وَاتَّقوا فِتنَةً لا تُصيبَنَّ الَّذينَ ظَلَموا مِنكُم خاصَّةً ۖ وَاعلَموا أَنَّ اللَّهَ شَديدُ العِقابِ
Peliharalah diri kalian dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang zalim saja di antara kalian. Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.(QS al-Anfal [8]: 25).
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Wa[i]ttaqû fitnah (Peliharalah diri kalian dari siksaan). Menurut Zubair bin al-Awwam, Hasan al-Bashri, as-Sudi, dan lain-lain ayat ini turun untuk para Sahabat yang terlibat dalam Perang Jamal. Ahmad, al-Bazzar, Ibnu Mundzir, Ibnu Mardawaih, dan Ibnu Asyakir menuturkan riwayat dari az-Zubair yang berkata, “Sesungguhnya kami membaca ayat ini pada masa Rasulullah saw., Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Kami tidak mengira bahwa kamilah orangnya hingga fitnah itu terjadi di tengah-tengah kami. [1] Fitnah besar memang melanda mereka setelah peristiwa terbunuhnya Utsman ra. Sedemikian besarnya fitnah itu hingga menyulut peperangan di antara kaum Muslim pada Perang Jamal dan Perang Shiffin, terbunuhnya al-Husain, serta munculnya banyak bid‘ah dan kemungkaran. Bahkan fitnah itu terus berlangsung hingga kini dalam berbagai bentuk, mulai dari fanatisme kesukuan, tafarruq fî ad-dîn (perpecahan dalam agama), terpolarisasinya umat Islam dalam berbagai kelompok keagamaan dan politik. [2]
Kendati begitu, ayat ini tidak bisa dibatasi hanya untuk mereka. Pasalnya, ungkapan ayat ini bersifat umum untuk seluruh kaum Mukmin. [3] Huruf al-wâwu di awal ayat ini merupakan harf al-‘athf yang menghubungkan ayat ini dengan ayat sebelumnya. Seruan pada ayat sebelumnya, Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû [i]stajîbû li Allâh wa li ar-Rasûl (Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya), menunjukkan bahwa pihak yang diseru adalah seluruh kaum Mukmin.
Kata ittaqû oleh ar-Razi, Ibnu Katsir, ash-Shabuni, dan beberapa mufassir lainnya dimaknai ihdarû (berhati-hatilah).[4] Artinya, kaum Mukmin diperintahkan untuk berhati-hati, waspada, dan menjauhi terjadinya fitnah. Menurut al-Asfahani, pada awalnya kata fitnah berarti masuknya emas ke dalam api agar terlihat kebagusannya dari kulit luarnya. Dalam perkembangan selanjutnya, kata ini juga digunakan untuk menyatakan masuknya manusia ke dalam api. (Lihat: QS adz-Dzariyat [51]: 13).[5] Artinya, kata fitnah bisa berarti azab.
Selain itu, fitnah juga bisa bermakna ikhtibâr atau balâ’ (ujian atau cobaan), seperti dalam QS Thaha (20) ayat 40. Sekalipun dalam penggunaannya lebih banyak digunakan untuk ujian yang bersifat sulit dan sempit, fitnah mencakup semua ujian atau cobaan, baik keadaan lapang maupun sempit. (Lihat: Allah Swt. berfirman: QS al-Anbiya’ [21]: 35).
Dalam konteks ayat ini, menurut az-Zamakhsyari, al-Alusi, dan al-Baidhawi fitnah berarti dosa.[6] Termasuk dalam tindakan dosa itu adalah membiarkan kemungkaran, meremehkan amar makruf nahi mungkar, terjadinya perpecahan, munculnya banyak bid‘ah, malas berjihad dan semacamnya. [7]
Dalam pandangan an-Nasafi dan al-Baghawi, fitnah bermakna azab. [8] Al-Khazin, al-Baghawi dan az-Zuhaili menafsirkannya sebagai ibtilâ’ dan ikhtibâr (cobaan dan ujian).[9]
Berikutnya Allah Swt. berfirman: lâ tushîbanna al-ladzîna zhalamû minkum khâshshah (azab yang tidak khusus menimpa orang-orang zalim saja di antara kalian). Dalam pengertian syariah, setiap perbuatan atau keyakinan yang menyimpang dari ketentuan syariah dapat dikategorikan sebagai azh-zhulm. Dengan demikian, al-ladzîna zhalamû adalah orang-orang yang melakukan pelanggaran dan penyimpangan terhadap syariah. Kata kum merujuk kepada kaum Mukmin. Dengan demikian, frasa ini memberikan peringatan kepada kaum Mukmin berkenaan dengan fitnah yang diakibatkan oleh perbuatan zalim yang dilakukan oleh sebagian orang Mukmin. Begitulah pemahaman para mufassir tentang ayat ini.[10]
Agar realitas itu tidak terjadi, orang-orang yang tidak ikut mengerjakan kemaksiatan harus mencegahnya. Amar makruf nahi mungkar harus dilakukan. Jika tidak, musibah yang terjadi akibat kemaksiatan itu akan menimpa seluruh masyarakat secara umum. Kenyataan ini juga digambarkan dalam beberapa hadis. Rasulullah saw., misalnya, pernah bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يُعَذِّبُ الْعَامَّةَ بِعَمَلِ الْخَاصَّةِ حَتَّى يَرَوْا الْمُنْكَرَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِمْ وَهُمْ قَادِرُونَ عَلَى أَنْ يُنْكِرُوهُ فَلاَ يُنْكِرُوهُ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَذَّبَ اللهِ الْخَاصَّةَ وَالْعَامَّةَ
Sesungguhnya Allah tidak mengazab manusia secara umum karena perbuatan khusus (yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang) hingga mereka melihat kemungkaran di tengah-tengah mereka, mereka mampu mengingkarinya, namun mereka tidak mengingkarinya. Jika itu yang mereka lakukan, Allah mengazab yang umum maupun yang khusus. (HR Ahmad).
Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: wa[i]‘alamû anna Allâh syadîd al-‘iqâb (Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya). Hukuman yang sangat keras itu ditujukan kepada orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya. Ancaman itu kian mendorong kaum Mukmin untuk tidak ragu dan takut melakukan amar makruf nahi mungkar. Sebab, jika mereka mengabaikannya, mereka juga akan mendapatkan siksa-Nya yang amat dahsyat.
Pentingnya Amar Makruf Nahi Mungkar
Banyak pelajaran penting diberikan ayat ini. Pertama: penyimpangan terhadap syariah Allah Swt. akan mengakibatkan terjadinya fitnah, kerusakan, dan azab. Ini juga ditegaskan dalam beberapa ayat lain, seperti firman Allah Swt.:
ظَهَرَ الفَسادُ فِى البَرِّ وَالبَحرِ بِما كَسَبَت أَيدِى النّاسِ لِيُذيقَهُم بَعضَ الَّذى عَمِلوا لَعَلَّهُم يَرجِعونَ
Telah tampak kerusakan di darat dan di lautan karena perbuatan tangan-tangan manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian akibat dari perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS ar-Rum [30]: 41).
Hampir semua mufassir sepakat, yang dimaksud dengan bimâ kasabat aydî al-nâs adalah kemaksiatan dan perbuatan dosa yang dikerjakan manusia. Ditegaskan dalam ayat ini, perbuatan maksiat itulah yang menjadi penyebab terjadinya kerusakan nyata di daratan dan lautan. Dalam bentuk yang lebih spesifik, Nabi saw. menjelaskan, maraknya zina dan riba sebagai penyebab kehancuran sebuah masyarakat. Rasulullah saw. bersabda:
إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِِ
Apabila zina dan riba telah tampak di suatu kampung, sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah bagi mereka. (HR ath-Thabarani dan al-Hakim).
Oleh karena kekufuran, kemaksiatan, dan perbuatan dosa merupakan penyebab terjadinya kerusakan. Tidak jarang, al-Quran menyebut semua tindakan itu dengan kerusakan. Seruan terhadap kaum munafik agar tidak berbuat kerusakan dalam QS al-Baqarah (2) ayat 11, misalnya, dipahami sebagai larangan berlaku kufur, syirik, dan maksiat.
Kedua: fitnah, kerusakan, atau azab yang terjadi akibat perbuatan maksiat itu tidak hanya menimpa pelakunya, namun juga orang lain yang tidak terlibat langsung. Realitas ini digambarkan Rasulullah saw. dengan sabdanya:
مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُوْدِ اللهِ وَالْوَاقِعِ فِيْهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوْا عَلَى سَفِيْنَةِ فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا فَكَانَ الَّذِيْنَ فِيْ أَسْفَلَهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوْا لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا ِفي نَصِيْبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا فَإِنْ يَتْرُكُوْهُمْ وَمَا أَرَادُوْا هَلَكُوْا جَمِيْعًا وَإِنْ أَخَذُوْا عَلَى أَيِدِيْهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيْعاً
Perumpamaan orang-orang yang menegakkan hukum-hukum Allah dan orang-orang yang melanggarnya bagaikan suatu kaum yang berbagi-bagi tempat di sebuah kapal, sebagian dari mereka ada yang mendapatkan bagian atas kapal, dan sebagian lainnya mendapatkan bagian bawahnya. Orang-orang yang berada di bagian bawah kapal, jika hendak mengambil air, melewati orang-orang yang berada di atas mereka. Mereka berkata, “Seandainya kita melubangi bagian kita dari kapal ini, niscaya kita tidak akan mengganggu orang-orang yang berada di atas kita.” Apabila mereka semua membiarkan orang-orang tersebut melaksanakan keinginannya, niscaya mereka semua akan binasa; jika mereka mencegah orang-orang tersebut, niscaya mereka selamat dan menyelatkan semuanya. (HR al-Bukhari).
Ilustrasi Rasulullah saw. itu amat sesuai dengan realitas kehidupan. Sebagai contoh, korupsi dan privatisasi sumber daya alam milik umum adalah perbuatan maksiat. Ketika perbuatan itu dikerjakan oleh segelintir orang yang menjadi penguasa di negeri ini dan berakibat kepada kebangkrutan negara, seluruh rakyat ikut menanggung akibatnya. Demikian juga penggundulan dan pembakaran hutan. Banjir bandang, tanah longsor, dan pengapnya asap akibat perbuatan maksiat itu dirasakan seluruh orang.
Ketiga: agar peristiwa mengerikan itu tidak terjadi, setiap kemungkaran harus dicegah. Syariah telah mewajibkan pelaksanaan amar makruf nahi mungkar. Syariah juga menetapkan beberapa mekanisme untuk memberantas kemungkaran. Secara individual, setiap Muslim yang melihat kemungkaran wajib mengubahnya dengan tangannya, atau dengan lisannya, atau dengan hatinya; dan itu adalah selemah-lemahnya iman. (HR Muslim dari Abu Hurairah dan Ahmad dari Abu Said al-Khudri). Kewajiban melakukan amar makruf nahi mungkar juga dibebankan kepada kelompok, jamaah, atau partai dari kaum Muslim (QS Ali Imran [3]: 104).
Kewajiban mencegah kemungkaran juga ditugaskan kepada penguasa. Penguasa dibebani tugas untuk menjatuhkan sanksi tegas kepada setiap pelaku kemaksiatan. Telah maklum, dalam Islam terdapat empat jenis sanksi bagi pelaku kriminal, yakni hudûd, jinâyât, ta’zîr, dan mukhâlafât. Pemberlakuan berbagai sanksi tegas itu dapat mencegah berkembangnya kemaksiatan dan kemungkaran di tengah-tengah masyarakat.
Oleh karena amar makruf nahi mungkar merupakan sebuah kewajiban, meninggalkannya merupakan kemaksiatan. Wajarlah jika suatu masyarakat meninggalkan aktivitas ini, mereka semua tertimpa musibah. Disadari atau tidak, membiarkan kemaksiatan sama halnya dengan bersekutu dalam maksiat.
Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
- As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 321; Said Hawa, al-Asâs fî Tafsîr, vol. 4 (Kairo: Dar al-Salam, 1999), 2150.
- Az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 9 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1991), 292.
- Ibn Katsir, Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, vol. 2, 804; Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 515; az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 9, 292.
- Ar-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, vol. 8, 120; Ibn Katsir, Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, vol. 2, 804; Ali ash-Shabuni, Sahfwah at-Tafâsîr, vol. 1 ((Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 464.
- Ar-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 385
- Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 204; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 190.
- Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 2, 190; al-Qasimi, 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 277
- An-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001); al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 2,
- Al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 304; al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 2,
- Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, vol. 8, 120; as-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 3, 322; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 2 , 204-205; al-Wahidi al-Naysaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 453; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 2, 304; as-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, vol. 2 (Beirut: Alam al-Kutub), 206.
0 komentar:
Posting Komentar