Segalanya telah dimilikinya. Rumah megah dilereng bukit. Mobil mewah  berderet-deret dihalaman parkir. Tanahnya  puluhan hektar. Investasinya  di mana-mana. Simpanan uang di bank-bank tak ternilai. Kekayaannya sudah  lebih. Tak ada lagi yang kurang. Dalam hal kenikmatan dan kemegahan  dunia, tak ada lagi yang diperlukan. Serba cukup. Barangkali hanya satu,  yang masih belum dimilikinya, yaitu rasa malu.
Dalam hidupnya tak seperti kebanyakan orang. Di mana orang-orang  harus bekerja dengan keras untuk mendapatkan uang. Orang harus berangkat  pagi, sebelum fajar pergi ke kota untuk bekerja. Membanting tulang.  Larut malam baru pulang. Itupun terkadang yang didapatkannya belum  pasti. Bagi kebanyakan orang hidupnya penuh dengan ketidakpastian.  Seakan umurnya  itu habis di jalan, hanya mengejar yang tak pasti.  Berjam-jam menempuh perjalanan menuju tempat kerja. Itupun yang  didapatkan terkadang belumlah mencukupi.
Tetapi, ada orang yang tidak mencari uang, justru uang yang  mengejarnya, mendatanginya, dan datang dengan uang yang  berlimpah-limpah. Ia hanya duduk-duduk di beranda rumahnya, dan  orang-orang datang mengunjunginya.
Orang datang ingin mendapatkan restu, dukungan, dan pengesahan.  Mereka yang datang ingin mendapatkan dunia. Harta, jabatan, kekuasaan,  dan kenikmatan hidup lainnya. Itulah yang sekarang menjadi ‘ilah-ilah’  baru di zaman modern ini. Banyak orang yang berjudi dengan hidup, yang  bertujuan ingin mendapatkan simbol-simbol kenikmatan dunia.
Orang-orang yang mengejar jabatan, kedudukan, kekuasaan, dan  kenikmatan dunia lainnya itu, kemudian mereka datang kepada empunya,  yang dipercaya dapat memberikan jaminan dan kelayakan bagi dirinya  menjadi pejabat, memiliki kedudukan, memiliki kekuasaan, dan mendapatkan  kenikmatan dan kemuliaan dunia. Bagi mereka pencari kenikmatan dan  kemuliaan dunia, yang berusaha mendapatkannya, dan pasti akan menemui  empunya, yang menjadi pembuka kunci bagi tercapainya tujuan itu, serta  tak segan-segan memberikan dan mengabulkan permintaan apa saja yang  menjadi kehendak empunya.
Sekarang di zaman demokrasi, segalanya ditentukan oleh partai-partai,  dan menuju jabatan, kedudukan, dan kekuasaan, yang diinginkan oleh bagi  semua orang yang menginginkannya, kunci dan pintu pembukanya adalah  para pemegang kuasa partai. Suka atau tidak suka. Mereka yang ingin  mendapatkan kenikmatan hidup berupa jabatan, kedudukan, dan kekuasaan,  semua pintunya melalui partai, dan para pemegang kuasa partai.
Tentulah, segala kerusakan dan kebobrokan yang ada sekarang ini,  manakala semua orang-orang yang memegang kuasa, tidak lagi memiliki  ‘itijah’ (orientasi) kepada kehidupan akhirat, dan hanyalah kepada  kenikmatan dunia, maka sekecil apapun, ketika ia memiliki kuasa, pasti  kekuasaan itu akan diorientasikan untuk mendapatkan kenikmatan dunia  sebesar-besarnya. Tidak mempedulikan segala akibatnya yang akan timbul.
Abu Mas’ud Uqbah bin Amr al-Anshari al-Badri ra, berkata, Rasulullah  Shallahu alaihi wa salam bersabda, “ Sesungguhnya sebagian yang masih  diingat orang dari ajaran para Nabi terdahulu, “Jika tidak malu,  berbuatlah sesukamu”. (HR. Bukhari)
Makna malu adalah mencegah dari melakukan segala sesuatu yang  tercela, maka sesungguhnya memiliki  malu, pada dasarnya, seruan untuk  mencegah segala maksiat dan kejahatan. Rasa malu adalah ciri khas  kebaikan, yang senantiasa diinginkan oleh manusia. Mereka melihat bahwa  tidak memiliki rasa malu  adalah aib. Rasa malu merupakan bagian dari  kesempurnaan iman. “Malu adalah bagian dari keimanan”, dan dalam hadist  lainnya “Rasa malu selalu mendatangkan kebaikan”. (HR. Bukhari dan  Muslim).
Imam Ahmad dan Tirmidzi meriwayatkan secara marfu’ (bersumber dari  sabda Rasulullah), bahwa Ibnu Mas’ud, “Merasa malu kepada Allah adalah  dengan menjaga kepala dan apa yang dipikirkannya, perut dan apa yang ada  didalamnya, dan selalu mengingat mati dan cobaan. Barangsiapa yang  menghendaki akhirat, maka akan meninggalkan perhiasan dunia. Dan  siapapun yang melakukan hal itu tersebut ia telah memiliki rasa malu  kepada Allah”.
Jika dalam diri manusia tidak ada lagi rasa malu, baik yang bersifat  bawaan maupun yang diusahakan, maka tidak ada lagiyang menghalangi untuk  melakukan perbuatan keji dan hina. Bahkan menjadi seperti orang yang  tidak memiliki keimanan sama sekali, sehingga tidak berbeda degan  golongan syetan.
Seperti dikatakan Baginda Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, “Jika  tidak malu, berbuatlah sesukamu”. Ini menggambarkan betapa orang yang  tidak memiliki lagi malu, pasti ai akan berbuat dan bertindak sesuka  hatinya, tanpa lagi mempedulikannya.
Berdusta, berbohong, berkhianat, memberikan wala’nya (loyalitasnya)  kepada musuh-musuh Allah, seraya mengatakan sebaagai kemenangan.  Menerima sogok dan suap, diangap sebagai shadaqah dan jariyah. Uang-uang  yang suhbhat dianggapnya sebagai yang halal. Bahkan, yang haram pun  dianggapnya sebagai halal, yang dapat digunakan untuk mencapai  tujuannya, terutama menggapai  kenikmatan dunia.
Tak ayal lagi sekarang ini, kalangan orang-orang yang mengerti  tentang ‘din’ sekalipun mereka berlomba-lomba dalam rangka untuk  melaksanakan kebersamaan dalam “ta’awanu alal ismi wal udwan”,  bersama-sama dalam mengusung kebathilan, dan menegakkan yang fasik, dan  durhaka kepada Allah, meskipun selalu mereka berdalih dalam rangka  mencapai kemenangan Islam.
Mereka sudah tidak lagi memiliki rasa malu di depan Allah Azza Wa  Jalla, berbuat maksiat dan durhaka, justru mereka merasa menjalankan  perintah-Nya. Inilah kehidupan orang-orang yang sudah kehilangan rasa  malu. Wallahu’alam.[] Mashadi. (eramuslim.com)












0 komentar:
Posting Komentar