6 Mei 2010

PEMBENTUKAN KELOMPOK DAKWAH SAHABAT



Tiga tahun pertama setelah kenabian, Rasulullah saw. mengajak orang-orang yang telah memeluk Islam untuk dibina. Mereka sering berkumpul di ceruk-ceruk lembah di sekitar kota Makkah. Hal itu berlangsung hingga terjadi peristiwa perkelahian Sa‘ad bin Abi Waqash dengan kafir Quraisy yang mendapati Sa‘ad tengah menunaikan shalat di salah satu ceruk tersebut.


            Kemudian, Rasulullah saw. dan para sahabatnya menjalankan aktivitas (shalat dan pengkajian Islam, pen.) secara sembunyi-sembunyi di Darul Arqam, yaitu setelah peristiwa perkelahian Sa‘ad bin Abi Waqash- (Sîrah al-Halabiyah. jilid I/456). Hal itu dilakukan Rasul dan para sahabatnya hingga tibanya dakwah secara terang-terangan dan i‘lân (ekspose secara terang-terangan, pen.) pada tahun ke-4 setelah kenabian. (Ibid, jilid I/457).

            Jumlah para sahabat Rasul saw. selama tiga tahun pertama dakwahnya berjumlah 40 orang. Mereka membentuk kutlah (kelompok) yang siap mengemban dakwah. Mereka antara lain: Ali bin Abi Thalib yang berusia 8 tahun; Zubair bin Awwam, 8 tahun; Thalhah bin Ubaidillah, 11 tahun; Arqam bin Abi Arqam, 12 tahun; Abdullah bin Mas’ud, 14 tahun; Sa‘id bin Zaid, kurang dari 20 tahun; Sa‘ad bin Abi Waqash, 17 tahun; Mas‘ud bin Rabi‘ah, 17 tahun; Ja‘far bin Abi Thalib, 12 tahun; Shuhaib ar-Rumi, di bawah 20 tahun; Zaid bin Haritsah, 20 tahun; Utsman bin Affan, 20 tahun; Thalib bin Umair, 20 tahun; Khabab bin Arat, 20 tahun; Amir bin Fuhirah, 23 tahun; Mush‘ab bin Umair, 24 tahun; Miqdad bin Aswad, 24 tahun; Abdullah bin Jahsy, 25 tahun; Umar bin al-Khaththab, 26 tahun; Abu Ubaidah bin Jarrah, 27 tahun; Utbah bin Ghazwan, 27 tahun; Abu Hudzaifah bin Utbah, 30 tahun; Bilal bin Rabbah, 30 tahun; ‘Iyasy bin Rabi‘ah, 30 tahun; Amir bin Rabi‘ah, 30 tahun; Na‘im bin Abdillah, 30 tahun; Utsman, Abdullah, Qudamah, dan Sa‘’ib (semuanya adalah anak-anak Mazh’un bin Habib) yang masing-masing berusia 30, 17, 17, dan 20 tahun; Abu Salamah Abdullah bin Abd al-Asad al-Makhzumi, 30 tahun; Abdurrahman bin Auf, 30 tahun; ‘Ammar bin Yasir yang berusia antara 30 sampai 40 tahun, Abu Bakar Shiddiq, 37 tahun; Hamzah bin Abdul Muthalib, 42 tahun; dan Ubaidah bin Harits yang berusia 50 tahun. Di samping itu, terdapat beberapa kaum wanita yang telah beriman. (Taqiyuddin an-Nabhani, Dawlah al-Islâmiyah, hlm. 15-16. Lihat juga: Ibn Katsir, Bidâyah wa an-Nihâyah, jilid III/24-33).

Beberapa Pelajaran

 

            Dari fragmen sirah Rasulullah saw. di atas dapat dipetik beberapa pelajaran berharga bagi kaum Muslim, khususnya para pengemban dakwah:

Pertama, aktivitas dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. bukan semata-mata tablîgh (menyampaikan), melainkan mengumpulkan orang-orang yang telah beriman kepadanya dan membentuknya sebagai sebuah kutlah (kelompok dakwah). Hal ini beliau lakukan karena tabiat dari dakwah Islam senantiasa mengharuskan adanya sekelompok orang yang menyerukan dakwah Islam. Bagaimana mungkin dakwah bertumpu hanya pada seseorang, sedangkan aktivitas dakwah terus berlanjut hingga Hari Kiamat? Lagi pula, yang dihadapi pengemban dakwah Islam adalah peradaban-peradaban kufur yang mendunia (dan bersifat ideologis) serta memiliki kekuatan sangat hebat. Nabi saw. bersabda:

«لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي قَائِمَةً بِأَمْرِ اللهِ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ أَوْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَهُمْ ظَاهِرُونَ عَلَى النَّاسِ»

Akan senantiasa ada sekelompok orang dari umatku yang selalu menegakkan urusan agama Allah. Tidak akan memadaratkan mereka orang-orang yang menelantarkan atau yang menentang mereka, hingga datangnya keputusan Allah (Hari Kiamat), sementara mereka meraih kemenangan atas seluruh umat manusia. (HR al-Bukhari-Muslim).

Kedua, target Rasulullah saw. dalam pembentukan kutlah tersebut adalah mempersiapkan sebuah generasi yang ‘tahan banting’ dalam mengarungi medan dakwah, sekaligus ‘siap pakai’ jika Daulah Islamiyah berhasil diwujudkan. Artinya, para sahabat, mau tidak mau, harus dibina; bukan sekadar menjadi obyek penyampaian al-wahyu. Sebab, mereka kelak akan menggantikan tugas Rasulullah saw, yaitu menerapkan sistem hukum Islam di dalam bingkai Negara Khilafah dan mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia. Keberhasilan pembinaan (tatsqîf) Rasulullah saw. terhadap para sahabatnya sangat menentukan langkah (tahap) selanjutnya. 

Ketiga, pembinaan Rasulullah saw. terhadap para sahabatnya di Darul Arqam, atau di beberapa tempat lainnya, membidik dua aspek yang mampu membentuk kepribadian (syakhshiyah) Islam:
1.   Pematangan aspek ‘aqliyah islâmiyah (pola pikir islami); yang dilakukan dengan membacakan, menghapalkan, mengkaji, dan memahami ayat-ayat yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Meski sebagian besar ayat-ayat yang diturunkan saat itu berhubungan dengan akidah (seperti tentang hakikat hidup; penciptaan bumi, langit, dan seisinya, termasuk manusia; surga; neraka; dan lain-lain), ada pula ayat-ayat yang berhubungan dengan ekonomi/perdagangan (QS al-Muthaffifin [83]: 1-3), riba (QS ar-Rum [30]: 39); yang berhubungan dengan adat-istiadat yang buruk (aspek sosial) seperti QS at-Takwir [81]: 8-9; yang berhubungan dengan konstelasi politik luar negeri (QS. ar-Rum [30]: 1-6); bahkan yang berhubungan dengan bagaimana berdebat dengan ideologi paganisme dalam bentuk kecaman pedas (QS al-Anbiya [21]: 98). Masih banyak lagi ayat-ayat lainnya, yang semuanya menunjukkan bahwa para sahabat Rasulullah saw. diajak oleh ayat-ayat tersebut untuk berinteraksi dengan problem-problem sosial kemasyarakatan, ekonomi/perdagangan; mencermati politik luar negeri dan ideologi yang bertentangan dengan akidah Islam. Ini juga menunjukkan bahwa sejak tahun-tahun pertama kenabian, ayat-ayat Allah telah mengarahkan kaum Muslim (yaitu para sahabat) pada visi yang sangat luas dan mendunia, bukan hanya pada kajian yang bersifat spiritual dan ubudiah saja.
2.   Pematangan aspek nafsiyah islâmiyah (pola jiwa islami), yang dilakukan oleh beliau melalui taqarrub kepada Allah Swt, yang dilakukan hampir setiap malam bersama-sama para sahabat. Saat itu telah diturunkan perintah shalat dua rakaat yang dilakukan pada waktu pagi dan isya (sebelum diturunkannya perintah shalat lima waktu). (Lihat: Sîrah al-Halabiyah, jilid I/430). Selain itu para sahabat didorong untuk menjalankan ibadah nafîlah, seperti kebiasaan membebaskan budak setiap minggu yang dilakukan oleh Utsman bin Affan, bersedekah, berziarah (saling mengunjungi dan berempati), membaca dan menghapal ayat-ayat al-Quran yang telah diturunkan, dan lain-lain.

Seluruh aktivitas tersebut adalah prinsip-prinsip dasar yang harus dipenuhi oleh harakah dakwah Islam yang bersifat ideologis, yang berupaya untuk mengembalikan lagi sistem hukum Islam melalui tegaknya Negara Khilafah.  [AF]


0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites