31 Januari 2012

Khilafah Usmani dan Kerajaan Islam Nusantara

Khilafah Usmani berperan besar membantu kerajaan-kerajaan Islam Nusantara dalam memerangi Portugis, termasuk membantu Kesultanan Aceh.

Oleh Makmur Dimila

Tak hanya ke Timur Tengah, Portugis juga menyebarkan pengaruhnya ke Samudera Hindia. Secara terang-terangan, Raja Portugis Emanuel I menyampaikan tujuan utama ekspedisi tersebut, “Sesungguhnya tujuan dari pencarian jalan laut ke India adalah untuk menyebarkan agama Kristian dan merampas kekayaan orang-orang Timur”.

Surat Kesultanan Aceh kepada Khilafah Turki Usmani. Foto | Indoforum.org

Khilafah Usmani di Turki tidak berdiam diri. Pada tahun 925H/1519 M, Portugis di Malaka digemparkan oleh berita tentang pengiriman armada Usmani untuk membebaskan Muslim Melaka dari penjajahan kafir. Kabar itu tentu menggembirakan umat Islam setempat.

Ketika Sultan Alaidin Riayat Syah II Al-Qahhar naik tahta di Aceh pada tahun 943 H/1537 M, menurutnya Aceh perlu meminta bantuan bala tentara dari Turki. Selain untuk mengusir Portugis di Melaka, juga untuk menakluk wilayah lain, khususnya daerah pedalaman Sumatera, seperti daerah Batak.

Al-Qahhar menggunakan pasukan Turki, Arab dan Habsyah. Dengan pasukan Khilafah Usmani 160 orang dan 200 pasukan dari Malabar, membentuk kelompok elit angkatan bersenjata Aceh. Al-Qahhar selanjutnya mengerahkan pasukan itu menakluk Batak di pedalaman Sumatera pada 946 H/1539 M.

Dalam indoforum.org yang ditulis oleh sumber anonim disebutkan, seorang sejarawan Universiti Kebangsaan Malaysia, Lukman Taib, mengakui adanya bantuan Khilafah Usmani dalam penaklukan wilayah sekitar Aceh.
Menurut Taib, perihal itu merupakan bukti perpaduan umat Islam yang memungkinkan Khilafah Usmani menyerang langsung wilayah sekitar Aceh. Bahkan, Khilafah mendirikan akademi tentara di Aceh: Askeri Beytul Mukaddes yang diubah menjadi ‘Pasukan Baitul Maqdis’, sehingga lebih sesuai dengan logat Aceh.

Pembentukan ketentaraan itu merupakan bukti “mencetak” pahlawan dalam sejarah Aceh dan Indonesia. Dari itu, hubungan Aceh dengan Khilafah Usmani sangat akrab. Aceh jadi bagian dari wilayah Khilafah. Persoalan umat Islam Aceh dianggap Khilafah sebagai persoalan dalam negeri yang mesti segera diselesaikan.

Nuruddin Ar-Raniry dalam Bustanul Salatin menulis, Sultan Alaidin Riayat Syah Al-Qahhar mengirim utusan ke Istanbul untuk menghadapi Khalifah. Utusan itu bernama Huseyn Effendi. Ia fasih berbahasa Arab. Ia datang ke Turki setelah menunaikan ibadah haji.

Pada Juni 1562 M, utusan Aceh itu tiba di Istanbul untuk meminta bantuan ketentaraan Usmani untuk menghadapi Portugis. Duta itu dapat mengelak dari serangan Portugis dan sampai di Istanbul. Ia mendapat bantuan Khilafah dan menolong Aceh membangkitkan pasukannya sehingga dapat menakluk Aru dan Johor pada 973 H/1564 M.

Hubungan Aceh dengan Khilafah terus berlanjut, terutama untuk menjaga keamanan Aceh dari serangan Portugis. Pengganti Al-Qahhar II, yaitu Sultan Mansyur Syah (985-998 H/1577-1588 M) kemudian memperbaharui hubungan politik dan ketenteraan dengan Khilafah Usmani.

Hal itu diperkuat oleh sumber sejarah Portugis. Uskup Jorge de Lemos, kepercayaan Raja Muda Portugis di Goa, pada tahun 993 H/1585 M, melaporkan kepada Lisbon bahwa Aceh telah kembali berhubungan dengan Khalifah Usmani untuk mendapatkan bantuan ketentaraan. Bantuan itu untuk melancarkan peperangan baru terhadap Portugis.

Pemerintah Aceh berikutnya, Sultan Alaidin Riayat Syah (988-1013 H/1588-1604 M) juga dilaporkan telah melanjutkan lagi hubungan politik dengan Turki. Bahkan, Khilafah Usmani telah mengirim sebuah bintang kehormatan kepada Sultan Aceh dan mengizinkan kapal-kapal Aceh untuk mengibarkan bendera Khilafah.

Hubungan akrab antara Aceh dan Khilafah Usmani telah berperanan mempertahankan kemerdekaannya selama lebih 300 tahun. Kapal-kapal atau perahu yang digunakan Aceh dalam setiap peperangan terdiri dari kapal kecil dan kapal-kapal besar. Kapal-kapal besar atau tongkang yang mengarungi lautan hingga Jeddah berasal dari Turki, India, dan Gujarat. Dua daerah ini merupakan wilayah Khilafah Usmani.

Kapal-kapal besar dari Turki itu dilengkapi meriam dan senjata lain yang digunakan Aceh untuk menyerang penjajah Eropa yang mengganggu wilayah-wilayah muslim di Nusantara. Aceh tampil sebagai kekuatan besar yang amat ditakuti Portugis, karena diperkuat perlengkapan senjata dari Turki.

Bukti kejayaan Khilafah Usmani menghalang Portugis di Lautan Hindi tersebut amat besar. Di antaranya mampu mempertahankan tempat-tempat suci dan jalan-jalan untuk menunaikan haji; kesinambungan pertukaran barang-barang India dengan pedagang Eropa di Pasar Aleppo (Syria), Kaherah, dan Istanbul; serta kesinambungan laluan perdagangan antara India dan Indonesia dengan Timur Jauh melalui Teluk Arab dan Laut Merah.

Hubungan beberapa kesultanan di Nusantara dengan Khilafah Usmani yang berpusat di Turki tampak jelas. Misalnya, Islam masuk Buton (Sulawesi Selatan) abad 16 M. Silsilah Raja-Raja Buton menunjukkan bahawa setelah masuk Islam, Lakilaponto dilantik menjadi ‘sultan’ dengan gelar Qaim ad-Din (penegak agama) yang dilantik oleh Syekh Abd al-Wahid dari Mekah.

Sejak itu, dia dikenali sebagai Sultan Marhum dan semenjak itu juga nama sultan disebut dalam khutbah Jumat. Menurut sumber setempat, penggunaan gelaran ‘sultan’ ini berlaku setelah dipersetujui Khilafah Usmani (ada juga yang mengatakan dari penguasa Mekah).

Syeikh Wahid mengirim kabar kepada Khalifah di Turki. Realitas itu menunjukkan Mekah berada dalam kepemimpinan Khilafah, dan Buton memiliki hubungan ‘struktur’ secara tidak kuat dengan Khilafah Turki Usmani melalui perantaraan Syekh Wahid dari Mekah.

Sementara itu, di wilayah Sumatera Barat, Pemerintah Alam Minangkabau yang memanggil dirinya sebagai “Aour Allum Maharaja Diraja” dipercayai adalah adik lelaki sultan Ruhum (Rum). Orang Minangkabau percaya bahwa pemerintah pertama mereka adalah keturunan Khalifah Rum (Usmani) yang ditugaskan untuk menjadi Syarif di wilayah tersebut. Ini memberikan maklumat bahwa kesultanan tersebut memiliki hubungan dengan Khilafah Usmani.

Di samping adanya hubungan langsung dengan Khilafah Usmani, ada beberapa kesultanan yang berhubungan secara tidak langsung, misalnya Kesultanan Ternate. Pada tahun 1570an, ketika perang Soya-soya melawan Portugis, Sultan Ternate, Baabullah, dibantu Nusa Tenggara yang terkenal dengan armada perahu dan Demak dengan pasukan Jawa.

Begitu juga Aceh dengan armada laut yang perkasa dan kekuatan 30.000 buah kapal perang telah menyekat pelabuhan Sumatera dan menyekat pengiriman bahan makanan dan peluru Portugis melalui India dan Selat Melaka.

Berdasarkan beberapa cerita di atas, jelas bahwa kesultanan Islam di Nusantara memiliki hubungan dengan Khilafah Usmani. Bentuk hubungan tersebut berbentuk perdagangan, ketenteraan, politik, dakwah, dan kekuasaan.(indoforum.org)

Kejayaan Negara Islam Periode Usmani

Para sarjana Islam menemukan dan mengembangkan bubuk mesiu serta senjata peledak mulai awal abad ke-12. Tak lama setelah memproklamirkan kedaulatannya sekitar tahun 1300 M, Kekhalifahan Usmani kian memperluas cengkraman kekuasaannya ke seantero dunia.

Eropa pun berhasil ditaklukkan kerajaan yang awalnya berpusat di baratlaut Anatolia itu. Kesuksesan Usmani menguasai wilayah yang begitu luas ditopang teknologi militer modern dan tercanggih di zamannya.

Ruslan menulis pada Republika, pada masa pemerintahan Sultan Muhammad II, Kerajaan Usmani sudah mulai mengembangkan senjata meriam. Teknologi meriam yang dikembangkan pada era kejayaan Usmani tersebut terbilang paling mutakhir. Senjata meriamnya sudah bisa dibagi menjadi dua bagian. Sehingga, memudahkan saat di bawa ke medan perang.

Pada abad ke-15 hingga 16 M, negara-negara Eropa belum memiliki meriam secanggih itu. Meriam berukuran besar itu secara khusus diciptakan pada 1464 M atas pesanan Sultan Mehmet II. Sang Penakluk- begitu Sultan Muhammad II dijuluki-sengaja memesan meriam berukuran raksasa yang belum ada sebelumnya.

Berat meriam raksasa yang dikenal dengan Meriam Mehmed II itu mencapai 18 ton. Panjangnya sekitar 5,23 meter dan diameternya mencapai 0,635 meter. Panjang larasnya mencapai 3,15 meter dan tempat mesiunya berdiameter 0,248 meter.

Selain itu, pasukan artileri (bagian meriam) yang dimiliki Sultan Muhammad juga diperkuat oleh sederet desainer dan insinyur yang mumpuni di bidang teknologi persenjataan. Beberapa ahli meriam yang termasyhur yang bergabung dalam tim artileri itu antara lain, Saruca Usta dan Muslihiddni Usta.

Tak sedikit pula non-Muslim bergabung dalam kelompok artileri. Mereka adalah orang-orang miskin yang tak puas dengan kebijakan Bizantium. Saat menaklukkan Konstantinopel,—ibu kota Bizantium—pasukan tentara Usmani mengepung dan menjebol benteng pertahanan musuh dengan meriam tercanggih, di zamannya.

Senjata meriam raksasa yang diciptakan pada masa kejayaan Daulah Usmani itu memiliki daya jangkau dan daya ledak yang terbilang luar biasa. Dalam Pertempuran Dardanelles, meriam itu mampu menenggelamkan enam kapal Sir John Ducksworth. Jangkauan Meriam Mehmet II mampu melintasi selat sejauh satu mil.

Meriam raksasa itu kini berada di Fort Nelson Museum. Konon, meriam itu dihadiahkan Sultan Abdulaziz kepada Ratu Victoria sebagai hadiah. Pada saat berkuasa Sultan Abdulaziz sempat diundang oleh Ratu Victoria. Setahun kemudian, meriam bersejarah itu pun dihibahkan kepada sang ratu.

Para sarjana Islam menemukan dan mengembangkan bubuk mesiu serta senjata peledak mulai awal abad ke-12. Pengembangan teknologi senjata itu dilakukan menyusul terjadinya Perang Salib I. Saat itu umat Islam terutama Turki berperang melawan pasukan tentara Salib (crusader).

Pengembangan senjata berdaya ledak serta bubuk mesiu dikembangkan di Syria, khususnya Damaskus. Pemerintahan Turki yang menguasai wilayah itu banyak mendirikan sekolah. Para sarjana Islam pun bergelut menciptakan bubuk mesiu sebagai bahan peledak untuk roket.

Dalam kitabnya berjudul Kitab alfurusiya val-muhasab al-harbiyaI dan Niyahat al-su’ul val-ummiya fi ta’allum a’mal al-furusiya, insinyur Islam, Hasan ar-Rammah Najm al-Din al-Ahdab, pada abad ke-13 M, merumuskan dan menciptakan bubuk mesiu, persenjataan. Selain itu, untuk pertama kalinya, Hasan ar-Rammah mengungkapkan tentang torpedo yang digerakkan sistem roket.

Dalam kitab yang ditulis pada tahun 1275, Hasan ar-Rammah, mengilustrasikan sebuah torpedo yang diluncurkan sebuah roket yang berisi bahan peledak. Selain itu, umat Islam juga memiliki buku tentang persenjataan dan militer penting lainnya, seperti Kitab anaq fi’l manajniq yang khusus ditulis untuk Ibnu Aranbugha Al-ZardkÉsh, komandan pasukan Ayyubiyah. Namun, penulis kitab itu tak dikenal.

Buku tentang persenjataan lainnya yang ditulis sarjana Islam adalah Kitab al-hiyal fi’l-hurub ve fath almada’in hifz al-durub (roket, bom, dan panah api) ditulis oleh Komandan Turki Alaaddin Tayboga Al-Umari Al-Saki Al-Meliki Al- Nasir. Kitab lainnya yang mengupas tentang roket ditulis Ibnu Arabbugha berjudul KitabÅl anik fil manajik kitabÅl hiyal fil hurub fi fath.

Barat juga kerap mengklaim bahwa roda terbang atau mesin terbang pertama kali diciptakan Leonardo da Vinci. Sesungguhnya, da Vinci itu banyak terpengaruh oleh karya-karya sarjana Islam bernama Al-Hazen. Selain itu, yang patut diketahui umat Islam adalah tulisan tangan karya-karya insinyur Islam bernama Ahmad bin Musa masih berada di perpustakaan Vatikan.

Peradaban Islam-Turki tercatat sebagai perintis dunia penerbangan jauh sebelum dunia Kristen-Eropa. Seorang sajana Turki bernama Sayram telah meneliti hubungan antara permukaan sayap burung dengan berat badannya untuk menemukan sebab-sebab burung bisa terbang. Penemuan itu membuat horizon baru dalam bidang aerodinamis.

Upaya penerbangan yang paling menarik dilakukan dua ilmuwan Muslim Turki, Hazarfan Ahmed Celebi dan Lagarå. Hasan Celebi pada tahun 1630 M-1632 M pada masa pemerintahan Sultan Murad IV. Evliya Celebi yang menyaksikan peristiwa bersejarah dalam dunia teknologi Islam itu menuturkan kesaksiannya.

“Hazarfan Ahmed Celebi, pertama kali mencoba terbang sebanyak delapan atau sembilan kali dengan sayap elang menggunakan tenaga angin,’’ ujar Evliya Celebi dalam buku catatan perjalannya yang masih tersimpan di Perpustakaan Istanbul.

Sultan Murad Han menyaksikan uji coba terbang itu dari bangunan besar bernama Sinan Pasha di Sarayburnu. Hazarfan Ahmed Celebi terbang dari puncak menara Galata dan mendarat di Dogancilar Square yang terletak di Uskudar dengan bantuan angin dari arah barat daya. Atas prestasinya itu, Sultan menghadiahinya koin emas.

‘”Hazerpan Ahmed Celebi telah membuka era baru dalam sejarah penerbangan,’’ papar Sultan Murad, insinyur sekaligus penerbang. Lagarå Hasan Celebi, juga tercatat terbang dengan menggunakan tujuh sayap roket dan mendarat dengan selamat di laut. Sosok Lagarå Hasan Celebi itu sangat patut mendapat tempat khusus dalam sejarah penerbangan.

Tangguh di Darat, Kuat di Laut

Hegemoni Kesultanan Usmani semakin menggurita tatkala Konstantinopel—ibu kota Kekaisaran Bizantium—pada 1453 M berhasil ditundukkan. Sejak itu, pemerintahan Usmani pun mengembangkan Istanbul (kota Islam) menjadi pusat pelayaran.

Sultan Muhammad II pun menetapkan lautan dalam Golden Horn sebagai pusat industri dan gudang persenjataan maritim. Dia menitahkan komandan angkatan laut, Hamza Pasha, untuk membangun industri dan gudang persenjataan laut.

Tak hanya itu, pemerintahan Ottoman juga berhasil membangun sebuah kapal di Gallipoli Maritime Arsenal. Di bawah komando Gedik Ahmed Pasha (1480 M), Daulah Usmani membangun basis kekuatan lautnya di Istanbul. Tak heran, jika marinir Turki mendominasi Laut Hitam dan menguasai Otranto.

Pada era kekuasaan Sultan Salim I (1512-1520), pusat persenjataan maritim di Istanbul dimodifikasi. Salim I berambisi untuk menciptakan Daulah Usmani yang tak hanya tanggung di darat, tapi juga kuat di lautan. Selain mengembangkan Pusat persenjataan Maritim Istanbul, Sultan juga memerintahkan membangun kapal laut yang besar.

Tak heran, jika Salim I kerap berseloroh, “Jika scorpions (Kristen) menempati laut dengan kapalnya, jika bendera Paus dan raja-raja Prancis serta Spanyol berkibar di Pantai Trace, itu semata-mata karena toleransi kami.’’

Salim I bertekad memiliki angkatan laut yang besar dan kuat untuk menguasai lautan. Pembangunan dan perluasan pusat persenjataan maritim pun akhirnya dilakukan dari Galata sampai ke Sungai Kagithane River dibawah pengawasan Laksamana Cafer dan tuntas pada 1515 M. Total dana yang dikucurkan untuk pembangunan pusat pertahanan dan persenjataan bahari itu menghabiskan 50 ribu koin. Sebanyak 150 unit kapal dibangun.

Dilengkapi dengan kapal laut terbesar di dunia, pada abad ke-16 M, Turki Usmani telah menguasai Mediterania, Laut Hitam, dan Samudera Hindia. Tak heran, bila kemudian Daulah Usmani kerap disebut sebagai kerajaan yang bermarkas di atas kapal laut.

Sultan Selim I mulai kembali melirik pentingnya membangun kekuatan di lautan setelah kembali dari Mesir. Sebelumnya, kekuasaan Usmani Turki telah menguasai pelabuhan penting di Timur Mediterania, seperti Syiria dan Mesir. Pembangunan pelabuhan dan pusat persenjataan maritim terus dikembangkan oleh sultansultan berikutnya. Pada masa kejayaannya, Turki Usmani sempat menjadi Adikuasa yang disegani bangsabangsa di dunia baik di darat maupun di laut.

Bisnis Senjata di Era Usmani

Berniaga tak mengenal batas, begitu kata pepatah. Sekalipun Daulah Usmani bersitegang dan bermusuhan dengan Eropa, namun aktivitas perdagangan tak lantas berhenti. Pada era itu, tulis Heri Ruslan di Republika edisi 12 Maret 2008), perdagangan senjata di pasar gelap antara Turki dan Eropa masih terus berlangsung.
Padahal, penguasa di benua Eropa termasuk Paus melarang warganya untuk berbisnis dengan Usmani Turki. Larangan itu diberlakukan Paus Gregory XI pada 15 Mei 1373 M. Pada pertengahan abad ke-14, persenjataan mulai berkembang ke negara-negara Eropa, sebagai teknologi militer baru. Namun, kala itu bisnis persenjataan belum begitu pesat.

Selain melarang berbisnis senjata dengan Daulah Usmani, Paus juga tak mengizinkan umat Kristiani untuk membeli kuda, besi, tembaga, dan barang-barang lainnya. Larangan berbisnis dengan Kesultanan Usmani diterapkan beberapa negara melalui undang-undang.

Larangan itu tak berdampak besar bagi Kerajaan Ottoman. Turki Usmani masih dengan mudah bisa memperoleh amunisi. Daulah Usmani tetap bisa memeroleh pasokan baja dan amunisi untuk kebutuhan militer dari Dubrovnik, Florence, Venicia, dan Genoa pada abad ke-14 M hingga 16 M. Bahkan, dua kota di Italia, Venicia dan Genoa hidup dari perdagangan.[dbs/harian-aceh/taman-langit7.co.cc]

1 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites