Pandangan Islam Tentang Asuransi

Asuransi syariah dikampanyekan sebagai alternatif bagi kaum muslim untuk menjalankan akad asuransi. Sesuai dengan fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) tentang Pedoman Umum tentang Asuransi Syariah disebutkan bahwa asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan / atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.

Yang Teristimewa Bagi Wanita

"...Wahai pena..! Titiplah salam kami teruntuk kaum wanita. Tak usah jemu kau kabarkan bahwa mereka adalah lambang kemuliaan. Sampaikanlah bahwa mereka adalah aurat ..."

Sistem Pemerintahan Islam Berbeda dengan Sistem Pemerintahan yang Ada di Dunia Hari ini

Sesungguhnya sistem pemerintahan Islam (Khilafah) berbeda dengan seluruh bentuk pemerintahan yang dikenal di seluruh dunia

Video: Puluhan Ribu Warga Homs Suriah Berikrar, Pertolongan Bukan dari Liga Arab atau Amerika Tapi dari Allah!

.

Analisis : Polugri AS di Asia Tenggara

Secretary of State Amerika Serikat Hillary Clinton 21 Juli 2011 lalu berkunjung ke Indonesia. Sebelumnya, dia melawat dua hari ke India untuk ambil bagian dalam konferensi tingkat menteri ASEAN yang diselenggarakan di Bali 22 Juli.

Khilafah: Solusi, Bukan Ancaman

Berbagai macam dampak destruktif akibat penerapan sistem kapitalis-sekular telah mendorong manusia untuk mencari sistem baru yang mampu mengantarkan mereka menuju kesejahteraan, keadilan, kesetaraan dan kemakmuran. Dorongan itu semakin kuat ketika kebijakan-kebijakan jangka pendek dan panjang selalu gagal mencegah dampak buruk sistem kapitalis.

MIMPI PARA ULAMA BUKAN SEMBARANG MIMPI

Apakah Anda tadi malam bermimpi? Apa mimpi Anda? Kata orang, mimpi hanyalah kembang (bunga) orang tidur. Maksudnya, mimpi tidak bermakna signifikan. Tapi, sebenarnya tidak semua mimpi tak ada artinya.

Nasehat Imam Abdurrahman bin Amru al-Auza’iy :Empat Tipe Pemimpin

Ada nasihat berharga yang disampaikan Imam Abdurrahman bin Amru al-Auza’iy kepada Khalifah Abu Ja’far al-Manshur, ketika ulama besar itu dimintai nasihat.

20 September 2011

RUU Intelijen = Lahirnya Rezim Represif

Pembahasan RUU Intelijen yang tidak bisa diselesaikan pada masa sidang DPR sebelumnya akan kembai dilanjutkan dalam masa sidang saat ini.  Pembahasan RUU-nya sendiri terus berjalan dan terkesan dilakukan secara tertutup dan sembunyi-sembunyi.  Pembahasan terakhir adalah harmonisasi tim pemerintah dan DPR pada tanggal 5-6 September 2011 dan menghasilkan draft yang nantinya akan disodorkan ke sidang paripurna yang direncanakan digelar pada tanggal 27 September 2011 nanti.


Draft terakhir RUU Intelijen itu sejatinya tidak banyak berubah dari draft sebelumnya.  Bahkan terlihat banyak mengadopsi usulan pemerintah yang tertuang dalam DIM yang diajukan pemerintah.  Di dalam draft terakhr itu masih terdapat sejumlah pasal yang bermasalah.  Draft terakhir itu jika disahkan nantinya tetap akan berpeluang melahirkan rezim represif yang bisa memata-matai rakyat.  Intelijen nantinya juga masih berpeluang dijadikan alat oleh pemerintah dalam hal ini Presiden.  Bahkan Kepala BIN nantinya berubah menjadi satu-satunya pihak yang bisa menentukan telah terpenuhinya indikasi dan bukti awal yang cukup pada diri seseorang sehingga orang tersebut boleh disadap, diselidiki dan didalami.  Dimana keputusan itu cukup diberitahukan kepada ketua pengadilan.

Berikut ini beberapa catatan kritis yang perlu menjadi perhatian semua elemen masyarakat terkait draft RUU Intelijen yang akan diajukan ke sidang paripurna DPR 27 September nanti:

Pertama, ada kalimat-kalimat dan frase yang tidak didefinisikan dengan jelas, pengertiannya kabur dan multitafisr, sehingga nantinya berpeluang menjadi pasal karet.   Misalnya, frase “ancaman nasional” dan “keamanan nasional”, dsb definisinya tidak jelas, pengertiannya kabur dan multitafsir.  Begitu juga “lawan dalam negeri”, siapa dan kriterianya apa, tidak jelas.  Tolok ukur lawan dalam negeri “yang dapat mengancam kepentingan dan keamanan nasional” bisa dinilai sebagai pasal karet yang nantinya bisa dijadikan dasar untuk menjadikan seseorang sebagai sasaran kegiatan intelijen dengan alasan “dapat mengancam keamanan dan kepentingan nasional”.  Apalagi jika dikaitkan dengan RUU Kamnas dimana definisi, kriteria dan tolok ukur “keamanan nasional” begitu luas dan multi interpretatif bahkan mencakup keamanan individu dan kelompok tertentu, makin melenturkan RUU Intelijen untuk menjadi alat demi kepentingan politik tertentu, khususnya pengausa. Poin pertama ini sangat penting, karena rumusan yang tidak jelas, kabur, cenderung multitafsir dan tidak terukur menyangkut definisi dan hakikat dari “ancaman”, “keamanan nasional ” dan “lawan dalam negeri” itu  sangat mungkin disalahgunakan demi kepentingan politik kekuasaan. Karena bersifat subyektif, maka penafsirannya akan tergantung “selera” pemegang kebijakan dan kendali terhadap operasional intelijen yang dalam RUU Intelijen draft terakhir ini adalah adalah kepala BIN, dan tentu saja presiden sebagai atasannya. Bisa jadi, sikap kritis dan kritik atas kebijakan pemerintah akan dibungkam dengan dalih menjadi “ancaman” atau mengancam “keamanan nasional”.

Kedua, di dalam RUU Intelijen draft terakhir ini Pasal 1 dikatakan Intelijen Negara adalah “penyelenggara intelijen”.   Frase ini adalah perubahan atas draft sebelumnya yang menyebut intelijen negara sebagai lembaga pemerintah.  Perubahan itu tentu setelah draft sebelumnya mendapat kritik keras sebab dengan definisi sebelumnya itu, intelijen berpeluang dijadikan alat penguasa untuk memata-matai rakyat dan musuh politiknya.  Namun perubahan itu sebenarnya tidak menutup peluang penyalahgunaan itu.  Sebab pada pasal selanjutnya dijelaskan bahwa intelijen negara itu adalah BIN, intelijen TNI, intelijen kepolisian, intelijen kejaksaan dan intelijen kementerian/lembaga pemerintah non kementerian.  Khusus untuk BIN langsung di bawah presiden.  Jadi perubahan itu tidak merubah esensi yang dikritik, hanya merubah redaksional yang tidak lagi dinyatakan secara eksplisit sebagai lembaga pemerintah saja.  Perubahan itu juga tidak secara tegas menyatakan intelijen sebagai alat negara.

Ketiga, di Pasal 32 RUU Intelijen (draft terakhir), “BIN memiliki wewenang melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana dan pendalaman terhadap setiap orang yang terkait dengan kegiatan terorisme, separatisme, spionase, subversi, sabotase, dan kegiatan yang mengancam keamanan nasional, kedaulatan dan keselamatan nasonal termasuk yang sedang menjalani proses hukum“. Lalu di pasal 33 dinyatakan “(1) penyadapan sebagai dimaksud dalam pasal 32 dilakukan berdasarkan Undang-undang ini” (2) Penyadapan terhadap Sasaran yang mempunyai indikasi sebagamana dimaksud Pasal 32, dilaksanakan dengan ketentuan: a. untuk penyelenggaraan fungsi intelijen. b. atas perintah Kepala Badan Intelijen Negara … (3) Penyadapan terhadap Sasaran yang telah mempunyai bukti awal cukup, dilaksanakan dengan memberitahukan kepada Ketua Pengadilan“. 

Pemberian wewenang  penyadapan tanpa harus izin (Ketua) pengadilan tetapi cukup memberitahukan kepada Ketua Pengadilan akan menjadi pintu penyalahgunaan kekuasaan. Apalagi penyadapan itu didasarkan pada alasan yang definisi, kriteria dan tolok ukurnya tidak dijelaskan, kabur dan multi tafsir sehingga bisa bersifat subyektif dan tergantung selera.  Kepala BIN dijadikan satu-satunya pihak yang memutuskan “Sasaran telah memiliki indikasi” dan “Sasaran yan telah mempunyai bukti awal cukup”.  Terminologi ini biasanya adalah terminologi penegakan hukum seseorang menjadi tersangka.  Itu artinya kepala BIN memiliki wewenang menetapkan seseorang menjadi “tersangka” sehingga bisa diselidiki, diperiksa, disadap, diperiksa aliran dananya dan dilakukan pendalaman terhadapnya” diluar penadilan dan kejaksaan, atau tidak melalui proses hukum.  Di negara hukum manapun, penyadapan harus atas izin pengadilan.  Jika ada sebagian negara maju yang membolehkan penyadapan tanpa izin pengadilan, itu dianggap tidak demokratis, mencederai demokrasi, melanggar proses hukum dan mencederai HAM.  Pemberian wewenang kepada Kepala BIN untuk menetapkan sasaran penyadapan, pemeriksaan aliran dana dan pendalaman tanpa izin pengadilan ini akan menyebabkan jabatan Kepala BIN menjadi alat kekuasaan dan demi kepentingan tertentu.  Dan dalam pelaksanaannya sangat mungkin Kepala BIN akan tergantung pada masukan anak buahnya atau dia menerima masukan jadi tentang hal itu.  Itu artinya aparat intelijen tetap memiliki peluang besar untuk memiliki andil dalam pembuatan keputusan Sasaran penyadapan, pemeriksaan aliran dana dan pendalaman.  Ini berpeluang terjadinya kegiatan intelijen liar dan dijadikannya rakyat yang kritis dan lawan politik sebagai sasaran. Intelijen bisa jadi justru sibuk memata-matai rakyat.  Akibatnya warga tidak lagi terjamin hak privasinya dan terancam, yang ironisnya justru oleh intelijen yang dibayai dengan uang mereka.

Keempat, di Pasal 35 dinyatakan “Pendalaman terhadap setiap orang, termasuk yang sedang menjalani proses hukum sebagamana dimaksud dalam Pasal 32 dilakukan dengan ketentuan: a. untuk penyelenggaraan fungsi ntelijen. B. atas perintah Kepala Bdan Intelijen Negara; dan c. bekerjasama dengan penegak hukum terkait.” Dalam penjelasannya dikatakan “Ketentuan ini dimaksudkan sebagai upaya terakhir untuk mendalami informasi sebagai tindak lanjut dari informasi yang diperoleh sebelumnya, antara lain melalui pengintaian, penjejakan, pengawasan, penyurupan, pemeriksaan aliran dana atau penyadapan“. Istilah “pendalaman” ini agaknya dimaksudkan sebagai ganti istilah “pemeriksaan intensif” yang mencakup penangkapan dan penahanan.  Sebab dalam penjelasan tidak bisa dipahami sebagai pembatasan bentuk kegiatan dalam pendalaman itu sehingga tidak mencakup penangkapan dan penahanan.  Sebaliknya, secara implisit itu juga mencakup penangkapan dan penahanan.  Satu-satunya pihak yang memutuskan adalah Kepala BIN. Frase “bekerjasama dengan penegak hukum terkait” juga sangat luas interpretasinya.  Ini akan berpotensi lahirnya rezim intel. Usulan itu sama saja memberi wewenang intel BIN atas perintah Kepala BIN untuk mengambil orang yang dicurigai, tanpa diberitahu tempat dan materi interogasi, tanpa pengacara dan tanpa diberitahukan kepada keluarganya.  Lalu apa bedanya dengan penculikan?  Jika RUU ini disahkan, maka akan lahir kembali rezim represif. Penculikan akan terjadi lagi seperti pada masa reformasi atau bahkan lebih dari itu, sebab dilegalkan oleh undang-undang.  Padahal di negara hukum manapun, penangkapan adalah wewenang aparat penegak hukum yakni kepolisian, disamping bahwa penangkapan bukanlah fungsi intelijen.

Kelima, di dalam RUU tidak ada mekanisme pengaduan dan gugatan bagi individu yang merasa dilanggar haknya oleh kerja-kerja lembaga intelijen.  Hal itu ditambah adanya potensi intelijen menjadi “arogan” dan nyaris tanpa kontrol -seperti terpapar diatas- akan menjadi musibah dalam kehidupan sosial politik warga negara dan hak-hak warga negara akan terabaikan. Warga berpotensi jadi korban tanpa ruang untuk mendapatkan keadilan.  Di sinilah terlihat jelas potensi lahirnya rezim intel.

Keenam, RUU Intelijen tidak mengatur dengan jelas mekanisme kontrol dan pengawasan yang tegas, kuat dan permanen terhadap semua aspek dalam ruang lingkup fungsi dan kerja intelijen (termasuk penggunaan anggaran). Akibatnya, intelijen akan menjadi “super body” yang tidak bisa dikontrol dan bisa dijadikan alat kepentingan politik status quo.
Ketujuh, RUU ini bisa menjadi preseden buruk bagi jurnalis, khususnya jurnalis investigatif.  RUU ini berpotensi untuk membungkam suara-suara kritis.  Dengan delik kelalaian di pasal 43 bisa menjadi ancaman bagi sikap kritis dan keterbukaan.
Kedelapan,  ancaman sanksi di dalam RUU ini pasal 45 tidak akan bisa mencegah penyalahgunaan penyadapan.  Sebab penyalahgunaan hanya jika penyadapan dilakukan di luar fungsi penyelidikan, pengamanan dan penggalangan (RUU).  Itu artinya selama dilakukan atas perintah Kepala BIN, penyadapan tidak akan bisa dipermasalahkan. Jadi penyalahgunaan penyadapan sulit untuk dibuktikan.  Adanya peluang personel intelijen berperan dalam penentuan keputusan oleh Kepala BIN sebab Kepala BIN tentu akan sangat bergantung pada masukan anak buahnya, hal itu makin memperbesar peluang intelijen dijadikan alat. Apalagi usulan sanksi di dalam RUU itu bukan hanya lembek tapi cair.  Sebab ancaman hukuman menggunakan kata maksimal, artinya bisa saja sangat ringan.

Kesembilan, terkait dengan BIN.  BIN diberi fungsi yang meluas hingga ke daerah.  Di dalam penjelasan pasal 10 ayat (1) dinyatakan “Yang dimaksud dengan “menyelenggarakan fungsi intelijen dalam dan luar negeri”, termasuk membentuk unit organisasi struktural di daerah dan perwakilan di luar negeri.”  Karena BIN juga memerankan fungsi koordinasi semua penyelenggara intelijen (TNI, Polri, Kejaksaan dan kementerian/nonkementerian) yang masing-masing memiliki struktur hingga daerah, maka BIN seperti diharuskan membentuk struktur organisasi di daerah.  Disamping itu BIN khususnya Kepala BIN diberi wewenang sangat besar dan luas dalam hal penyelenggaraan intelijen termasuk menentukan sasaran penyadapan, pemeriksaan aliran dana dan pendalaman.

Kesepuluh, pemeriksaan aliran dana ang hanya didasarkan pada perintah Kepala BIN -dalam pelaksanaannya keputusan itu bisa jadi banyak dipengaruhi/ditentukan oleh personel BIN- akan menciptakan peluang disalahgunakan, bahkan peluang terjadinya korupsi dan sejenisnya.

Kesebelas, Cakupan fungsi intelijen TNI, intelijen Kejaksaan, intelijen kementerian/nonkementerian tidak dijelaskan.  Dikhawatirkan intelijen semua itu akan menyasar rakyat sebab fungsi semua lembaga itu terkait dengan rakyat.  Domain fungsi intelijen BIN yang tidak dijelaskan dengan jelas dan hanya dibatasi dengan penjelasan sebagai penyelenggara Intelijen Negara dalam negeri dan luar negeri.  Sebab intelijen pertahananan menjadi domain TNI, penegakan hukum menjadi domain intelijen kejaksaan, dalam rangka tugas kepolisian menjadi domain intelijen Polri dan dalam rangka pelaksanaan tugas kementerian menjadi domain intelijen kementerian/nonkementerian, yang semuanya juga belum dijelaskan dan hanya dinyatakan “dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”. Itu artinya fungsi intelijen BINN akan sarat dengan nuasa politis dan ideologi sehingga wajar jika BIN dengan semua paparan diatas sangat mungkin dijadikan alat politik penguasa.

Disamping semua itu, RUU Intelijen ini pada akhirnya akan berpeluang sangat merugikan rakyat.  Umat islam khususnya para aktivis dan dakwah penerapan syariah akan menjadi sangat dirugikan dan berpelung menjadi korban.  Disamping itu, elemen masyarakat yang bersuara kritis dan para jurnalis pun akan bisa menjadi korban.

Berikut tabulasi catatan kritis terhada RUU Intelijen Negara:

No
RUU Intelijen
Kritik
1
Pasal 1 ayat 4
Ancaman adalah setiap upaya, pekerjaan, kegiatan dan tindakan baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai dapat membahayakan keamanan, kedaulatan, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan bangsa serta kepentingan nasional
Kata “ancaman …” belum dididefinisikan dengan jelas, pengertiannya masih kabur dan multitafsir, dan kriteria serta tolok ukurnya tidak jelas, sehingga memungkinkan interpretasi yang subyektif karenanya mungkin
menjadi pasal karet. Apalagi tidak dijelaskan dalam RUU siapa yang memutuskan bahwa sesuatu/pihak sudah ancaman atau bukan.
2
Pasal 1 ayat 2:
Intelijen Negara adalah penyelenggara Intelijen yang merupakan bagian integral dari sistem keamanan nasional yang memiliki wewenang untuk menyelenggarakan fungsi dan kegiatan Intelijen.
Intelijen tidak disebut sebagai alat negara. Sebutan penyelenggara Intelijen lebih menunjuk pada pelaksana fungsi.  Pada faktanya dan di pasal selanjutnya jelas bahwa semua penyelenggara Intelijen itu berada di pemerintah dan merupakan alatnya pemerintah.  Khsuus BIN dengan kewenangan yang begitu luas, langsung berada di bawah presiden. Akibatnya ini memungkinkan intelijen dijadikan alat oleh penguasa
3
Pasal 1 ayat 8:
Pihak Lawan adalah pihak dari dalam maupun luar negeri yang melakukan kegiatan yang dapat mengancam kepentingan dan keamanan nasional.
Frase “dapat mengancam kepentingan dan keamanan nasional” tidak jelas definisi, kriteria, tolok ukur kata tersebut “dapat” sangat fleksibel, multi tafsir dan berpeluang munculnya interpretasi dan justifikasi subyektif. Lebih berbahaya lagi jika dikaitkan dengan draft RUU Kamnas dimana keamanan Nasional juga mencakup keamanan individu dan kelompok. Ini memberi peluang besar Intelijen digunakan untuk kepentingan politik penguasa atau kelompok tertentu bahkan mungkin dipengaruhi asing.
4
Pasal 4:
Intelijen Negara berperan melakukan upaya, pekerjaan, kegiatan dan tindakan untuk deteksi dini dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan terhadap setiap hakikat ancaman yang mungkin timbul dan mengancam kepentingan dan keamanan nasional.
Pengertian dan batasan “ancaman yang mungkin timbul dan mengancam kepentingan dan keamanan nasional” tidak jelas, sehingga bersifat subyektif bagi pemegang kebijakan dan kendali operasional intelijen, memungkinkan disalahgunakan demi kekuasaan.
5
Pasal 32 :
Selain wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1), Badan Intelijen Negara memiliki wewenang melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana dan pendalaman terhadap setiap orang yang terkait dengan kegiatan terorisme, separatisme, spionase, subversi, sabotase dan kegiatan yang mengancam keamanan, kedaulatan dan keselamatan nasional, termasuk yang sedang menjalani proses hukum.
Ini memberi wewenang sangat luas kepada BIN yang sangat mungkin disalah gunakan demi kepentingan politk kekuasaan dan kelompok tertentu.Kata ‘Subversi” yang sangat lentur kembali dicantumkan, nantinya bisa kembali memunculkan rezim represif seperti Orde Baru
6
Pasal 33 :
(1) penyadapan sebagai dimaksud dalam pasal 32 dilakukan berdasarkan Undang-undang ini
(2) Penyadapan terhadap Sasaran yang mempunyai indikasi sebagamana dimaksud Pasal 32, dilaksanakan dengan ketentuan:
a. untuk penyelenggaraan fungsi intelijen. b. atas perintah Kepala Badan Intelijen Negara
c. Jangka waktu penyadapan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan
(3) Penyadapan terhadap Sasaran yang telah mempunyai bukti awal cukup, dilaksanakan dengan memberitahukan kepada Ketua Pengadilan“.
- penyadapan bisa terjadi secara liar, sebab tidak bisa dikontrol bahkan oleh pengadilan, karena cukup hanya memberitahukan.

- sangat mungkin dijadkan alat kepentingan kekuasaan.

- oposisi, jurnalis kritis, masyarakat yang kritis, dan aktivis dakwah bisa sangat mudah dijadikan sasaran penyadapan

- sangat memungkinkan pelanggaran hak privasi warga negara
7
Pasal 35.
Pendalaman terhadap setiap orang, termasuk yang sedang menjalani proses hukum sebagamana dimaksud dalam Pasal 32 dilakukan dengan ketentuan: a. untuk penyelenggaraan fungsi ntelijen. B. atas perintah Kepala Bdan Intelijen Negara; dan c. bekerjasama dengan penegak hukum terkait.” Dalam penjelasannya dikatakan “Ketentuan ini dimaksudkan sebagai upaya terakhir untuk mendalami informasi sebagai tindak lanjut dari informasi yang diperoleh sebelumnya, antara lain melalui pengintaian, penjejakan, pengawasan, penyurupan, pemeriksaan aliran dana atau penyadapan“.
- Istilah “pendalaman” ini agaknya dimaksudkan sebagai ganti istilah “pemeriksaan intensif” yang mencakup penankapan dan penahanan.Sebab dalam penjelasan tidak bisa dipahami sebagai pembatasan bentuk kegiatan dalam pendalaman itu sehingga tidak mencakup penangkapan dan penahanan.Sebaliknya, secara implisit itu juga mencakup penangkapan dan penahanan.

- Satu-satunya pihak yang memutuskan adalah Kepala BIN.

- Frase “bekerjasama dengan penegak hukum terkait” juga sangat luas interpretasinya.Ini akan berpotensi lahirnya rezim intel.

- Usulan itu sama saja memberi wewenang intel BIN atas perintah Kepala BIN untuk mengambil orang yang dicurigai, tanpa diberitahu tempat dan materi interogasi, tanpa pengacara dan tanpa diberitahukan kepada keluarganya.  Lalu apa bedanya dengan penculikan?

- Jika RUU ini disahkan, maka akan lahir kembali rezim represif. Penculikan akan terjadi lagi seperti pada masa reformasi atau bahkan lebih dari itu, sebab dilegalkan oleh undang-undang.  Padahal di negara hukum manapun, penangkapan adalah wewenang aparat penegak hukum yakni kepolisian, disamping bahwa penangkapan bukanlah fungsi intelijen.Jika demikian, apa bedanya dengan penculikan? Bahkan ini lebih berbahaya karena dilegalkan oleh undang-undang

-Berpeluang melahirkan rezim intel, ini ditambah kewenangan penyadapan maka itu akan kembali ke masa  masa kopkamtib
8
Pasal 41
(1) Pengawasan internal untuk setiap penyelenggara Intelijen Negara dilakukan oleh pimpinan masing-masing
(2) Pengawasan eksternal penyelenggara Inetlijen Negara dilakukan oleh komisi pada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang khusus menangani bidang Intelijen
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaukan komisis di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan membentuk Panitia Kerja yang wajib menjaga Rahasia Intelijen sebagaimana dimaksud dalam pasal 27
-Pengawasn model ini tidak kontinu dan permanen.  Itu artinya intelijen bisa out of control.

- Pengawasan lewat Panja selama ini terlihat lemah dan

- Ditambah dengan alasan “rahasia intelijen” maka intelijen akan menjadi “tak tersentuh”
9
Pasal 43
Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan bocornya Rahasia Intelijen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
- Ini berpotensi digunakan untuk membungkam suara-suara kritis
10
Pasal 45
Setiap Personil Intelijen Negara yang melakukan penyadapan di luar fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan Pasal 33 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
- Pasal ini tidak bisa mencegah penyalahgunaan penyadapan sebab selama atas perintah Kepala BIN tidak bisa dipermasalahkan.Apalagi pengertian “dalam rangka fungsi penyelidikan, pengamanan dan penggaangan” itu sangat luas.

-Dalam RUU Intelijen ini tidak dibahas sama sekali penyalahgunaan “pemeriksaan aliran dana” dan “Pendalaman”. Itu artinya penyalahgunaan dalam hal keduanya tidak akan tersentuh dan tidak bisa dipermasalahkan

Sumber : (hizbut-tahrir.or.id/2011/09/20)

Jangan Berharap Banyak Pada Rencana Reshuffle Ala SBY

Kabar soal reshuffle kabinet kencang terdengar. Namun jangan berharap banyak kabinet hasil reshuffle nanti akan diisi orang-orang profesional. Presiden SBY dinilai masih akan bermain aman. Harapan rakyat melihat menteri-menteri diisi orang-orang yang punya kemampuan di bidang masing-masing, masih jauh dari kenyataan.
 
“Reshuffle tidak akan berpengaruh banyak. SBY masih bermain aman. Kalau pun terjadi reshuffle, maka hanya akan mengganti orang dari partai yang sama,” ujar pengamat politik Charta Politika Arya Fernandes kepada detikcom, Senin (20/9/2011) malam.

Arya merasa pesimistis SBY akan melakukan terobosan besar di sisa masa jabatannya yang tersisa 3 tahun. SBY masih sangat memperhitungkan matematis dukungan politik di DPR jika ada perubahan drastis dalam reshuffle dan mitra koalisinya.

“Saya tidak begitu yakin SBY berani mengganti menteri-menteri di kabinetnya dengan orang profesional non-partai,” kata dia.

Arya berharap untuk kali ini, SBY mau mendengarkan keinginan publik untuk mengganti menterinya dengan orang yang benar-benar mampu bekerja. Bukan hanya orang-orang politik yang dipilih karena menjadi mitra koalisi Demokrat.

“Ini tren, kepuasan publik pada SBY terus menurun, kalau tidak membaca sinyal ini akan jadi petaka. SBY harus memperhatikan keinginan publik mengganti menteri yang lemah kinerjanya. Memberikan prioritas hasil penilaian UKP4, menyerap aspirasi publik dengan mengganti menteri yang lemah kinerjanya dengan orang-orang yang punya kemampuan dan punya rekam jejak yang baik,” katanya. (detiknews.com, 20/9/2011)

Dana BOS dan E-KTP Diduga Juga Mengalir ke Partai Demokrat

Tersangka kasus suap Sesmenpora, M Nazaruddin terus mengungkapkan kasus korupsi uang negara yang digunakan untuk kegiatan Partai Demokrat. Salah satunya, soal sumber dana kongres Partai Demokrat di Bandung pada 2010 lalu untuk memilih Ketua Umum Partai Demokrat saat itu, Anas Urbaningrum.

"Sumber keuangannya berasal dari mana saja, ada dari proyek Hambalang, proyek E-KTP, proyek BOS (Bantuan Operasional Sekolah), dan proyek pembangkit PLN di Riau dan di Kalimantan Timur," kata Nazaruddin usai menjalani pemeriksaan di Kantor KPK, Senin (19/9) malam.

Menurutnya keterangan itu ia sampaikan kepada penyidik KPK. Adapun penjelasannya, untuk proyek Hambalang uangnya diserahkan lewat pengusaha yang bernama Mahfud ke staf keuangannya, Yulianis.

Untuk proyek E-KTP, dana sebesar Rp 40 miliar dari proyek Kemendagri diambil untuk kegiatan kongres tersebut. Namun, Nazaruddin enggan menjelaskan berapa uang negara yang dikorupsi dari proyek pembangkit PLN di Riau dan Kalimantan Timur untuk kegiatan kongres itu.

Sebelumnya, KPK menyatakan akan menelusuri aliran dana yang diduga mengalir ke Kongres Partai Demokrat di Bandung pada tahun lalu. "Kami berkeinginan agar parpol itu memperoleh dana dengan cara yang bersih," kata Ketua KPK Busyro Muqoddas di kantornya, Rabu (14/9).

Nazaruddin sebelumnya juga pernah mengungkapkan sumber pendanaan kongres. Ketika dalam pelariannya di luar negeri, Nazaruddin menyebut ada dana sebesar Rp 100 miliar yang mengalir ke Kongres Demokrat untuk memenangkan Anas Urbaningrum sebagai ketua umum.(republika.19-09-11/www.taman-langit7.co.cc)


Astagfirullah! Mendekati Sea Games, 200 pojok kondom dipersiapkan

Mendekati ‘pesta olah raga plus pesta maksiat’ SEA Games yang akan digelar di Palembang Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Palembang telah menyiapkan pembuatan 200 pojok kondom di hotel dan tempat hiburan malam terkait gelaran olahraga internasional tersebut.


“Jadi pengunjung mudah mendapat benda pelindung itu saat berhubungan seks. Diperkirakan transaksi seks akan meningkat, mengingat banyak pengunjung yang datang dari berbagai negara ke kota ini,” kata Sekretaris KPA Palembang, Zailani UD, di Palembang, Kamis (15/9/2011).

Zailani bahkan dengan terang-terangan mengakui bahwa pada dasarnya tidak bisa dipungkiri setiap ada kegiatan internasional, bisnis seks adalah salah satu yang paling ramai dilakukan, mengingat pengunjung sebagian besar memang berasal dari negara yang berperilaku cenderung bebas.

Seolah mencari pembenaran, Ia juga mengklaim penyediaan kondom juga menjadi tradisi yang dilakukan negara mana pun setiap kali menjadi tuan rumah perhelatan besar, seperti SEAG.

Salah satu bentuk kekonyolan bangsa yang katanya mayoritas penduduk Muslim ini adalah bukannya berusaha membumihanguskan bisnis pelacuran tetapi malah rutin melakukan sosialisasi kepada para PSK untuk selalu menggunakan kondom saat berhubungan seks dengan pelanggan mereka.

Bahkan Zailani mengungkapkan pihaknya secara rutin bekerja sama dengan Dinas Kesehatan setempat, dan melakukan penyuluhan agar para PSK secara rutin dapat memeriksakan diri ke klinik Voluntary Counseling and Testing (VCT), antara lain untuk melakukan tes virus HIV yang dilakukan secara sukarela.

Kalau sudah begini, masihkah ada yang meragukan bahwa ide tentang ‘pesta olah raga’ pada dasarnya adalah ide untuk menjauhkan Ummat dari agamanya dengan mencontek budaya kaum pagan pada zaman ‘manusia masih berpola pikir primitif’. Ketika pemerintahnya membiarkan kemaksiatan terus terjadi, maka tunggulah kehancuran bangsa ini. Wallohua’lam. (ans/arrahmah/www.taman-langit7.co.cc)


19 Pasal RUU Intelijen Bermasalah





Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti menegaskan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen yang digodok DPR dan pemerintah masih mengandung 19 pasal bermasalah.
Poengky, dalam keterangan pers pada Minggu (18/9/2011) di Jakarta, menjelaskan, RUU Intelijen tidak mengakomodasi tata nilai hak asasi manusia (HAM) dan memandang pembatasan HAM penting demi negara (penguasa).
Adapun deretan permasalahan RUU Intelijen tersebut adalah:
  • Definisi intelijen.
  • Ancaman dan keamanan nasional yang tidak jelas.
  • Fungsi intelijen untuk penyelidikan, terutama intelijen non-judicial yang bersifat karet.
  • Intelijen kejaksaan tidak dibutuhkan pada era demokrasi saat ini.
  • Fungsi Badan Intelijen Negara (BIN) meluas hingga ke daerah yang memberi wewenang berlebihan.
  • Keberadaan BIN di bawah Presiden yang seharusnya di bawah departemen.
  • Intelijen TNI tidak dijelaskan secara rinci tugasnya dan dikhawatirkan represif.
  • Kode Etik dan Dewan Kehormatan Intelijen yang seharusnya memiliki lembaga pengawas resmi dan tidak menghalangi penegakan hukum terhadap intelijen yang melanggar hukum.
  • Perlindungan yang berlebihan kepada aparat intelijen. Aparat intelijen yang gagal menjalankan tugas disebutkan masih dilindungi negara. Di negara mana pun kegagalan operasi intelijen tidak pernah diakui negara.
  • BIN sebagai kordinator lembaga intelijen yang masih menjalankan tugas operasional.
  • Penggunaan istilah ”pendalaman” sebagai ganti istilah ”pemeriksaan intensif”, yang sebetulnya bermakna penahan.
  • Penyadapan yang dilakukan tanpa izin pengadilan.
  • Pemeriksaan aliran dana yang belum rinci sehingga rawan terjadi korupsi.
Uraian di atas adalah sebagian dari kelemahan mendasar RUU Intelijen yang menurut Poengky dapat membuka pintu kembalinya rezim represif dan menggunakan lembaga intelijen sebagai alat kekuasaan dan bukannya aparat negara.(kompas.com, 18/9/2011)

Pandangan Islam Tentang Asuransi

Oleh : Muhammad. Rosyid Aziz
(praktisi ekonomi syariah dan bisnis Islami)

 
Sektor keuangan dan jasa di dalam perekonomian dewasa ini memiliki share yang makin besar. Diantara bisnis di sektor ini yang mengalami booming adalah asuransi. Di dalam negeri hal itu bisa dilihat dari banyaknya perusahaan asuransi yang ada. Data Dewan Asuransi Indonesia Per akhir Juli 2000, terdapat 178 perusahaan asuransi dan reasuransi yang terdiri dari 62 perusahaan asuransi jiwa, 107 perusahaan asuransi kerugian, 4 perusahaan reasuransi, 2 perusahaan penyelenggara program asuransi sosial & Jamsostek, dan 3 perusahaan penyelenggara asuransi untuk PNS dan TNI & Polri yang memiliki izin usaha untuk beroperasi di Indonesia. Sementara itu juga terdapat 124 perusahaan penunjang asuransi yang terdiri dari 69 perusaaan pialang asuransi, 14 perusahaan pialang reasuransi, 23 perusahaan adjuster asuransi dan 18 konsultan aktuaria. Selama tahun 1999 sampai dengan akhir Juli 2000 terdapat 6 (enam) perusahaan pialang asuransi baru, dan 1 (satu) perusahaan adjuster.

Begitu pula bisnis asuransi syariah mengalami kenaikan pesat. Secara industri, asset asuransi jiwa syariah mengalami kenaikan lebih dari 100% dari tahun 2006 ke tahun 2007. Data KARIM Business Consulting menunjukkan bahwa asset asuransi jiwa syariah meningkat pesat dari 620 milyar pada Desember 2006 menjadi lebih dari 1,5 trilliun pada akhir 2007. Demikian juga dari sisi produksi premi mengalami peningkatan fantastis dari 300 an milyar di akhir tahun 2006 menjadi lebih dari 1 trilliun pada akhir 2007 atau mengalami peningkatan tiga kali lipat. Walaupun jika dicermati kenaikan tersebut disumbang 30% nya oleh Prudential life Assurance yang baru membuka cabang syariah dan menawarkan produk unit link syariah nya pada kuartal ke 4 tahun 2007. Asset Prudential cabang syariah mencapai 496 Milliar dan premi bruto sebesar 410 milliar (laporan publikasi tahun 2007). Namun secara rata-rata perusahaan maupun cabang asuransi syariah mengalami peningkatan asset maupun premi antara 50% - 100% di tahun 2007. Sebut saja seperti AJB Bumiputera 1912, Allianz Life Cabang Syariah, AIA Cabang Syariah ataupun BNI Life Syariah yang di tahun 2007 assetnya mengalami peningkatan diatas 100%. Demikian juga Asuransi Syariah Mubarakah yang kembali bergairah ditandai dengan produksi premi brutonya yang mengalami peningkatan lebih dari 500% dari tahun sebelumnya. 

Sedangkan asuransi kerugian di tahun 2007 mengalami peningkatan asset secara industri berkisar 70% dengan pertumbuhan tahun 2006 - 2007 berkisar 50%. Rata-rata perusahaan/cabang asuransi kerugian syariah mengalami peningkatan asset sebesar 30 - 50% dari tahun 2006 kecuali MAA General yang assetnya meningkat tajam dari 3 milyar menjadi 36 milyar di tahun 2007. Demikian juga peningkatan premi rata-rata industri sebesar 50% di tahun 2007 dimana ada beberapa cabang syariah mengalami peningkatan premi diatas 100% seperti Bumida, Adira ataupun Staco, namun beberapa asurani lain pertumbuhan preminya di level 50 - 100% bahkan ada juga yang dibawah 10%. 

Gambaran di atas menunjukkan bahwa transaksi asuransi baik konvensional maupun yang syariah sangat besar dari sisi jumlah maupun nilai nominalnya. Pelaku dan pengguna asuransi itu tentu saja kebanyakan adalah dari kaum muslim. Besar dan banyaknya transaksi asuransi itu sayangnya belum diiringi oleh pengetahuan kaum muslim tentang pandangan syariah atas asuransi itu. Padahal setiap muslim berkewajiban terikat dan patuh kepada syariah dalam semua aktivitas dan transaksi yang dilakukan, termasuk dalam transaksi asuransi. Karenanya penting disampaikan kepada masyarakat bagaimana pandangan syariah tentang asuransi yang ada dan berjalan saat ini.


Sekilas Sejarah Asuransi
Banyak dari para ahli berpendapat bahwa jenis asuransi yang pertama muncul adalah asuransi maritim (pelayaran), yang saat itu dipergunakan oleh Kaum Babilonia dengan nama Akad Pinjam-Meminjam di atas Kapal. Bahkan beberapa pengamat berpendapat bahwa Akad Pinjam-Meminjam ini telah disinggung sebelumnya oleh Hukum Hamurabi Tahun 250 SM. Baru kemudian Akad ini tersampaikan kepada Kaum Babilonia melalui Kaum Phoenisia dan Hunud kuno. Lalu menyusul Romawi di abad 6-7 SM dan Yunani di abad 4 SM.

Tapi Akad Pinjam-Meminjam ini kemudian ditentang oleh Pihak Gereja Roma. Karena konon akad ini memfasilitasi timbulnya aktivitas riba. Penentangan inilah yang selanjutnya menyebabkan Akad Pinjam-Meminjam ini diamandemen menjadi Akad Asuransi. 

Dokumen asuransi pertama pasca amandemen Akad Pinjam-Meninjam yang bisa didapatkan adalah Dokumen Italia tertanggal: 23 Oktober 1347 M, tentang Asuransi Maritim (Pelayaran). Kemudian asuransi ini mulai menggaung di beberapa kota di Italia dan negara-negara sekitar Laut Tengah. Tetapi konsep asuransi kala itu hanya terbatas pada barang dagangan yang dibawa oleh kapal, tidak pada asuransi atas kapal itu sendiri ataupun awak kapalnya.
Sementara, Asuransi Darat baru muncul paruh kedua abad ke tujuh Masehi di Inggris. Yakni saat terjadi kebakaran besar selama empat hari di London tahun 1666 M yang membumihanguskan lebih dari tiga belas ribu tempat tinggal dan seratusan gereja. Akhirnya dibentuk jasa asuransi kebakaran dan disusul beberapa jenis lainnya. Lalu konsep asuransi ini menyebar di beberapa negara semisal Jerman, Perancis dan negara-negara lainnya. Kemudian konsep Asuransi Jiwa mulai dirumuskan di Inggris pada awal abad ke-19. Pasca Revolusi Industri di Eropa, muncul jenis asuransi baru, yakni asuransi mas'uliah (asuransi tanggung jawab). 

Asuransi dengan berbagai jenisnya itu kemudian menyebar di negeri-negeri Islam. Hanya saja kemudian tampak bahwa asuransi itu dalam pandangan syariah bermasalah, terutama karena adanya unsur gharar, gambling, riba dan sebagainya. Karenanya pada sekitar tahun 1960-an banyak cendekiawan muslim mulai melakukan pengkajian ulang atas penerapan sistem hukum Eropa ke dalam industri keuangan dan sekaligus memperkenalkan penerapan prinsip syariah islam dalam industri keuangannya.

Pada awalnya prinsip syariah islam diterapkan pada industri perbankan. Dan, Cairo merupakan negara yang pertamakali mendirikan bank Islam sekitar tahun 1971 dengan nama “Nasser Social Bank” yang operasionalnya berdasarkan sistem bagi hasil. Kemudian diikuti dengan berdirinya beberapa bank Islam lainnya seperti Islamic Development Bank (IDB) dan the Dubai Islamic pada tahun 1975, Faisal Islamic Bank of Egypt, Faisal Islamic Bank of Sudan dan Kuwait Finance House tahun 1977.

Majma’ al-Fiqh al-Islâmy, pada kongresnya tanggal 10 Sya’ban 1398 H telah bersepakat mengharamkan asuransi konvensional (asuransi komersial/at-ta’mîn at-tijârî) dengan sejumlah alasan, yaitu: Asuransi mengandung gharar, mempraktikkan riba, mengandung unsur judi, dan mengakibatkan memakan harta orang lain secara tidak sah.

Karenanya kemudian dikembangkan asuransi dengan prosedur dan tata cara yang dinilai sesuai dengan prinsip syariah berbeda dengan asuransi komersial dan menghilangkan unsur riba, gharar, jahalah, qimar dan kezaliman. Yaitu asuransi yang bersifat tolong menolong (ta’âwunî) dan saling menanggung (takâfulî) diantara peserta asuransi. Asuransi yang pertama kali didirikan adalah Asuransi Takaful di Sudan pada tahun 1979, yang dikelola oleh Dar al-Mal al-Islami (DMI) Group. Dar al-Mal melebarkan sayap bisnisnya ke negara-negara Eropa dan Asia lainnya. Setidaknya ada empat asuransi takaful dan retakaful pada tahun 1983, yang berpusat di Geneva, Bahamas, Luxemburg, dan Inggris.

Dari sisi legalitas, sistem asuransi syariah baru diakui dan diadopsi oleh ulama dunia pada tahun 1985. Pada tahun ini, Majma al-Fiqhî al-Islâmî mengadopsi dan mengesahkan takaful sebagai sistem asuransi yang sesuai dengan syariah. Artinya, perkembangan takaful lebih didasarkan atas kreasi dan kebutuhan umat muslim, ketimbang didorong oleh fatwa. Sistem asuransi diadopsi sebagai sistem saling menolong dan membantu di antara para pesertanya.

Sejak saat itu asuransi syariah berkembang bukan hanya ke negeri-negeri islam tetapi juga ke seluruh dunia. Perkembangan asuransi dibilang cukup pesat. Dari asset $550 juta pada tahun 2000, $193 juta diantaranya berada di Asia Pasifik, meningkat menjadi $1,7 milyar. Pada tahun 2004 asetnya sudah mencapai $2 milyar. Angka-angka di atas merupakan kumulasi untuk asuransi jiwa dan selain jiwa. Asuransi keluarga syariah mendominasi perkembangan asuransi dunia, mencapai 75%, di mana 60%nya berasal dari asuransi jiwa syariah.

Perkembangan asuransi syariah yang cukup progressif terjadi di negara-negara Arab, terutama Arab Saudi, Qatar, Kuwait dan Bahrain. Di Bahrain pertama kali berdiri Asuransi Takaful Internasional pada tahun 1989. Pangsa pasar asuransi di Bahrain diperkirakan mencapai 65 juta dinar ($172 juta). Produk yang diluncurkan oleh asuransi Bahrain antara lain, Asuransi Haji dan Umrah sejak Januari 2004, asuransi kesehatan (The Best Doctors Takaful Health Care) sejak September 2004, dan takaful pendidikan. Di Arab Saudi berkembang perusahaan asuransi syariah diantaranya: Islamic Arab Insurance Company (al-Baraka Group tahun 1980), Islamic Corporation for the Insurance, Investment dan Export Credit (1995), Islamic Insurance Company Ltd., Islamic Insurance and Reinsurance Company (1985), al-Aman co-Operative Insurance (ar-Rajhi tahun 1985), Global Islamic Insurance co. (1986), Islamic Takaful and Retakaful Company (Dar al-Mal al-Islami (DMI) Group tahun 1986). Sementara di Afrika, di Ghana pertama kali berdiri perusahaan Metropolitan Insurance Company Limited (MIT) tahun 1994 dan menjadi satu-satunya asuransi syariah di Ghana dengan sistem mudharabah dan takafuli. Di Nigeria, African Alliance Insurance Company Limited mendirikan Islamic Life Insurance System (Takaful) pada oktober 2003. Di Senegal didirikan Islamic Takaful and Retakaful Co. dan Sonar al-Amane (al-Baraka Group). Di Trinidad and Tobago didirikan Takaful Trinidad and Tobago Friendly Society pada tahun 1999.

Sementara di Eropa, Inggris merupakan pelopor pengembangan asuransi syariah. Melalui HSBS’s Amanah, Inggris bercita-cita menjadi leading sector bagi pengembangan asuransi syariah di Eropa dan negara lainnya. Selain itu juga berdiri International Co-operative and Mutual Insurance Federation (ICMIF) yang menghimpun 150 orang dari 82 anggota organisasi dari 52 negara di dunia. Lembaga ini bertujuan untuk memajukan dan memperkenalkan sistem asuransi syariah ke berbagai negara. 

Di Amerika, asuransi syariah pertama berdiri pada Desember 1996 yaitu Takaful USA Insurance Company untuk menampung sedikitnya 12 juta penduduk muslim di sana. Di Australia berdiri Australia Takaful Assosiation Inc. 

Konsep takaful (asuransi Islami) pertama sekali diperkenalkan di Malaysia pada tahun 1985. Malaysia mendirikan Lembaga Penelitian dan Pelatihan Bank Syariah (BIRTI), yang konsen pada bidang pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia. Lembaga ini telah memberi andil dalam pengembangan industri syariah di belahan asia. Dengan dukungan BIRTI, Takaful Malaysia menjalin kerjasama dengan Sri Lanka, Arab Saudi, dan pernah pula memberikan dukungan teknis (technical assistance) untuk operasionalisasi Takaful Australia. BIRTI juga memberikan dukungan teknis di Lebanon, Bangladesh, dan Algeria. Kemudian pada tahun 1997, didirikan lagi The Asean Retakaful International Labuan Ltd (ARILL). Saat ini, Malaysia memiliki beberapa industri asuransi syariah, diantaranya : CIMB Aviva Takaful Berhad, Hong Leong Tokio Marine Takaful Berhad, HSBC Amanah Takaful (Malaysia) Berhad, MAA Takaful Berhad, Prudential BSN Takaful Berhad, Syarikat Takaful Malaysia Berhad, Takaful Ikhlas Sdn Berhad, Takaful Nasional Sdn Berhad.

Sementara di Indonesia, asuransi syariah mulai berkembang sejak tahun 1994. Diawali dengan berdirinya perusahaan asuransi syariah pertama di Indonesia yaitu PT Syarikat Takaful Indonesia (STI) pada 24 Februari 1994 yang dimotori oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Departemen Keuangan RI, serta beberapa pengusaha Muslim Indonesia. Selanjutnya, STI mendirikan dua anak perusahaan: perusahaan asuransi jiwa syariah yaitu PT Asuransi Takaful Keluarga (ATK) pada 4 Agustus 1994 dan perusahaan asuransi kerugian syariah bernama PT Asuransi Takaful Umum (ATU) pada 2 Juni 1995. Setelah Asuransi Takaful dibuka, berbagai perusahaan asuransi pun menyadari cukup besarnya potensi bisnis asuransi syariah di Indonesia. 

Hal tersebut kemudian mendorong berbagai perusahaan ramai-ramai masuk bisnis asuransi syariah. Diantaranya dilakukan dengan langsung mendirikan perusahaan asuransi syariah penuh seperti yang dilakukan oleh Asuransi Syariah Mubarakah yang bergerak pada asuransi jiwa syariah. Sedangkan kebanyakannya dilakukan dengan membuka divisi atau cabang asuransi syariah seperti yang dilakukan oleh PT MAA Life Assurance, PT MAA General Assurance, PT Great Eastern Life Indonesia, PT Asuransi Tri Pakarta, PT AJB Bumiputera 1912, dan PT Asuransi Jiwa Bringin Life Sejahtera, dan lainnya. Saat ini sesuai data Dewan Syariah Nasional (DSN) terdapat 42 asuransi syariah, tiga reasuransi syariah dan enam broker asuransi dan reasuransi.

Asuransi Konvensional
Dengan perkembangan seperti diatas, saat ini dikenal dua macam asuransi, yaitu asuransi konvensional dan asuransi syariah. Asuransi konvensional merupakan asuransi yang mengikuti model asuransi dari barat. Asuransi konvensional sering juga disebut asuransi komersial (at-ta’mîn at-tijârî). Sedangkan asuransi syariah merupakan asuransi yang dipercaya diselenggarakan berdasarkan prinsip syariah. Asuransi syariah juga sering disebut asuransi yang bersifat tolong menolong dan saling menanggung (at-ta’mîn at-ta’âwunî wa at-takâfulî).

Tentang asuransi konvensional terdapat banyak definisi yang telah diberikan. Secara sepintas tidak ada kesamaan antara definisi yang satu dengan yang lainnya. Hal ini bisa dimaklumi, karena perbedaan sudut pandang dalam mendefinisikan asuransi.

Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Republik Indonesia –dulunya diambil dari KUHD Belanda yang dipengaruhi oleh KUHD Perancis hasil kodifikasi Napoleon Bonaparte– mendefinisikan, “Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri pada tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu”.

Sementara itu UU tentang Usaha Perasuransian yaitu UU No. 2 tahun 1992 pasal 1 menyebutkan, “Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dimana pihak penanggung mengikat diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu peristiwa pembayaran yang didasarkan atas meninggalnya atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Prof. Robert I. Mehr dan Emerson Cammack, dalam bukunya Principles of Insurance menyatakan bahwa suatu pengalihan risiko (transfer of risk) disebut asuransi. Ia menyatakan, “Asuransi merupakan suatu alat untuk mengurangi resiko keuangan, dengan cara pengumpulan unit-unit exposure dalam jumlah yang memadai, untuk membuat agar kerugian individu dapat diperkirakan. Kemudian kerugian yang dapat diramalkan itu dipikul merata oleh mereka yang tergabung”.

Menurut Prof. Mark R. Green, “Asuransi adalah suatu lembaga ekonomi yang bertujuan mengurangi risiko, dengan jalan mengkombinasikan dalam suatu pengelolaan sejumlah obyek yang cukup besar jumlahnya, sehingga kerugian tersebut secara menyeluruh dapat diramalkan dalam batas-batas tertentu”. Sedangkan D.S. Hansell, dalam bukunya Elements of Insurance menyatakan bahwa asuransi selalu berkaitan dengan risiko (Insurance is to do with risk).

Tujuan asuransi konvensional ini adalah pengalihan resiko (transfer of risk) yang mungkin diderita oleh pihak tertanggung yang muncul dari suatu peristiwa tak tertentu dari pihak tertanggung kepada penanggung. Untuk itu pihak tertanggung harus membayarkan sejumlah uang yang disebut premi kepada pihak penanggung. 

Dalam asuransi konvensional ini, pihak Penanggung adalah perusahaan asuransi, sedangkan pihak tertanggung adalah orang yang membeli produk asuransi dan disebut juga pemegang Polis. Tertanggung atau Pemegang Polis membayar sejumlah uang yang disebut premi kepada perusahaan asuransi sebagai kompensasi atas kesediaan Penanggung menanggung resiko yang mungkin dihadapi oleh tertanggung itu. Premi asuransi yang dibayarkan oleh Tertanggung menjadi pendapatan perusahaan Asuransi. Artinya terjadi perpindahan kepemilikan dana premi dari Tertanggung kepada Perusahaan Asuransi. Bila Tertanggung mengalami risiko sesuai dengan yang tertuang dalam kontrak asuransi, maka Perusahaan Asuransi harus membayar sejumlah dana yang disebut Uang Pertanggungan kepada Tertangggung atau yang berhak menerimanya. Sebaliknya bila sampai akhir masa kontrak Tertanggung tidak mengalami risiko yang diperjanjikan maka kontrak Asuransi berakhir dan semua hak dan kewajiban kedua belah pihak juga berakhir. Dari proses diatas dapat disimpulkan bahwa terjadi perpindahan risiko financial yang dalam istilah asuransi disebut dengan transfer of risk dari Tertanggung kepada Penanggung. Dimana untuk itu penanggung memperoleh sejumlah uang sebagai kompensasinya.

Contoh, ketika seseorang membeli polis asuransi kebakaran untuk rumah tinggal dia akan membayar uang (premi) yang telah ditentukan oleh perusahaan asuransi, disaat yang sama perusahaan asuransi akan menanggung risiko finansial bila terjadi kebakaran atas rumah tinggal tersebut. Jika selama masa pertanggungan terjadi kebakaran rumah itu, maka perusahaan asuransi harus membayar uang pertanggungan sesuai klausul perjanjian. Sebaliknya jika selama masa pertanggungan itu tidak terjadi kebakaran atau kejadian yang tertuang di dalam klausul perjanjian, maka uang premi yang dibayarkan tertanggung akan menjadi hak perusahaan asuransi dan tertanggung tidak akan mendapatkan pembayaran apapun. 

Contoh lain dalam asuransi jiwa, ketika seseorang membeli asuransi kematian (term insuransce) dengan jangka waktu perjanjian 10 (sepuluh) tahun dengan uang pertanggungan 100 juta rupiah, maka dia harus membayar premi yang telah ditentukan oleh perusahaan asuransi (misal satu juta rupiah) per tahun. Maka bila tertanggung meninggal dunia dalam masa perjanjian diatas (10 tahun), ahli waris atau orang yang ditunjuk akan memperoleh uang dari perusahaan asuransi sebesar 100 juta. Sebaliknya bila tertanggung masih hidup sampai akhir masa perjanjian maka dia, keluarga atau orang yang ditunjuk tidak akan memperoleh apapun.

Motiv dalam asuransi ini bagi penanggung bukan motiv kemanusiaan, tetapi motiv bisnis yaitu untuk mendapatkan keuntungan. Pihak penanggung sebagai perusahaan dengan model statistik dan probabilitas jelas lebih bisa menghitung berapa besar resiko yang dihadapi oleh tertanggung dan kemungkinan klaim yang akan dibayarkan. Perusahaan pun juga bisa menghitung besarnya nilai penggantian yang harus dibayarkan. Kemudian perusahaan pun masih memasukkan biaya operasional dan nisbah keuntungan yang diinginkan. Dengan itu perusahaan bisa menentukan besaran premi yang harus dibayar oleh tertanggung. Semakin banyak nasabah yang bisa direkrut oleh perusahaan maka lebih mudah memperhitungkan itu dan keuntungan yang bisa diraih oleh perusahaan pun bisa lebih besar. 

Memang bisa saja perhitungan itu meleset. Namun pada kebanyakan kondisi dan dalam situasi normal, perhitungan itu tidak meleset. Kecuali dalam kondisi terjadi bencana sehingga perusahaan harus membayar pertanggungan dalam jumlah banyak sekaligus. Namun sekali lagi kejadian seperti itu kemungkinannya kecil. Dan pada umumnya perusahaan asuransi berupaya mengalihkan resiko itu agar juga ditanggung oleh pihak lain dengan jalan mereasuransikan ke perusahaan reasuransi.

Asuransi Syariah
Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun), menurut Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. Maksud dari Akad yang sesuai dengan syariah adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), perjudian, riba, penganiayaan/kezaliman, suap, barang haram dan maksiat. Sedangkan AAOIFI menyebutkan bahwa asuransi syariah adalah sistem menyeluruh yang pesertanya mendonasikan (derma) sebagian atau seluruh kontribusinya yang digunakan untuk membayar klaim atas kerugian akibat musibah pada jiwa, badan, atau benda yang dialami oleh sebagian peserta yang lain. 

Dalam asuransi syariah transaksi atau akad yang ada di dalamnya ada tiga macam akad, yaitu akad tabarru’, akad mudharabah dan akad wakalah bil ujrah. Penggunaan ketiga akad tersebut bergantung pada model pengelolaan asuransi syariahnya. Secara garis besar asuransi syariah ada dua jenis, non saving dan yang disertai saving.

Konsep dasar asuransi syariah atau takaful adalah pembagian resiko (sharing of risk) kepada seluruh peserta asuransi. Mudahnya adalah bahwa seluruh peserta sepakat untuk saling menolong dan saling menanggung diantara mereka. Maka setiap peserta menyetorkan sejumlah uang (premi) yang telah disepakati (ditentukan), dan disebut sebagai tabarru’ (derma/sumbangan). Seluruh uang premi dari seluruh peserta itu dihimpun menjadi satu dan dimasukkan dalam satu akun yang disebut dana tabarru’. Jika terjadi sesuatu yang telah disepakati pada salah seorang peserta maka ia akan diberi uang pertanggungan yang diambil dari dana tabarru’.

Dalam asuransi syariah (takaful) akad tabarru’ ini harus ada. Karena akad tabarru’ inilah yang menjadi konsep dasar dari takaful. Jika akad ini tidak ada maka dengan sendirinya takâful yang dirumuskan itu menjadi tidak ada. 

Dalam asuransi yang non saving, akad yang digunakan adalah akad tabarru’. Pengelolaan atau menejemen dana tabarru’ dan saling menanggung diantara peserta diamanahkan kepada perusahaan asuransi syariah. Perusahaan asuransi syariah berhak mendapat konpensasi atas administrasi dan menejemen yang dilakukan. Akad yang digunakan dengan perusahaan dalam hal ini adalah akad wakalah bil ujrah.

Sedangkan dalam asuransi yang disertai saving, maka premi yang dibayarkan peserta sejak awal dibagi dua bagian. Sebagian diakadkan sebagai tabarru’ dan dikelola seperti pengelolaan dana tabarru’ diatas. Sedangkan sebagian lagi dan bisanya bagian yang lebih besar, diakadkan sebagai penyertaan modal. Pengelolaan dana saving ini dilakukan oleh perusahaan asuransi syariah sebagai pengelola. Akad yang digunakan dalam hal ini adalah mudharabah. Hasil pengelolaan dana saving ini dibagi diantara nasabah dengan perusahaan degan nisbah tertentu misalnya 40:60. 

Model kedua inilah yang kebanyakan dipakai oleh perusahaan asuransi syariah. Dalam konteks ini, maka untuk pengelolaan dana tabarru’, perusahaan berstatus sebagai pihak yang mengelola, memenej dan melakukan kegiatan administrasi termasuk pemasaran dengan mendapatkan kompensasi. Akad yang digunakan adalah wakalah bil ujrah. Pada saat yang sama, perusahaan juga berposisi sebagai pengelola dalam syarikah mudharabah dimana nasabah berposisi sebagai pemilik modal (shâhib al-mâl). Keuntungan dari pengelolaan mudharabah ini dibagi diantara perusahaan sebagai pengelola dengan nasabah sebagai pemilik modal.

Contoh prakteknya: A menjadi peserta asuransi jiwa syariah untuk masa pertanggungan 10 tahun. Misal premi yang ia bayarkan sebesar seratus ribu per bulan (1,2 juta/tahun). Dari jumlah itu sepuluh ribu/bulan ditetapkan sebagai tabarru’. Maka seandainya A meninggal setelah lima tahun, maka keluarganya akan menerima: (a) savingnya selama lima tahun sebesar Rp. 5.400.000,-; ditambah (b) yaitu bagi hasil selama lima tahun itu misalnya sebesar Rp. 500.000,- dan (c) sisa premi yang belum A bayar sebesar Rp. 6.000.000,-. Sehingga total keluarganya akan mendapatkan: a + b + c = Rp. 11.900.000,-. Uang sebesar Rp. 6.000.000,- yaitu besaran sisa premi yang belum A bayar itu diambilkan dari dana tabarru’.

Misalnya A mengundurkan diri setelah lima tahun. Maka A akan menerima pengembalian dana sebesar: total saving lima tahun (Rp. 5.400.000) ditambah bagi hasil (misalnya Rp. 500.000). Jadi A akan menerima pengembalian dana sebesar Rp. 5.900.000,-. 

Sedangkan jika sampai akhir masa pertangungan A masih hidup, maka A akan mendapat pengembalian dana sebesar total saving dia selama sepuluh tahun (Rp. 1.080.000,- x 10 tahun = Rp. 10.800.000,-) ditambah bagi hasil yang A peroleh selama sepuluh tahun itu, misalnya sebesar Rp. 2.000.000. Jadi A akan menerima pengembalian dana sebesar Rp. 12.800.000,-.

Bagi seorang muslim yang berkeinginan taat pada hukum syariah agamanya, menjadi penting mengetahui status hukum dari muamalah asuransi. Untuk mengetahuinya, muamalah asuransi itu harus dibedah secara rinci untuk mengetahui fakta muamalahnya dengan baik. Setelah diketahui fakta muamalahnya akan bisa diukur dengan ketentuan syariah tentang muamalah tersebut dan ditentukan status hukumnya menurut kaca mata syariah islam.

Menilik pengertian dan deskripsi asuransi diatas tampak bahwa asuransi itu baik asuransi konvensional maupun asuransi syariah (takaful) merupakan akad yang berkaitan dengan pertanggungan (adh-dhamân). Dengan demikian instrument fikih yang bisa digunakan untuk menilai muamalah asuransi adalah ketentuan tentang akad secara umum dan tentang pertanggungan (adh-dhamân) secara khusus. Disamping itu, sebagian pihak juga menyatakan bahwa di dalam asuransi konvensional yang terjadi adalah transaksi pertukaran (tabâduli) sehingga untuk menilainya juga sering digunakan ketentuan fikih tentang pertukaran. 

Sementara itu muamalah asuransi syariah (takaful), unsur yang harus ada di dalamnya adalah akad tabarru’ yang merupakan hibah dan akad takâfuli (saling menanggung). Untuk memenej akad dan dana tabarru’ ini diserahkan kepada perusahaan asuransi dengan akad wakalah bil ujrah. Akad wakalah bil ujrah ini termasuk di dalam akad ijâratul ajîr. Disamping itu di dalam jenis asuransi syariah yang disertai saving, pengelolaan dana saving/investasi nasabah dilakukan oleh perusahaan asuransi dengan pola syarikah. Akad syarikah yang secara luas digunakan adalah mudharabah –karena biasanya perusahaan asuransi juga ikut andil modal, dalam beberapa literatur termasuk di dalam fatwa DSN disebut akad mudharabah musytarakah–. Dengan demikian untuk melihat asuransi syariah instrumen yang digunakan selain ketentuan fikih tentang akad secara umum dan tentang adh-dhamân, juga ketentuan fikih tentang akad tabarru’ (hibah), akad ijaratul ajir, dan akad syarikah terutama mudharabah.

Terdapat perbedaan pendapat tentang hukum asuransi konvensional. Mayoritas cendekiawan muslim dan para ulama mengharamkannya. Hanya sebagian kecil yang memperbolehkannya. Diantara yang memperbolehkan adalah Mushthafa Zarqa. Kemudian pendapatnya itu diungkapkan kembali oleh Ali al-Khafif, Muhammad Yusuf Musa, Abdul Wahab Khalaf dan Abdurrahman Isa. Mereka yang mengharamkannya diantaranya: Ibn Abidin ulama hanafiyah abad ke-13 H, Muhammad Bakhit al-Muthi’i mufti Mesir, Rasyid Ridha, Muhammad Abu Zahrah, Abdullah al-Qalqili mufti Yordania, Muhammad Abu al-Yaser Abidin mufti Suria, Dr. Shadiq adh-Dharir, syaikh Jad al-Haq syaikh al-Azhar, syaikh Muhamamd bin Ibrahim Ali asy-Syaikh, Abdul Karim Zaydan, Sayid Sabiq dan lainnya. Keharamannya juga difatwakan oleh Hai’ah Kibâr al-’Ulamâ’ di Saudi, Majma’ al-Fiqhî al-Islâmî dibawah Rabithah al-’Alam al-Islami, Majma’ al-Fiqhî ad-Dawlî di bawah OKI, Mu’tamar al-’Alami li al-Iqtishâd al-Islâmî dan lainnya.

Pandangan Syariah Tentang Asuransi Konvensional
Dari deskripsi di atas tampak jelas bahwa akad asuransi merupakan akad yang berkaitan dengan pertanggungan (adh-dhamân). Maka untuk mengetahui pandangan syariah tentangnya dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek akad secara umum dan dari aspek akad pertanggungan (adh-dhamân).

Pertama, dari sisi akad secara umum. Suatu akad agar bisa dinilai sah secara syar’i harus memenuhi rukun dan syaratnya. Rukun akad secara umum adalah: 1) dua pihak yang berakad (al-‘âqidân); 2) ijab dan qabul (shighât); dan 3) obyek yang diakadkan (al-ma’qûd ‘alayh). Jika salah satu dari rukun akad itu tidak terpenuhi, maka akad menjadi batil. 

Dan jika kita telaah semua akad yang dijelaskan syariah, maka tampak jelas bahwa akad itu wajib terjadi atas barang atau manfaat; baik disertai kompensasi atau tidak. Jadi akad bisa terjadi atas barang disertai kompensasi contohnya jual beli, salam, syarikah, dan sebagainya; atau tidak disertai kompensasi contohnya hibah, shadaqah, hadiah dan sebagainya. Bisa juga akad terjadi atas manfaat disertai dengan kompensasi contohnya ijaratul ajîr (kontrak kerja) dan sewa menyewa (ijârah/kirâ’), dan kadang tidak disertai kompensasi seperti ‘âriyah (pinjaman). Jika akad itu tidak terjadi atas benda atau manfaat, maka akad seperti itu secara syar’i merupakan akad yang batil, karena tidak terjadi atas sesuatu yang bisa menjadikannya sebagai akad dalam pandangan syara’.

Di dalam akad asuransi konvensional, memang ada dua pihak yang berakad, yaitu perusahaan sebagai penanggung (insurer/al-muammin/adh-dhâmin) dan nasabah sebagai tertanggung (insured/al-muamman ‘anhu/al-madhmûn ‘anhu). Begitu juga terdapat ijab dan qabul yang tercermin dalam klausul asuransi yang disepakati. Tetapi jika kita perhatikan di dalam akad asuransi itu tidak terpenuhi ketentuan tentang obyek akad (al-ma’qûd ‘alayh). 

Di dalam asuransi konvensional, yang terjadi adalah nasabah berakad dengan perusahaan asuransi dimana nasabah bersedia membayar sejumlah uang sebagai premi kepada perusahaan dan perusahaan berjanji atau menjamin akan membayar sejumlah uang pertanggungan jika terjadi peristiwa yang disebutkan di dalam klausul kontrak. Yang menjadi obyek akad dalam akad asuransi itu adalah jaminan atau janji untuk membayar sejumlah uang pertanggungan kepada tertanggung (insured/al-muamman ‘anhu/al-madhmûn ‘anhu) atau orang yang ditunjuk oleh tertanggung (al-muamman lahu/al-madhmûn lahu). Jadi akad asuransi itu terjadi atas janji (ta’ahud) atau jaminan (dhamânah). Janji atau jaminan itu sendiri bukanlah harta karena tidak bisa dikonsumsi. Janji atau jaminan itu juga tidak bisa diambil manfaatnya dan tidak bisa dipandang sebagai manfaat atau jasa, karena janji atau jaminan itu sendiri tidak bisa diambil manfaatnya baik dalam bentuk sewa (upah) ataupun dipinjamkan. Sementara obyek akad (al-ma’qûd ‘alayh) menurut syara’ wajib berupa harta atau manfaat (jasa). Dengan demikian akad asuransi konvensional itu tidak memenuhi ketentuan syara’ tentang obyek akad (al-ma’qûd ‘alayh). Obyek akad (al-ma’qûd ‘alayh) sendiri merupakan salah satu rukun akad yang wajib dipenuhi sehingga akad itu bisa dinilai sah secara syar’i. Karena yang tidak terpenuhi adalah salah satu rukun akad maka status akad asuransi konvensional itu adalah akad yang batil.

Kedua, dari sisi akad pertanggungan (adh-dhamân). Di dalam asuransi konvensional perusahaan (penanggung) memberikan janji atau jaminan untuk membayar uang pertanggungan sesuai syarat-syarat yang tertentu. Akad seperti itu termasuk akad pertanggungan (adh-dhamân). Karenanya agar sah secara syar’i harus memenuhi ketentuan akad adh-dhamân menurut syara’.

Ad-Dhamân secara bahasa artinya al-iltizâm (keharusan/komitmen). Adh-dhamân sama dengan kafâlah dan za’âmah. Secara syar’i, adh-dhamân (pertanggungan) adalah:

ضَمُّ ذِمَّةِ الضَّامِنِ إِلَى ذِمَّةِ الْمَضْمُوْنِ عَنْهُ فِيْ اِلْتِزَامِ الْحَقِّ
Penggabungan tanggungjawab (tanggungan) penanggung kepada tanggungjwab tertanggung dalam kewajiban menunaikan hak

Di dalam adh-dhamân harus ada: penggabungan tanggungjawab kepada tanggungjawab pihak lain (dhammu dzimmah ilâ dzimmah), penanggung (adh-dhâmin), tertanggung (al-madhmûn ’anhu), dan pihak yang menerima tanggungan (al-madhmûn lahu). Adh-dhamân (pertanggungan) merupakan komitmen untuk menunaikan hak yang berada di dalam tanggungan tanpa disertai kompensasi.

Hal itu dijelaskan di dalam hadis dari jalur Jabir bin Abdullah ra.:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا فَقَالَ هَلْ عَلَى صَاحِبِكُمْ مِنْ دَيْنٍ؟ فَقَالُوْا: نَعَمْ دِيْنَارَانِ، فَقَالَ: صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ، فَقَالَ أَبُوْ قَتَادَةَ: هُمَا عَلَيَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ فَصَلَّى عَلَيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Bahwa Nabi saw, di datangkan sesosok jenazah agar Beliau menshalatkannya. Maka Nabi bertanya: “apakah ia mempunyai utang?” Para sahabat berkata: “benar, dua dinar”. Lalu Nabi bersabda: “shalatkan teman kalian!” Maka Abu Qatadah berkata: “keduanya (dua dinar) menjadi kewajibanku ya Rasulullah”. Maka Nabi saw pun menshalatkannya (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan al-Hakim)

Kisah tersebut juga diriwayatkan oleh imam Bukhari dari Salamah bin al-Akwa’ secara panjang lebar dan disebutkan bahwa utangnya tiga dinar. Di dalam riwayat Ibn Majah dari Abu Qatadah, ia ketika itu berkata: “wa anâ attakaffalu bihi –aku menjadi penanggungnya-“. Sedangkan di dalam riwayat al-Hakim tentang riwayat Jabir di atas terdapat tambahan sesudahnya:

" فَقَالَ هُمَا عَلَيْك وَفِي مَالِك وَالْمَيِّت مِنْهُمَا بَرِيء ؟ قَالَ نَعَمْ ، فَصَلَّى عَلَيْهِ ، فَجَعَلَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا لَقِيَ أَبَا قَتَادَةَ يَقُول : مَا صَنَعَتْ الدِّينَارَانِ ؟ حَتَّى كَانَ آخِر ذَلِكَ إِنْ قَالَ : قَدْ قَضَيْتهمَا يَا رَسُول اللَّه ، قَالَ : الْآن حِين بَرَّدْت عَلَيْهِ جِلْده "
Nabi bersabda kepada Abu Qatadah: “keduanya menjadi kewajibanmu dan di dalam hartamu sedangkan mayit tersebut terbebas?” Abu Qatadah menjawab: “benar”. Lalu Nabi saw menshalatkannya. Maka Rasul saw jika bertemu Abu Qatadah beliau bertanya: “apa yang telah dilakukan oleh dua dinar?” Hingga akhirnya jika Abu Qatadah berkata: “aku telah membayar keduanya ya Rasulullah” Nabi saw bersabda: “sekarang kulitnya telah dingin”

Abu Sa’id al-Khudzri juga menuturkan:

كَانَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أُتِيَ بِجِنَازَةٍ لَمْ يَسْأَل عَنْ شَيْء مِنْ عَمَل الرَّجُل ، وَيَسْأَل عَنْ دَيْنه ، فَإِنْ قِيلَ عَلَيْهِ دَيْن كَفّ ، وَإِنْ قِيلَ لَيْسَ عَلَيْهِ دَيْن صَلَّى . فَأُتِيَ بِجِنَازَةٍ ، فَلَمَّا قَامَ لِيُكَبِّر سَأَلَ هَلْ عَلَيْهِ دَيْن فَقَالُوا : دِينَارَانِ ، فَعَدَلَ عَنْهُ فَقَالَ عَلِيّ : هُمَا عَلَيّ يَا رَسُول اللَّه وَهُوَ بَرِيء مِنْهُمَا ، فَصَلَّى عَلَيْهِ . ثُمَّ قَالَ لِعَلِيٍّ جَزَاك اللَّه خَيْرًا وَفَكَّ اللَّه رِهَانَكَ كَمَا فَكَكْتَ رِهَانَ أَخِيْكَ
Bahwa Rasulullah saw jika didatangkan sesosok jenazah, Beliau tidak bertanya tentang amalnya, tetapi Beliau bertanya tentang utangnya. Jika dikatakan jenazah itu memiliki utang, Beliau menahan diri, Sebaliknya jika dikatakan jenazah itu tidak mempunyai utang, Beliau pun menshalatkannya. Maka didatangkan sesosok jenazah. Ketika Beliau berdiri dan hendak bertakbir, Beliau bertanya tentang utangnya. Para sahabat mernjawab: “dua dinar”. Beliau pun urung menshalatkannya. Maka Ali bin Abi Thalib berkata: “keduanya menjadi kewajibanku ya Rasulullah dan jenazah itu bebas dari keduanya”. Maka Beliau menshalatkannya. Kemudian Beliau bersabda kepada Ali: “semoga Allah membalasmu dengan yang lebih baik, dan semoga Allah membebaskan tanggunganmu sebagaimana engkau telah membebaskan tanggungan temanmu” (HR. ad-Daraquthni)

Di dalam hadis diatas jelas bahwa Abu Qatadah dan Ali bin Abi Thalib telah menggabungkan tanggung jawabnya kepada tanggung jawab si mayit dalam hal kewajiban menunaikan hak finansial kepada pihak yang memberikan utang. Juga jelas bahwa penggabungan tanggung jawab itu dilakukan oleh Abu Qatadah dan Ali bin Abiy Thalib tanpa ada kompensasi. Disamping juga tampak jelas di dalam adh-dhamân itu ada penanggung (adh-dhâmin) yaitu Abu Qatadah dan Ali bin Abiy Thalib, tertanggung (al-madhmûn ‘anhu) yaitu si mayit; pihak yang menerima tanggungan (al-madhmûn lahu) yaitu pihak yang memberikan utang kepada si mayit; dan ada sesuatu yang ditanggung (al-madhmûn bihi) yaitu kewajiban membayar utang itu.

Meski dalam adh-dhamân itu tidak disyaratkan, tertanggung (al-madhmûn ‘anhu) dan yang menerima tanggungan (al-madhmûn lahu) harus jelas, melainkan keduanya boleh majhul (tidak jelas). Hal itu karena di dalam hadis diatas, jelas Rasul menyetujui adh-dhamân yang dilakukan oleh Abu Qatadah dan Ali bin Abiy Thalib. Sementara Rasul tidak menanyakan siapa jati diri jenazah itu dan siapa yang menghutanginya.

Dari hadis ini para ulama kemudian mengistinbath bahwa di dalam akad adh-dhamân itu harus ada dhammu dzimmah ilâ dzimmah (penggabungan tanggungan kepada tanggungan pihak lain). Jika tertanggung tidak memiliki tanggungan maka jelas tidak ada penggabungan tanggungan sehingga tidak akan ada adh-dhamân (pertanggungan). Adanya tanggungan (adz-dzimmah) itu akan tampak pada hak atau tanggungan yang wajib ditunaikan. Artinya adh-dhamân itu ada jika ada hak atau tanggungan finansial yang wajib ditunaikan dan terbukti sudah ada (haqq[un] wâjib[un] tsâbit[un] fî adz-dzimmah). Contohnya adalah utang si mayit itu adalah jelas merupakan hak atau tanggungan finansial yang wajib ditunaikan dan terbukti ada di dalam tanggungan si mayit. Adh-dhamân juga bisa ada jika ada hak atau tanggungan yang nantinya wajib ditunaikan dan terbukti berada di dalam tanggungan (haqq[un] yuawalu ilâ al-wâjib wa tsâbit fî adz-dzimmah). Contohnya, jika A berkata kepada seorang wanita, “menikahlah Anda dan mahar anda saya jamin”. Pada saat A mengatakannya, kewajiban mahar itu belum ada. Tetapi, nanti jika wanita itu menikah maka jelas mahar bagi si wanita itu akan menjadi hak atau tanggungan yang wajib ditunaikan dan menjadi tanggungan mempelai pria. Dalam konteks ini penanggung adalah si A, tertanggung adalah mempelai pria dan yang mendapat tanggungan adalah si wanita itu.

Inilah ketentuan syariah tentang pertanggungan (adh-dhamân). Jika kita terapkan ketentuan tersebut terhadap akad asuransi konvensional, maka tampak bahwa ketentuan syariah tentang pertanggungan itu tidak terpenuhi.

Di dalam asuransi itu tidak ada penggabungan tanggung jawab (dhammu dzimmah ilâ dzimmah) sama sekali. Perusahaan asuransi tidak menggabungkan tanggung jawabnya kepada tanggung jawab seseorang pun dalam menunaikan kewajiban finansial. Pihak penerima pertanggungan (al-muamman lahu) tidak memiliki hak finansial yang menjadi kewajiban atau yang nanti menjadi kewajiban si nasabah sebagai tertanggung (insured/al-muamman ‘anhu). Misalnya, dalam asuransi jiwa, ketika nasabah meninggal jelas pihak yang menerima pertanggungan yaitu keluarganya atau orang yang ditunjuk, tidak memiliki hak finansial yang menjadi kewajiban si nasabah yang meninggal itu. Begitu pula dalam asuransi kerugian, semisal asuransi mobil. Ketika mobil itu rusak karena sesuatu atau hilang atau dicuri, jelas bahwa nasabah yaitu pemilik mobil itu tidak memiliki hak finansial yang menjadi kewajiban pihak lain untuk memperbaiki kerusakan atau mengganti mobil itu. Jadi jelas di dalam asuransi konvensional tidak ada hak finansial yang menjadi kewajiban atau nantinya menjadi kewajiban bagi tertanggung (insured/al-muamman ‘anhu). Sementara adanya tertanggung itu ditentukan oleh adanya hak finansial yang wajib atau nantinya wajib ia tunaikan. Jika hak finansial yang wajib ditunaikan itu tidak ada maka tidak akan ada pihak yang menjadi tertanggung (insured/al-madhmûn ‘anhu). Dengan demikian dalam asuransi tersebut tidak ada yang menjadi pihak tertanggung karena tidak adanya tanggungjawab (dzimmah) atau hak finansial yang wajib atau nantinya wajib ditunaikan. 

Dengan demikian akad asuransi konvensional itu telah kosong dari unsur-unsur adh-dhamân (pertanggungan) sehingga bisa dinilai sebagai adh-dhamân. Yaitu tidak ada tertanggung (insured/al-madhmûn ‘anhu). Di dalamnya juga tidak ada penggabungan tanggung jawab (dhammu dzimmah ilâ dzimmah), sementara adh-dhamân itu adalah dhammu dzimmah ilâ dzimmah. Pihak yang menerima pertanggungan juga tidak memiliki hak finansial yang wajib ditunaikan oleh nasabah yang dikatakan sebagai tertanggung. Karena semua alasan itu, maka secara syar’i akad asuransi konvensional itu merupakan akad yang batil. 

Ibn Abidin (w. 1252 H/1836 M) di dalam Hasyiyah Radd al-Mukhtâr (4/170) menyatakan: “telah berlangsung kebiasaan bahwa para pedagang jika mereka menyewa kapal dari seorang kafir harbi, mereka selain menyerahkan uang sewanya juga menyerahkan sejumlah uang kepada orang kafir harbi yang tinggal di negerinya itu. Harta yang dibayarkan itu disebut sawkarah. Jika terjadi kerusakan apapun atas harta di kapal itu baik karena terbakar, tenggelam, dirampok atau lainnya, maka orang kafir harbi itu menjadi penjaminnya dengan kompensasi berupa harta yang ia terima dari para pedagang itu. Orang kafir harbi itu memiliki wakil seorang musta’man –orang kafir yang masuk ke negeri muslim karena mendapat izin– di negeri kita yang tinggal di negeri-negeri pantai bagian dari negeri Islam atas izin dari penguasa. Wakil itulah yang menerima uang sawkarah dari para pedagang tersebut. Dan jika harta para pedagang itu rusak di laut manapun, maka orang musta’man itu (wakil orang kafir harbi) akan menyerahkan pengganti harta tersebut secara sempurna kepada para pedagang itu. Yang tampak jelas bagiku adalah bahwa para pedagang itu tidak halal mengambil uang pengganti hartanya yang rusak itu karena itu artinya iltizâm mâ lâ yalzam (mewajibkan sesuatu yang tidak wajib).” Pernyataan ini agaknya merupakan jawaban Ibn Abidin tentang status hukum asuransi maritim yang marak pada masa itu dan masuk ke negeri Islam berasal dari Eropa. Di Eropa sendiri asuransi maritim itu sudah berkembang sejak abad ke-14. Kata sawkarah itu sendiri menurut Muhthafa Zarqa berasal dari bahasa perancis “sekurity” yang artinya aman dan menjadi aman. Dari sini jelas bahwa menurut Ibn Abidin, asuransi seperti itu hukumnya haram.

Disamping semua itu, ketika perusahaan asuransi berjanji atau menjamin akan membayar sejumlah uang pertanggungan jika terjadi peristiwa tak tertentu yang disebutkan di dalam klausul kontrak, perusahaan asuransi itu berkomitmen atas hal itu dengan mendapat kompensasi. Maka itu merupakan iltizâm (komitment) dengan mendapat imbalan. Yang demikian secara syar’i tidak sah. Karena syarat sah adh-dhamân adalah harus tanpa imbalan. akad asuransi karena adanya imbalan itu juga merupakan akad adh-dhamân yang batil.

Pendapat lain dalam masalah asuransi ini menilai akad asuransi sebagai akad yang bersifat pertukaran (tabâdulî). Yaitu terjadi pertukaran dimana nasabah mempertukarkan uang premi yang ia bayarkan secara berangsur dengan sejumlah uang pertanggungan yang akan ia, keluarganya atau orang yang ia tunjuk, peroleh ketika terjadi peristiwa tak tertentu yang disebutkan di dalam klausul kontrak. Penilaian demikian menjadi penilaian kebanyakan orang ketika menganalisis akad asuransi. Meski yang lebih tepat adalah memandang akad asuransi itu sebagai akad adh-dhamân (pertanggungan) yang disertai kompensasi.

Jika akad asuransi itu dipandang sebagai tabâdulî, maka juga tampak jelas hal-hal yang menjadikannya sebagai akad yang batil dan haram hukumnya. Yaitu bahwa di dalamnya tampak terdapat unsur gharar, jahalah, maisir (perjudian/gambling), riba dan kezaliman.

Gharar yang ada terjadi pada obyek yang diakadkan. Nasabah (tertanggung) asuransi pada saat akad/kontrak tidak mengetahui secara jelas/pasti berapa jumlah uang yang harus ia bayar dan sampai kapan. Ia juga tidak tahu apakah akan bisa mendapatkan uang pertanggungan atau tidak. Begitu pula perusahaan asuransi pada saat akad/kontrak tidak mengetahui berapa jumlah uang premi yang akan ia peroleh dan juga tidak bisa memastikan apakah harus membayar uang pertanggungan atau tidak. Jadi unsur jahalah (ketidakjelasan) sangat menonjol dalam akad asuransi. Dimana jahalah ini ada pada harta yang dipertukarkan dari kedua pihak. Jahalah yang besar itu terjadi pada obyek akad yang merupakan salah satu rukun akad. Dengan demikian akad asuransi itu batil karena salah satu rukunnya tidak terpenuhi.

Nasabah dan perusahaan asuransi juga mendasarkan kewajiban dan apa yang akan diperoleh pada unsur gambling (untung-untungan) karena mendasarkan pada peristiwa tak tertentu. Peristiwa itu bisa terjadi kapan saja, dan sebaliknya bisa juga tidak terjadi. Jika peristiwa itu terjadi maka nasabah akan mendapat uang pertanggungan meski misalnya baru dua kali membayar uang premi. Seakan nasabah mempertaruhkan sedikit uang untuk mendapatkan uang yang banyak. Sebaliknya perusahaan asuransi seakan mempertaruhkan uang pertanggungan untuk mendapatkan kumulasi uang premi. Jika sampai akhir masa pertanggungan tidak terjadi peristiwa yang disepakati maka nasabah tidak akan mendapatkan uang pertanggungan. Sebaliknya perusahaan asuransi akan mendapatkan kumulasi uang premi itu tanpa mengeluarkan kompensasi. Dari deskripsi ini tampak jelas adanya unsur maysîr (gambling/judi). Sementara maysîr sangat tegas dilarang (diharamkan) di dalam al-Quran (QS. al-Mâidah [5]: 90).

Disamping itu di dalam akad asuransi itu jika dipandang sebagai pertukaran, tampak di dalamnya ada riba. Nasabah mempertukarkan sejumlah uang dengan mendapat uang yang lebih banyak. Karena jumlah uang pertanggungan biasanya jauh lebih besar dari kumulasi premi yang dibayar. Dilihat dari sisi ini tampak jelas adanya riba fadhl, karena mempertukarkan uang jenis yang sama (misalnya, rupiah dengan rupiah) dengan jumlah yang tidak sama. Disamping itu, nasabah akan mendapatkan uang pertanggungan itu sebagai kompensasi dari uang premi yang ia bayarkan secara berangsur. Artinya ia mendapat uang pertanggungan setelah jangka waktu tertentu dari waktu ia menyerahkan uang premi. Dimana uang pertanggungan lebih besar dari kumulasi uang premi. Dilihat dari sisi ini tampak jelas adanya riba nasiah, sebab tambahan itu terjadi karena adanya tempo.

Dengan demikian jika akad asuransi itu dipandang sebagai pertukaran sekalipun, tampak jelas kebatilan dan keharamannya. Karena obyek akadnya (al-ma’qûd ’alayh) tidak jelas atau majhûl. Di dalam obyek akad itu terdapat gharar. Juga bahwa akad asuransi itu merupakan bentuk gambling. Disamping tampak jelas di dalamnya terdapat riba.

Konsekuensinya, sebagai akad yang batil maka haram bagi seorang muslim siapapun dia melangsungkan akad asuransi. Akad yang batil dalam pandangan syariah dinilai gugur sejak awal, seakan tidak pernah terjadi akad itu. Jika sudah terlanjur, maka harus dikembalikan kepada keadaan awal sebelum terjadinya akad asuransi tersebut. Selain itu, sebagai akad yang batil, semua harta yang diperoleh dengan akad yang batil statusnya adalah harta yang diperoleh dengan tata cara yang tidak sesuai dengan syariah, atau diperoleh dengan cara yang tidak haq. Karenanya harta yang diperoleh dari akad asuransi itu adalah harta yang haram.

Asuransi Syariah, Beberapa Catatan
Asuransi syariah dikampanyekan sebagai alternatif bagi kaum muslim untuk menjalankan akad asuransi. Sesuai dengan fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) tentang Pedoman Umum tentang Asuransi Syariah disebutkan bahwa asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan / atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud tersebut adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat. Asuransi syariah itu disebut ta’mîn, takâful atau tadhâmun. Konsep dasarnya adalah adanya saling menanggung diantara peserta asuransi. Dengan demikian jelas bahwa asuransi syariah itu juga merupakan adh-dhamân (pertanggungan). 

Dipercaya oleh banyak kalangan bahwa asuransi syariah dijalankan sesuai dengan prinsip syariah. Hanya saja dari perkembangan berjalannya asuransi syariah, tampak ada kesenjangan antara tataran konsep dengan tataran aplikasi. Dalam tataran konsep dan aplikasi masih ada beberapa pertanyaan dan catatan.

Pertama, bahwa asuransi syariah jelas termasuk adh-dhamân. Agar sah maka akad asuransi syariah itu harus memenuhi syarat dan ketentuan syariah tentang adh-dhamân. Yaitu di dalamnya harus ada: penanggung (adh-dhâmin), tertanggung (al-madhmûn ‘anhu), yang mendapat pertanggungan (al-madhmûn lahu) dan penggabungan tanggung jawab penanggung kepada tanggungan jawab tertanggung (dhammu dzimmah adh-dhâmin ilâ dzimmah al-madhmûn ‘anhu). Agar ada dhammu dzimmah adh-dhâmin ilâ dzimmah al-madhmûn ‘anhu, harus ada hak finansial yang wajib atau nantinya wajib ditunaikan oleh tertanggung. Jika kita telaah akad asuransi syariah, tampak bahwa dari sisi jenis asuransinya tidak berbeda dengan asuransi konvensional. Yang berbeda hanya prosedur dan mekanismenya saja. Di dalam akad asuransi syariah tampak bahwa di dalamnya tidak terdapat hak finansial yang wajib atau nantinya wajib ditunaikan oleh nasabah. Misalnya, asuransi jiwa syariah, jelas tidak ada hak finansial yang wajib atau nantinya wajib ditunaikan oleh nasabah kepada pihak yang mendapat pertanggungan (keluarganya atau pihak yang dia tunjuk). Begitu juga dalam asuransi kerugian syariah seperti dalam asuransi kebakaran syariah. Didalamnya tidak ada hak finansial yang wajib atau nantinya wajib ditunaikan oleh nasabah sebagai tertanggung kepada pihak yang mendapat pertanggungan. Hal yang sama dapat dilihat pada semua bentuk asuransi syariah yang ada. 

Tidak adanya hak finansial yang wajib atau nantinya wajib ditunaikan oleh nasabah sebagai tertanggung (al-madhmûn ‘anhu) agaknya merupakan konsekuensi yang terlihat sejak awal dirumuskannya asuransi syariah. Hal itu karena asuransi syariah disodorkan sebagai alternatif untuk menghilangkan aspek-aspek bermasalah yang ada pada asuransi konvensional. Sementara dari berbagai analisis yang ada, hal-hal bermasalah dalam asuransi konvensional itu adalah gharar, jahalah, riba, kezaliman, maysîr (gambling). Hal itu karena akad asuransi konvensional dipandang sebagai akad tabâdulî. Padahal semestinya, akad asuransi konvensional itu pertama-tama harus dipandang dan dianalisis sebagai akad adh-dhamân (pertanggungan).

Karena tidak ada hak finansial yang wajib atau nantinya wajib (haqq wâjib aw yuawwal ilâ al-wâjib) ditunaikan oleh tertanggung (nasabah) kepada pihak yang mendapat pertanggungan, itu artinya tidak ada tanggung jawab (dzimmah) bagi nasabah. Karena itu tidak mungkin akan ada penggabungan dzimmah (tidak akan ada dhammu dzimmah ilâ dzimmah). Padahal suatu akad adh-dhamân sehingga bisa dinilai sebagai akad adh-dhamân yang sah secara syar’i harus ada penggabungan tanggungjawab (harus ada dhammu dzimmah ilâ dzimmah). 

Kedua, Jika asuransi syariah itu menggunakan model tabarru’ murni atau model non saving, artinya akad yang ada adalah akad tabarru’ yang diniatkan untuk saling menanggung (takâfulî). Tabarru’ secara syar’i adalah hibah. Hibah adalah pemindahan kepemilikan tanpa kompensasi apapun. Nah apakah hal itu benar-benar terpenuhi? Bagaimanapun juga setiap nasabah ketika ikut serta menjadi peserta asuransi, ia berharap akan mendapat uang pertanggungan ketika terjadi peristiwa yang disebutkan di dalam kontrak. Disamping itu hibah tidak dibenarkan ditarik kembali, apalagi dengan pengembalian yang lebih besar. Dari Ibn Abbas bahwa Rasul saw pernah bersabda:

الْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ
Orang yang menarik hibahnya seperti anjing yang menjilati ludahnya (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, an-Nasai, Ibn Majah dan Ahmad)

Pada sebagian praktek asuransi syariah yang menggunakan model tabarru’ murni (non saving) terdapat pengembalian dana kepada nasabah yang disebut pengembalian kelebihan pengelolaan dana tabarru’ atau pengembalian surplus underwriting. Apakah yang demikian tidak menyalahi ketentuan hibah tersebut?

Ketiga, adanya dua transaksi dalam satu akad. Pada asuransi yang disertai saving, premi nasabah dipisahkan menjadi dua, sebagian kecil dijadikan dana tabarru’, dan sebagian besarnya dijadikan penyertaan modal dalam syarikah mudharabah dimana perusahaan asuransi dikatakan sebagai pengelola dan nasabah sebagai pemilik modal. Pertanyaannya adalah bisakah nasabah ikut salah satu saja, misalnya ikut akad tabarru’ saja atau ikut akad mudharabah saja? Jika jawabannya tidak, artinya nasabah harus ikut dua-duanya sekaligus dan kedua transaksi itu diakadkan dalam satu akad sekaligus, maka jelas terjadi dua transaksi dalam satu akad. Atau melangsungkan satu akad dengan mempersyaratkan akad lain. Dalam hal ini Ibn Mas’ud menuturkan bahwa Nabi saw pernah bersabda:

« نَهَى رَسُولُ اللَّهِ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ »
Rasulullah saw melarang dua transaksi dalam satu akad (HR. Ahmad, al-Bazar dan ath-Thabrani)

Makna shafqatayn fî shafqatin wâhidah adalah wujûd ‘aqdayn fî ‘aqdin wâhidin (adanya dua akad dalam satu akad). Disamping itu Rasulullah saw juga pernah bersabda:

« لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلاَ شُرْطَانُ فِيْ بَيْعٍ، وَلاَ رِبْحٌ مَا لَمْ يُضْمَنْ، وَلاَ بَيْعٌ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ »
Tidak halal salaf dan jual beli, tidak halal dua syarat dalam satu jual beli, tidak halal keuntungan selama (barang) belum didalam tanggungan dan tidak halal menjual apa yang bukan milikmu (HR. an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan ad-Daruquthni)

Menurut para fukaha, larangan hadis ini diantaranya mencakup adanya bay’ wa syarth yaitu salah satu pihak dalam akad bay’-nya mensyaratkan kepada pihak lain akad/transaksi lain baik utang, sewa, kontrak kerja, bay’ lainnya, atau yang lain. Dalam hadis tersebut Nabi saw menyatakan “la yahillu (tidak halal)”. Ini adalah qarinah jazim yang menunjukkan bahwa apa yang dilarang itu adalah haram, karena lafal “tidak halal” maknanya adalah haram. Dengan demikian akad yang di dalamnya terjadi dua transaksi atau disyaratkan akad/transaksi lain, merupakan akad/transaksi yang batil.

Keempat, tentang kedudukan perusahaan asuransi syariah. Di dalam asuransi syariah non saving murni, perusahaan asuransi berfungsi sebagai wakil para peserta takaful untuk mengelola takaful dan memenejnya termasuk memasarkannya. Untuk itu perusahaan berhak mendapat kompensasi berupa upah. Akad yang digunakan adalah wakalah bil ujrah. Dalam asuransi jenis ini, maka perusahaan berstatus sebagai wakil para peserta dengan mendapat fee. Perusahaan tidak berhak mendapat bagi hasil dari pengelolaan dana tabarru’. Sedangkan dalam asuransi yang disertai saving, maka selain akad wakalah bil ujrah, perusahaan juga melangsungkan akad mudharabah dengan peserta (nasabah) baik perusahaan ikut andil modal ataupun tidak.

Ketentuan syariah tentang mudharabah, bahwa mudharabah merupakan syarikah antara modal dengan badan. Artinya harus ada pihak pemilik modal dan pihak pengelola. Pihak pengelola sendiri juga boleh ikut andil modal. Pihak pengelola merupakan pihak yang mengelola kegiatan bisnis syarikah itu. Masalahnya di dalam asuransi, benarkah perusahaan asuransi berfungsi dan menjalankan peran sebagai pengelola? Benarkah perusahaan asuransi mengelola langsung dana/modal yang disetor nasabah? Jawabannya adalah tidak. Hal itu karena perusahaan asuransi termasuk lembaga keuangan non bank. Menurut UU, lembaga keuangan non bank hanya boleh menghimpun dan tidak boleh menyalurkannya apalagi memutarnya sendiri dalam kegiatan usaha riil. Jika tidak dikelola/diputar sendiri lalu dana/modal nasabah itu diapakan? Jawabannya adalah disalurkan ke bank. Jika disalurkan ke bank konvensional, jelas bahwa pendapatannya berasal dari riba. Tentu saja hal ini haram. Jika disalurkan ke Bank syariah, ternyata bank syariah juga tidak mengelola/memutar modal yang diterimanya dalam kegiatan usaha riil. Hal itu karena sesuai UU, lembaga keuangan berupa bank hanya boleh menghimpun dan menyalurkan dana tetapi tidak boleh melakukan kegiatan usaha riil. Dengan demikian, jika disalurkan ke bank syariah, dana itu akan disalurkan lagi oleh bank syariah itu kepada pengusaha. Artinya, di sini perusahaan asuransi sebagai pengelola syarikah mudharabah dana premi nasabah, tidak mengelola langsung dana itu, tetapi justru menyalurkannya ke bank. Artinya perusahaan asuransi bertindak sebagai pemilik modal dalam syarikah dengan bank. Selanjutnya bank sebagai pengelola dana yang diterima dari perusahaan asuransi itu juga tidak mengelola langsung dana itu, tetapi kembali menyalurkan kepada pengusaha dan bertindak sebagai pemilik modal. Masalahnya terjadi di sini. Bolehkah secara syar’i, pihak pengelola dalam syarikah mudharabah, tidak mengelola atau memutar langsung modal syarikah itu, dan hanya menyalurkannya kepada pihak lain yang kemudian mengelolanya? Secara syar’i apakah dibenarkan, pengelola syarikah mudharabah itu lalu menyalurkan modal syarikah itu dan bertindak sebagai pemilik modal? 

Jawabnya adalah tidak boleh. Karena pengelola ikut serta dalam syarikah itu dengan badan, tenaga dan pikirannya. Karenanya pengelola harus mengelola langsung usaha syarikah itu dengan badan, tenaga dan pikirannya. Jika kemudian dana syarikah itu disalurkan dalam syarikah lainnya kepada pengelola lainnya, maka pada saat itu pengelola itu tidak lagi bertindak sebagai pengelola tetapi bertindak sebagai pemilik modal terhadap pengelola lain itu. Jika perusahaan asuransi sebagai pengelola menyalurkan lagi dana mudharabah itu kepada bank, maka pada saat itu bank lah yang bertindak sebagai pengelola atas dana yang sama, sedangkan perusahaan asuransi bertindak sebagai pemilik modal. Artinya yang bertindak sebagai pengelola langsung atas modal itu adalah bank. Hak pengelolaan dana itu sepenuhnya menjadi wewenang pengelola yaitu bank. Itu artinya perusahaan asuransi tersebut tidak lagi mengelola dana mudharabah dari nasabah, padahal ia berstatus sebagai pengelola. Hal yang sama terjadi lagi ketika bank menyalurkan kembali dana itu kepada pengusaha. Maka yang mengelola dana itu secara langsung adalah pengusaha itu, bukan perusahaan asuransi dan bukan pula bank. Padahal perusahaan asuransi dan bank berstatus sebagai pengelola, namun faktanya tidak mengelola langsung modal syarikahnya. Dengan demikian hal itu tidak memenuhi ketentuan syariah tentang syarikah. 

Lalu jalan keluarnya bagaimana? Jalan keluarnya, perusahaan asuransi bisa bertindak sebagai perantara antara nasabah dan pengusaha. Sebagai perantara, perusahaan asuransi bisa mendapat komisi. Atau perusahaan asuransi bisa juga bertindak sebagai wakil dari nasabah dalam berhubungan dengan pengusaha. Perusahaan asuransi dalam hal ini bisa menerima fee (upah).

Solusi Akhir
Masalah asuransi ini muncul dalam konteks sistem kapitalisme dimana peran negara harus seminimal mungkin. Masalah asuransi ini tidak akan marak dalam kerangka sistem islam. Hal itu karena dalam sistem islam, negara berkewajiban menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok tiap-tiap individu rakyat, dan menjamin pemberian kemungkinan kepada tiap orang untuk bisa memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kemampuannya. Kebutuhan pokok yang wajib dijamin pemenuhannya oleh nagara untuk tiap individu rakyat itu adalah pangan, sandang dan tempat tinggal. Negara juga wajib menjamin langsung pemenuhan kebutuhan akan kesehatan, pendidikan dan keamanan. Dengan demikian tentu tidak akan diperlukan adanya asuransi pendidikan dan kesehatan karena pemenuhan pendidikan dan pelayanan kesehatan diberikan oleh negara secara gratis dan memadai kepada setiap individu rakyat. Begitu pula dengan diterapkan sistem islam, peluang berusaha menjadi terbuka bagi setiap orang. Dalam ketentuan islam, negara berkewajiban memelihara segala urusan rakyat. Diantara pemeliharaan uruasan rakyat itu, negara memberi bantuan yang diperlukan oleh rakyat dalam menjalankan usaha baik modal, sarana, informasi atau lainnya. Jika hal demikian diterapkan, maka asuransi dengan berbagai jenisnya tidak menjadi sesuatu yang penting di tengah-tengah masyarakat.

Tambal sulam atau modifikasi asuransi yang ada agar islami, tidak akan menyelesaikan permasalahan yang ada secara tuntas. Jadi untuk mensolusi masalah asuransi secara tuntas tidak lain adalah dengan menerapkan syariah islam dalam bingkai sistem islam yaitu Khilafah Islamiyah. WaLlâh a’lam wa ahkam.(www.taman-langit7.co.cc)

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites