa dengan senantiasa terikat dengan ketentuan syariat, artinya harus senantiasa melaksanakan ketentuan syariat; tidak menunda dan tidak mengabaikannya.
Bertolak dari konsep tersebut, ketika ada ketetapan hukum, baik perintah maupun larangan, maka harus segera direalisasikan, tanpa menunda-nunda. Sebab, siapa yang menjamin bahwa nanti atau esok seseorang masih memiliki waktu untuk mengerjakan ketaatan kepada Allah Swt.
Terikat dengan syariat adalah wajib. Menerapkannya dalam kehidupan juga wajib; termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut urusan pemerintahan, ekonomi, pendidikan, sosial, pidana, dan politik luar negeri. Jadi, siapa pun yang tidak ingin mati dalam sû'u al-khâtimah, tidak boleh menunda-nunda kewajiban. Ia harus segera bangkit turut serta berjuang untuk tegaknya Daulah Khilafah Islamiyyah yang menerapkan syariat Islam dan mengemban dakwah ke seluruh dunia. Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. []
[1] Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 2/131, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993.
[2] Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayan fi Ta’wîl al-Qur’ân, 3/435, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1992; Abu Thayyib al-Qinuji, Fath al- Bayan, 2/331, Idarat Ihya’ at-Turats al-Islami, Qathar. 1989.
[3] Abu Bakr al-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, 577.
[4] Ar-Raghib al-Ashfahani, Mu‘jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, 374, Dar al-Fikr, Beirut. Tt.
[5] Al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wâl, 2/135, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1997.
[6] Abu Thayyib al-Qinuji, Op. cit., 2/232, Idarat Ihya’ al-Turats al-Islami, Qathar. 1989; al-Qurthubi, Op.cit., 2/131.
[7] Al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, 1/296, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1995.
[8] Abu Thayyib al-Qinuji, Op. cit., 2/232, Idarat Ihya’ al-Turats al-Islami, Qathar.1989; Fakhruddin ar-Razi, at-Tafsîr al-Kabîr, 5/5.
[9] Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fî al-Ma‘ânî wa al-Bayân wa al-Badî’, 255, Dar al-Fikr, Beirut .1994.
[10] Fakhruddin ar-Razi, Op. cit., 5/5.
[11] Wahbah az-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, 3.91, Dar al-Fikr, Beirut. 1991.
[12] Syihabuddin al-Alusi, Rûh al-Ma‘ânî, 2/2721, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut.1994.
[13] Abu Thayyib al-Qinuji, Op. cit., 2/232; as-Syaukani, Fath al-Qadîr ,1/381, Dar al-Fikr, Beirut tt
[14] Syihabuddin al-Alusi, R Op. cit., 2/271; az-Zamahsyari, al-Kasyâf, 1/406, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut.1995
[15] Penjelasan lebih rinci mengenai hal ini bisa dilihat Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 4/1621, Dar al-Fikr, Beirut. 2000.
[16] Fakhruddin al-Razi, Op. cit., 5/5.
0 komentar:
Posting Komentar