3 Mei 2010

Do’a Yang Sia-Sia

Oleh: O. Solihin

Dalam hadits ke sepuluh dari kumpulan Hadits Arba’in karya Imam an-Nawawi dijelaskan bahwa: “Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Berkatalah Rasulullah Saw, “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu thoyyib (baik) tidak menerima kecuali yang baik (thayyib). Sesungguhnya Allah menyuruh orang-orang yang mu’min sebagaimana yang telah Dia perintahkan kepada para Rasul.” Allah Ta’ala berfirman: “Wahai para Rasul, makanlah (kalian) dari makanan yang baik-baik, dan berbuatlah amal shalih”, dan firman Allah SWT, “Wahai orang-orang yang beriman makanlah dari makanan yang baik-baik apa yang Kami anugerahkan rizki kepada kalian.” Lalu Rasulullah menyebut seorang lelaki yang berlayar jauh, hingga kusutlah rambutnya dan kotor, ia mengangkat kedua tangannya ke langit (seraya berkata): “Ya Tuhan, Ya Tuhan” (ia bermohon) sedang makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi makan (badannya) dengan barang haram, maka bagaimana yang demikian itu akan dikabulkan (diijabahi)?” [HR. Bukhari & Muslim].

Do’a adalah permohonan kita kepada Allah agar segala harapan dan cita-cita kita terkabul. Dan do’a merupakan salah satu komponen dari sebuah keberhasilan, selain cita-cita dan usaha sungguh-sungguh. Untuk mencapai keberhasilan yang optimal, seluruh komponen harus memiliki nilai, karena ibarat sistem perkalian, salah satu bernilai nol, maka hasilnya adalah nol pula. Dan do’a sebagai salah satu kekuatan yang merupakan permohonan langsung kepada Allah harus betul-betul kuat, baik permintaan maupun caranya. Dan segala hal yang berhubungan langsung dengan dikabulkannya do’a, agar doa’a kita tak sia-sia.

Karena do’a merupakan ibadah, maka harus dilakukan dengan tata cara yang khas, yang sudah diatur oleh Allah dan Rasul-Nya. Juga harus disertai dengan segala hal yang bisa mendukung ibadah itu. Jangan sampai, kita menuntut sesuatu sementara kita mengabaikan sesuatu yang lain. Artinya, bila kita memohon kepada Allah sesuatu kebaikan agar segala cita-cita dan harapan kita berhasil, sementara kita mengabaikan larangan dan perintah dari Allah SWT. Tentu ini adalah sesuatu yang kontradiktif dan tidak fair. Kita memohon kebaikan diturunkan oleh Allah pada kita, tapi dalam waktu yang bersamaan kita malah melakukan perbuatan yang telah dilarang-Nya. Kita meminta dengan beruarai air mata kepada Allah agar kita diberikan keselamatan dunia dan akhirat, tapi dalam aktivitas kehidupan kita sehari-hari, terbiasa memakan riba, memakan harta anak yatim, mencari nafkah dari jalan yang terlarang; hasil mencopet, tipu-tipu, korupsi, komisi yang haram (suap). Jadi, bagaimana mungkin Allah akan mengabulkan (mengijabah) do’a kita. Mungkin saja dalam kenyataan seolah-olah kita mendapat sesuatu yang diinginkan meskipun lewat korupsi dan kita damai-damai saja tak ada yang menganggu, namun apakah kita yakin bila harta itu berkah?

Do’a sebagaimana aktivitas ibadah yang lain, harus disertai usaha sungguh-sungguh. Karena berdo’a saja tanpa berusaha, meskipun cita-cita kita setinggi langit adalah suatu hal yang sulit untuk bisa berhasil. Harus memiliki nilai dari komponen cita-cita, usaha dan do’a itu sendiri, tidak boleh ada yang nilainya nol. Sehingga bila menginginkan keberhasilan maka ketiganya harus mempunyai nilai yang bukan nol. Suatu ketika, Amirul Mukminiin, Umar bin Khaththab r.a. memasuki masjid di luar waktu sholat lima waktu. Didapatinya dua orang yang sedang berdo’a kepada Allah SWT, Umar r.a. lalu bertanya: “Apa yang sedang kalian kerjakan, sedangkan orang-orang di sana kini sedang sibuk bekerja?” Mereka menjawab: “Ya Amirul Mukminiin, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bertawakkal kepada Allah SWT.” (Mendengar jawaban tersebut), maka marahlah Umar r.a., seraya berkata: “Kalian adalah orang-orang yang malas bekerja, padahal kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak.” Kemudian Umar r.a. mengusir mereka dari masjid, tetapi memberi mereka setakar biji-bijian. Beliau katakan pada mereka: “Tanamlah dan bertawakkallah kepada Allah.

Kita berdo’a tanpa berusaha memang seperti pungguk merindukan bulan, do’a kita menjadi sia-sia. Begitu pula ketika kita berdo’a sementara kita masih doyan melakukan perbuatan maksiat, memakan makanan yang haram, melakukan perbuatan yang haram, menafkahi anak istri dengan barang-barang dan makanan haram. Meskipun kita dengan khusuk sampai berurai air mata memohon kepada Allah, sulit sekali bila do’a itu dikabulkan.

Tentu kita tidak menginginkan harapan dan cita-cita kita melalui permohonan do’a kepada Allah sia-sia. Untuk itu, harus disertai dengan aktivitas kita berbuat yang terbaik dalam hidup ini. Yakni, beriman dan bertaqwa kepada Allah, mengerjakan dan memakan harta yang halal, agar do’a kita diijabah dan penuh berkah. Wallahu’alam bishowab.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites