14 Oktober 2010

RELASI PRIA-WANITA Dalam Kehidupan Rumah Tangga

Tafsir Surat al-Nisa’ Ayat 34
Oleh  Dr. Farihah al-Rasyidah
]الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا
مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ
 فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً
 إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا[

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Sebab, Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta-harta mereka. Oleh karena itu, wanita-wanita yang salih ialah yang menaati Allah lagi memelihara diri di belakangan suaminya karena Allah telah memelihara (mereka). Sementara itru, wanita-wanita yang kalian khawatiri perbuatan nusyûz-nya, nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Akan tetapi, jika mereka menaati kalian, janganlah kalian mencari-cari jalan untuk untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahaagung.
 (QS an-Nisa’ [4]: 34).


 Sabab an-Nuzûl Ayat

Ayat ini diturunkan berkenaan dengan kasus yang dialami oleh Sa‘id bin Rabi‘ yang telah menampar istrinya, Habibah binti Zaid bin Abi Hurairah, karena telah melakukan nusyûz (pembangkangan). Habibah sendiri kemudian datang kepada Rasul saw. dan mengadukan peristiwa tersebut yang oleh Rasul. Rasul kemudian memutuskan untuk menjatuhkan qishâs kepada Sa‘id. Akan tetapi, Malaikat Jibril kemudian datang dan menyampaikan wahyu surat an-Nisa‘ ayat 34 ini. Rasulullah saw. pun lalu bersabda (yang artinya), “Aku menghendaki satu perkara, sementara Allah menghendaki perkara yang lain. Yang dikehendaki Allah adalah lebih baik.” Setelah itu, dicabutlah qishâs tersebut.1

Dalam riwayat yang lain, sebagaimana secara berturut-turut dituturkan oleh al-Farabi, ‘Abd bin Hamid, Ibn Jarir, Ibn Mundzir, Ibn Abi Hatim, Ibn Murdawiyah, dan Jarir bin Jazim dari Hasan. Disebutkan bahwa seorang lelaki Anshar telah menampar istrinya. Istrinya kemudian datang kepada Rasul mengadukan permasalahannya. Rasul memutuskan qishâsh di antara keduanya. Akan tetapi kemudian, turunlah ayat berikut:

]وَلاَ تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَى إِلَيْكَ وَحْيُهُ[

Janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-Quran sebelum pewahyuannya disempurnakan kepadamu. (QS Thaha [20]: 114).

Rasul pun diam. Setelah itu, turunlah surat an-Nisa’ ayat 34 di atas hingga akhir ayat.2

Kisah yang sama juga dituturkan oleh Ibn Mardawiyah yang bersumber dari ‘Ali.3


Tafsir Ayat
Melalui ayat ini Allah Swt. mengingatkan kita bahwa terdapat sebab kelebihan seorang laki-laki atas seorang wanita, setelah pada ayat sebelumnya Allah menjelaskan bagian dari masing-masing (pria maupun wanita) dalam waris, dan melarang keduanya untuk mengangan-angankan kelebihan yang telah Allah tetapkan bagi sebagian mereka (kaum pria) atas sebagian yang lain (kaum wanita).
Jika kita membuka tafsir-tafsir klasik kalangan ulama terkemuka pada masa lalu, mereka pada umumnya sepakat manakala membedah pengertian “ar-rijâlu qawwâmûna ‘ala an-nisâ”, bahwa laki-laki baik dalam konteks keluarga maupun bermasyarakat, memang ditakdirkan sebagai pemimpin bagi kaum wanita. Ini disebabkan karena terdapat perbedaan-perbedaan yang bersifat natural (fitri) antara keduanya, dan bukan semata-mata bersifat kasbi atau karena proses sosial, seperti dipahami oleh penganut teori culture
Frasa Ar-Rijâl qawwâm ‘alâ an-nisâ’ bermakna bahwa kaum pria adalah pemimpin kaum wanita, yang lebih dituakan atasnya, yang menjadi pemutus atas segala perkaranya, dan yang berkewajiban mendidiknya jika melenceng atau melakukan kesalahan. Seorang pria berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pemeliharaan atas wanita. Oleh karena itru, jihad menjadi kewajiban atas pria, dan tidak berlaku bagi wanita. Pria juga mendapatkan bagian waris yang lebih besar daripada wanita karena prialah yang mendapatkan beban untuk menanggung nafkah atas wanita.4
Imam ash-Shabuni menyatakan bahwa kaum pria memiliki wewenang untuk mengeluarkan perintah maupun larangan yang wajib ditaati oleh para wanita (istri-istrinya) serta memiliki kewajiban untuk memberikan belanja (nafkah) dan pengarahan sebagaimana kewajiban seorang wali (penguasa) atas rakyatnya.5
Pada frasa bimâ fadhdhala Allâh ba‘dhahum ‘alâ ba‘dhin, huruf  ba-nya adalah ba sababiyah yang berkaitan erat dengan kata qawwâmûn. Dengan begitu dapat dipahami, bahwa kepemimpinan kaum pria atas wanita adalah karena kelebihan yang telah Allah berikan kepada mereka (kaum pria) atas kaum wanita.6
Dalam tafsirnya yang terkenal, Ibn Katsir menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin, penguasa, kepala, dan guru pendidik bagi kaum wanita. Ini disebabkan karena berbagai kelebihan laki-laki itu sendiri atas wanita, sesuai dengan firman Allah: Li ar-rijâl ‘alaihinna darajah (bagi laki-laki ada kelebihan satu tingkat dari wanita) (QS al-Baqarah [2]: 228). Selain itu, karena laki-laki berkewajiban menafkahi istri dan anak-anaknya.7
 
Dalam kurun yang amat panjang, dari mulai Ibn ‘Abbas, at-Thabari, bahkan hingga Imam ‘Ali ash-Shabuni, tafsir tersebut tidak banyak digugat, kecuali belakangan manakala pemikiran-pemikiran Islam mulai bersinggungan dengan wacana pemikiran Barat dan juga fakta yang memang menunjukkan tidak sejalannya lagi penafsiran tersebut dengan realitas kontemporer.
Ibn ‘Abbas, misalnya, mengartikan kata qawwâmûn sebagai pihak yang memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mendidik wanita. Hal yang kurang lebih sama juga dikemukakan oleh Imam Nawawi al-Bantani (1981: 149) dalam kitab tafsirnya Marah Labid.
Dengan nada yang sama, at-Thabari menegaskan, bahwa kata qawwâmûn bermakna penanggung jawab, dalam arti, pria bertanggung jawab dalam mendidik dan membimbing wanita dalam konteks ketaatannya kepada Allah.8
 
Al-Baghawi, ketika menafsirkan kalimat ar-rijâl qawâmûn ‘alâ an-nisâ’, menyatakan bahwa maknanya adalah pria (suami) berkuasa untuk mendidik wanita (istrinya). Artinya, prialah yang menjalankan berbagai kemaslahatan, pengaturan, dan pendidikan atas wanita karena kelebihan yang Allah berikan kepadanya atas wanita. Pria memiliki kelebihan atas wanita dari segi akal, agama, dan kewalian. Pria, misalnya, memiliki kelebihan dalam hal kesaksian, jihad, ibadah (seperti salat Jumat dan salat berjamaah); kebolehan menikahi sampai empat istri; hak talak; dalam warisan mendapat dua bagian; dst. Semua itu tidak dimiliki wanita.9
 
Sementara itu, menurut Imam al-Qurthubi, pria adalah pemimpin wanita karena kelebihan mereka dalam hal memberikan mahar dan nafkah; karena pria diberi kelebihan akal dan pengaturan sehingga mereka berhak menjadi pemimpin atas wanita; juga karena pria memiliki kelebihan dalam hal kekuatan jiwa dan watak. Surah an-Nisa’ ayat 34 ini juga menunjukkan kewajiban pria untuk mendidik wanita.10
 
Sedangkan Imam asy-Syaukani, ketika menafsirkan ayat di atas, menyatakan bahwa pria adalah pemimpin wanita yang harus ditaati  dalam hal-hal yang memang diperintahkan Allah. Ketaatan seorang istri kepada suaminya dibuktikan, misalnya, dengan berperilaku baik terhadap keluarga suaminya serta menjaga dan memelihara harta suaminya. Ini karena Allah telah memberikan kelebihan atas suami dari sisi keharusannya memberi nafkah dan berusaha.11
 
Tentang kelebihan laki-laki atas wanita, Imam 'Ali ash-Shabuni dalam tafsirnya juga mengatakan bahwa kalimat ar-rijâl qawwâmûn ‘ala an-nisâ' adalah jumlah ismiyyah yang berfungsi sebagai dawâm dan istimrâr (tetap dan kontinu).

Sebab Kepemimpinan Laki-laki atas Wanita
Sebab kepemimpinan (yakni adanya kelebihan) laki-laki atas wanita ada dua, yakni: Pertama, adanya kelebihan dalam hal fisik penciptaan (jasadiyyah khalqiyyah). Pada faktanya, pria memiliki bentuk penciptaan yang sempurna, pemahaman dan akal yang lebih kuat, perasaan yang lebih adil,  dan tubuh yang kokoh. Pria memiliki kelebihan atas wanita dalam hal akal, pendapat, tekad, dan kekuatan. Oleh karena itu, pada pundak kaum prialah dibebankan risalah, kenabian, imâmah kubrâ (khalifah, ataupun jabatan di bawahnya (imâmah sughrâ), hakim, serta melakukan syiar-syiar agama—seperti azan, iqamat, khutbah, shalat Jumat, dan jihad. Wewenang menjatuhkan talak juga ada di tangan mereka. Mereka juga boleh berpoligami, memiliki kekhususan persaksian dalam kasus jinayat dan hudud, memiliki kelebihan bagian dalam pembagian waris, dll.12
Dalam tafsirnya, Fakhr ar-Razi13 menyatakan bahwa kelebihan kaum pria atas wanita itu terdapat pada banyak aspek. Di antaranya adalah sifat hakiki dan sebagiannya terkait dengan hukum-hukum syariat. Sifat hakiki dikembalikan pada dua hal, yakni ilmu dan qudrah (kemampuan). Dua hal inilah yang menghasilkan kelebihan kaum pria atas wanita dalam hal akal, tekad, dan kekuatan; dalam kemampuan menulis, berkuda (berkendaraan), melempar. Dari kalangan mereka pula diutusnya para nabi dan banyaknya para ulama. Imâmah (baik khalifah maupun jabatan penguasa di bawahnya), jihad, azan, khutbah, itikaf, kesaksian dalam masalah hudûd dan qishâs, kelebihan dalam pembagian waris, kewajiban membayar diyat dalam pembunuhan atau kesalahan dan dalam hal sumpah juga ada pada mereka. Kewenangan dalam pernikahan, talak, rujuk, dan berpoligami, penisbatan garis nasab juga ada pada merek. Semua itu menunjukkan adanya kelebihan kaum pria atas kaum wanita.
Kedua, adanya kelebihan dalam hal taklif syariat. Frasa wa bimâ anfaqû min amwâlihim mengandung pengertian bahwa kaum pria  memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah kepada istri dan kerabat dekat yang menjadi tanggungannya; mereka juga harus membayarkan mahar kepada kaum wanita untuk memuliakan mereka.14
Di luar dua hal di atas, seorang laki-laki adalah setara dan sama dengan seorang wanita dalam hal hak dan kewajibannya. Inilah kebaikan Islam. Allah Swt. berfirman: 
]وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ[

Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (QS al-Baqarah [2]: 228).

Wanita Taat dan Wanita Pembangkang
Selanjutnya Allah menjelaskan keadaan kaum wanita (para istri) dalam kehidupan berumah tangga: adakalanya mereka taat; adakalanya mereka membangkang (melakukan nusyûz).15 Dalam Shafwah at-Tafâsîr, dijelaskan bahwa frasa fa ash-shâlihât qânitât hâfizhâth li al-ghayb bi mâ hafizha Allâh merupakan perincian dari keadaan para wanita yang berada dalam kepemimpinan pria. Allah telah menjelaskan bahwa mereka (para wanita) tersebut terbagi dalam dua keadaan, yakni: (1) kelompok wanita shalihah dan taat; (2) kelompok wanita yang bermaksiat dan membangkang. Wanita shalihah akan senantiasa menaati Allah Swt. dan suaminya selama tidak dalam rangka bermaksiat kepada Allah, senantiasa melaksanakan kewajiban-kewajibannya, menjaga diri mereka dari melakukan perbuatan keji, menjaga kehormatan mereka, menjaga harta suami  dan anak-anak mereka, dan menjaga rahasia apa yang terjadi antara mereka berdua (suami-istri) dalam hal apa pun yang layak dijaga kerahasiaannya.16
Frasa wallâti takhâfûna nusyûzahunna adalah menunjuk pada kelompok wanita yang kedua, yakni para wanita yang bermaksiat dan menentang, yakni mereka yang menyombongkan diri dan meninggikan diri dari melakukan ketaatan kepada suami.17
 
Berdasarkan ayat di atas, ketika telah tampak bagi suami tanda-tanda nusyûz ini pada istrinya, suami wajib melakukan beberapa langkah untuk melakukan perbaikan (mengembalikan istri ke jalan yang benar) dengan menempuh tahapan sebagai berikut:

1.  Fa‘izhuhunna: memberikan nasihat, petunjuk, dan peringatan yang memberi pengaruh pada jiwa istrinya; dengan mengingatkan istrinya akan ancaman siksa yang diberikan Allah kepadanya karena kemaksiatan yang dilakukannya.18
 
2.  Wahjurûhunna fî almadhâji‘: memisahkan diri dan berpaling darinya (istri) di pembaringan (pisah ranjang). Ini adalah kinâyah (kiasan) dari meninggalkan  jimak (persetubuhan), atau tidak melakukan tidur bersama istri dalam satu tempat tidur yang sama, tidak mengajaknya bicara, dan tidak mendekatinya. Akan tetapi, suami tidak diperkenankan tidak mengajak bicara istri lebih dari 3 hari. Ibn ‘Abbas berkata, al-hajru bermakna tidak menjimak istri,  tidak tidur bersamanya di pembaringannya, dan berpaling dari punggungnya.19 Tindakan ini akan sangat menyakitkan istri; dilakukan untuk membuat seorang istri  memikirkan dan merenungkan kembali apa yang telah dilakukannya. Jika yang demikian telah membuat istri sadar dan menaatinya, suami harus menerimanya dan tidak boleh melakukan langkah yang ketiga. Sebaliknya, jika yang demikian tidak membuat istri sadar juga, suami diperkenankan melakukan langkah yang ketiga.
3.  Wadhribûhunna: memberikan pukulan yang tidak menyakitkan dan tidak berbekas; tidak lain tujuannya sema-mata demi kebaikan.20

Selanjutnya, kalimat fa in atha‘nakum falâ tabghû ‘alayhinna sabîlâ mengandung pengertian, bahwa jika istri menaati perintah suami, janganlah suami mencari jalan lain untuk menyakiti istrinya. Artinya, para suami dilarang menzalimi para istri mereka dengan cara lain yang di dalamnya terdapat aktivitas menyakiti dan menyiksa mereka.21
Terakhir, kalimat Inna Allah kâna ‘Aliyyan Kabîrâ mengandung pengertian bahwa sesungguhnya Allah lebih tinggi dan lebih besar daripada para suami; Dia adalah pelindung para istri dari siapa pun yang menzalimi dan bertindak melampaui batas terhadap mereka.22 Ini adalah peringatan keras bagi para suami agar tidak menzalimi istrinya. Maksudnya adalah agar para suami menerima tobat dari istrinya. Sebab, jika Yang Mahatinggi dan Mahabesar saja senantiasa menerima tobat hamba-Nya yang bermaksiat, maka tentu para suami lebih layak untuk menerima tobat para istri.23

 

Khatimah

Rangkaian pernyataan di atas tentu saja mesti dipahami sebagai sebuah legalitas dari bunyi teks al-Quran dan as-Sunnah sebagai sumber syariat yang bersifat ilahiah, permanen, dan berlaku universalRangkaian pernyataan tersebut juga tidak semata-mata karena visi, perspektif, keinginan, dan kebutuhan wanita ditafsirkan dari sudut pandang laki-laki; apalagi jika itu sekadar dipengaruhi oleh latar belakang sosio-kultur para penafsir tersebut, yang mana kedudukan wanita saat itu dituduh posisinya sangat rendah. Sebab, jika yang terakhir ini dijadikan alasan, kita tentu akan menjumpai berbagai penafsiran yang berbeda dan relatif berubah-ubah tentang posisi wanita, dari  mulai masa Rasulullah hingga pada masa tâbi' at-tâbi'în, misalnya. Padahal, sejarah menuturkan fakta otentik, penafsiran yang berbeda itu tidak pernah terjadi selama berabad-abad, meskipun dalam kurun waktu tersebut, terjadinya berbagai perubahan sosial dan budaya adalah sesuatu yang niscaya.
Dengan demikian, para wanita Mukmin tidak perlu menggugat bila Islam menyerahkan kepemimpinan rumah tangga di tangan pria, karena Allah Swt. telah menjamin hak-hak wanita dengan sebaik-baiknya, selama rumah tangga tersebut diajalankan sesuai dengan ketentuan Allah.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []


Catatan kaki:
1.    Dr. Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munîr, juz V, hlm. 53-54.
2.    Abdur Rahman ibn al-Kamal Jalaluddin as-Suyuthi, Dâr al-Mansyûr fî at-Tafsîr al-Ma’tsûr, juz III, hlm. 512-513. Beirut: Darul Fikr.
3.    Ibid, hlm. 513.
4.    Dr. Wahbah Zuhaili, op.cit., hlm. 54.
5.    ‘Ali ash-Ash-Shabuni, Shafwah at-Tafâsîr, hlm. 273.
6.    Mahmud al-Andalusi al-Baghdadi, Rûh al-Ma‘ânî, hlm. 23.
7.    Dr. Wahbah Zuhaili, op.cit., hlm. 54.
8.    Abu al-Fida’, Isma’il ibn Umar ibn Katsir ad-Dimasyqi, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, I/596. Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H.
9.    Abu Ja’far, Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Khalid ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ay al-Qur’ân, V/48. Beirut: Dar al-Fikr, 1405 H.
10.              Abu Ahmad, al-Husain ibn Mas’ud al-Fira’ al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, I/421. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1987.
11. Abu Abdillah, Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr ibn Farah al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, V/168. Kairo: Dar asy-Sya’b, 1372 H.
12.              Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad asy-Syaukani, Fath al-Qadîr bain Fanni ar-Riwâyah wa ad-Dirâyah min ‘Ilm at-Tafsîr, I/462. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
13. Tafsîr Fakhr ar-Râzî, hlm. 91.
14. Dr. Wahbah Zuhaili, op.cit., hlm. 55.
15. Dr. Wahbah Zuhaili, op.cit., hlm. 55.
16. ‘Ali ash-Shabuni, op.cit., hlm. 274.
17. Ibn Katsir, op.cit., hlm. 608.
18. 'Ali ash-Shabuni, op.cit., hlm. 274.
19. Ibid, hlm. 274.
20. Ibn Katsir, op.cit., hlm. 609.
21. Ibid, hlm. 609.
22. Dr. Wahbah Zuhaili, op.cit., hlm. 57.
23. Ibid, hlm. 57.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites