Bismillahirrahmanirrahim...
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan segala sesuatu dengan kehalusan Kuasa-Nya dan Keindahan Kreasi-Nya. Dia memperindah ciptaan-Nya dan menghadirkan entitas yang belum pernah ada sebelumnya, Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam penciptaan.
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan segala sesuatu dengan kehalusan Kuasa-Nya dan Keindahan Kreasi-Nya. Dia memperindah ciptaan-Nya dan menghadirkan entitas yang belum pernah ada sebelumnya, Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam penciptaan.
Sebagaimana kita ketahui, kaum Muslim laki-laki tidak bebas memandang kaum perempuan menurut keinginannya, tetapi harus memahami bahwa dirinya bertanggung jawab kepada Sang Khaliq, Allah SWT. Mereka harus membatasi pandangannya sesuai dengan ketentuan rambu-rambu Syariah Islam.
Sebagai contoh, jika seorang laki-laki berusaha mencari jodoh, Rasulullah saw memberikan petunjuk dengan hadits yang sangat terkenal, diriwayatakan oleh Abu Hurairah, Rasul bersabda :
«تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِنَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدَّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ»
”Seorang perempuan dinikahi karena empat perkara. Kekayaannya, nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Maka kawinilah yang baik agamanya, niscaya engkau akan beruntung”.
Oleh karena itu, bila seorang laki-laki Muslim ingin mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, maka ia akan berusaha mendapatkan istri yang dikenal baik dan teguh dalam beragama, melebihi perhatiannya terhadap sifat-sifat utama lainnya yang barangkali dimiliki perempuan tersebut. Dia tidak akan pernah terperosok dengan kecantikan yang selalu menyebarluaskan pandangan bahwa seorang perempuan dianggap cantik bila mempunyai ciri khas tertentu, misalnya tinggi, ramping, berkulit putih dst.
Sebaliknya, ia akan berusaha mencari seorang istri yang memiliki pemahaman yang baik tentang tugas-tugas seorang Muslimah; yang akan melaksanakan tugas-tugas seorang istri sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT; yang penuh dengan kasih sayang akan merawat dan memelihara pemikiran anak-anaknya dengan tsaqafah Islam; dan yang akan menjaga suaminya agar tetap taat beribadah sebagaimana sang suami menjaga agamanya. Rasulullah saw bersabda:
عَلَى الآخِرَةِ اَلدُّنْيَا مَتَاعٌ وَمِنْ خَيْرِ مَتَاعِهَا امْرَأَةٌ تُعِيْنُ زَوْجَهَا
"Dunia itu adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah seorang wanita (istri) yang senantiasa mengingatkan suaminya tentang hari akhir."Realitas yang ada yang kini terjadi di negeri-negeri kaum Muslim memperlihatkan bahwa sikap yang benar dalam hal menilai seorang perempuan ternyata –secara umum– tidak hadir di tengah-tengah masyarakat. Namun, hal ini tidaklah mengejutkan, mengingat tidak ada satu pun bagian dari dunia Islam yang memperoleh kemuliaan dengan menerapkan Islam secara kafah(keseluruhan). Sebaliknya, andaikata Syari’ah dapat diterapkan secara utuh dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah atau negara Khilafah, dimana kemudian masyarakat Islam yang sejati dapat diwujudkan, maka niscaya mentalitas seperti itu akan muncul di tengah-tengah masyarakat secara alamiah sebagaimana pernah terbukti dalam sejarah Islam.
Dalam masalah ketenagakerjaan, misalnya, seorang majikan Muslim yang berada di tengah-tengah masyarakat Islam akan menyadari tanggung jawabnya kepada Sang Khaliq, Allah SWT. ketika dia mempekerjakan seseorang untuk tugas tertentu. Maka dia akan menyadari bahwa haram baginya mengangkat seseorang dalam jabatan tertentu semata-mata atas dasar pilihan ras dan jenis kelamin, atau kecantikan, sementara ada orang lain yang lebih tepat untuk jabatan tersebut. Lebih jauh lagi, dia tidak akan dapat mempekerjakan seorang perempuan pada tugas-tugas tertentu yang akan membuat auratnya terbuka, karena dia menyadari bahwa dirinya –seperti halnya kaum laki-laki lainnya di masyarakat– tidak mempunyai hak untuk melihat aurat atau kecantikan perempuan-perempuan yang bukan mahramnya, termasuk perempuan-perempuan yang bekerja dengannya. Apabila seorang laki-laki, meskipun tanpa sengaja, melihat bagian tubuh –selain wajah dan telapak tangan– perempuan bukan mahramnya, maka ia wajib menundukkan pandangannya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Jarir bin Abdullah, ia bertanya kepada Rasulullah:
« أَصْرِفَ بَصَرِيْ سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ عَنْ نَظْرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِيْ أَنْ »
"Aku bertanya kepada Rasulullah saw mengenai pandangan yang tiba-tiba. Beliau kemudian menyuruhku untuk memalingkan pandanganku".
Dalam hadits yang lain dari Ali bin Abi Thalib ra, diriwayatkan bahwa Rasulullah saw telah bersabda kepadanya:
« اْلآخِرَةَ لاَ تَتَّبِعْ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّمَا لَكَ اْلأُوْلَى وَلَيْسَ لَكَ »
"Janganlah engkau mengikuti pandangan pertama dengan pandangan berikutnya. Pandangan pertama adalah untukmu, sedangkan pandangan berikutnya bukan untukmu."
Kaum wanita/perempuan juga tidak dapat dipekerjakan untuk menggarap tugas-tugas yang mengeksploitasi sifat-sifat kewanitaannya, atau bilamana kecantikannya merupakan sifat yang dimanfaatkan dalam bidang kerjanya, seperti memperagakan busana atau mengiklankan produk yang membuat orang tertarik dengan kecantikannya. Gambar-gambar yang mendorong timbulnya hasrat seksual laki-laki dan membuat perempuan hanya menjadi objek pemuas syahwat tidak akan diizinkan dalam masyarakat Islam yang sejati. Bahkan sebenarnya, laki-laki dilarang memandang wajah perempuan yang menarik perhatiannya lebih dari satu kali, sebagaimana terungkap dalam hadits berikut ini. Abu Dawud meriwayatkan bahwa al-Fadhl bin Abbas suatu ketika berkuda bersama Rasulullah saw, kemudian datanglah seorang perempuan dari Bani Khats’am untuk meminta penjelasan dari Rasulullah saw. Fadhl lantas memandang perempuan tersebut, dan perempuan itu pun memandangnya. Karena itu, Rasulullah saw kemudian memalingkan wajah Fadhl dari perempuan tersebut. Dalam riwayat Ali bin Abi Thalib ada kalimat tambahan, yaitu ketika al-Abbas bertanya kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulullah, mengapa engkau memalingkan wajah keponakanmu?” Maka Rasulullah saw menjawab:
"Aku melihat seorang pemuda dan seorang gadis yang aku khawatir kalau-kalau setan menggoda keduanya".
Terakhir, pergaulan antara seorang perempuan dengan laki-laki bukan mahram di tempat kerja, di rumah, maupun di tengah masyarakat luas bisa dibenarkan bila dilakukan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan atau aktivitas muamalah lainnya. Haram hukumnya melakukan berbagai macam bentuk pergaulan di luar perkara-perkara yang diizinkan oleh syara’. Ini menunjukkan bahwa, sekalipun dalam lingkungan pekerjaan, kaum laki-laki dan kaum perempuan juga dipisahkan. Ini dilakukan untuk mengikuti salah satu aturan dalam sistem pergaulan Islam. Pemisahan ini memberikan kepastian bahwa kaum perempuan akan dinilai dan dinaikkan jabatannya berdasarkan kualitas pekerjaannya, bukan semata-mata karena kecantikannya atau sekedar ‘memanfaatkan daya tarik kewanitaannya’. Maka perempuan akan mampu melaksanakan pekerjaannya secara profesional, baik sebagai dokter, guru, insinyur, ilmuwan, atau pengusaha, tanpa rasa khawatir mengalami pelecehan fisik maupun seksual dari teman kerja laki-laki.
Semua pembahasan di atas menunjukkan bahwa dalam Daulah Islamiyah dan masyarakat Islam, kaum perempuan dinilai berdasarkan sifat-sifatnya, pemikirannya, kecerdasannya, dan ketrampilannya. Itu semua membuat mereka memiliki peran yang berharga bagi masyarakat. Kaum perempuan tidak akan dipandang sebagai komoditas yang layak dieksploitasi, atau dijadikan objek hanya untuk memuaskan nafsu dan keinginan kaum laki-laki, tetapi justru mendapat perlindungan dan penghargaan dari masyarakat. Wallahua’alam bish Showab. []
0 komentar:
Posting Komentar