Pandangan Islam Tentang Asuransi

Asuransi syariah dikampanyekan sebagai alternatif bagi kaum muslim untuk menjalankan akad asuransi. Sesuai dengan fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) tentang Pedoman Umum tentang Asuransi Syariah disebutkan bahwa asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan / atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.

Yang Teristimewa Bagi Wanita

"...Wahai pena..! Titiplah salam kami teruntuk kaum wanita. Tak usah jemu kau kabarkan bahwa mereka adalah lambang kemuliaan. Sampaikanlah bahwa mereka adalah aurat ..."

Sistem Pemerintahan Islam Berbeda dengan Sistem Pemerintahan yang Ada di Dunia Hari ini

Sesungguhnya sistem pemerintahan Islam (Khilafah) berbeda dengan seluruh bentuk pemerintahan yang dikenal di seluruh dunia

Video: Puluhan Ribu Warga Homs Suriah Berikrar, Pertolongan Bukan dari Liga Arab atau Amerika Tapi dari Allah!

.

Analisis : Polugri AS di Asia Tenggara

Secretary of State Amerika Serikat Hillary Clinton 21 Juli 2011 lalu berkunjung ke Indonesia. Sebelumnya, dia melawat dua hari ke India untuk ambil bagian dalam konferensi tingkat menteri ASEAN yang diselenggarakan di Bali 22 Juli.

Khilafah: Solusi, Bukan Ancaman

Berbagai macam dampak destruktif akibat penerapan sistem kapitalis-sekular telah mendorong manusia untuk mencari sistem baru yang mampu mengantarkan mereka menuju kesejahteraan, keadilan, kesetaraan dan kemakmuran. Dorongan itu semakin kuat ketika kebijakan-kebijakan jangka pendek dan panjang selalu gagal mencegah dampak buruk sistem kapitalis.

MIMPI PARA ULAMA BUKAN SEMBARANG MIMPI

Apakah Anda tadi malam bermimpi? Apa mimpi Anda? Kata orang, mimpi hanyalah kembang (bunga) orang tidur. Maksudnya, mimpi tidak bermakna signifikan. Tapi, sebenarnya tidak semua mimpi tak ada artinya.

Nasehat Imam Abdurrahman bin Amru al-Auza’iy :Empat Tipe Pemimpin

Ada nasihat berharga yang disampaikan Imam Abdurrahman bin Amru al-Auza’iy kepada Khalifah Abu Ja’far al-Manshur, ketika ulama besar itu dimintai nasihat.

21 Juni 2010

Cacat Bawaan Demokrasi

Demokrasi telah membajak suara mayoritas rakyat untuk kepentingan segelintir elit yang haus kekuasaan dan rakus kekayaan
 
Democracy in both America and Britain is coming underscrutiny these days. Quite apart from the antics of MPs and congressmen, it is said to be sliding towards oligarchy, with increasing overtones of autocracy. Money and its power over technology are making elections unfair. The militaryindustrial complex is as powerful as ever, having adopted “the menace of global terrorism” as its casus belli. Lobbying and corruption are polluting the government process. In a nutshell, democracy is not in good shape. (Simon Jenkins)

Demokrasi, baik di Amerika maupun di Inggris, tengah menjadi objek telaah pada hari-hari ini. Terlepas dari berbagai kelakar tentang Perdana Menteri dan para anggota Kongres, demokrasi acapkali dikatakan sedang meluncur menuju sistem oligarki. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa demokrasi sedang bermetamorfosis menjadi otokrasi. Uang dan kekuatannya atas teknologi sering menjadikan proses pemilihan umum menjadi tidak fair. Afiliasi kekuatan militer dan industri menjadi sangat digdaya, terlebih setelah mengadopsi semboyan “perang melawan terorisme”. Lobby dan korupsi mencemari berbagai proses pemerintahan. Singkat kata, demokrasi tengah berada dalam kondisi yang tidak baik (sakit). (Simon Jenkins, mantan editor The Times, Guardian, 8 April 2010)

Democracy is not in good shape(demokrasi dalam keadaan tidak baik/sakit)! Penggalan artikel Simon Jenkisn diatas , mencerminkan kegelisahannya tentang kondisi demokrasi sekarang. Memang , apa yang dikatakan dikatakan Simon Jenkis benar adanya. Indonesia yang memang mengadopsi demokasi juga mengalami hal yang sama. Lihatlah, ternyata klaim Abraham Lincoln  : demokrasi dari rakyat , oleh rakyat, untuk rakyat, tidak terbukti sepenuhnya.

Demokrasi telah membajak suara mayoritas rakyat untuk kepentingan segelintir elit yang haus kekuasaan dan rakus kekayaan, permainan ini dimainkan oleh segelintir orang yang mengklaim dirinya wakil rakyat atau pemerintah dipilih oleh mayoritas rakyat. Mereka membuat kebijakan yang justru jauh dari kepentingan rakyat. Usulan dana aspirasi 15 milyar , dana akal-akalan dengan alasan pembinaan daerah pemilihan yang berarti akan menjebol 8,4 trilyun APBN , pembangunan gedung ‘miring’ DPR yang menelan 1,8 trilyun, mencerminkan hal itu.

Disisi lain, rakyat terus diancam terror kenaikan listrik, BBM, air, mahalnya biaya kesehatan, pendidikan dan kebutuhan pokok mereka lainnya. Tindakan anti rakyat ini meneruskan kebijakan elit sebelumnya yang menaikkan BBM, mengeluarkan UU pro pasar yang mensengsarakan rakyat (UU Migas, UU Penanaman Modal, UU Kelistrikan, UU BHP dll)

Seperti yang dikatakan oleh Simon Jenkins diatas, loby dan korupsi telah mencemari proses pemerintahan. Memang, demokrasi yang mahal dan elitis, telah melahirkan simbiosis mutalisme antara kelompok pemilik modal (kapital) dan politisi yang ujung-ujungnya merugikan rakyat. Apa yang disebut oleh Sri Mulyani dengan istilah perkawinan  untuk menggantikan istilah kartel politik.

Menurutnya, dengan semua episode yang terjadi di ruang publik, rakyat sebagai pemegang saham utama berhak memilih chief executive officer republik ini dan juga memilih orang-orang yang menjadi pengawas CEO. Proses ini, lanjut Sri, tak murah dan mudah. Untuk mendapatkan dana luar biasa itu, mau tidak mau, kandidat harus “berkolaborasi” dengan sumber finansial. Kandidat di tingkat daerah, tak mungkin kolaborasi pendanaan dibayar dari penghasilan. Satu-satunya cara yang memungkinkan yakni melalui jual beli kebijakan.
Politik transaksional ini kemudian didominasi oleh tawar menawar kekuasaan dan saling mengancam yang berujung pada saling damai  untuk kepentingan segelintir elit. Kasus Century yang tadinya demikian panas dan menelan dana rakyat 2,5 milyar ini melempem, tidak jelas nasibnya. KPK yang tadinya sangat diharapkan malah mengatakan belum ada indikasi korupsi, padahal keputusan DPR jelas-jelas menyatakan ada penyimpangan. Yang jelas ‘solusi’ Century ini menyelamatkan elit politik  yang berkuasa. Presiden SBY tidak tersentuh, Boediono aman, Srimulyani selamat, Ical senang. Sementara rakyat gigit jari.

Lobi dan korupsi ini pula yang membuat tatanan hukum kita amburadul dan hancur-hancuran. Dalam kasus penyuapan  BI, yang disuap dihukum , sementara yang menyuap masih aman. Susno yang mengangkat kasus korupsi di kepolisian malah dijadikan terdakwa , sebaliknya yang dituduh korupsi belum tersentuh. Sistem demokrasi ini kemudian melahirkan sistem yang korup disemua lembaga (eksekutif,legislatif, dan yudikatif).
Sakitnya demokrasi ini, jelas bukan sekedar kasuistis atau penyimpangan dari demokrasi, tapi cacat bawaan demokrasi. Yang paling mendasar adalah ketika demokrasi menyerahkan kedaulatan di tangan rakyat, dengan asumsi suara mayoritas rakyat adalah kebenaran, suara rakyat sama dengan suara Tuhan. Padahal bagaimana bisa dikatakan benar ketika mayoritas suara rakyat di Amerika bagian selatan pada abad ke 19 mendukung perbudakan, sebagian besar rakyat Jerman memilih Hitler dan mendukung undang-undang Nuremburg pada tahun 1930-an.  Atas nama suara rakyat pula jilbab dilarang di Perancis. Pengiriman pasukan Perang ke Irak, Afghanistan, dukungan terhadap Israel juga lewat proses demokrasi AS.

Ketika kebenaran diserahkan pada manusia, disitulah hawa nafsu dan kepentingan manusia lebih dominan. Ketika elit pemilik modal dan politisi  mendominasi demokrasi, lahirlah kebijakan untuk kepentingan mereka sendiri, bukan rakyat. Bukti lain cacat bawaan demokrasi , klaim demokrasi terbukti hanya ilusi. Janji kesejahteraan, stabilitas dunia, menjunjung HAM hanyalah omong kosong. Kampiun demokrasi seperti AS saja gagal. Walhasil, tidak ada jalan lain, bagi kita untuk kembali kepada syariah Islam yang berasal dari Allah SWT yang Maha Sempurna. Mengganti sistem yang cacat ini.
(Farid Wadjdi; TMU 38)


HT – Sebuah Analisis Politik

Oleh : Dr. Ing. Fahmi Amhar

Hizbut Tahrir (“Partai Pembebasan”) adalah sebuah fenomena politik Indonesia y ang unik. Dari seratus lebih parpol yang mewarnai pentas nasional sejak reformasi 1998, HT adalah “partai” yang barangkali tertua. Didirikan 1953 di Jordania, HT dari  awal menyebut dirinya partai politik, bukan sekedar gerakan dakwah. Sifatnya yang kosmopolit dan internasional, membuat HT berada di mana-mana. Di Indonesia HT eksis dengan legalitas sebagai organisasi massa dengan nama HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Untuk memahaminya, berikut sekilas “yang unik” dari HT.

1. Da’wah Group – but also Political Party (Kelompok dakwah - tapi juga partai politik)
HT adalah kelompok dakwah, yang diperintahkan menasehati siapa saja (QS 3:104), sedang yang paling berhak dinasehati itu adalah penguasa, yang mengurusi segala masalah ummat (tanpa dibatasi). Maka dakwah seperti ini bisa disebut aktivitas politik, dan kelompoknya bisa disebut partai politik.

2. Politics – but smart & smarting the people (Politik - tapi cerdas dan mencerdaskan masyarakat)
Namun aktivitas politik HT adalah “high-politics” atau “smart and smarting politics”. HT mendidik masyarakat agar sadar hak dan kewajiban islaminya, sehingga mereka bisa mengawasi penguasanya, agar memerintah sesuai dengan Islam. Bagi HT sudah cukup bahwa masyarakat bersama penguasanya berjalan islami, tanpa harus berkuasa sendiri.

3. Political party – but extra parlementary (Partai politik - tapi ekstra parlemen)
Meski HT adalah partai politik, namun HT memilih berjalan di luar parlemen. Karena itu HT juga tidak berminat turut dalam Pemilu, sekalipun memiliki massa yang banyak. Ini karena HT memandang, parlemen dalam sistem demokrasi tidak sepenuhnya kompatibel dengan Islam, dan tidak akan mampu memberi jalan bagi tegaknya Islam di manapun. Dan fakta sejarah di berbagai negara menunjukkan bahwa perubahan yang revolusioner tidak pernah, tidak bisa dan tidak perlu melalui jalan parlemen. Meski demikian HT membolehkan seorang muslim yang memperjuangkan Islam via parlemen untuk muhasabatul hukkam (menasehati penguasa) atau untuk menguak hukum-hukum atau perilaku penguasa yang bertentangan dengan Islam.

4. Revolutionary – but start in the mind (Revolusioner - tapi mulai dari pemikiran)
Meski HT mengidamkan perubahan revolusioner, namun itu bukan revolusi (ala) sosialis. Revolusi yang dicitakan adalah revolusi pemikiran. Pemikiran-pemikiran busuk di masyarakatlah yang menjadi sebab busuknya sistem dan rusaknya para penguasa. Karena itu pemikiran busuk ini harus digantikan dengan pemikiran Islam yang cemerlang, yang pada saatnya akan mencerahkan masyarakat, sehingga mereka mampu memilih penguasa yang tercerahkan. Pemikiranlah yang akan menggerakkan perubahan – bahkan revolusi – di segala bidang (QS 13:11).

5. Social Change – but not forget Individu (Perubahan sosial - tapi tidak melupakan individu)
Meski HT memperjuangkan perubahan masyarakat, namun ini tidak didrop dari atas, ataupun didongkrak dari bawah (individu-individu). Masyarakat tidak sekedar himpunan individu, namun individu-individu yang berinteraksi dan diikat pemikiran, perasaan dan peraturan yang sama. Karena itu HT mendidik secara individual para kadernya, seraya bersama-sama melakukan interaksi ke masyarakat untuk merubah opini umumnya. Bila kader-kader itu kebetulan memiliki power, sementara opini umum juga sudah kondusif untuk Islam, maka perubahan sistem akan berjalan mulus. Selanjutnya sistem baru yang islami ini akan memacu islamisasi lagi, tanpa harus membuat semua orang menjadi kader.

6. Fundamental – but not dogmatic (Fundamental - tapi tidak dogmatis)
Sebagai gerakan yang merindukan tegaknya syariat Islam yang diyakini satu-satunya alternatif mengatasi krisis multi dimensi, HT dapat dibilang ada di kubu “fundamentalis”, atau “revivialis”. Namun demikian, HT bukan gerakan dogmatis. Bahkan untuk masalah aqidah saja (untuk pertanyaan: mengapa mesti percaya pada Islam?), HT menggunakan metode rasional semata. Karena itu oleh sebagian gerakan lain -juga di kubu fundamentalis – HT pernah disalahpersepsikan sebagai neo-mu’tazilah. Dalam fiqh, HT menelusuri dalil secara mendalam, tanpa terbelenggu keharusan mengikuti madzhab tertentu.

7. Syariat Islam – but not just “Jakarta Charter”(Syariat Islam - tapi bukan sekedar Piagam Jakarta)
Meski menyerukan penerapan syariat Islam, namun berbeda dengan lainnya, HT tidak terjebak pada sekedar usaha memasukkan Piagam Jakarta ke amandemen UUD 45, atau pada jargon piagam Madinah. HT justru mengusulkan suatu rancangan konstitusi baru yang seluruh pasalnya diambil dari Islam, dan memandang piagam Jakarta maupun piagam Madinah baru sebagian kecil dari syariat itu sendiri. HT memandang syariat Islam sebagai solusi integral (politik-ekonomi-sosial-budaya-hankam). Karena itu syariat tidaklah sekedar hukum (=sanksi) Islam, seperti hukum potong tangan bagi pencuri atau rajam bagi pezina. Dalam masalah ekonomipun, ekonomi syariat tidak sekedar ekonomi anti riba plus zakat, namun lebih jauh mulai dari paradigma, teori kepemilikan, teori harga, peran negara dsb.

8. Islamic State – but not theocracy (Negara Islam - tapi bukan teokrasi)
HT memandang, suatu negara yang menjalankan syariat Islam, dan keamanannya dijamin oleh kaum muslim, adalah negara Islam. Namun negara itu bukanlah theokrasi yang dikuasai para padri yang memerintah atas nama Tuhan. Negara Islam adalah negara dunia, yang dihuni orang sholeh maupun orang jahat, muslim maupun bukan. Dalam negara Islam, meski kedaulatan ada pada syara’, namun kekuasaan ada pada rakyat, sedang manfaatnya ditujukan ke seluruh alam.

9. Unity of Umma – but not unity of party (Kesatuan Ummat - tapi bukan kesatuan partai)
Negara hanya tegak bila kaum muslim bersatu. Namun menurut HT, persatuan ummat tidak berarti harus menyatukan partai. Keberadaan banyak partai itu sunnatullah, karena memang ada banyak dalil yang bisa ditafsirkan beraneka. Ketika ada khalifah, dialah yang memutuskan pendapat mana yang akan dilegislasi dan mengikat semua orang, termasuk yang berbeda pendapat. Namun ini hanya untuk persoalan kemasyarakatan. Dan pendapat yang berbedapun boleh dipelajari. Inilah mengapa mazhab-mazhab fiqh tetap hidup, sekalipun khalifah saat itu melegislasi pendapat satu mazhab saja.

10. Khilafah – but not just group leader
(Khilafah - tapi bukan sekedar pemimpin kelompok)
Dan tentang figur khalifah, HT memandang khalifah bukan sekedar pemimpin jama’ah semacam yang ada pada Ahmadiyah atau Laskar Hizbullah. Namun khalifah adalah kepala negara dan pemerintahan. Khalifah juga bukan jabatan yang bisa diwariskan, karena ia semacam kontrak sosial. Adapun yang terjadi di masa lalu, harus dikaji secara jernih, dan pula sejarah bukanlah dalil hukum yang mengikat. 

11. Orthodox – but with ijtihad (Ortodoks - tapi dengan ijtihad)
HT sangat teguh memegang dalil syara’. Namun demikian HT juga sangat peduli pada ijtihad asal memenuhi syarat. Termasuk arena ijtihad yang subur adalah konsep pembentukan dan kebangkitan masyarakat. Ini karena ulama terdahulu tidak mewariskan sedikitpun kajian di sini, sebab saat itu tak ada yang membayangkan bahwa khilafah Islam yang besar dan berperadaban tinggi bisa runtuh.

12. Syura’ – but not democracy (Musyawarah - tapi bukan demokrasi)
HT membedakan syura’ dengan demokrasi. Proses pengambilan keputusan dibagi tiga: (1) Untuk masalah hukum, syura dilakukan untuk memilih pendapat yang terkuat argumentasinya – bukan terbanyak pendukungnya. (2) Untuk masalah teknis, serahkan pada ahlinya, bukan pendapat mayoritas. (3) Yang diserahkan pendapat mayoritas adalah hal-hal optional yang sama-sama mubah, misalnya memilih pejabat yang paling akseptabel, setelah semua sama-sama memenuhi syarat.

13. Radical – but not exclusive (Mendasar - tapi tidak eksklusif)
Sebagai gerakan yang memperjuangkan perubahan yang mendasar, HT dapat disebut gerakan radikal (radix = akar, mendasar). Namun HT jauh dari kesan eksklusif. HT berbaur di masyarakat dan tidak berpretensi membentuk perkampungan sendiri. Maka aktivis HT hanya bisa dikenali dari pemikirannya, tidak dari lahiriahnya. Kalaupun wanita aktivis HT berjilbab, itu bukan karena HT-nya, namun memang itu kewajiban Islam. Bahkan HT tidak punya bendera. Bendera hitam bertulisan kalimat tahlil putih yang sering dibawanya adalah bendera Islam. Dan ini boleh dibawa setiap muslim!

14. Substantive – but take also the symbols (Substansif - tapi juga mengambil aspek simbolis)
HT memandang segalanya dari sudut hukum syara’, dan tidak dari dikotomi substansi – simbol. Maka tak  perlu menonjolkan satu dan mengabaikan lainnya. Pengentasan kemiskinan atau pemberantasan KKN sama  wajibnya dengan menutup aurat atau sholat lima waktu. Keduanya harus didukung baik di tingkat individu dan – bila perlu – di tingkat negara.

15. Jihad – but peaceful (Jihad - tapi juga damai)
HT mengakui bahwa jihad memiliki makna bahasa “usaha sungguh-sungguh”. Namun syara’ telah memberi definisi spesifik, bahwa jihad adalah segenap usaha mengatasi kekuasaan tirani asing yang merintangi dakwah secara fisik. Jadi jihad tak hanya untuk mempertahankan diri, apalagi sekedar melawan hawa nafsu. Sedang usaha mengoreksi penguasa / melenyapkan kemungkaran di negeri Islam, tidaklah disebut jihad, melainkan dakwah atau nahi mungkar – dan ini tidak dengan kekerasan, kecuali penguasa daulah Islam mengkhianati baiat rakyatnya, yang mewajibkannya menerapkan Islam. Sedang usaha mendirikan daulah Islam itu sendiri, sama sekali harus tanpa kekerasan. Rasulullahpun saat di Mekkah, berjuang tanpa kekerasan, meski banyak pengikutnya disiksa. Revolusi pemikiran tak bisa tidak selain dengan pemikiran juga, melalui dialog, diskusi publik, media massa dsb.

16. Compromisless – but no violence (Tidak kompromi - tapi tanpa kekerasan)
Dalam aktivitasnya, HT tidak mengenal kompromi dalam masalah syara’, sekalipun bagi gerakan lain itu adalah manuver politik. Namun sikap anti kompromi ini tidak berarti HT pro kekerasan. Bahkan di Jakarta, HT mendapat penghargaan Polda, sebagai penggelar demo paling tertib di Jakarta. Hal ini karena HT memandang jalan raya sebagai milik publik dan haram menghalangi orang untuk lewat. Selain itu HT melihat polisi hanya sebagai alat negara. Dan preman, bahkan pelacur sekalipun bukanlah musuh, karena hakekatnya mereka juga korban dari sistem yang tidak islami.

17. Liberating – but not liberal (Membebaskan - tapi tidak liberal)
Meski memperjuangkan syariat Islam, HT memilih nama universal “Hizbut Tahrir” (Partai Pembebasan) –  tanpa label “Islam”, karena ini mubah. Namun pembebasan itu bukanlah liberalisme (bebas dari batasan  apapun kecuali yang bermanfaat baginya), melainkan pembebasan dari penghambaan pada sesama manusia menjadi pada Allah saja.

18. Tolerance – but not pluralism (Toleran - tapi tidak mengakui pluralisme)
Dari pemahaman bahwa ada dalil-dalil syara’ yang bisa ditafsirkan berbeda, HT toleran pada mereka yang masih punya “syubhatud dalil” (dalil tipis) yang masih islami. Atas pemikiran dan aktivitas gerakan lain, HT berpendapat bahwa gerakan lain itu islami, meski pendapatnya berseberangan dengan HT. Namun tidak berarti HT setuju dengan doktrin yang mengharuskan kekuasaan di-share ke kelompok dengan pemikiran yang berbeda-beda. Karena dalam masyarakat tetap harus ada suatu pemikiran tunggal yang mempersatukan. Untuk hukum yang menyangkut masyarakat luas (bukan soal Qunut atau rokaat tarawih), mau tidak mau HT harus dan akan mengambil sikap untuk memperjuangkan pendapat yang terkuat hujjahnya saja. Terhadap  pendukung pendapat islami lainnya, dikembangkan iklim dialog dan toleransi.

19. International – but work local (Internasional - tapi bekerja secara lokal)
Sedari awal HT sadar bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Karena itu, seluruh manusia pantas dijadikan sasaran dakwah. Maka HT ada di seluruh dunia, juga di negara-negara Barat. Dakwah memang harus dimulai dari entitas yang bisa diakses. Karena itu prioritas dakwah tetap pada kaum muslim dulu. Dan karena bangsa Arab adalah komponen muslim terbesar dengan ikatan emosional tertinggi, maka pada mereka dakwah lebih intensif

20. Local – but not nationalism
(Lokal - tapi bukan nasionalisme)
Namun meski bekerja secara lokal, tidak berarti HT setuju dengan nasionalisme atau patriotisme. Bahwa HT akan berdiri di garis depan bila negerinya diserang orang-orang kafir, itu pasti. Namun ini bukan karena merasa pengabdian tertinggi adalah pada bangsa dan negara, melainkan karena HT yakin membela negeri Islam dari serangan orang-orang kafir adalah kewajiban syara’.HT berpikir lebih kosmopolit dan globalisasi, karena syara’ setiap bicara tentang ummat Islam, tidaklah spesifik hanya untuk muslim di negeri tertentu saja. Demikian juga, cita-cita mendirikan khilafah Islam sebagai cikal bakal suatu “superstate” tidak tertuju hanya di wilayah teritorial tertentu saja, melainkan di mana saja yang memang paling kondusif untuk itu, di sanalah cita-cita itu akan mulai direalisasi. Tidak oleh HT, namun oleh ummat yang telah berubah cara berpikirnya.



Referensi:
Abdul Qadim Zallum: Nizhamul Hukum
Hizbut Tahrir: Ta’rif Hizbut Tahrir
Taqiyyudin An-Nabhani: Mafahim Hizbut Tahrir

19 Juni 2010

Meraih Keutamaan Tanpa Melupakan Kewajiban

Ada beberapa perkara yang sisi lahiriahnya adalah keutamaan, sedangkan sisi ‘batiniah’-nya adalah kewajiban: (1) membaca Alquran adalah keutamaan, mengamalkan isinya adalah kewajiban; (2) bergaul dengan orang-orang shalih adalah keutamaan, sementara meneladani keshalihan mereka adalah kewajiban; (3) ziarah kubur adalah keutamaan, sementara mempersiapkan bekal (dengan memperbanyak amal-amal shalih) sebelum masuk ke alam kubur adalah kewajiban. Demikian menurut Sayidina Utsman bin Affan ra dalam suatu riwayat, sebagaimana dikutip Imam an-Nawawi dalam sebuah kitabnya.

Melalui pesan Utsman di atas setidaknya kita memahami: Pertama, penting membaca Alquran, tetapi lebih penting lagi mengamalkan isinya; penting untuk selalu bergaul dengan orang-orang shalih, namun lebih penting lagi meneladani keshalihan mereka; penting untuk melakukan ziarah kubur, tetapi lebih penting lagi adalah mempersiapkan amal shalih untuk bekal di alam kubur.

Alasannya jelas. Bagaimanapun kewajiban harus lebih didahulukan daripada keutamaan. Sebab, tentu tak ada keutamaan jika yang wajib ditinggalkan, meski yang sunnah dikerjakan. Bagi seorang Muslim, membaca Alquran, misalnya, adalah sunnah dan keutamaan. Namun, jika isi Alquran yang ia baca tak diamalkan, tentu membacanya tidak lagi menjadi keutamaan bagi dirinya; sekadar menjadi ‘hiasan’, tetapi tak mendatangkan manfaat atau keberkahan. Sebab, bukankah Alquran Allah turun agar dijadikan pedoman, bukan sekadar dijadikan bacaan? Allah SWT bahkan telah mencela orang-orang yang mengabaikan isi Alquran (Lihat: QS al-Furqan [25]: 30). Banyak sikap dan perilaku yang oleh para mufassir dikategorikan sebagai tindakan mengabaikan Alquran. Di antaranya adalah tidak mengamalkan serta mematuhi perintah dan larangannya (Ibn Katsir, I/1335); tidak mau berhukum dengannya (Wahbah Zuhaili, IXX/61).

Saat ini banyak Muslim yang sering mengutamakan hal-hal yang sunnah, seraya mengabaikan perkara-perkara yang wajib. Mereka lebih menomorsatukan hal-hal yang sesungguhnya hanya merupakan keutamaan, sementara mereka menomorduakan hal-hal yang sesungguhnya merupakan kewajiban.

Mungkin kita pernah atau malah sering menyaksikan pemandangan berikut: seseorang rajin menghadiri majelis-majelis dzikir, tetapi dalam bekerja kepada orang lain ia sering mangkir; seseorang banyak melafalkan kalimat-kalimat thayyibah, namun banyak pula ia melakukan ghibah; seseorang rajin menunaikan shalat-shalat sunnah, tetapi rajin pula melakukan perkara-perkara bid’ah; seseorang biasa berpuasa senin-kamis, tetapi biasa pula bersikap pragmatis (tak peduli halal-haram); seseorang rajin bersedekah, namun tak peduli nafkahnya ia peroleh dari jalan yang salah; seseorang berkali-kali melakukan ibadah umrah, tetapi tak sekalipun ia mau saat diajak berdakwah; seseorang rajin membaca Alquran, namun perintah dan larangan yang ada di dalamnya sering ia abaikan; seseorang mengklaim cinta dan banyak bershalawat kepada Nabi SAW namun terhadap nasib Islam yang beliau bawa dan masa depan umatnya ia tak peduli; seseorang biasa  menyantuni fakir-miskin dan kaum dhuafa, namun biasa pula ia makan dari uang hasil riba; seseorang bergelar haji bahkan ke Makkah lebih dari sekali tetapi terhadap tetangganya yang miskin sering tak peduli; seseorang selalu berusaha menjaga citra dan kehormatan diri, namun auratnya ia pamerkan ke sana-kemari dan perilakunya tak terpuji; seseorang menjadi donatur kegiatan keagamaan/sosial di sana-sini, namun hartanya ternyata hasil korupsi. Demikian seterusnya hingga kita sering menyaksikan hal-hal yang saling berkontradiksi.

Padahal Allah SWT pun jelas telah mengutamakan kewajiban daripada perkara-perkara yang sunnah. Dalam sebuah hadits qudsi dinyatakan bahwa Allah SWT telah berfirman, “Tidak ada bentuk taqarrub seorang hamba kepada-Ku yang lebih Aku cintai daripada (mengerjakan) apa yang Aku wajibkan kepadanya. Seorang hamba terus-menerus bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya…” (HR al-Bukhari).

Melalui hadits qudsi ini, jelas Allah SWT menghendaki setiap Mukmin bertaqarrub kepada-Nya: pertama-tama dengan melaksanakan semua kewajiban, baik berupa fardlu ‘ain maupun fardlu kifayah; kemudian melengkapinya dengan menunaikan amalan-amalan sunnah. Dengan itu, keutamaan  bisa kita raih, dan kewajiban pun bisa kita tunaikan. Dengan itu pula, akan sempurnalah taqarrub kita kepada-Nya. Wa mâ tawfîqî illâ billâh. []  


arief b. iskandar

14 Juni 2010

SILATURAHMI

SILATURAHMI

Makna Bahasa
Silaturahmi (shilah ar-rahim dibentuk dari kata shilah dan ar-rahim. Kata shilah berasal dari washala-yashilu-wasl[an] wa shilat[an], artinya adalah hubungan. Adapun ar-rahim atau ar-rahm, jamaknya arhâm, yakni rahim atau kerabat. Asalnya dari ar-rahmah (kasih sayang); ia digunakan untuk menyebut rahim atau kerabat karena orang-orang saling berkasih saying, karena hubungan rahim atau kekerabatan itu. Di dalam al-Quran, kata al-arhâm terdapat dalam tujuh ayat, semuanya bermakna rahim atau kerabat.
Dengan demikian, secara bahasa shilah ar-rahim (silaturahmi) artinya adalah hubungan kekerabatan.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites