PENJELASAN LURUS BAGI MEREKA
YANG JAHIL DAN TERPEDAYA
(Itsbat ‘Aqidah dan Sikap Yang Benar Terhadap Siksa Kubur)
Abu Mohammad Zain As Sakhawiy An Nawiy
MUQADDIMAH
Di antara upaya yang dilakukan musuh-musuh Islam dan kaum Muslim untuk menjauhkan umat dari Hizbut Tahrir adalah menyebarkan peraguan, penyesatan, pendustaan, dan pembodohon atas pandangan dan pemikiran Hizbut Tahrir. Mereka berusaha mati-matian mencitrakan Hizbut Tahrir sebagai partai sesat yang memiliki pandangan dan pemikiran yang menyimpang dari Al-Quran dan Sunnah. Berbagai macam fitnah dan propaganda untuk menyerang pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir terus digelar hingga akhirnya mereka sendirilah yang menuai kegagalan atas ijin Allah swt. Pasalnya, seiring dengan meningkatnya pemahaman umat terhadap Islam dan pulihnya kesadaran politik mereka; umat pun menyadari kebenaran, ketangguhan, kelurusan, dan kesucian pemikiran Hizbut Tahrir. Bahkan, umat Islam semakin menyadari urgensi Hizbut Tahrir bagi mereka. Kesadaran inilah yang menyebabkan umat berusaha dengan keras untuk melindungi dan menjaga Hizbut Tahrir dari musuh-musuhnya.
Seiring dengan perjalanan waktu, umat pun mampu membedakan mana kelompok benar yang tegak di atas kebenaran, berusaha menyatukan umat, dan mengembalikan kembali kejayaan kaum Muslim melalui tegaknya syariat dan Khilafah; serta mana kelompok sesat yang didirikan oleh penguasa-penguasa fasiq untuk membuat perpecahan, makar, fitnah di tengah-tengah kaum Muslim, dan menghalang-halangi tegaknya Khilafah Islamiyyah.
Di antara fitnah keji yang ditikamkan musuh-musuh Allah terhadap Hizbut Tahrir adalah “Hizbut Tahrir menolak hadits ahad dan siksa kubur”. Padahal, Hizbut Tahrir tidak pernah menolak hadits-hadits shahih yang berbicara tentang ketetapan akherat (ahkaam al-akhirat), semacam siksa kubur, melihat Allah (rukyatullah) dengan mata di hari akhir, dan lain sebagainya,. Di dalam kitab-kitab mutabannat Hizbut Tahrir –yang menjadi cermin dan rujukan pemikiran Hizbut Tahrir—, pembaca budiman tidak akan pernah menemukan statement-statemen dusta tersebut. Sebaliknya, di dalam kitab-kitab mutabannat Hizbut Tahrir, para pembaca akan mendapati penjelasan yang benar dan rajih mengenai hadits ahad shahih serta kedudukannya dalam itsbat ‘aqidah (penetapan masalah aqidah). Bahkan, siapa saja yang teliti dan serius mengkaji kitab-kitab klasik karya ulama-ulama mu’tabar, pastilah akan berkesimpulan bahwa pandangan-pandangan Hisbut Tahrir, baik yang menyangkut masalah ushuluddin maupun ushulul ahkam, senantiasa sejalan dengan pandangan ulama-ulama mu’tabar yang menghendaki kesucian dan kelurusan ‘aqidah Islamiyyah.
Hanya saja, para penyebar dusta dan fitnah dari kalangan antek-antek penguasa fasiq dan kafir, serta orang-orang jahil telah membodoh-bodohi umat dengan cara menebar isyu-isyu menyesatkan terhadap pandangan-pandangan Hizbut Tahrir, di antaranya adalah pandangan Hizbut Tahrir terhadap hadits ahad. Padahal, siapa saja yang memahami ushulul hadits serta pendapat para ulama salafush shalih mengenai masalah ini, pastilah ia berkesimpulan bahwa pandangan Hizbut Tahrir mengenai hadits ahad dan kedudukannya dalam istbat ‘aqidah merupakan pandangan paling rajih yang juga dipegang oleh mayoritas ulama ahlus sunnah wal jama’ah dari kalangan para shahabat dan ulama-ulama salafush shalih.
Namun, demi melaksanakan kewajiban “meluruskan yang bengkok dan menjernihkan yang keruh”, kami akan menjelaskan masalah ini sesuai rujukan dan timbangan yang lurus dan benar.
Para pembaca budiman, agar anda benar-benar memahami kedudukan hadits ahad dalam masalah itsbat ‘aqidah (penetapan ‘aqidah) –termasuk di dalamnya siksa kubur–, maka anda harus memahami terlebih dahulu perkara-perkara berikut ini:
1. Definisi dan Cakupan ‘Aqidah
2. Itsbat ‘Aqidah (Penetapan ‘Aqidah)
3. Kedudukan Hadits Ahad Dalam Itsbat ‘Aqidah
4. Sikap Seorang Muslim Terhadap Hadits Ahad Shahih
2. Itsbat ‘Aqidah (Penetapan ‘Aqidah)
3. Kedudukan Hadits Ahad Dalam Itsbat ‘Aqidah
4. Sikap Seorang Muslim Terhadap Hadits Ahad Shahih
DEFINISI DAN CAKUPAN ‘AQIDAH
Menurut istilah, kata i’tiqaad atau al-iman (keyakinan) bermakna, tashdiiq al-jaazim al-muthaabiq li al-waaqi’ ‘an al-daliil (pembenaran pasti yang sesuai dengan kenyataan dan ditunjang dengan bukti). Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani rahimahullah menyatakan:
“العقيدة الإسلامية هي الإيمان بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وبالقضاء والقدر خيرهما وشرهما من الله تعالى. ومعنى الإيمان هو التصديق الجازم المطابق للواقع عن دليل، لأنه إذا كان التصديق عن غير دليل لا يكون إيماناً. إذ لا يكون تصديقاً جازماً إلا إذا كان ناجماً عن دليل. فإن لم يكن له دليل لا يتأتى فيه الجزم، فيكون تصديقاً فقط لخبر من الأخبار فلا يعتبر إيماناً. وعليه فلابد أن يكون التصديق عن دليل حتى يكون جازماً أي حتى يكون إيماناً. ومن هنا كان لابد من وجود الدليل على كل ما يُطلب الإيمان به حتى يكون التصديق به إيماناً. فوجود الدليل شرط أساسي في وجود الإيمان بغض النظر عن كونه صحيحاً أو فاسداً…”
“‘Aqidah Islaamiyyah adalah iman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, Kitab-kitab SuciNya, Rasul-rasulNya, hari akhir, serta qadla’ dan qadar, baik buruknya dari Allah swt. Makna “al-iman” adalah tashdiiq al-jaazim al-muthaabiq li al-waaqi’ ‘an daliil” (pembenaran yang bersifat pasti, berkesesuaian dengan fakta, dan ditunjang oleh dalil)”. Sebab, jika “tashdiiq” (pembenaran) tidak ditunjang oleh dalil, maka “tashdiiq” seperti ini tidak disebut dengan “iman”. Pasalnya, sebuah pembenaran (tashdiiq) tidak akan menjadi pembenaran yang bersifat pasti (tashdiiq al-jaazim), kecuali muncul dari dalil. Jika sebuah pembenaran tidak memiliki dalil (bukti), maka pembenaran tersebut tidak memiliki kepastian. Pembenaran yang tidak ditunjang oleh dalil hanya akan menjadi pembenaran terhadap suatu khabar dari khabar-khabar yang ada; dan tidak dianggap sebagai iman. Oleh karena itu, sebuah pembenaran (tashdiiq), baru dianggap pembenaran yang bersifat pasti atau iman, jika pembenaran tersebut ditunjang oleh dalil. Atas dasar itu, adanya sebuah dalil yang menunjang setiap perkara yang wajib diimani, sehingga sebuah “tashdiiq” disebut dengan “iman”; merupakan sebuah keharusan. Keberadaan dalil merupakan syarat asasi dalam keimanan, tanpa memandang apakah keimanan itu shahih atau fasid…” [Syaikh Taqiyyuddin An Nabhaniy, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 29. Bandingkan pula dengan Prof. Mahmud Syaltut, Islam; 'Aqidah wa Syari'ah, ed. III, Daar al-Qalam, 1966, hal.56; Fathi Salim, al-Istidlaal bi al-Dhann fi al-‘Aqidah, ed. II, Daar al-Bayaariq, 1414 H/199 M , hal. 22]
Masih menurut Syaikh Taqiyyuddin An Nabhaniy rahimahullah, perkara-perkara ‘aqidah harus ditetapkan berdasarkan dalil qath’iy. Beliau rahimahullah menyatakan:
أما العقيدة فإنها التصديق الجازم المطابق للواقع عن دليل. وما دامت هذه هي حقيقة العقيدة، وهذا هو واقعها، فلابد أن يكون دليلها محدثاً التصديق الجازم. وهذا لا يتأتى مطلقاً إلا إذا كان هذا الدليل نفسه دليلاً مجزوماً به حتى يصلح دليلاً للجزم.
“Adapun ‘aqidah, maka, ‘aqidah adalah pembenaran yang bersifat pasti, sesuai dengan fakta, dan ditunjang oleh dalil. Semampang definisi ini adalah hakekat ‘aqidah dan realitas dari ‘aqidah, maka dalil ‘aqidah harus mengantarkan kepada pembenaran yang bersifat pasti. Hal ini tidak akan tercapai secara mutlak, kecuali jika dalil tersebut adalah dalil pasti sehingga layak menjadi dalil untuk sebuah kepastian”.[ Syaikh Taqiyyuddin An Nabhaniy, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 191].
Di dalam Kitab al-Wajiz fii ‘Aqiidah Ahl al-Sunnah wa al-Jamaa’ah dinyatakan:
وفي الاصطلاح : هي الأمور التي يجب أن يُصَدِّقَ بها القلب ، وتطمئن إِليها النفس ، حتى تكون يقينا ثابتا لا يمازجها ريب ، ولا يخالطها شك .أَي : الإِيمان الجازم الذي لا يتطرَّق إِليه شك لدى معتقده ، ويجب أَن يكون مطابقا للواقع ، لا يقبل شكا ولا ظنا ؛ فإِن لم يصل العلم إِلى درجة اليقين الجازم لا يُسَمى عقيدة. وسمي عقيدة ؛ لأَنَّ الإِنسان يعقد عليه قلبَه .
“Secara istilah, aqidah adalah perkara-perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan menentramkan jiwa, sehingga perkara-perkara tersebut menjadi sebuah keyakinan yang tidak disusupi oleh keraguan dan bercampur dengan persangkaan (al-syakk). Dengan kata lain, ‘aqidah adalah keimanan pasti (al-iiman al-jaazim) yang tidak dihinggapi keraguan pada diri orang yang menyakininya; dan ia harus sesuai dengan kenyataan, tidak mengandung keraguan dan persangkaan. Dan jika sebuah keyakinan tidak mencapai taraf al-iiman al-jaazim (iman yang pasti), maka perkara itu tidak dinamakan dengan aqidah. Disebut ‘aqidah karena, manusia akan mengikatkan hatinya kepada perkara tersebut (aqidah)”. ['Abdullah bin 'Abdul Hamid al-Atsariy, Al-Wajiiz fii 'Aqiidah Salaf al-Shaalih, juz 1, hal. 11-13]
Penjelasan ‘Allamah Taqiyyuddin An Nabhani di atas tidak jauh berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh Imam al-Jurjani di dalam kitab al-Ta’rifaat. Imam al-Jurjani menyatakan:
الإيمان في اللغة: التصديق بالقلب، وفي الشرع: هو الاعتقاد بالقلب والإقرار باللسان. وقيل: من شهد وعمل ولم يعتقد فهو منافق، ومن شهد ولم يعمل واعتقد فهو فاسق، ومن أخل بالشهادة فهو كافر.
“Secara literal, iman adalah tashdiiq al-qalb (pembenaran dalam hati). Sedangkan menurut syariat, iman adalah al-i’tiqaad bi al-qalb wa al-iqraar bi al-lisaan (keyakinan dalam hati dan diucapkan dengan lisan)”. Dinyatakan, “Barangsiapa bersyahadat dan beramal, namun tidak menyakini, maka ia adalah orang munafik; barangsiapa bersyahadat namun tidak mengamalkan dan menyakini, maka ia adalah orang fasik; dan siapa saja tidak bersyahadat maka ia adalah orang kafir”. [Imam al-Jurjaniy, al-Ta'rifaat, juz 1, hal. 12]
Terma lain yang digunakan oleh para ulama untuk menjelaskan pengertian ‘aqidah dan iman adalah ilmu. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kata iman, ‘aqidah, dan ilmu kadang-kadang digunakan dengan makna yang sama. Adapun makna “al-ilmu”, sebagaimana dijelaskan di dalam Kitab al-Ta’riifaat adalah sebagai berikut:
العلم هو الاعتقاد الجازم المطابق للواقع، وقال الحكماء: هو حصول صورة الشيء في العقل، والأول أخص من الثاني، وقيل: العلم هو إدراك الشيء على ما هو به، وقيل: زوال الخفاء من المعلوم، والجهل نقيضه، …..وقيل: العلم: صفة راسخة تدرك بها الكليات والجزئيات….”
“Al-’ilmu adalah i’tiqaad al-jaazim al-muthaabiq li al-waaqi’ (ilmu (keyakinan) adalah keyakinan pasti yang sejalan dengan realitas)” Sedangkan menurut Ahli Hikmah, ilmu adalah sampainya penggambaran sesuatu ke dalam akal. Definisi yang pertama ini lebih khusus dibandingkan yang kedua. Ada pula yang mendefinisikan ilmu dengan memahami hakekat yang terkandung di dalam sesuatu. Ada pula yang mengartikannya dengan hilangnya kesamaran dari sesuatu yang hendak diketahui; dan lawannya adalah al-jahlu (kebodohan)”…Ada pula yang menyatakan bahwa ilmu adalah sifat mendalam yang dengannya bisa dipahami perkara-perkara yang bersifat kulli (integral) dan juz’iy (parsial)”. [Imam al-Jurjaniy, al-Ta'riifaat, juz 1, hal. 49]
Imam al-Baghawiy, di dalam Tafsir al-Baghawiy menyatakan:
وحقيقة الإيمان التصديق بالقلب، قال الله تعالى “وما أنت بمؤمن لنا”( 17-يوسف ) [أي بمصدق لنا] (4) وهو في الشريعة: الاعتقاد بالقلب والإقرار باللسان والعمل بالأركان، فسمي الإقرار والعمل إيمانا؛ لوجه من المناسبة، لأنه من شرائعه.
“Hakekat iman adalah tashdiiq bi al-qalbi (pembenaran di dalam hati). Allah swt berfirman, “Dan sesungguhnya engkau tidak akan percaya kepada kami”.[Yusuf:17], maksudnya adalah mushaddiq lanaa (mempercayai kami). Sedangkan menurut syariat, iman adalah i’tiqaad di dalam hati, diakui dengan lisan, dan amalkan dengan rukun-rukun tertentu. Pengakuan dan amal disebut dengan iman, karena keduanya merupakan bagian dari syariat-syariat yang berhubungan erat dengan iman”. [Imam al-Baghawiy, Tafsir al-Baghawiy, juz 1, hal. 60]
Penjelasan di atas diperkuat oleh pernyataan Imam Nawawi rahimahullah:
وَاتَّفَقَ أَهْل السُّنَّة مِنْ الْمُحَدِّثِينَ وَالْفُقَهَاء وَالْمُتَكَلِّمِينَ عَلَى أَنَّ الْمُؤْمِن الَّذِي يُحْكَمُ بِأَنَّهُ مِنْ أَهْل الْقِبْلَة وَلَا يُخَلَّد فِي النَّار لَا يَكُون إِلَّا مَنْ اِعْتَقَدَ بِقَلْبِهِ دِينَ الْإِسْلَامِ اِعْتِقَادًا جَازِمًا خَالِيًا مِنْ الشُّكُوك ، وَنَطَقَ بِالشَّهَادَتَيْنِ ، فَإِنْ اِقْتَصَرَ عَلَى إِحْدَاهُمَا لَمْ يَكُنْ مِنْ أَهْل الْقِبْلَة أَصْلًا إِلَّا إِذَا عَجَزَ عَنْ النُّطْق لِخَلَلٍ فِي لِسَانه أَوْ لِعَدَمِ التَّمَكُّن مِنْهُ لِمُعَاجَلَةِ الْمَنِيَّةِ أَوْ لِغَيْرِ ذَلِكَ فَإِنَّهُ يَكُون مُؤْمِنًا.
“Ahli Sunnah dari kalangan ahli hadits, para fuqaha, dan ahli kalam, telah sepakat bahwa Mukmin yang ditetapkan termasuk bagian ahlul kiblat dan tidak akan kekal di dalam neraka tidak lain tidak bukan adalah orang yang menyakini dienul Islam di dalam hatinya dengan keyakinan yang pasti tanpa ada keraguan sedikitpun, dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Jika salah satu syarat itu kurang, maka orang itu tidak termasuk ahlul kiblat pada konteks asalnya; kecuali jika ia tidak mampu mengucapkan dua kalimat syahadat karena cacat lisannya, atau karena tidak adanya kemungkinan bagi dirinya untuk mengucapkannya (dua kalimat syahadat) karena keburu meninggal dunia, atau karena sebab lain. Maka dalam kondisi seperti ini orang tersebut termasuk orang Mukmin”. [ Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, jilid I, hal. 49]
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan beberapa point penting berikut ini:
1. ‘Aqidah adalah perkara-perkara yang wajib diimani dan diikatkan di dalam hati, dan dibenarkan secara pasti (tashdiiq al-jaazim), sesuai dengan fakta, dan ditunjang oleh bukti.
2. Sebuah keyakinan tidak absah dikategorikan sebagai bagian dari ‘aqidah Islamiyyah –yang berkonsekuensi kepada iman dan kafir– jika keyakinan tersebut belum mencapai taraf ‘ilmu yaqiin, atau tashdiiq al-jaazim (kepastian atau pembenaran yang bersifat pasti).
2. Sebuah keyakinan tidak absah dikategorikan sebagai bagian dari ‘aqidah Islamiyyah –yang berkonsekuensi kepada iman dan kafir– jika keyakinan tersebut belum mencapai taraf ‘ilmu yaqiin, atau tashdiiq al-jaazim (kepastian atau pembenaran yang bersifat pasti).
ITSBAT ‘AQIDAH (PENETAPAN ‘AQIDAH)
Itsbat ‘aqidah adalah penetapan apakah suatu perkara absah dimasukkan ke dalam ‘aqidah Islaamiyyah atau tidak. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, ‘aqidah atau iman adalah tashdiiq al-jaazim al-mutaabiq lil waaqi’ ‘an daliil (pembenaran pasti yang sesuai dengan fakta dan ditunjang oleh dalil (burhan). Berdasarkan definisi ini, maka, syarat-syarat itsbat ‘aqidah adalah sebagai berikut:
Pertama, perkara tersebut harus ditetapkan oleh dalil yang bersifat pasti (qath’iy), dan tidak mengandung kesamaran sedikitpun. Jika suatu perkara masih mengandung kesamaran, walaupun sisi kebenarannya lebih kuat (dzann), maka perkara seperti ini tidak absah dijadikan sebagai bagian dari ‘aqidah Islaamiyyah.
Kedua, perkara-perkara tersebut berhubungan dengan masalah-masalah keyakinan, bukan perbuatan. Perkara-perkara yang berkaitan dengan perbuatan (al-’amaliyyah) dimasukkan ke dalam persoalan syariat, bukan ‘aqidah.
Ketiga, perkara yang diyakini tersebut sesuai dengan fakta (realitas). Keyakinan yang tidak sejalan dengan fakta, semacam khayalan atau pemikiran-pemikiran yang tidak ada realitasnya atau tidak ada wujudnya dalam realitas, tidak boleh dimasukkan dalam perkara iman atau ‘aqidah yang dituntut oleh syariat. Misalnya, keyakinan bahwa matahari adalah Tuhan yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan, tahayul, khurafat, reinkarnasi, animisme, dinamisme, dan lain sebagainya. Keyakinan seperti ini, walaupun diyakini oleh pemeluknya dengan keyakinan yang pasti, namun, keyakinan seperti ini tidak dianggap bagian dari keimanan/i’tiqad. Sebab, keyakinan-keyakinan seperti itu bertentangan dengan fakta.
Untuk syarat kedua dan ketiga, kami tidak akan merincinya secara lebih mendalam. Sebab, selain sudah diketahui oleh khalayak umum, juga akan memakan tempat yang cukup banyak. Dalam tulisan ini, kita akan membahas syarat pertama secara lebih rinci dan mendalam. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Pertama, karena perkara ‘aqidah meniscayakan adanya pembenaran pasti yang lahir dari sebuah bukti (dalil), maka dalil yang absah dijadikan sebagai dasar untuk itsbat ‘aqidah adalah dalil-dalil yang mampu mengantarkan kepastian (‘ilmu yaqin); yakni dalil yang qath’iy tsubut dan qath’iy dilalahnya. Dalil-dalil syar’iy yang memenuhi kategori ini adalah Al-Quran dan Hadits Mutawatir yang dilalahnya qath’iy. Adapun nash-nash Al-Quran atau hadits mutawatir yang dilalahnya (maknanya) dzanniy, maka dalil seperti ini tidak absah dijadikan dalil untuk membangun perkara ‘aqidah. Demikian juga hadits-hadits ahad shahih, baik qath’iy dilalahnya maupun dzanniy dilalahnya, tidak absah untuk menetapkan perkara-perkara ‘aqidah (itsbat ‘aqidah).
Imam al-Jalil Asy Syathibiy rahimahullah, dalam Kitab Al-Muwaafiqaat , pada saat membahas masalah ushulul fikih, menyatakan:
إن أصول الفقه في الدين قطعية لا ظنية، والدليل على ذلك أنها راجعة إلى كليات الشريعة، وما كان كذلك فهو قطعي….والثاني: أنها لو كانت ظنية لم تكن راجعة إلى أمر عقلي، إذ الظن لا يُقبل في العقليات ولا إلى كلي شرعي لأن الظن إنما يتعلق بالجزئيات؛ إذ لو جاز تعلق الظن بكليات الشريعة لجاز تعلقه بأصل الشريعة لأنه الكلي الأول وذلك غير جائز عادة ….الثالث: أنه لو جاز جعل الظني أصلا في أصول الفقه لجاز جعله أصلا في أصول الدين، وليس كذلك باتفاق، فكذلك هنا لأن نسبة أصول الفقه من الشريعة كنسبة أصول الدين، وإن تفاوتت في المرتبة فقد استوت بأنها كليات معتبرة في كل ملة وهي داخلة في حفظ الدين من الضروريات. … ويقول رحمه الله: والجواب أن الأصل على كل تقدير لا بد أن يكون مقطوعاً به لأنه إن كان مظنوناً تطرق إليه احتمال الإخلاف ومثل هذا لا يُجعل أصلا في الدين عملا بالاستقراء؛ وقال: وقد قال بعضهم لا سبيل إلى إثبات أصول الشريعة بالظن لأنه تشريع ولم نتعبد بالظن إلا في الفروع) (1) الموافقات. الشاطبي. شرح الشيخ عبد الله دراز 1/29-31
“Sesungguhnya, ushul fikih dalam Dienul Islam haruslah qath’iy, tidak boleh dzanniy. Dalil untuk hal ini adalah; bahwa ushul fikih menjadi dasar untuk kulliyat asy-syar’iyyah (kemenyeluruhan syariat). Selama ushul fikih seperti ini, maka ia haruslah qath’iy….Kedua, seandainya ushul fikih boleh dzanniy, niscaya ia tidak bisa menjadi dasar untuk perkara-perkara ‘aqliyyah. Pasalnya, dzanniy tidak diterima dalam perkara-perkara ‘aqliyyah, dan tidak juga dalam perkara-perkara kemenyeluruhan syariat (kulliyat asy syarii’ah). Sebab, dzann hanya berkaitan dengan perkara-perkara parsial (juz’iyyat)….Ketiga, seandainya boleh menjadikan perkara dzanniy sebagai asal (fundamen) dalam ushul fikih, tentunya boleh juga menjadikan perkara dzanniy sebagai asal dalam perkara ushul al-diin. Padahal, hal ini tidak boleh berdasarkan kesepakatan. Selain itu, kedudukan ushul fikih dalam syariat sama persis seperti kedudukan ushuluddin; meskipun berbeda dalam martabat (kedudukan), namun setara dari sisi bahwa ushul fikih adalah kulliyat al-mu’tabarah (kemenyeluruhan yang diakui) pada setiap millah (agama). Dan ia termasuk penjagaan terhadap agama dari darurat-darurat…”[Imam Asy Syathibiy, al-Muwaafiqaat, Syarh Asy Syaikh 'Abdullah Daraaz, juz 1, hal. 29-31]
Berdasarkan penjelasan Imam Asy Syathibiy di atas, dapat disimpulkan bahwa perkara-perkara ushul, baik ushuluddin (‘aqidah) maupun ushulusy syari’ah haruslah qath’iy dan tidak boleh dzanniy. Dalil yang absah dijadikan sandaran baik dalam perkara ushuluddin maupun ushulusy syari’at haruslah dalil-dalil yang menghasilkan kepastian (ilmu yaqin/tashdiiq al-jaazim). Dalil-dalil dzanniy tidak absah dijadikan dalil untuk menetapkan (itsbat) perkara-perkara ushuluddin dan ushulusy syari’ah. Adapun dalil qath’iy yang bisa mengantarkan kepastian adalah dalil yang tsubut dan dilalahnya qath’iy. Dalil yang tsubut dan dilalahnya qath’iy adalah Al-Quran dan hadits mutawatir yang dilalahnya pasti.
Imam As Sarakhsiy dalam Kitab Ushuul al-Sarakhsiy berkata:
ولا خلاف أن أصل الدين كالتوحيد وصفات الله وإثبات النبوة لا يكون إلا بطريق يوجب العلم قطعا ولا يكون فيه شك ولا شبهة، فكذلك فيما يكون من أمر الدين.
“Tidak ada khilaf, bahwa perkara ushuluddin, seperti tauhid, Shifat-shifat Allah, itsbat kenabian, tidak boleh ditetapkan kecuali dengan jalan yang bisa mengantarkan ilmu secara pasti, tidak ada keraguan maupun syubhat. Demikian pula pada perkara-perkara yang menjadi bagian perkara-perkara diin (ushul)”.[Imam As Sarakhsiy, Ushuul al-Sarakhsiy, juz 1, hal.322].
Imam Jamaluddin Al Asnawiy berkata:
وأما بالآحاد فهو باطل لأن رواية الآحاد إن أفادت فإنما تفيد الظن والشارع إنما أجاز الظن في المسائل العملية وهي الفروع دون العلمية كقواعد أصول الدين وكذلك قواعد أصول الفقه …”
“Adapun riwayat-riwayat ahad, maka ia bathil. Pasalnya, riwayat-riwayat ahad, meskipun memiliki faedah, namun ia hanya berfaedah kepada dzann. Asy Syaari’ (Pembuat Hukum) hanya membolehkan dzann dalam perkara-perkara ‘amaliyyah, yakni untuk perkara-perkara furu’, tidak untuk perkara-perkara ilmiyyah, seperti kaedah-kaedah ushuluddin; dan demikian pula kaedah-kaedah ushul fikih..”[Dikutip dari 'Alim al-'Allamah Abu Malik, Adillah al-I'tiqaad, hal.22]
Imam Qurthubiy, pada saat menafsirkan firman Allah swt “[wa maa yattabi' aktsaruhum illa dzanna]; menyatakan:
وقيل: الحق هنا اليقين، أي ليس الظن كاليقين، وفي هذه الآية دليل على أنه لا يكتفى بالظن في العقائد
“Dinyatakan: al-haq di sini adalah yaqin, yakni dzann itu berbeda dengan yaqin. Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa dzann tidak cukup (untuk menetapkan) dalam perkara-perkara ‘aqidah”.[Imam Qurthubiy, Al-Jaami' li Ahkaam al-Quran (Tafsir al-Qurthubiy), juz 8, 343]
Imam ‘Abdurrahman al-Jaziriy, dalam Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzaahib al-Arba’ah menyatakan:
ومن الحسن أن يقال: أن مثل هذه الأحاديث تجزئ في المسائل الفرعية لا في المسائل الاعتقادية، فان العقائد لا تبنى إلا على الأدلة اليقينية، وهذه الأحاديث مهما كانت صحيحة فهي أحاديث آحاد لا تفيد إلا الظن، لان الأحاديث الصحيحة يجب أن يكون لها قيمتها في الإثبات فهي معضدة للبراهين العقلية]
“Baik dinyatakan bahwasanya hadits-hadits seperti ini (hadits tentang Nabi saw tersihir) digolongkan dalam masalah furu’iyyah bukan dalam masalah-masalah i’tiqaadiyyah. Sebab, ‘aqidah tidak boleh ditetapkan kecuali berdasarkan dalil-dalil yang menyakinkan. Dan hadits-hadits seperti ini, walaupun shahih, akan tetapi ia adalah hadits ahad yang tidak berfaedah kecuali dzann belaka…”[Imam 'Abdurrahman al-Jaziriy, Kitab al-Fiqh 'Ala al-Madzaahib al-Arba'ah , juz 5, hal. 391-392]
Imam Taftazaniy, seorang ulama pilihan dari madzhab Syafi’iy, dalam Syarh al-’Aqaaid al-Nasafiyyah, pada saat membicarakan tentang jumlah para Nabi, berkata:
يعني أن خبر الواحد على تقدير اشتماله على جميع الشرائط المذكورة في أصول الفقه لا يفيد إلا الظن، ولا عبرة بالظن في باب الاعتقادات،”
“Yakni, khabar ahad yang telah memenuhi seluruh syarat-syarat yang disebutkan dalam ushul fikih, tidak berfaedah kecuali hanya dzann. Sedangkan dzann sama sekali tidak bernilai dalam (menetapkan) bab ‘aqidah-’aqidah”.[ Imam Taftazaniy, Syarh al-'Aqaaid al-Nasafiyyah, hal.124]
Syaikh Hasan al-’Athaar berkata:
[قال الجلال المحلي "نهى الله عن إتباع غير العلم" .... والنهي للتحريم، فلا يكون واجبا، وقوله "ذم على إتباع الظن يدل على حرمته" أي أن إتباع الظن في العقائد حرام شرعا، لان النهي ورد من الله تبارك وتعالى عن إتباع الظن في العقائد كما سبق وأن وضحت
"Berkata al-Jalaal al-Mahaliy, "Allah melarang dari ittibaa' ghair al-ilm (mengikuti selain ilmu)"…Dan larangan tersebut adalah untuk pengharaman. Atas dasar itu tidak menjadi wajib. Ada pun perkataan beliau, "Celaan mengikuti dzann menunjukkan keharaman mengikuti dzann", yakni, mengikuti dzann dalam masalah 'aqidah adalah haram secara syar'iy. Sebab, larangan mengikuti dzann dalam masalah 'aqidah berasal dari Allah swt sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dan saya telah menjelaskan".[Syaikh Hasan al-'Athaar dalam Syarahnya atas Syarah al-Jalaal al-Mahalliy, juz 2/157]
Imam Zarqaniy dalam Kitab Manaahil al-’Irfaan, berkata:
رابعها: أنّ تلك الروايات مليئةٌ بالإسرائيليات، ومنها كثير من الخرافات التي يقوم الدليل على بطلانها. ومنها ما يتعلق بأمور العقائد التي لا يجوز الأخذ فيها بالظن ولا برواية الآحاد، بل لا بد من دليل قاطع فيها، كالروايات التي تتحدث عن أشراط الساعة، وأهوال القيامة، وأحوال الآخرة، تذكرُ على أنّها اعتقادات في الإسلام. انتهى
“Keempat: riwayat-riwayat itu dipenuhi dengan cerita-cerita Israiliyyat. Sebagian besar di antaranya adalah khurafat-khurafat yang telah tegak dalil yang menunjukkan kebathilannya. Di antara riwayat tersebut ada yang berkaitan dengan perkara-perkara ‘aqidah yang tidak boleh ditetapkan berdasarkan dzann maupun dengan riwayat ahad. Akan tetapi, harus ditegakkan di atas dalil-dalil qath’iy, seperti riwayat-riwayat yang berbicara tentang tanda-tanda kiamat, keadaan kiamat dan akherat; disebutkan bahwa hal-hal tersebut termasuk i’tiqad-i’tiqad di dalam Islam”. [Dikutip dari 'Alim al-'Allamah Abu Malik, Adillah al-I'tiqaad, hal.25]
Syaikh Mahmud Syaltut dalam Kitab Al-Islam: ‘Aqidah wa Syari’ah berkata:
وقد اتفق العلماء على أن الدليل العقلى الذى سلمت مقدمته, و انتهت فى أحكامها إلى الحس أو الضرورة, يفيـد ذلك اليقين و يحقق الإيمان المطلوب. أما الأدلة النقلية فقد ذهب كثير من العلماء إلى أنها لا تفيد اليقين, ولا تحصل الإيمان المطلوب, ولا تثبت بها وحدها عقيدة. قالوا: ذلك لأنها مجال واسع لاحتمالات كثيرة تحول دون هذا الإثبات. والذين ذهبوا إلى أن الدليل النقلى يفيـد اليقين و يثبت العقيدة شروطا فيه أن يكون قطعيا فى وروده, قطعيا فى دلالته. ومعنى كونه قطعيا فى وروده: ألا يكون هناك أى شبهة فى ثبوته عن الرسول صلى الله عليه و سلم, و ذلك إنما يكون فى المتواتر فقط. ومعنى كونه قطعيا فى دلالته أن يكون نصًا محكمًا فى معناه, وذلك إنما يكون فيما لا يحتمل التأويل. فإذا كان الدليل النقلى بهذه المثابة أفاد اليقين و صلح لأن تثبت به العقيدة.
” Para ulama telah sepakat bahwa dalil ‘aqliy yang selamat muqaddimahnya dan penetapan-penetapannya berakhir pada penginderaan atau dlarurah, maka dalil seperti ini menghasilkan keyakinan dan bisa mewujudkan keimanan yang dituntut. Sedangkan dalil naqliy, maka sebagian besar ulama berpendapat bahwa ia tidak menghasilkan keyakinan, dan tidak menghasilkan keimanan yang dituntut, dan tidak bisa menetapkan (itsbat) iman. Mereka menyatakan seperti itu karena dalil naqliy masih membuka ruang yang sangat lebar akan adanya kenisbian-kenisbian yang sangat banyak sehingga tidak bisa digunakan untuk istbat (penetapan) [masalah keyakinan]. Sedangkan ulama-ulama yang berpendapat bahwa dalil naqliy bisa menghasilkan keyakinan dan bisa menetapkan perkara ‘aqidah mensyaratkan harus qath’iy wurud dan dilalahnya. Yang dimaksud dengan qathiy wurud adalah tidak ada kesamaran dalam penetapannya bahwa berita tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah saw; dan ini hanya ada pada riwayat-riwayat mutawatir saja. Adapun yang dimaksud dengan qath’iy dilalah adalah maknanya jelas (muhkam); dan ini hanya ada para riwayat yang tidak membuka ruang adanya penakwilan. Jika dalil naqliy memenuhi syarat ini, maka ia menghasilkan keyakinan dan layak untuk menetapkan (itsbat) ‘aqidah”. [Syaikh Mahmud Syaltut, Al Islaam; 'Aqiidah wa Syarii'ah, ed 3, hal. 56-57]
Dari penjelasan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa suatu perkara baru absah ditetapkan sebagai bagian dari ‘aqidah Islamiyyah jika perkara tersebut ditunjang oleh dalil qath’iy. Yang dimaksud dengan dalil qath’iy di sini adalah dalil yang dari sisi sumbernya dan maknanya tidak mengandung kesamaran; dan yang bisa mewujudkan syarat ini hanyalah al-Quran dan hadits mutawatir yang dilalahnya qath’iy, tidak mengandung kesamaran dan menutup kemungkinan adanya perbedaan dalam hal interpretasi. Sedangkan dalil-dalil lain, selain dalil ini, tidak absah dijadikan dalil untuk mengitsbat perkara-perkara yang membutuhkan ilmu yaqin.
KEDUDUKAN HADITS AHAD DALAM ITSBAT ‘AQIDAH
Apakah hadits ahad bisa dijadikan dalil untuk mengitsbat masalah-masalah ‘aqidah?
Jawabnya; tidak ada keraguan dan syubhat sedikitpun bahwasanya hadits ahad tidaklah absah untuk mengitsbat perkara-perkara ‘aqidah. Pasalnya, hadits ahad tidak menghasilkan kepastian (ilmu yaqin). Hadits ahad hanya menghasilkan dzann belaka. Atas dasar itu, hadits ahad tidak absah dijadikan sebagai dalil untuk mengitsbat perkara-perkara ‘aqidah. Inilah pendapat rajih yang dipegang oleh mayoritas ulama, baik dari kalangan shahabat, tabi’un, dan tabi’ut tabi’iin. Kami tidak akan menukil semua pendapat tersebut, namun, kami hanya akan menukil sebagian pendapat dari kalangan ulama-ulama mu’tabar saja.
Di dalam kitab Mafaatih al-Ghaib, pada saat membahas itsbat apakah tasmiyyah (bismillahirrahmaanirrahim) termasuk bagian dari Al Quran atau tidak, Imam al-Jalil Muhammad Fakhr al-Diin al-Raaziy rahimahullah menyatakan:
المسألة الخامسة : في تقرير أن هذه المسألة ليست من المسائل القطعية ، وزعم القاضي أبو بكر أنها من المسائل القطعية ، قال : والخطأ فيها إن لم يبلغ إلى حد التكفير فلا أقل من التفسيق ، واحتج عليه بأن التسمية لو كانت من القرآن لكان طريق إثباته إما التواتر أو الآحاد والأول باطل ، لأنه لو ثبت بالتواتر كون التسمية من القرآن لحصل العلم الضروري بأنها من القرآن ، ولو كانت كذلك لامتنع وقوع الخلاف فيه بين الأمة . والثاني : أيضاً باطل؛ لأن خبر الواحد لا يفيد إلا الظن ، فلو جعلناه طريقاً إلى إثبات القرآن لخرج القرآن عن كونه حجة يقينية ولصار ذلك ظنياً ، ولو جاز ذلك لجاز ادعاء الروافض في أن القرآن دخله الزيادة والنقصان والتغيير والتحريف ، وذلك يبطل الإسلام .
“Masalah kelima; dalam penetapan bahwa masalah ini bukanlah termasuk masalah qath’iyyah. Abu Bakar al-Baqillaniy berpendapat bahwa tasmiyyah termasuk masalah qath’iyyah. Ia berkata, “Kesalahan di dalamnya jika tidak mencapai batas pengkafiran, maka paling sedikit adalah fasiq. Pendapat beliau ini dibantah; seandainya tasmiyyah (bismillahirrahmaanirrahiim) termasuk bagian al-Quran, maka jalan itsbatnya (jalan penetapannya), bisa saja dengan riwayat mutawatir atau riwayat ahad. Adapun asumsi pertama (ditetapkan berdasarkan riwayat mutawatir) adalah bathil. Sebab, seandainya keberadaan bismillaahirrahmaanirrahiim sebagai bagian dari al-Quran ditetapkan berdasarkan riwayat mutawatir, tentunya hal ini akan menghasilkan ilmu dlaruriy (pembenaran yang bersifat pasti) bahwa tasmiyyah termasuk bagian Al Quran. Selain itu, seandainya hal itu benar, tentunya tidak boleh terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat mengenai masalah ini. Kedua; asumsi kedua ini (ditetapkan berdasarkan riwayat ahad) juga bathil. Sebab, khabar ahad tidak berfaedah apapun kecuali sekedar dhann. Seandainya kita menjadikan hadits ahad sebagai jalan untuk penetapan al-Quran, niscaya lenyaplah keberadaan al-Quran sebagai hujjah yang menyakinkan, dan jadilah ia hujjah yang meragukan. Seandainya hal ini boleh, tentunya, benar juga dakwaan kaum Rawaafidl bahwa al-Quran telah mengalami tambahan, pengurangan, pengubahan, dan penyimpangan. Dan sesungguhnya hal ini telah membatalkan Islam sendiri”. [Imam Fakhruddin al-Raaziy, Mafaatih al-Ghaib, juz 1, hal. 176]
Di dalam Fatawa al-Azhar pada bab al-’Amal bi Ahaadiits al-Ahaad (Beramal dengan Hadits Ahad) disebutkan:
العمل بأحاديث الآحاد:
السؤل: نقرأ فى بعض الكتب عند الاستدلال على بعض الأحكام بحديث نبوى، أن هذا حديث آحاد يفيد القطع ، فما هى أحاديث الآحاد، وما هى منزلتها فى الاستدلال على أحكام الدين ؟ الجواب: أحاديث الآحاد هى التى لم يبلغ رواتها حد التواتر الذى يفيد القطع واليقين ، والحديث المتواتر هو الذى رواه جمع عن جمع يؤمن تواطؤهم على الكذب ، وأحاديث الآحاد أنواع ، منها المشهور الذى رواه ثلاثة فأكثر، والعزيز الذى رواه اثنان ، والغريب الذى رواه واحد فقط . وهى من أقسام الحديث الصحيح ، وهناك الحديث الحسن والحديث الضعيف والحديث الموضوع ، وهناك تقسيمات لهذه الأحاديث فى علم مصطلح الحديث ، ويهمنا الآن الحديث الصحيح بقسميه الآحاد والمتواتر .
يقول علماء الأصول : إن أحاديث الآحاد يجب العمل بها فى الأحكام الشرعية العملية ، باعتبارها فروعا ، ولا يعمل بها فى العقائد باعتبارها أصولا للدين ، وهذا ما يفيده ما نقل عن جمهور الصحابة والتابعين ، وأقوال علماء الفقه والأصول ، ولم يخالف فى ذلك سوى بعض فقهاء أهل الظاهر وأحمد فى رواية عنه .
فأحاديث الآحاد مهما بلغت قوتها كالمشهور منها لا تفيد العلم اليقينى الذى يعتمد عليه فى العقائد، بل تفيد الظن الذى يكفى فى وجوب العمل بها فى الفروع ، جاء ذلك فى كثير من المراجع ، وصرح به النووى فى شرح صحيح مسلم “ج 1 ص 20 ” وجعل منها ما رواه البخارى ومسلم رادًا به على ابن الصلاح الذى قال : إن ما روياه يفيد العلم النظرى .
من هذا يعلم أن أحاديث الآحاد الصحيحة لا تفيد إلا الظن ويجب العمل بها فى الفروع لا فى العقائد، وإفادة الظن أو اليقين فى الأحاديث قد تكون من جهة الرواية، فالمتواتر يفيد اليقين والآحاد لا تفيده ، وقد تكون من جهة الدلالة أى دلالة اللفظ على معناه ، وذلك مشترك بين جميع الأحاديث وبين القرآن الكريم ، فاللفظ إذا لم يحتمل إلا معنى واحدا كان قطعى الدلالة ، وإذا احتمل أكثر من معنى كان ظنى الدلالة، كلفظ العين ، يطلق على العين الباصرة وعلى عين الماء ، وعلى الذهب وعلى الجاسوس . ولفظ الفتنة يطلق على الامتحان وعلى الكفر وعلى العذاب ، وعلى الوقيعة بين الناس ، والشواهد على ذلك كثيرة .
وتفريعا على ذلك لو وقع خلاف فى مسألة فرعية دليلها خبر آحاد وأنكر الإنسان حجية هذا الخبر لا يكون بذلك كافرا أو فاسقا وإلا لحكم بذلك على أئمة الفقه المختلفين فى بعض المسائل ، مع الأخذ فى الاعتبار أن هذا الإنكار له مسوغ شرعى ، فإذا تأيد هذا الخبر وما يدل عليه من حكم بالإجماع عليه صار قويا ، ومن جحده كان مخطئا ، وإن كان لا يحكم عليه بالكفر ” فتاوى معاصرة للشيخ جاد الحق على جاد الحق ص 49 – 60
“Pertanyaan : Kami membaca beberapa kitab tatkala beristidlal dengan hadits Nabawiy untuk menggali sebagian hukum-hukum syariat, di situ dinyatakan bahwasanya hadits tersebut adalah hadits ahad yang menghasilkan keyakinan. Lantas, apa hadits ahad itu; dan bagaimana kedudukannya dalam istidlal hukum-hukum agama? Jawab: Hadits ahad adalah hadits yang perawinya tidak mencapai batas mutawatir yang menghasilkan kepastian dan keyakinan (qath’iy wa yaqiin). Sedangkan hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok rawi dari sekelompok rawi lainnya, yang bisa dipercaya (diyakini) bahwa mereka tidak mungkin berdusta. Hadits ahad itu dibagi menjadi beberapa macam. Diantaranya adalah hadits masyhur, yakni hadits yang diriwayatkan oleh 3 orang atau lebih. Ada pula hadits ‘Aziiz, yakni hadits yang diriwayatkan dua orang; dan ada pula hadits gharib, yakni hadits yang diriwayatkan oleh satu orang. Hadits ini dibagi lagi menjadi hadits shahih, hasan, dla’if, dan hadits maudlu’ (buatan). Dan masih banyak lagi pembagian-pembagian hadits semacam ini di dalam ilmu mushthalah al-hadits. Nah, yang dibahas sekarang adalah hadits shahih yang terklasifikasi dalam hadits ahad dan mutawatir.
‘Ulama ushul berpendapat; sesungguhnya hadits-hadits ahad yang berbicara masalah hukum-hukum syariat amaliyyah wajib untuk diamalkan, dengan asumsi bahwa ia adalah perkara cabang. Akan tetapi, hadits ahad tidak diamalkan dalam perkara-perkara ‘aqidah yang dianggap sebagai ushuluddin. Kesimpulan semacam ini dinukil dari mayoritas para shahabat, tabi’in, sekaligus sebagai pendapat ulama-ulama fiqh dan ushul. Tidak ada satupun ulama yang menyelisihi hal ini (hadits ahad bukanlah hujjah dalam perkara aqidah), kecuali sebagian fuqaha ahli dzahir, dan Imam Ahmad dalam sebuah riwayat yang dituturkan dari beliau. Oleh karena itu, betapapun kuatnya hadits ahad, seperti hadits-hadits masyhur, sesungguhnya ia tidak menghasilkan ilmu al-yaqiin (kepastian) yang bisa dijadikan sandaran (hujjah) untuk membangun perkara-perkara aqidah. Akan tetapi, hadits ahad hanya menghasilkan dhannn yang wajib diamalkan dalam masalah-masalah furu’ (cabang). Pendapat semacam ini banyak disebutkan dalam kitab-kitab rujukan. Imam Nawawiy sudah menjelaskan masalah ini dengan sangat jelas di dalam Syarah Shahih Muslim, juz 1, hal. 20. Penjelasan ini beliau terapkan dalam hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, sebagai bantahan beliau atas pendapat Ibnu Shalah yang menyatakan, bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim menghasilkan keyakinan.
Dari sinilah dapat diketahui bahwa hadits ahad yang shahih tidak menghasilkan apa-apa kecuali hanya sekedar dhannn. Namun, ia wajib untuk diamalkan dalam masalah-masalah furu’, bukan dalam masalah aqidah. Ke-dhannn-an atau ke-yakin-an yang dihasilkan dari hadits, kadang-kadang berasal dari sisi perawinya. Hadits mutawatir menghasilkan keyakinan, sedangkan hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan. Kadang-kadang, kedhannn-an atau ke-yakinan-an suatu hadits berasal dari sisi dilalah lafadznya (makna/penunjukkannya; dan ini bisa saja terjadi pada hadits-hadits maupun al-Quran. Suatu lafadz, jka hanya mengandung satu makna saja, maka ia qath’iy dilalah. Jika suatu lafadz mengandung banyak kemungkinan makna, maka ia menjadi dhannniy dilalah. Seperti halnya lafadz al-’ain yang kadang-kadang bermakna mata, sumber air, emas, dan mata-mata. Lafadz fitnah, kadang-kadang bermakna ujian (imtihan), kekufuran (al-kufr), ‘adzab, dan persengketaan diantara manusia. Bukti-bukti untuk masalah semacam ini (dhannniy dilalah) sangatlah banyak.
Atas dasar itu, jika ada perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’ yang dalilnya adalah khabar ahad (hadits ahad), maka orang yang menolak berhujjah dengan khabar ahad dalam masalah semacam ini, tidak menjadi kafir atau fasiq. Jika tidak seperti ini, tentunya predikat fasik dan kafir akan divoniskan kepada para ulama fikih yang berbeda pendapat satu dengan yang lain dalam berbagai masalah…(Fatawa Ma’aashirah karya Syaikh Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq, hal.49-60)”. [Fatawa al-Azhar, al-'Amal bi Ahaadiits al-Ahad, juz 8, hal. 126].
Di dalam Tafsir Ibnu ‘Arafah disebutkan:
وردّه ابن عرفة : بأن فروع الشريعة عندنا يكفي فيها الظنّ والأمور الاعتقادية لا بد فيها من العلم وهذا أمر اعتقادي.
“Ibnu ‘Arafah membantahnya, “Menurut kami, cabang-cabang syari’ah cukup disangga oleh dalil-dalil dhannn, sedangkan perkara-perkara keyakinan (I’tiqaad) harus didasarkan kepada dalil-dalil yang menyakinkan (al-ilmu). Dan ini termasuk perkara ‘aqidah..”. Beliau juga menyatakan:
لأن المطلوب في الإيمان العلم اليقين ولا ( يجزئ ) فيه الظنّ بوجه .
"..Sebab, yang dituntut dari keimanan adalah keyakinan pasti (al-’ilm al-yaqiin), dan tidak boleh dhannn”. [Ibnu 'Arafah, Tafsiir Ibnu 'Arafah, juz 1, hal. 116 dan 189]
Imam Bazdawiy menyatakan:
(وَهَذَا) أَيْ خَبَرُ الْوَاحِدِ يُوجِبُ الْعَمَلَ، وَلا يُوجِبُ الْعِلْمَ يَقِينًا أَيْ لا يُوجِبُ عِلْمَ يَقِينٍ، وَلا عِلْمَ طُمَأْنِينَةٍ، وَهُوَ مَذْهَبُ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ وَجُمْلَةِ الْفُقَهَاءِ.
“(Ini), maksudnya: khabar ahad wajib diamalkan tetapi tidak menghasilkan kepastian secara menyakinkan, atau ia tidak menghasilkan ilmu yaqin maupun ‘ilmu tuma’ninah. Ini adalah pendapat mayoritas ahli ilmu dan sebagian besar fukaha”. [Imam al-Bazdawiy, Ushul Fakhr al-Islaam, bab Aqsaam al-Sunnah]
‘Aalim al-’Allamah ‘Abdul ‘Aziz al-Bukhari dalam Kasyf al-Asraar , pada saat membantah orang yang berpendapat bahwa khabar ahad yang berbicara tentang ketetapan akherat, seperti ru’yatullah, siksa kubur, dan lain sebagainya menghasilkan ilmu yaqin, beliau berkata:
وَأَمَّا دَعْوَى عِلْمِ الْيَقِينِ بِهِ فَبَاطِلٌ بِلا شُبْهَةٍ لأَنَّ الْعِيَانَ يَرُدُّهُ مِنْ قِبَلِ أَنَّا قَدْ بَيَّنَّا أَنَّ الْمَشْهُورَ لا يُوجِبُ عِلْمَ الْيَقِينِ فَهَذَا أَوْلَى؛ وَهَذَا لأَنَّ خَبَرَ الْوَاحِدِ مُحْتَمَلٌ لا مَحَالَةَ، وَلا يَقِينَ مَعَ الاحْتِمَالِ، وَمَنْ أَنْكَرَ هَذَا فَقَدْ سَفَّهُ نَفْسَهُ، وَأَضَلَّ عَقْلَهُ.
“Adapun klaim (hadits masyhur) menghasilkan ilmu yaqin, sesungguhnya, tanpa ada kesamaran lagi, klaim ini adalah bathil. Sebab, orang pasti akan menolaknya. Kami telah menjelaskan bahwa khabar masyhur tidak menghasilkan ilmu yaqin, dan inilah yang lebih utama. Pasalnya, khabar ahad masih mengandung kemungkinan. Dan tidak ada keyakinan jika masih mengandung kemungkinan. Siapa saja mengingkari ketentuan ini, maka ia telah merendahkan dirinya sendiri dan sesat akalnya”.['Abdul 'Aziz al-Bukhari, Kasyf al-Asraar, bab Khabar al-Ahad, juz 4/387]
Al-Hafidz Ibnu ‘Abd al-Barr dalam Kitab al-Tamhiid, menyatakan:
واختلف أصحابنا وغيرهم في خبر الواحد العدل هل يوجب العلم والعمل جميعا، أم يوجب العمل دون العلم؟ والذي عليه كثر أهل العلم منهم – أي المالكية – أنه يوجب العمل دون العلم، وهو قول الشافعي وجمهور أهل الفقه والنظر ولا يوجب العلم عندهم إلا ما شهد به على الله وقطع العذر بمجيئه قطعا ولا خلاف فيه
“Para ulama madzhab kami dan ulama-ulama lain berbeda pendapat mengenai khabar ahad yang adil (shahih), apakah ia wajib diyakini dan diamalkan secara bersamaan, atau hanya wajib diamalkan namun tidak wajib diyakini? Pendapat yang dipegang oleh ahli ilmu, diantaranya adalah ulama-ulama madzhab Maliki, adalah hadits ahad wajib diamalkan, tetapi tidak menghasilkan keyakinan. Ini juga merupakan pendapat Imam Asy Syafi’i dan mayoritas ahli fikih dan tahqiq. Hadits ahad tidak menghasilkan ilmu kecuali yang disaksikan Allah swt, telah lenyap halangan (kesamaran) secara pasti, dan tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya”. [Al-Hafidz Ibnu 'Abdil Baar, al-Tamhiid, juz 1/7]
Syaikh al-Muhadditsiin di masanya, al-Khathib al-Baghdadiy dalam Kitab Al-Kifaayah fi ‘Ilm al-Riwaayah, hal. 432, berkata:
” باب ذكر ما يقبل فيه خبر الواحد وما لا يقبل فيه : خبر الواحد لا يقبل في شئ من أبواب الدين المأخوذ على المكلفين العلم بها والقطع عليها، والعلة في ذلك أنه إذا لم يعلم أن الخبر قول رسول الله صلى الله عليه وسلم كان أبعد من العلم بمضمونه فأما ما عدا ذلك من الاحكام التي لم يوجب علينا العلم بأن النبي صلى الله عليه وسلم قررها وأخبر عن الله عزوجل بها فإن خبر الواحد فيها مقبول والعمل واجب”.
“Bab Apa Yang Bisa Diterima dan Tidak Bisa Diterima dari Hadits Ahad: Hadits ahad tidak diterima sedikitpun (itsbat) pada urusan-urusan agama yang harus diambil oleh para mukallaf secara pasti dan qath’iy. Alasan untuk hal itu adalah, sesungguhnya jika tidak bisa dipastikan bahwa sebuah khabar adalah sabda Rasulullah saw, maka khabar itu telah terjauh dari kepastiannya. Adapun ketentuan-ketentuan lain yang tidak mengharuskan adanya kepastian (ilmu) bagi kita, karena Nabi saw telah menetapkan ketentuan-ketentuan tersebut dan telah mengabarkan ketentuan-ketentuan itu dari Allah swt; maka khabar ahad dalam masalah seperti itu bisa diterima dan wajib diamalkan”.[Al-Khathib al-Baghdadiy, Al-Kifaayah fi 'Ilm al-Riwaayah, hal.432] Beliau juga menyatakan pendiriannya terhadap hadits ahad dalam Kitab Al-Kifaayah, hal. 25, pada bab Dzikr Syubhah Man Za’ama Anna Khabar al-Waahid Yuujib al-’Ilm wa Ibthaaluha (Syubhat Orang Yang Berpendapat Bahwa Khabar Ahad Menghasilkan Ilmu, dan Kebathilan Pendapat Tersebut]
Imam Al-Baihaqiy dalam Kitab Al-Asmaa’ wa al-Shifaat, hal. 357 berkata:
ولهذا الوجه من الاحتمال، ترك أهل النظر من أصحابنا الاحتجاج بأخبار الآحاد في صفات الله تعالى، إذا لم يكن لما انفرد منها أصل في الكتاب أو الاجماع واشتغلوا بتأويله
“Dikarenakan adanya kemungkinan tersebut, maka para ahlu al-nadhr dari kalangan madzhab kami telah meninggalkan berhujjah dengan hadits-hadits ahad yang berbicara tentang Shifat-shifat Allah swt. Jika hal tersebut tidak ada asalnya dalam Al-Quran dan Ijma’, mereka sibuk mentakwilnya”. [Imam Al-Baihaqiy, Al-Asmaa' wa al-Shifaat, hal. 357]
Di dalam Kitab Ushuul al-Sarakhsiy, pada bab al-Kalaam fi Qabuul Akhbaar al-Ahad wa al-’Amal bihaa (Bab Menerima Hadits Ahad dan Beramal dengan Hadits Ahad) dinyatakan:
قال فقهاء الامصار رحمهم الله: خبر الواحد العدل حجة للعمل به في أمر الدين ولا يثبت به علم اليقين. وقال بعض من لا يعتد بقوله: خبر الواحد لا يكون حجة في الدين أصلا. وقال بعض أهل الحديث: يثبت بخبر الواحد علم اليقين، منهم من اعتبر فيه عدد الشهادة ليكون حجة، ومنهم من اعتبر أقصى عدد الشهادة وهو الاربعة.
“Para fukaha amshar berpendapat bahwa khabar al-ahad (hadits ahad) yang adil adalah hujjah yang harus diamalkan dalam urusan agama, dan ia tidak mengitsbatkan ilmu dan yakin (menetapkan ilmu dan keyakinan)[1]. Ada sebagian orang yang pendapatnya tidak perlu diperhitungkan, menyatakan, “Menurut asalnya, khabar ahad tidak bisa dijadikan hujjah dalam urusan agama. Sebagian ahli hadits berpendapat bahwa, hadits ahad mengitsbatkan ilmu yaqin. Hanya saja diantara mereka mensyaratkan jumlah kesaksian agar ia layak dijadikan hujjah, dan ada pula yang mensyaratkan dengan jumlah maksimal kesaksian, yakni 4 orang saksi……”[Imam al-Sarakhsiy, Ushuul al-Sarakhsiy, juz 1/321]
Setelah membantah pendapat yang menyatakan bahwa hadits ahad tidak layak dijadikan hujjah dalam urusan agama, Imam Sarakhsiy menyatakan:
وأما من قال بأن خبر الواحد يوجب العلم فقد استدل بما روي أن النبي عليه السلام قال لمعاذ حين وجهه إلى اليمن: ثم أعلمهم أن الله تعالى فرض عليهم صدقة في أموالهم ومراده الاعلام بالاخبار، وأما إذا لم يكن خبر الواحد موجبا للعلم للسامع لا يكون ذلك إعلاما، ولان العمل يجب بخبر الواحد ولا يجب العمل إلا بعلم، قال تعالى: * (ولا تقف ما ليس لك بهعلم) * ولان الله تعالى قال في نبأ الفاسق: * (أن تصيبوا قوما بجهالة) * وضد الجهالة العلم وضد الفسق العدالة، ففي هذا بيان أن العلم إنما لا يقع بخبر الفاسق وأنه يثبت بخبر العدل.ثم قد يثبت بالآحاد من الاخبار ما يكون الحكم فيه العلم فقط نحو عذاب القبر، وسؤال منكر ونكير، ورؤية الله تعالى بالابصار في الآخرة، فبهذا ونحوه يتبين أن خبر الواحد موجب للعلم.
“Adapun orang yang berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan keyakinan, mereka berhujjah dengan sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Nabi saw berkata kepada Mu’adz tatkala beliau saw mengutusnya ke Yaman, “Lalu, beritahulah mereka bahwa Allah swt telah mewajibkan zakat atas harta benda mereka”. Maksud hadits ini adalah pemberitahuan terhadap suatu informasi (khabar). Seandainya khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan (ilmu) bagi pendengarnya, maka penyampaian itu tidak disebut pemberitahuan. Sebab, amal tersebut diwajibkan dengan hadits ahad, dan amal itu tidak diwajibkan kecuali dengan keyakinan (ilmu). Pasalnya, Allah swt berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”.[TQS Al Israa` (17):36). Selain itu, Allah swt juga berfirman mengenai beritanya orang fasik, "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu".[TQS Al Hujurat (49):6]. Lawan “tidak tahu” (al-juhalah) adalah al-’ilm (tahu); sedangkan lawan fasik adalah adil. Ini menjelaskan bahwa al-’ilm (keyakinan) tidak dihasilkan oleh berita fasik. Ilmu hanya ditetapkan berdasarkan berita yang adil. Selain itu, telah ditetapkan berdasarkan hadits-hadits ahad, berita-berita yang telah diyakini kebenarannya, misalnya, siksa kubur, pertanyaan Malaikat Mungkar dan Nakir, serta melihat Allah kelak di hari kiamat. Semua ini menunjukkan bahwa khabar ahad menghasilkan keyakinan”. [Imam Al-Sarakhsiy, Ushuul al-Sarakhsiy, juz 1/329]
Selanjutnya, Imam Sarakhsiy membantah argumen di atas dengan menyatakan:
هذا القائل كأنه خفي عليه الفرق بين سكون النفس وطمأنينة القلب وبين علم اليقين، فإن بقاء احتمال الكذب في خبر غير المعصوم معاين لا يمكن إنكاره ومع الشبهة والاحتمال لا يثبت اليقين وإنما يثبت سكون النفس وطمأنينة القلب بترجح جانب الصدق ببعض الاسباب، وقد بينا فيما سبق أن علم اليقين لا يثبت بالمشهور من الاخبار بهذا المعنى فكيف يثبت بخبر الواحد وطمأنينة القلب نوع علم من حيث الظاهر فهو المراد بقوله: (ثم أعلمهم) ويجوز العمل باعتباره كما يجوز العمل بمثله في باب القبلة عند الاشتباه، وينتفي باعتبار مطلق الجهالة لانه يترجح جانب الصدق بظهور العدالة، بخلاف خبر الفاسق فإنه يتحقق فيه المعارضة من غير أن يترجح أحد الجانبين..”
“Oang yang menyatakan pendapat itu, tidak bisa membedakan antara ketenangan jiwa dan ketentraman hati dengan ilmu yakin (keyakinan pasti). Sesungguhnya, selama masih ada kemungkinan dusta pada sebuah berita yang tidak terjaga, maka berita itu (berita orang yang adil) tidak mungkin diingkari, meskipun di dalamnya ada keraguan (syubhat). Sedangkan ihtimal (kemungkinan) tidak bisa menetapkan keyakinan. Ihtimaal hanya bisa menetapkan ketentraman dan ketenangan hati karena adanya sisi kebenaran yang lebih menonjol. Pada penjelasan sebelumnya kami telah menjelaskan bahwa hadits masyhur tidak bisa menetapkan keyakinan pasti (ilmu yaqiin), apa lagi khabar ahad. Ketenangan dan ketentraman hati termasuk jenis keyakinan jika ditinjau dari sisi dzahirnya, dan inilah maksud sabda Nabi saw, “Lalu, beritahulah mereka”. Atas dasar itu, seseorang boleh beramal dengan anggapannya, sebagaimana bolehnya beramal pada kasus menghadap kiblat di saat ada keraguan[2]. Sedangkan ketidaktahuannya telah dieleminasi karena sisi kebenaran berita itu lebih kuat, disebabkan karena hadirnya keadilan perawi. Ini berbeda dengan beritanya orang fasik. Berita orang fasik masih mengandung kontradiksi yang salah satu sisinya tidak bisa dikuatkan[3]“. [Imam Al-Sarakhsiy, Ushuul al-Sarakhsiy, juz 1/329]
Terhadap hadits-hadits yang berbicara tentang ketetapan akherat, seperti siksa kubur, rukyatullah, al-haudl, dan lain sebagainya, Imam Al-Sarakhsiy menyatakan:
فأما الآثار المروية في عذاب القبر ونحوها فبعضها مشهورة وبعضها آحاد وهي توجب عقد القلب عليه، والابتلاء بعقد القلب على الشئ بمنزلة الابتلاء بالعمل به أو أهم، فإن ذلك ليس من ضرورات العلم، قال تعالى: * (وجحدوا بها واستيقنتها أنفسهم) * وقال تعالى: * (يعرفونه كما يعرفون أبناءهم) * فتبين أنهم تركوا عقد القلب على ثبوته بعد العلم به، وفي هذا بيان أن هذه الآثار لا تنفك عن معنى وجوب العمل بها.
“Adapun riwayat-riwayat (atsar) yang menuturkan tentang siksa kubur dan lain sebagainya; sesungguhnya sebagian riwayat itu ada yang masyhur dan sebagian lagi riwayat ahad. Dan sesungguhnya, riwayat-riwayat ini telah mengharuskan hati untuk mengikatkan dirinya pada perkara-perkara tersebut. Sedangkan pengetahuan mengenai wajibnya hati mengikatkan diri kepada suatu perkara, kedudukannya sama dengan pengetahuan terhadap suatu amal atau sesuatu yang lebih penting. Hanya saja, semua ini tidak muncul dari ilmu dlaruriy (ilmu kepastian). Pasalnya, Allah swt berfirman, “Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan”.[TQS An Naml (27):14]. Allah swt juga berfirman, “Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui”.[TQS Al Baqarah (2):146]. Ayat di atas menjelaskan bahwa, mereka (orang-orang kafir) meninggalkan keyakinan hati yang telah terbukti kebenarannya, sesudah ada pengetahuan terhadapnya. Semua ini menunjukkan bahwa, atsar-atsar (riwayat-riwayat) tersebut tidak terlepas dari makna “wajibnya mengamalkan hadits-hadits tersebut”.[4]
Kesimpulan; berdasarkan uraian di atas jelaslah sudah bahwa hadits ahad tidak absah dijadikan hujjah untuk mengitsbat perkara-perkara ‘aqidah. Pasalnya, hadits ahad hanya berfaedah kepada dzann belaka, dan sama sekali tidak berfaedah kepada ilmu yaqin. Bagaimana bisa dinyatakan bahwa hadits ahad bisa mengitsbat perkara ‘aqidah yang mengharuskan adanya ilmu yaqin, sedangkan hadits ahad tidak menghasilkan ilmu yaqin (kepastian)? Inilah pendapat benar yang dipegang oleh mayoritas ulama dari kalangan shahabat, tabi’un, dan tabi’ut tabi’iin dari hampir seluruh disiplin ilmu.
Sebagian orang menyatakan,”Jika hadits ahad tidak boleh (haram) dijadikan dalil untuk menetapkan perkara ‘aqidah, tentunya hal ini akan berakibat ditolaknya khabar-khabar ahad yang berbicara tentang masalah-masalah keyakinan; dan juga akan menelantarkan ribuan hadits ahad?
Jawab atas pernyataan tersebut adalah, “Hadits-hadits ahad shahih, baik yang berbicara tentang keyakinan maupun amal, wajib untuk diterima, dan tidak boleh ditolak. Hanya saja, masalah-masalah “keyakinan” yang dijelaskan dalam hadits-hadits ahad harus dibenarkan (dzann), karena sisi kebenarannya lebih kuat dibandingkan sisi kesalahannya. Hanya saja, perkara-perkara keyakinan yang terkandung di dalam hadits-hadits ahad (dalil dzanniy) tersebut tidak boleh ditetapkan sebagai bagian dari ‘aqidah Islamiyyah. Pasalnya, suatu perkara barulah absah ditetapkan sebagai bagian dari ‘aqidah Islamiyyah, jika perkara tersebut ditetapkan oleh dalil-dalil qath’iy, baik tsubut maupun dilalahnya (sebagaimana telah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya)”.
Perhatikan penjelasan Al-Hafidz As Suyuthiy Asy Syafi’iy rahimahullah dalam Kitab Al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran:
لا خلاف أن كل ما هو من القرآن يجب أن يكون متواترا في أصله وأجزائه وأما في محله ووضعه وترتيبه، فكذلك عند محققي أهل السنة للقطع بأن العادة تقضي بالتواتر في تفاصيل مثله لأن هذا المعجز العظيم الذي هو أصل الدين القويم والصراط المستقيم مما تتوفر الدواعي على نقل جمله وتفاصيله. فما نقل آحادا ولم يتواتر يقطع بأنه ليس من القرآن قطعا .
“Tidak ada perbedaan pendapat, bahwa semua bagian dari al-Quran harus (wajib) mutawatir, baik dari sisi pokoknya, bagian-bagiannya, tempatnya, topiknya dan urut-urutannya. Kalangan pentahqiq ahlu sunnah juga berpendapat bahwa al-Quran harus diriwayatkan secara qath’iy (mutawatir). Sebab, biasanya sesuatu yang menghasilkan kepastian harus mutawatir. Sebab, al-Quran adalah mukjizat agung yang menjadi pokok agama yang lurus (ashl al-diin al-qawiim). Ia juga sebagai shirath al-mustaqim (jalan yang lurus), baik pada aspek global, maupun terperincinya. Adapun, riwayat yang diriwayatkan secara ahad dan tidak mutawatir , maka secara qath’iy ia bukan merupakan bagian dari al-Quran. Sebagian besar kalangan ushuliyyin berpendapat bahwa mutawatir merupakan syarat penetapan apakah riwayat tersebut termasuk al-Quran.“[ Al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, juz I, ed. III, 1951, Daar al-Fikr, hal.79].
Demikianlah, anda telah kami jelaskan secara jernih dan mendalam kedudukan hadits ahad dalam itsbat 'aqidah Islaamiyyah. Kesimpulannya, berdasarkan penjelasan para ulama mu'tabar dapatlah disimpulkan bahwasanya hadits ahad shahih tidak boleh dijadikan dalil untuk mengitsbat perkara-perkara 'aqidah. Pasalnya, hadits ahad tidak berfaedah apapun kecuali sekedar dzann belaka. Sedangkan dzann tidak absah digunakan untuk mengitsbat perkara-perkara yang membutuhkan ilmu yaqin. Inilah pendapat rajih yang dipegang oleh mayoritas ulama dari kalangan shahabat, tabi'un, dan tabi'ut tabi'iin, dari berbagai disiplin ilmu.
Perhatikan penjelasan sharih, Imam An Nawawiy dalam Muqaddimah Syarah Shahih Muslim:
وَأَمَّا خَبَر الْوَاحِد : فَهُوَ مَا لَمْ يُوجَد فِيهِ شُرُوطُ الْمُتَوَاتِرِ سَوَاء كَانَ الرَّاوِي لَهُ وَاحِدًا أَوْ أَكْثَرَ . وَاخْتُلِفَ فِي حُكْمِهِ ؛ فَاَلَّذِي عَلَيْهِ جَمَاهِير الْمُسْلِمِينَ مِنْ الصَّحَابَة وَالتَّابِعِينَ ، فَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ الْمُحَدِّثِينَ وَالْفُقَهَاءِ وَأَصْحَابِ الْأُصُولِ : أَنَّ خَبَر الْوَاحِد الثِّقَةِ حُجَّةٌ مِنْ حُجَجِ الشَّرْعِ يَلْزَمُ الْعَمَلُ بِهَا ، وَيُفِيدُ الظَّنَّ وَلَا يُفِيدُ الْعِلْمَ ، وَأَنَّ وُجُوب الْعَمَل بِهِ عَرَفْنَاهُ بِالشَّرْعِ لَا بِالْعَقْلِ... وَذَهَبَ بَعْضُ الْمُحَدِّثِينَ إِلَى أَنَّ الْآحَادَ الَّتِي فِي صَحِيح الْبُخَارِيّ أَوْ صَحِيح مُسْلِم تُفِيدُ الْعِلْمَ دُونَ غَيْرِهَا مِنْ الْآحَاد . وَقَدْ قَدَّمْنَا هَذَا الْقَوْل وَإِبْطَاله فِي الْفُصُول وَهَذِهِ الْأَقَاوِيل كُلّهَا سِوَى قَوْلِ الْجُمْهُور بَاطِلَةٌ ، وَإِبْطَالُ مَنْ قَالَ لَا حُجَّةَ فِيهِ ظَاهِرٌ ْ .. وَأَمَّا مَنْ قَالَ يُوجِبُ الْعِلْمَ : فَهُوَ مُكَابِرٌ لِلْحَسَنِ . وَكَيْفَ يَحْصُلُ الْعِلْمُ وَاحْتِمَالُ الْغَلَطِ وَالْوَهْمِ وَالْكَذِبِ وَغَيْرِ ذَلِكَ ، مُتَطَرِّقٌ إِلَيْهِ ؟ وَاَللَّه أَعْلَمُ .
"Adapun khabar ahad, ia adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir, sama saja apakah karena perawinya satu atau lebih. Masih diperselisihkan hukum hadits ahad. Pendapat yang dipegang oleh mayoritas kaum Muslim dari kalangan shahabat dan tabi'iin, dan kalangan ahli hadits, fukaha, dan ulama ushul yang datang setelah para shahabat dan tabi'un adalah: khabar ahad (hadits ahad) yang tsiqqah adalah hujjah syar'iy yang wajib diamalkan, dan khabar ahad hanya menghasilkan dzann, tidak menghasilkan ilmu (keyakinan). Wajibnya mengamalkan hadits ahad, kita ketahui berdasarkan syariat, bukan karena akal....Sebagian ahli hadits berpendapat bahwa hadits-hadits ahad yang terdapat di dalam Shahih Bukhari dan Muslim menghasilkan ilmu (keyakinan), berbeda dengan hadits-hadits ahad lainnya. Pada penjelasan sebelumnya kami telah menjelaskan kesalahan pendapat ini secara rinci. Semua pendapat selain pendapat jumhur adalah bathil. Kebathilan orang yang berpendapat tanpa hujjah dalam masalah ini telah tampak jelas....Adapun orang yang berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan keyakinan, sesungguhnya orang itu terlalu berbaik sangka. Bagaimana bisa dinyatakan hadits ahad menghasilkan keyakinan (ilmu), sedangkan hadits ahad masih mungkin mengandung ghalath, wahm, dan kadzb? Wallahu a'lam bish shawab". [Imam An Nawawiy, Syarah Shahih Muslim]
Inilah penjelasan Imam al-Jalil al-Nawawiy, seorang ulama pilihan dari madzhab Asy Syafi’iy. Setelah penjelasan ini, terungkap sudah, mana yang berjalan di atas jalan lurus dan rajih, dan mana yang menebar kedustaan dan fitnah.
[1] Maksudnya hadits ahad tidak bisa digunakan hujjah untuk menetapkan perkara-perkara yang membutuhkan keyakinan dan ilmu. Hadits ahad yang adil wajib diamalkan dalam perkara-perkara syariat, bukan dalam perkara aqidah.
[2] Yg dimaksud dengan ketenangan dan ketentraman hati adalah prasangka kuat yang bisa menumbuhkan perasaan tenang dan tentram di dalam hati, karena sisi kebenaran yang dikandung oleh suatu berita lebih kuat dibandingkan kedustaannya. Prasangka kuat ini muncul karena hadirnya keadilan orang yang membawa berita tersebut. Keadaan ini sama persis dengan kasus menghadap kiblat ketika seorang musholliy ragu-ragu tentang arah kiblat. Ia boleh menghadap ke arah yang dianggapnya lebih benar, dan menentramkan hatinya; walaupun ia sendiri tidak bisa memastikan kebenaran arah kiblat yang dipilihnya. Sesungguhnya, khabar ahad jika telanjur diyakini, sesungguhnya keyakinan ini muncul dari ketenangan dan ketentraman hati, bukan muncul dari ilmu yakin (keyakinan yang pasti). Atas dasar itu, khabar ahad tidak bisa menghasilkan ilmu yakin (keyakinan hati). Akan tetapi, ia bisa menetapkan dan menghasilkan ketenangan dan ketentraman hati.
[3] Berita yang disampaikan oleh orang fasik mengandung dua sisi yang saling kontradiksi, benar atau dusta. Hanya saja, salah satu sisi itu tidak bisa dikuatkan salah satunya, apakah sisi dustanya ataukah sisi benarnya yang lebih kuat. Akibatnya, seseorang tidak bisa memilih mana yang lebih kuat, dustanya atau kebenarannya. Atas dasar itu, berita orang fasik tidak bisa menghadirkan ketenangan dan ketentraman hati karena kefasikan orang yang membawa berita itu.
[4] Imam Sarakhsiy, Ushuul al-Sarakhsiy, juz 1, hal. 329-330. Dari keterangan beliau ini dapat disimpulkan bahwa riwayat-riwayat yang bertutur tentang ketetapan akherat, seperti siksa kubur, melihat Allah, dan lain sebagainya adalah hadits ahad, dan tidak menghasilkan ilmu dlaruriy. Apabila menyakini dan qana’ah dengan riwayat-riwayat itu, sesungguhnya semua ini tidak muncul dari ilmu dlaruriy, akan tetapi muncul dari ketenangan dan ketentraman hati karena riwayat-riwayat itu dituturkan oleh perawi adil. Hanya saja, menurut Imam Sarakhsiy, aqidah harus disangga oleh dalil-dalil yang menghasilkan ilmu dlaruriy, tidak cukup dengan dalil-dalil masyhur yang hanya menghasilkan ketentraman hati (‘ilmu tuma’ninah).
SIKAP SEORANG MUSLIM TERHADAP HADITS AHAD SHAHIH
Berdasarkan pendapat-pendapat ulama mu’tabar tentang hadits ahad, maka, sikap seorang Muslim terhadap khabar ahad shahih adalah sebagai berikut:
Pertama, seorang Muslim wajib menerima hadits ahad yang telah terbukti keshahihannya –baik dari sisi sanad maupun matannya. Seorang Muslim diharamkan menolak hadits-hadits ahad shahih, baik yang berbicara tentang amal maupun keyakinan.
Kedua, hadits ahad shahih wajib untuk diamalkan (wujubul ‘amal), dan absah dijadikan hujjah untuk perkara-perkara ‘amaliyyah.
Ketiga, hadits ahad shahih yang berbicara tentang keyakinan, cukuplah dibenarkan (dzann) karena sisi kebenarannya lebih kuat dibandingkan sisi kesalahannya. Hanya saja, hadits ahad shahih tidak boleh (haram) dijadikan hujjah untuk mengitsbat perkara-perkara ‘aqidah. Pasalnya, hadits ahad shahih hanya menghasilkan dzann belaka, sedangkan perkara ‘aqidah tidak boleh (haram) ditetapkan oleh dalil-dalil dzann, semacam hadits ahad shahih.
Keempat, seorang Muslim dilarang menyematkan predikat kafir kepada orang-orang yang menolak berhujjah dengan dalil-dalil dzanniy (semacam hadits-hadits ahad, serta dalil-dalil yang dianggapnya dzanniy).[1] Perhatikan penjelasan yang sangat terang benderang dari ‘Aalim al-’Allamah Syaikh Ibnu Daqiiq al-’Iid rahimahullah:
أَمَّا مَنْ قَالَ: إنَّ دَلِيلَ الإِجْمَاعِ ظَنِّيٌّ، فَلا سَبِيلَ إلَى تَكْفِيرِ مُخَالِفِهِ كَسَائِرِ الظَّنِّيَّاتِ ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ: إنَّ دَلِيلَهُ قَطْعِيٌّ، فَالْحُكْمُ الْمُخَالِفُ فِيهِ إمَّا أَنْ يَكُونَ طَرِيقُ إثْبَاتِهِ قَطْعِيًّا أَوْ ظَنِّيًّا. فَإِنْ كَانَ ظَنِّيًّا، فَلا سَبِيلَ إلَى التَّكْفِيرِ، وَإِنْ كَانَ قَطْعِيًّا، فَقَدْ اخْتَلَفُوا فِيهِ وَلا يُتَوَجَّهُ الْخِلافُ فِيمَا تَوَاتَرَ مِنْ ذَلِكَ عَنْ صَاحِبِ الشَّرْعِ بِالنَّقْلِ، فَإِنَّهُ يَكُونُ تَكْذِيبًا مُوجِبًا لِلْكُفْرِ بِالضَّرُورَةِ، وَإِنَّمَا يُتَوَجَّهُ الْخِلافُ فِيمَا حَصَلَ فِيهِ الإِجْمَاعُ بِطَرِيقٍ قَطْعِيٍّ، أَعْنِي أَنَّهُ ثَبَتَ وُجُودُ الإِجْمَاعِ بِهِ إذَا لَمْ يَنْقُلْ أَهْلُ الإِجْمَاعِ الْحُكْمَ بِالتَّوَاتُرِ عَنْ صَاحِبِ الشَّرْعِ، فَتَلَخَّصَ أَنَّ الإِجْمَاعَ تَارَةً يَصْحَبُهُ التَّوَاتُرُ بِالنَّقْلِ عَنْ صَاحِبِ الشَّرْعِ وَتَارَةً لا. فَالأَوَّلُ لا يُخْتَلَفُ فِي تَكْفِيرِهِ، وَالثَّانِي قَدْ يُخْتَلَفُ فِيهِ. فَلا يُشْتَرَطُ فِي النَّقْلِ عَنْ صَاحِبِ الشَّرْعِ لَفْظٌ مُعَيَّنٌ، بَلْ قَدْ يَكُونُ ذَلِكَ مَعْلُومًا بِالْقَطْعِ بِأُمُورٍ خَارِجَةٍ عَنْ الْحَصْرِ، كَوُجُوبِ الأَرْكَانِ الْخَمْسَةِ.
“Adapun orang yang berpendapat bahwa dalil ijmaa’ itu adalah dzanniy, maka, tidak ada jalan untuk mengkafirkan orang yang menyelisihi ijmaa’, sebagaimana halnya orang yang menyelisihi semua dalil-dalil dzanniy. Adapun orang yang berpendapat bahwa, dalil ijmaa’ itu adalah qath’iy, maka hukum bagi orang yang menyelisihinya, bisa saja jalan penetapannya qath’iy atau bisa juga dzanniy. Jika jalan penetapannya dzanniy, maka tidak ada jalan untuk mengkafirkan. Jika jalan penetapannya qath’iy, maka para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Tidak ada perbedaan pendapat dalam perkara-perkara mutawatir yang dinukilkan dari Shahib al-Syar’i; sehingga orang [yang menolak riwayat-riwayat mutawatir] telah membuat kedustaan dan wajib dihukumi kafir. Perbedaan pendapat hanya terjadi pada perkara-perkara yang di dalamnya terjadi ijmaa’, melalui jalan qath’iy (bi thariiq qath’iy). Maksud saya, (jika) keberadaan ijma’ yang ditetapkan dengan jalan qath’iy tersebut tidak dinukilkan oleh ahli ijma’ dari Shaahib al-Syar’iy secara mutawatir. Ringkasnya, ijma’ itu kadang-kadang dinukilkan dari Shaahib al-Syar’i secara mutawatir, kadang-kadang tidak. Adapun yang pertama (yakni ijma’ yang dinukilkan secara mutawatir dari Shaahib al-Syar’iy) tidak ada perbedaan pendapat mengenai pengkafirannya (orang yang menyelisihi ijmaa’ yang dinukilkan secara mutawatir). Adapun yang kedua, ada perbedaan pendapat di dalamnya. Penukilan dari Shaahib al-Syar’iy tidak disyaratkan adanya lafadz tertentu, akan tetapi ijma’ seperti itu sudah diketahui secara qath’iy dengan adanya pembatasan perkara-perkara eksternal, seperti wajibnya rukun lima”.[Bahr al-Muhiith, juz 6/176]
SIKAP YANG LURUS DAN BENAR TERHADAP SIKSA KUBUR
Di dalam kitab-kitab mutabannat, Hizbut Tahrir secara khusus tidak pernah membahas secara mendalam dan detail persoalan ahkaam al-akhirah (ketetapan—ketetapan akherat, semacam siksa kubur. Hizbut Tahrir hanya meletakkan kerangka ushuliy dalam melakukan itsbat ‘aqidah, termasuk di dalamnya kedudukan hadits ahad dalam itsbat ‘aqidah.
Namun, kami akan memaparkan kepada para pembaca budiman, pandangan para ulama mu’tabar mengenai siksa kubur. Setidaknya ada dua pendapat mu’tabar di kalangan ulama ahlus sunnah wal jamaa’ah terhadap siksa kubur:
1. Pendapat pertama menyatakan, bahwa hadits-hadits tentang siksa kubur mencapai derajat mutawatir bil makna. Sebab, jalur periwayatannya sangatlah banyak dan perawi-perawinya telah mencapai derajat pasti dikarenakan para perawinya tidak mungkin sepakat untuk dusta. Kelompok pertama ini juga berpendapat bahwa hadits mutawatir bil makna menghasilkan ilmu. Mereka juga tidak membedakan antara ilmu dlaruriy, ilmu tuma’ninah atau ilmu nadzariy. Bagi mereka khabar-khabar yang menghasilkan ilmu –sama saja apakah ilmu dlaruriy, ilmu tuma’ninah, atau ilmu nadzariy, absah dijadikan dalil untuk mengitsbat perkara-perkara ‘aqidah. Dengan demikian, kelompok ulama yang berpendapat seperti ini menjadikan siksa kubur bagian dari ‘aqidah Islaamiyyah. Seorang Muslim yang mengikuti pandangan ini, wajib menetapkan siksa kubur sebagai bagian dari ‘aqidah Islaamiyyah. Pendapat seperti ini dipegang mayoritas ulama dari kalangan ahli hadits dan ushul.
2. Pendapat kedua menyatakan bahwa hadits-hadits yang bertutur tentang ketetapan-ketetapan akherat, semacam siksa kubur, ru’yatullah, dan lain-lain, tidak menghasilkan ilmu dlaruriy, tetapi, hanya menghasilkan ilmu tuma’ninah. Menurut Imam Sarakhsiy, hadits-hadits yang berbicara tentang ketetapan akherat sebagian ada yang masyhur dan sebagian ada yang hadits ahad, tidak mencapai derajat mutawatir.. Masih menurut beliau, hadits-hadits masyhur yang berbicara tentang siksa kubur, rukyatullah, al-haudl, dan lain sebagainya hanya menghasilkan ilmu tuma’ninah, tidak ilmu dlaruriy. Sedangkan dalil-dalil yang menghasilkan ilmu tuma’ninah tidak absah digunakan untuk mengitsbat (menetapkan) persoalan ‘aqidah. Pendapat ini dipegang oleh Imam al-Jalil As Sarakhsiy rahimahullah, dan ulama yang sejalan dengan beliau rahimahullah. Perhatikan perkataan sharih Imam al-Jalil As Sarakhsiy:
فأما الآثار المروية في عذاب القبر ونحوها فبعضها مشهورة وبعضها آحاد وهي توجب عقد القلب عليه، والابتلاء بعقد القلب على الشئ بمنزلة الابتلاء بالعمل به أو أهم، فإن ذلك ليس من ضرورات العلم، قال تعالى: * (وجحدوا بها واستيقنتها أنفسهم) * وقال تعالى: * (يعرفونه كما يعرفون أبناءهم) * فتبين أنهم تركوا عقد القلب على ثبوته بعد العلم به، وفي هذا بيان أن هذه الآثار لا تنفك عن معنى وجوب العمل بها.
“Adapun riwayat-riwayat (atsar) yang menuturkan tentang siksa kubur dan lain sebagainya; sesungguhnya sebagian riwayat itu ada yang masyhur dan sebagian lagi riwayat ahad. Dan sesungguhnya, riwayat-riwayat ini telah mengharuskan hati untuk mengikatkan dirinya pada perkara-perkara tersebut. Sedangkan pengetahuan mengenai wajibnya hati mengikatkan diri kepada suatu perkara, kedudukannya sama dengan pengetahuan terhadap suatu amal atau sesuatu yang lebih penting. Hanya saja, semua ini tidak muncul dari ilmu dlaruriy (ilmu kepastian). Pasalnya, Allah swt berfirman, “Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan”.[TQS An Naml (27):14]. Allah swt juga berfirman, “Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui”.[TQS Al Baqarah (2):146]. Ayat di atas menjelaskan bahwa, mereka (orang-orang kafir) meninggalkan keyakinan hati yang telah terbukti kebenarannya, sesudah ada pengetahuan terhadapnya. Semua ini menunjukkan bahwa, atsar-atsar (riwayat-riwayat) tersebut tidak terlepas dari makna “wajibnya mengamalkan hadits-hadits tersebut”.[2]
Sikap Imam Sarakhsiy terhadap hadits-hadits ahad dan masyhur yang berbicara tentang akherat, semacam siksa kubur, rukyatullah, dan lain sebagainya tergambar dalam perkataan beliau:
هذا القائل كأنه خفي عليه الفرق بين سكون النفس وطمأنينة القلب وبين علم اليقين، فإن بقاء احتمال الكذب في خبر غير المعصوم معاين لا يمكن إنكاره ومع الشبهة والاحتمال لا يثبت اليقين وإنما يثبت سكون النفس وطمأنينة القلب بترجح جانب الصدق ببعض الاسباب، وقد بينا فيما سبق أن علم اليقين لا يثبت بالمشهور من الاخبار بهذا المعنى فكيف يثبت بخبر الواحد وطمأنينة القلب نوع علم من حيث الظاهر فهو المراد بقوله: (ثم أعلمهم) ويجوز العمل باعتباره كما يجوز العمل بمثله في باب القبلة عند الاشتباه، وينتفي باعتبار مطلق الجهالة لانه يترجح جانب الصدق بظهور العدالة، بخلاف خبر الفاسق فإنه يتحقق فيه المعارضة من غير أن يترجح أحد الجانبين..”
“Orang yang menyatakan pendapat seperti itu, tidak bisa membedakan antara ketenangan jiwa dan ketentraman hati dengan ilmu yakin (keyakinan pasti). Sesungguhnya, selama masih ada kemungkinan dusta pada sebuah berita yang tidak terjaga, maka berita itu (berita orang yang adil) tidak mungkin diingkari, meskipun di dalamnya ada keraguan (syubhat). Sedangkan ihtimal (kemungkinan) tidak bisa menetapkan keyakinan. Ihtimaal hanya bisa menetapkan ketentraman dan ketenangan hati karena adanya sisi kebenaran yang lebih menonjol. Pada penjelasan sebelumnya kami telah menjelaskan bahwa hadits masyhur tidak bisa menetapkan keyakinan pasti (ilmu yaqiin), apa lagi khabar ahad. Ketenangan dan ketentraman hati termasuk jenis keyakinan jika ditinjau dari sisi dzahirnya, dan inilah maksud sabda Nabi saw, “Lalu, beritahulah mereka”. Atas dasar itu, seseorang boleh beramal dengan anggapannya, sebagaimana bolehnya beramal pada kasus menghadap kiblat di saat ada keraguan[3]. Sedangkan ketidaktahuannya telah dieleminasi karena sisi kebenaran berita itu lebih kuat, disebabkan karena hadirnya keadilan perawi. Ini berbeda dengan beritanya orang fasik. Berita orang fasik masih mengandung kontradiksi yang salah satu sisinya tidak bisa dikuatkan[4]“. [Imam Al-Sarakhsiy, Ushuul al-Sarakhsiy, juz 1/329]
Seorang ulama besar dari madzhab Syafi’iy, Imam Sa’aduddin Mas’ud bin ‘Umar al-Taftaazaaniy Asy Syaafi’iy rahimahullah di dalam Kitab Syarh al-Talwiih ‘ala at-Taudliih li Matn Kitaab al-Tanqiih fi Ushuul al-Fiqh, membantah pendapat yang menyatakan bahwa hadits-hadits yang berbicara tentang ketetapan akherat, semacam siksa kubur, perincian tentang Mahsyar, dan lain sebagainya, menghasilkan ilmu yaqin. Perhatikan pernyataan Imam al-Jalim Al-Taftaazaniy rahimahullah:
والأخبار في أحكام الآخرة مثل عذاب القبر وتفاصيل الحشر والصراط والحساب والعقاب إلى غير ذلك والتي لا توجب إلا الاعتقاد ـ أي التي لا تتطلب منا إلا التصديق الجازم ـ قد يقول قائل فيها ـ أي في هذه الأخبار ـ أن خبر الواحد يحتمل الصدق والكذب، وبالعدالة ـ أي عدالة الراوي ـ يترجح الصدق بحيث لا يبقى احتمال الكذب وهو معنى العلم. وجوابه أنا لا نسلم ترجح جانب الصدق إلى حيث لا يحتمل الكذب أصلا بل العقل شاهد بان خبر الواحد العدل لا يوجب علم اليقين وان احتمال الكذب قائم وان كان مرجوحا، والا لزم القطع بالنقيضين عند أخبار العدلين بهما، وجواب الأول وجهان : احدها أن الأحاديث في باب الآخرة فيها ما اشتهر فيوجب علم الطمأنينة وفيها ما هو خبر الواحد فيفيد الظن وذلك في التفاصيل والفروع ومنها ما تواتر فيفيد القطع واليقين ]
“Khabar-khabar yang menjelaskan perkara-perkara akherat, semacam siksa kubur, perincian-perincian mengenai Mahsyar, sirath, hisab, siksa, dan sebagainya, tidaklah wajib kecuali untuk diyakini (al-i’tiqaad) –yakni menuntut kita untuk membenarkannya secara pasti (tashdiiq al-jaazim)–. Dalam masalah ini, kadang-kadang ada orang berpendapat –yakni dalam khabar-khabar seperti ini–, bahwa khabar ahad mengandung unsur kebenaran dan kedustaan, dan dengan adanya keadilan –keadilan perawi—maka sisi kebenarannya lebih kuat, sehingga tidak ada lagi sisi kedustaannya. Inilah makna dari ilmu. Jawabnya, “Kami tidak sependapat bahwa kuatnya sisi kebenaran bisa mengeliminir seluruh kedustaan, pada konteks asalnya. Bahkan akal membuktikan bahwa khabar ahad yang adil tidak menghasilkan ilmu yaqin, dan kemungkinkan dustanya masih tetap ada, walaupun lemah. Jika tidak seperti ini, maka kepastian harus dilekatkat kepada dua khabar bertentangan yang diriwayatkan oleh dua perawi adil. Jawab pertama, “Hadits-hadits yang berbicara tentang ketetapan-ketetapan akherat, sebagian ada yang masyhur, sehingga menghasilkan ilmu tuma’ninah, dan sebagiannya adalah khabar ahad yang menghasilkan dzann. Demikian juga dalam perkara-perkara tafaashiil (perincian-perincian) dan al-furuu’ (cabang-cabang), sebagian khabar-khabarnya mutawatir, sehingga menghasilkan kepastian dan yaqiin”. [Imam Sa'aduddin Mas'ud bin 'Umar al-Taftaazaaniy Asy Syaafi'iy, Kitab Syarh al-Talwiih 'ala at-Taudliih li Matn Kitaab al-Tanqiih fi Ushuul al-Fiqh, juz 2/347, dan 354]
Imam Az Zarkasiy dalam Kitab Bahr al-Muhiith menyatakan:
مَسْأَلَةٌ [إفَادَةُ الْمُسْتَفِيضِ الْعِلْمَ] وَالْمُسْتَفِيضُ عَلَى الْقَوْلِ بِالْوَاسِطَةِ يُفِيدُ الْعِلْمَ فِي قَوْلِ الأُسْتَاذَيْنِ أَبِي إِسْحَاقَ الإسْفَرايِينِيّ, وَأَبِي مَنْصُورٍ التَّمِيمِيِّ, وَابْنُ فُورَكٍ, وَمَثَّلَهُ أَبُو مَنْصُورٍ فِي كِتَابِهِ الْمَعْرُوفِ بِالأُصُولِ الْخَمْسَةَ عَشَرَ “: بِالأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِي الْمَسْحِ عَلَى الْخُفِّ, وَأَخْبَارِ الرُّؤْيَةِ وَالْحَوْضِ, وَالشَّفَاعَةِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ, وَمَثَّلَهُ ابْنُ بَرْهَانٍ بِحَدِيثِ: [إنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ] , وَحَدِيثِ: [لا تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا] , وَقَالَ: الصَّحِيحُ أَنَّهُ يُفِيدُ ظَنًّا قَوِيًّا مُتَأَخِّرًا عَنْ الْعَمَلِ, مُقَارِبًا لِلْيَقِينِ. وَسَبَقَهُ إلَيْهِ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ, وَضَعَّفَ مَقَالَةَ الأُسْتَاذِ بِأَنَّ الْعُرْفَ وَإِطْرَادَ الاعْتِبَارِ لا يَقْتَضِي الصِّدْقَ قَطْعًا, بَلْ قُصَارَاهُ غَلَبَةُ الظَّنِّ, وَقَالَ الإِبْيَارِيُّ: كَأَنَّ الأُسْتَاذَ أَرَادَ أَنَّ النَّظَرَ فِي أَحْوَالِ الْمُخْبِرِينَ مِنْ أَهْلِ الثِّقَةِ وَالتَّجْرِبَةِ يَحْصُلُ ذَلِكَ, وَقَدْ مَالَ إلَيْهِ الْغَزَالِيُّ, وَلا وَجْهَ لَهُ. نَعَمْ, هُوَ بِغَلَبَةِ الظَّنِّ لا الْعِلْمِ. وَإِذَا قُلْنَا: إنَّهُ يُفِيدُ الْعِلْمَ فَهُوَ نَظَرِيٌّ لا ضَرُورِيٌّ فِي قَوْلِ الأُسْتَاذَيْنِ.
“Masalah hadits al-mustafadl menghasilkan ilmu”. Hadits-hadits mustafadl dengan adanya wasithah berfaedah kepada ilmu, berdasarkan pendapat dua ulama, yakni Abu Ishaq al-Asfaarayiiniy dan Abu Manshur at-Tamimiy. Dan Ibnu Furaak. Abu Manshur memisalkannya di dalam sebuah kitab yang terkenal dengan judul Ushul al-Khamsah ‘Asyar,”Pada khabar-khabar yang bertutur tentang menyapu kedua sepatu, melihat Allah (ar-ru’yah) dan telaga (al-haudl), syafa’at, dan adzab kubur”, Ibnu Burhan memisalkannya dengan hadits: [Innamaa al-a'maal bi al-niyaat] dan hadits :[laa tunkihu al-mar`ata 'ala 'ammatihaa], beliau berkata, “Benar, hadits ini menghasilkan dzann yang kuat, lebih dulu daripada amal, dekat kepada keyakinan. Imam al-Haramain menentang pendapatnya dan melemahkan pendapat al-Ustadz, dikarenakan ‘urf dan ithraad al-i’tibaar (kebiasaan dan berturut-turutnya sebuah I’tibar) tidaklah berkonsekuensi kepada pembenaran yang bersifat pasti. Akan tetapi, khabar tersebut tetaplah menghasilkan ghalabat al-dzann (sangkaan yang kuat). Al-Anbariy berkata, ” Barangkali al-Ustadz bermaksud bahwa al-nadzar (penelitian) terhadap keadaan perawi yang termasuk orang-orang yang terpercaya dan ahli, sehingga berita mereka menghasilkan ilmu. Imam Ghazaliy cenderung kepada pendapat beliau. Sesungguhnya, pendapat beliau sama sekali tidak beralasan sama sekali. Benar, bahwa hadits-hadits mustafadl hanya menghasilkan ghalabat al-dzann, tidak menghasilkan ilmu. Jika kita nyatakan bahwa hadits tersebut menghasilkan ilmu, maka maksudnya adalah menghasilkan ilmu nadzariy, bukan ilmu dlaruriy, pada pendapat dua Ustadz”.[Bahr al-Muhiith, juz 5/ 268]
Al-’Aalim al-’Allamah ‘Abdul ‘Aziz al-Bukhari dalam Kitab Kasyfu al-Asraar, menyatakan:
وقال عبد العزيز البخاري في كشف الأسرار: (بَابُ خَبَرِ الْوَاحِدِ): وَهُوَ الْفَصْلُ الثَّالِثُ مِنْ الْقِسْمِ الأَوَّلِ، وَهُوَ كُلُّ خَبَرٍ يَرْوِيهِ الْوَاحِدُ أَوْ الاثْنَانِ فَصَاعِدًا لا عِبْرَةَ لِلْعَدَدِ فِيهِ بَعْدَ أَنْ يَكُونَ دُونَ الْمَشْهُورِ وَالْمُتَوَاتِرِ، وَهَذَا يُوجِبُ الْعَمَلَ وَلا يُوجِبُ الْعِلْمَ يَقِينًا عِنْدَنَا، وَقَالَ بَعْضُ النَّاسِ لا يُوجِبُ الْعَمَلَ؛ لأَنَّهُ لا يُوجِبُ الْعِلْمَ، وَلا عَمَلَ إلا عَنْ عِلْمٍ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى { وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَك بِهِ عِلْمٌ }، وَهَذَا؛ لأَنَّ صَاحِبَ الشَّرْعِ مَوْصُوفٌ بِكَمَالِ الْقُدْرَةِ فَلا ضَرُورَةَ لَهُ فِي التَّجَاوُزِ عَنْ دَلِيلٍ يُوجِبُ عِلْمَ الْيَقِينِ بِخِلافِ الْمُعَامَلاتِ؛ لأَنَّهَا مِنْ ضَرُورَاتِنَا وَكَذَلِكَ الرَّأْيُ مِنْ ضَرُورَاتِهَا فَاسْتَقَامَ أَنْ يَثْبُتَ غَيْرُ مُوجِبِ عِلْمِ الْيَقِينِ وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْحَدِيثِ يُوجِبُ عِلْمَ الْيَقِينِ لِمَا ذَكَرْنَا أَنَّهُ أَوْجَبَ الْعَمَلَ، وَلا عَمَلَ مِنْ غَيْرِ عِلْمٍ، وَقَدْ وَرَدَ الآحَادُ فِي أَحْكَامِ الآخِرَةِ مِثْلُ عَذَابِ الْقَبْرِ وَرُؤْيَةِ اللَّهِ تَعَالَى بِالأَبْصَارِ وَلا حَظَّ لِذَلِكَ إلا الْعِلْمُ (1) قَالُوا: وَهَذَا الْعِلْمُ يَحْصُلُ كَرَامَةً مِنْ اللَّهِ تَعَالَى فَثَبَتَ عَلَى الْخُصُوصِ لِلْبَعْضِ دُونَ الْبَعْضِ كَالْوَطْءِ تَعَلَّقَ مِنْ بَعْضٍ دُونَ بَعْضٍ وَدَلِيلُنَا فِي أَنَّ خَبَرَ الْوَاحِدِ يُوجِبُ الْعَمَلَ وَاضِحٌ مِنْ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالإِجْمَاعِ وَالدَّلِيلِ الْمَعْقُولِ ….. وَأَمَّا دَعْوَى عِلْمِ الْيَقِينِ بِهِ فَبَاطِلٌ بِلا شُبْهَةٍ لأَنَّ الْعِيَانَ يَرُدُّهُ مِنْ قِبَلِ أَنَّا قَدْ بَيَّنَّا أَنَّ الْمَشْهُورَ لا يُوجِبُ عِلْمَ الْيَقِينِ فَهَذَا أَوْلَى؛ وَهَذَا لأَنَّ خَبَرَ الْوَاحِدِ مُحْتَمَلٌ لا مَحَالَةَ، وَلا يَقِينَ مَعَ الاحْتِمَالِ، وَمَنْ أَنْكَرَ هَذَا فَقَدْ سَفَّهُ نَفْسَهُ، وَأَضَلَّ عَقْلَهُ. وَإِذَا اجْتَمَعَ الآحَادُ حَتَّى تَوَاتَرَتْ حَدَثَ حَقِّيَّةَ الْخَبَرِ وَلُزُومُ الصِّدْقِ بِاجْتِمَاعِهِمْ، وَذَلِكَ وَصْفٌ حَادِثٌ مِثْلُ إجْمَاعِ الأُمَّةِ إذَا ازْدَحَمَتْ الآرَاءُ سَقَطَتْ الشُّبْهَةُ فَأَمَّا الآحَادُ فِي أَحْكَامِ الآخِرَةِ فَمِنْ ذَلِكَ مَا هُوَ مَشْهُورٌ، وَمِنْ ذَلِكَ مَا هُوَ دُونَهُ لَكِنَّهُ يُوجِبُ ضَرْبًا مِنْ الْعِلْمِ عَلَى مَا قُلْنَا، وَفِيهِ ضَرْبٌ مِنْ الْعَمَلِ أَيْضًا، وَهُوَ عَقْدُ الْقَلْبِ عَلَيْهِ إذْ الْعَقْدُ فَضْلٌ عَلَى الْعِلْمِ وَالْمَعْرِفَةِ، وَلَيْسَ مِنْ ضَرُورَاتِهِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: { وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا }، وَقَالَ تَعَالَى { يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ } فَصَحَّ الابْتِلاءُ بِالْعَقْدِ كَمَا صَحَّ بِالْعَمَلِ بِالْبَدَنِ وَلِهَذَا جَوَّزْنَا الْقَوْلَ بِالنَّسْخِ قَبْلَ الْعَمَلِ، وَقَبْلَ التَّمَكُّنِ مِنْ الْعَمَلِ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.
“(Bab Khabar Ahad): Ini adalah pasal ketiga dari bagian pertama; yakni setiap khabar yang diriwayatkan oleh seorang, dua orang, atau lebih, dan banyaknya jumlah tidak lagi penting asalkan tidak mencapai derajat masyhur dan mutawatir. Khabar seperti ini wajib diamalkan, namun tidak menghasilkan ilmu yaqiin, menurut pandangan kami. Sebagian orang berpendapat bahwa hadits ahad tidak wajib diamalkan karena tidak menghasilkan keyakinan; dan tidak ada amal kecuali berdasarkan keyakinan. Allah swt berfirman, “Wa laa taqfu maa laisa laka bihi ‘ilm”. Ini dikarenakan Pembuat Syariat telah disifati dengan Kesempurnaan Qudrah, sehingga tidak ada kepentingan bagiNya kelewat batas menetapkan dalil yang menghasilkan keyakinan, berbeda dengan masalah mu’amalah. Sebab, mu’amalah termasuk kepentingan kita. Demikian pula bahwa pendapat tentang kepentingan (harus adanya) dalil (qiyas), telah tegak bukti bahwa ia tidak menghasilkan ilmu yaqin. Sebagian ahli hadits menyatakan bahwa hadits ahad menghasilkan ilmu yaqin –sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya mereka telah mewajibkan amal harus berdasarkan bukti yang menyakinkan–, dan tidak ada amal tanpa ditunjang oleh ilmu (kepastian). Telah disebutkan dalam riwayat-riwayat ahad, ketetapan-ketetapan akherat, seperti siksa kubur, melihat Allah dengan mata di akherat, yang hal ini tidak boleh ditetapkan kecuali berdasarkan kepastian (ilmu). Mereka berkata,”Ilmu (kepastian) ini merupakan karamah dari Allah swt, sehingga mengitsbat secara khusus untuk sebagian perkara, tapi tidak untuk perkara yang lain; seperti kesepakatan yang mengikat sebagian, namun tidak untuk sebagian yang lain. Dalil kami bahwa hadits ahad wajib diamalkan, amat jelas tertera dalam Al-Quran, Sunnah, Ijma’, dan dalil-dalil ma’quul…Adapun dakwaan bahwa (khabar ahad) menghasilkan keyakinan adalah bathil tanpa ada keraguan sedikitpun. Sebab, orang menolak pendapat ini. Kami telah menjelaskan bahwa hadits masyhur tidak menghasilkan ilmu yaqin, lebih-lebih lagi hadits ahad. Sebab, hadits ahad masih mengandung kemungkinan. Dan tidak ada keyakinan jika masih mengandung kemungkinan. Siapa saja yang menolak pendapat ini, maka ia telah merendahkan dirinya sendiri dan sesat akalnya. Jika hadits-hadits ahad berkumpul hingga muwatir maka menciptakan kebenaran khabar dan wajibnya dibenarkan berdasarkan kesepakatan ini. Ada pula sifat baru, semacam ijma’ ummah (kesepakatan umat) jika pendapat-pendapat telah berkumpul (sepakat), maka lenyaplah syubhat. Adapun hadits-hadits ahad yang berbicara tentang ketetapan-ketetapan akherat, maka, dari hadits-hadits tersebut ada yang masyhur, dan ada pula yang tidak masyhur, Tetapi hadits-hadits tersebut menghasilkan jenis ilmu sebagaimana yang kami nyatakan (maksudnya adalah ilmu tuma’mimah, bukan ilmu dlaruriy), dan juga menghasilkan jenis amal; yaitu, keyakinan hati terhadap hadits-hadits tersebut, disebabkan keyakinan tersebut muncul dari ilmu dan makrifat, bukan dari ilmu dlarurinya. . di dalam hadits-hadits itu ada pula bagian sama saja apakah yang masyhur, atau tidak masyhur, akan tetapi hadits-hadits ini mewajibkan. Allah swt berfirman {wa jahaduu bihaa wastaiqanathaa anfusuhum dzulman wa ‘uluwwan}, dan Allah swt berfirman:{ ya’rifuunahu kamaa ya’rifuuna abnaa`ahum}. Sesungguhnya, adanya ujian (ibtilaa’) akan mengantarkan keyakinan, sebagaimana ibtilaa’ juga akan mengantarkan amal pada badan. Oleh karena itu, kami membenarkan pendapat yang menyatakan kebolehan nasakh sebelum amal (perbuatan), atau sebelum dilaksanakannya sebuah amal (perbuatan). Wallahu a’lam.”['Aalim al-'Allamah 'Abdul 'Aziz al-Bukhariy, Kasyf al-Asraar, juz 4/393-394]
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut;
1. Imam Sarakhsiy, Imam Bazdawiy, Imam Taftaazaniy, dan Imam ‘Abdul ‘Aziz al-Bukhari berpendapat bahwa hadits-hadits yang berbicara tentang ketetapan-ketetapan akherat, semacam siksa kubur, melihat Allah dengan mata di akherat, telaga, dan lain sebagainya, sebagian ada yang masyhur dan sebagian lagi ahad. Mereka juga berpendapat bahwa hadits masyhur tidak menghasilkan ilmu dlaruriy, akan tetapi menghasilkan ilmu tuma’ninah. Dengan demikian, mereka berpandangan bahwa hadits-hadits tentang ketetapan akherat tidak bisa mengitsbat perkara-perkara ‘aqidah.
2. Hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur hanya menghasilkan ilmu tuma’ninah, dan tidak menghasilkan ilmu dlaruriy yang menjadi syarat itsbat ‘aqidah. Kaum Mukmin yang mengikuti pandangan imam-imam di atas, tidak diperkenankan menjadikan hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur, al-haudl, dan lain sebagainya sebagai bagian dari ‘aqidah Islam. Hanya saja, hadits-hadits seperti ini wajib dijadikan sebagai ketetapan hati (ilmu tuma’ninah), dan seseorang tidak diperkenankan mengingkarinya. Pasalnya, hadits-hadits yang berbicara tentang ketetapan-ketetapan akherat diriwayatkan oleh perawi-perawi yang adil, sehingga menghasilkan ketenangan jiwa dan ketentraman hati. Wallahu a’lam bish shawab.
3. Berdasarkan penjelasan ini dapat disimpulkan bahwasanya masalah-masalah yang masih menjadi bahan perdebatan di kalangan ulama-ulama mu’tabar tidak boleh dijadikan alat untuk memfitnah, lebih-lebih lagi menyematkan predikat kafir atau fasik kepada saudara-saudaranya. Perbedaan pendapat mengenai penetapan siksa kubur sebagai bagian ‘aqidah islamiyyah, sama persis dengan perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai penetapan tasmiyyah, apakah termasuk bagian al-Quran atau tidak, dan perkara-perkara lain yang masih menjadi perdebatan dan diskusi di kalangan ulama mu’tabar.
KHATIMAH
Demikianlah, anda telah kami jelaskan cukup panjang lebar, seputar masalah itsbat ‘aqidah, dan sikap yang benar terhadap hadits-hadits yang berbicara tentang ketetapan akherat, semacam siksa kubur.
Pada dasarnya, penetapan suatu perkara termasuk bagian dari ‘aqidah Islamiyyah atau tidak membutuhkan kajian yang jernih dan mendalam. Tidak hanya itu saja, persoalan ini juga harus dikaji secara hati-hati, agar ‘aqidah Islamiyyah terbebas dari semua bentuk keraguan, syubhat, maupun prasangka. Jika suatu perkara keyakinan telah ditetapkan oleh dalil-dalil qath’iy, maka perkara tersebut tidak boleh diingkari atau diragukan sebagai bagian dari ‘aqidah Islamiyyah. Seorang Mukmin wajib menyakini perkara tersebut dengan keyakinan pasti yang tidak disusupi oleh keraguan. Siapa saja yang mengingkari perkara seperti ini, tidak diragukan lagi ia telah keluar dari dienul Islam yang lurus.
Sebaliknya, suatu perkara keyakinan yang ditetapkan oleh dalil-dalil dzanniy, maka ia tidak boleh dijadikan sebagai bagian dari ‘aqidah Islamiyyah yang menuntut adanya ilmu yaqin (kepastian). Menetapkan perkara-perkara keyakinan yang ditunjukkan oleh dalil-dalil dzanniy sebagai bagian dari ‘aqidah Islamiyyah termasuk perbuatan haram, meskipun tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam.
Terakhir, perbedaan pendapat di kalangan kaum Muslim mengenai hadits-hadits yang berbicara tentang ketetapan akherat, tidak boleh dijadikan jalan untuk memecah belah persatuan kaum Muslim, lebih-lebih lagi untuk menikam saudara-saudara Muslim yang berbeda pandangan dan pendirian. Sikap inilah yang harus ditumbuhkan di tengah-tengah kaum Muslim, bukan sikap keliru dan gegabah yang justru mengobarkan perpecahan dan pertikaian di kalangan kaum Muslim. Wallahu al-musta’an wa huwa waliyu at-taufiiq.
Selesai dengan pertolongan Allah
Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy
(Abu Mohammad Asad Zain As Sakhawiy)
[1] Dr. Husain ‘Abdullah di dalam kitab Diraasaat fi al-Fikr al-Islaamiy menyatakan, “Yufiid al-khabar al-aahad al-hukm al-nadhriy, aiy al-’ilm al-mutawaqqaf ‘ala al-nadhr wa al-istidlaal, wa huwa yufiid al-dhannn, wa laa yakfur jaahiduhu” (hadits ahad berfaedah pada al-hukm al-nadhr, yakni ilmu (keyakinan) yang disandarkan atas pengamatan dan pengkajian; dan hadits ahad hanya menghasilkan dhann belaka. Oleh karena itu, orang yang menolaknya tidak boleh dianggap kafir”.(Dr. Mohammad Husain ‘Abdullah, Diraasaat fi al-Fikr al-Islaamiy, hal. 118)
[2] Imam Sarakhsiy, Ushuul al-Sarakhsiy, juz 1, hal. 329-330. Dari keterangan beliau ini dapat disimpulkan bahwa riwayat-riwayat yang bertutur tentang ketetapan akherat, seperti siksa kubur, melihat Allah, dan lain sebagainya adalah hadits ahad, dan tidak menghasilkan ilmu dlaruriy. Apabila selama ini umat menyakini dan qana’ah dengan riwayat-riwayat itu, sesungguhnya semua ini tidak muncul dari ilmu dlaruriy, akan tetapi muncul dari ketenangan dan ketentraman hati karena riwayat-riwayat itu dituturkan oleh perawi adil. Hanya saja, menurut Imam Sarakhsiy, aqidah harus disangga oleh dalil-dalil yang menghasilkan ilmu dlaruriy, tidak cukup dengan dalil-dalil masyhur yang hanya menghasilkan ketentraman hati..
[3] Yg dimaksud dengan ketenangan dan ketentraman hati adalah prasangka kuat yang bisa menumbuhkan perasaan tenang dan tentram di dalam hati, karena sisi kebenaran yang dikandung oleh suatu berita lebih kuat dibandingkan kedustaannya. Prasangka kuat ini muncul karena hadirnya keadilan orang yang membawa berita tersebut. Keadaan ini sama persis dengan kasus menghadap kiblat ketika seorang musholliy ragu-ragu tentang arah kiblat. Ia boleh menghadap ke arah yang dianggapnya lebih benar, dan menentramkan hatinya; walaupun ia sendiri tidak bisa memastikan kebenaran arah kiblat yang dipilihnya. Sesungguhnya, khabar ahad jika telanjur diyakini, sesungguhnya keyakinan ini muncul dari ketenangan dan ketentraman hati, bukan muncul dari ilmu yakin (keyakinan yang pasti). Atas dasar itu, khabar ahad tidak bisa menghasilkan ilmu yakin (keyakinan hati). Akan tetapi, ia bisa menetapkan dan menghasilkan ketenangan dan ketentraman hati.
[4] Berita yang disampaikan oleh orang fasik mengandung dua sisi yang saling kontradiksi, benar atau dusta. Hanya saja, salah satu sisi itu tidak bisa dikuatkan salah satunya, apakah sisi dustanya ataukah sisi benarnya yang lebih kuat. Akibatnya, seseorang tidak bisa memilih mana yang lebih kuat, dustanya atau kebenarannya. Atas dasar itu, berita orang fasik tidak bisa menghadirkan ketenangan dan ketentraman hati karena kefasikan orang yang membawa berita itu.
0 komentar:
Posting Komentar