SETAN
Setan (syaythân) adalah musuh bagi manusia. Syaythân-lah salah satu yang menyebabkan manusia tergelincir dari jalan yang lurus.
Kata syaythân (jamaknya syayâthîn) merupakan isim musytaq (kata jadian) dari kata syathana dengan wazan fay’âl. Disebut syaythân jika jauh. Kata syathana berarti menentang, menyalahi, jauh. Syathana juga bisa berarti tali yang panjang.
Syaythân sudah diketahui sebagai semua yang sombong, durhaka, bertindak sewenang-wenang, baik dari kalangan jin, manusia maupun makhluk melata lainnya. Al-Quran banyak menyebutkan kata syaythân. Di antaranya, kata syaythân disebut empat kali; kata asy-syaythân disebut 63 kali; kata syayâthîn disebut satu kali; dan kata asy-syayâthîn disebut sebanyak 13 kali. Ayat-ayat tersebut menjelaskan kepada kita mengenai karakter dan perilaku syaythân.
Allah Swt. berfirman:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا
Demikianlah Kami menjadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan dari jenis manusia dan dari jenis jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). (QS al-An‘am [6]: 112).
Ketika menjelaskan ayat ini, Imam Ibn Katsir menjelaskan, bahwa para nabi, termasuk Rasulullah Muhammad saw.—juga para pengikutnya—akan berhadapan dengan musuh-musuh mereka, yaitu setan-setan dari golongan manusia dan jin. Syaythân adalah siapapun yang menyimpang dari peringatan akan keburukan; tidak ada yang memusuhi para rasul kecuali mereka adalah syaythân dari jenis manusia dan jin. Mereka dicela dan dilaknat oleh Allah Swt.
Allah menjelaskan karakter setan dalam ayat di atas, yaitu membisikkan kata-kata indah untuk menipu dari jalan Allah. Disebut zukhruf[an] karena pemolesan mereka terhadap kata-kata yang mereka bisikkan sehingga tampak indah.
Dalam ayat ini jelas bahwa manusia bisa menjadi setan (syaythân), yaitu jika ia memiliki karakter seperti setan. Artinya, tak pelak lagi ia adalah setan yang berujud manusia. Rasulullah saw. pernah bertanya kepada Abu Dzar, “Abu Dzar, apakah engkau memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan setan dari golongan manusia dan jin?”
Abu Dzar menjawab, “Wahai Rasulullah, apakah dari manusia ada setan?”
Rasulullah menjawab, “Ya, dan mereka lebih jahat/buruk daripada setan dari golongan jin.”
Malik bin Dinar berkata, “Sesungguhnya setan dari jenis manusia lebih berbahaya bagiku daripada setan dari jenis jin. Yang demikian itu karena jika aku berlindung kepada Allah, setan jin akan pergi dariku, sedangkan setan manusia justru mendatangiku dan mendorongku ke arah maksiat.”
Di antara karakter setan adalah banyak membantah al-Quran. Allah Swt. berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّبِعُ كُلَّ شَيْطَانٍ مَرِيدٍ
Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap setan yang sangat jahat. (QS al-Hajj [22]: 3).
Ayat ini turun berkaitan dengan Nadhar bin al-Harits. Ia mengucapkan banyak bantahan terhadap al-Quran. Misal. ia berkata bahwa malaikat itu anak perempuan Allah, al-Quran adalah syair-syair terdahulu; ia juga mengingkari Hari Kebangkitan, dsb. Dalam perdebatannya terhadap al-Quran tanpa ilmu tersebut, ia mengikuti setiap setan yang durhaka dan kontinu dalam keburukan atau kejahatan.
Kita juga mendapati orang-orang yang menuduh bahwa al-Quran tidak lebih sebagai ajaran-ajaran terdahulu yang ditambah dan diperluas. Ada juga orang-orang yang meragukan al-Quran. Sikap mereka itu tidak ubahnya dengan Nadhar bin al-Harits yang menjadi sebab turunnya ayat di atas.
Sifat kikir lantaran takut kemiskinan adalah bisikan setan (QS 2: 268). Sebaliknya, orang-orang yang boros, yaitu mereka yang membelanjakan harta untuk keharaman adalah teman setan (QS 17: 27). Sedangkan orang yang memakan riba digambarkan al-Quran seperti orang yang gila lantaran kemasukan setan (QS 2: 275).
Di antara perbuatan setan yang lain adalah meminum khamr (minuman keras), berjudi, mengundi nasib, berkurban untuk berhala—termasuk memberi sesaji. (QS 5: 90). Setan pula yang mengajarkan sihir (QS 2: 102); membangkitkan angan-angan kosong (QS 4: 120); memperindah keburukan (QS 6: 43); serta menyeru atau mengajak pada perbuatan keji dan munkar (QS 24: 21).
Dengan demikian, setan itu pada hakikatnya siapa saja yang mengajak makhluk Allah untuk menjadi penghuni neraka (QS 35: 6).
Propagandis setan ini bisa individu dan bisa juga kelompok (partai). Mereka menjadi ‘setan’ karena setan atau karakter-karakter setan telah menguasai dan mendominasi diri mereka, baik individu maupun kelompok. Allah Swt. berfirman:
اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَأَنْسَاهُمْ ذِكْرَ اللهِ أُولَئِكَ حِزْبُ الشَّيْطَانِ أَلاَ إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ الْخَاسِرُونَ
Setan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah. Mereka itulah golongan (partai) setan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan (partai) setan itulah golongan yang merugi. (QS al-Mujadilah [58]: 19).
Jadi, pengertian setan secara syar‘î tidak berbeda dengan pengertiannya secara bahasa, yaitu siapapun yang durhaka, membangkang dan menyalahi kebaikan, kebenaran, dan tuntunan yang berasal dari Allah; baik dari golongan jin maupun manusia. Setan juga adalah siapa saja yang mengajak pada kemaksiatan dan menyeru jin dan manusia berpaling dari jalan Allah.
Dengan demikian, seruan, ajakan, dan bisikan setan tersebut bukanlah sesuatu yang tidak kasat mata. Semua seruan, ajakan, dan bisikan setan merupakan sesuatu yang kelihatan, dapat dirasakan dan dikenali, termasuk para penyerunya. Demikianlah, Allah telah menjelaskan kepada kita, bahwa setan adalah musuh yang nyata bagi manusia, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلإِنْسَانِ عَدُوًّا مُبِينًا
Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. (QS al-Isra’ [17]: 53).
Membentengi Diri dari Bujukan Setan
Secara individual, mewujudkan ketakwaan individu akan dapat membentengi diri dari bujukan setan. Allah Swt. berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu, bila ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah sehingga seketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. (QS al-A‘raf [7]: 201).
Mewujudkan diri sebagai orang yang ikhlas menjadi benteng yang kokoh dari bujukan setan, bahkan Iblis. Demikianlah sesuai dengan pengakuan Iblis yang dinyatakan dalam al-Quran berikut:
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لأَُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي اْلأَرْضِ وَلأَُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ
Iblis berkata, “Tuhanku, karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang ikhlas di antara mereka.” (QS al-Hijr [15]: 39-40).
Rasulullah meninggalkan dua pusaka agar kita tidak pernah tersesat. Rasulullah saw. bersabda:
«يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنْ اِعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُوْا أَبَدًا كِتَابَ اللهِ وَسُنَةَ نَبِيِهِ صَلىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ»
Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian sesuatu, yang jika kalian berpegang teguh dengannya, kalian tidak akan pernah tersesat selamanya: Kitabullah (al-Quran) dan Sunah Nabi-Nya. (Hadis Sahih berdasarkan syarat al-Bukhari dan Muslim).
Secara komunal, harus ada upaya amar makruf nahi mungkar sehingga masyarakat senantiasa diingatkan dan dicegah dari kemungkaran yang notabene adalah bentuk bujuk-rayu setan.
Namun, semua itu belum bisa sempurna kecuali terdapat institusi Daulah Khilafah Islamiyah, yang menerapkan seluruh hukum-hukum Islam dan menindak para penyeru seruan setan. Dengan begitu, masyarakat secara keseluruhan akan terjaga dari bujuk-rayu setan. Dengan institusi inilah kita bisa berharap, masyarakat dapat diselamatkan dari keburukan.
Na’ûdzu bi Allâhi as-Samî’ al-‘Alîm min asy-Syaythân ar-Rajîm. Wa Allâh a‘lam bi ash-shawâb.
Abu al-Qasim ‘Ali bin al-Hasan bin Habatullah Ibn ‘Asâkir, al-Arba‘îna Buldâniyyah (Mu’jâm al-Buldân), juz V hal 344, Dar al-Fikr, Beirut.
[i] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Pustaka Progresif.
[ii] Muhammad ibn Abi Bakar ibn Abd al-Qadir ar-Razi, t.t., Mukhtâr ash-Shahâh, I hal 132, Beirut, Maktabah Lebanon.
[iii] Muhammad ibn Mukrin ibn Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisân al-‘Arab, juz XIII hal 238, Beirut, Dar ash-Shadir;
[iv] Abu al-Fida’ Isma’il ibn ‘Umar ibn Katsir ad-Dimasyqi, 1410 H, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm. Dar al-Fikr Beirut.
[v] Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abu Bakar Ibn Farh al-Qurthubiy, Abu ‘Abdillah, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, juz VII hal 68, Dar Sya’bi, Kaero.
[vi] Al-Baghawi, Tafsîr al-Baghawi, juz III hal 274.
[vii] Muhammad bin ‘Abdullah Abu ‘Abdullah al-Hakim an-Naysaburi, al-Mustadrak ‘alay Shahihayn, juz I hal 171 Hadits No. 318, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. I th. 1990.
0 komentar:
Posting Komentar