Sebelum kita membahas metode penegakan negara Khilafah yang tepat, yang berdasarkan ijtihad yang benar, kita perlu meninjau sejumlah metode keliru yang ada dan ditempuh oleh sebagian kalangan kaum Muslim. Metode-metode itu ada yang merupakan hasil dari ijtihad yang tidak benar, seperti gradualisme (tadarruj atau bertahap), dan ada yang berdasarkan syubhat dalil, seperti memerangi penguasa yang kini bercokol di tampuk kekuasaan secara fisik. Dengan begitu, kita akan sadar akan adanya kebutuhan yang mendesak terhadap gambaran metode yang benar.
Gradualisme (Tadarruj)
Salah satu pemahaman yang kini menyebar luas di kalangan umat Islam adalah konsep gradualisme (tadarruj). Logika dari ‘metode’ ini ialah, bahwa Islam adalah agama yang besar sehingga mustahil menerapkan Islam secara serta-merta. Oleh karena itu, upaya penerapan syariat Islam harus dilakukan secara gradual (bertahap). Konsekuensinya, penerapan Islam dengan cara seperti ini akan memerlukan waktu yang panjang untuk dapat mengembalikan Islam ke dalam kehidupan kaum Muslim. Normalnya, proses ini akan melibatkan pembagian kekuasaan (power sharing) dengan pemerintahan yang ada, dan perjuangan dengan cara terlibat di dalam sistem tersebut.
Sejumlah argumentasi dikemukakan untuk menjustifikasi pandangan gradualisme ini, misalnya ‘al-Quran diturunkan secara bertahap dan al-Quran turun sesuai dengan masalah yang saat itu muncul’. Fakta bahwa Allah Swt. mengharamkan alkohol dalam tiga tahap juga menjadi argumentasi penganut gradualisme. Argumentasi lain ialah sebuah kaidah syara’ yang berbunyi: ‘Sesuatu yang tidak dapat diraih seluruhnya jangan ditinggalkan seluruhnya’. Berdasarkan kaidah ini muncul anggapan bahwa Islam yang sebagian itu lebih baik daripada tidak sama sekali.
Umat Islam perlu menyadari bahwa argumen-argumen di atas tidak ada satu pun yang merupakan argumen yang syar’I, dan konsep gradualisme (tadarruj) itu bukan hanya salah, melainkan juga bertentangan dengan dalil-dalil qath’i. Perkara pertama yang harus dicamkan adalah konsep bahwa Islam mustahil diterapkan berarti sama dengan mengatakan bahwa Allah Swt. telah menurunkan agama yang tidak praktis! Hal ini bertentangan dengan keyakinan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang praktis yang telah Allah Swt. sempurnakan bagi umat manusia. Allah Swt berfirman:
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang, kecuali sesuai dengan kesanggupannya. (TQS. al-Baqarah [2]: 286)
Dalam ayat tersebut Allah Swt. menegaskan bahwa Dia tidak akan membebani umat dengan suatu kewajiban yang umat tidak mampu melaksanakannya dan yang mustahil diemban oleh umat. Artinya, mengembalikan Islam adalah perkara yang mungkin, sekaligus wajib untuk dilakukan.
Pendapat bahwa menegakkan Islam secara total adalah hal yang mustahil menjadi inti pemikiran gradualisme, sebuah pemikiran yang pragmatis dan justifikasi kepraktisan. Gradualisme tidak saja bertentangan dengan Islam tetapi juga pandangan yang tidak melihat realitas perubahan politik. Perubahan yang dilakukan Nabi saw. tiga belas abad yang lalu adalah perubahan yang radikal. Naiknya Komunisme di Soviet juga suatu perubahan radikal. Bahkan, digantinya Komunisme oleh Kapitalisme pada awal 1990-an adalah juga sebuah perubahan radikal. Kalau akidah dan sistem yang rusak semacam Komunisme dan Kapitalisme saja bisa diterapkan melalui perubahan radikal seperti itu, lantas kenapa Islam sebagai akidah dan sistem yang benar, tidak bisa? Jadi, konsep bahwa Kebangkitan Islam sebagai hal yang mustahil adalah pemikiran yang keliru, dan menggambarkan sikap pesimistis terhadap umat dan terhadap Islam itu sendiri.
Adapun klaim bahwa al-Quran diturunkan secara bertahap, dan karena itu dapat diterapkan secara bertahap pula, merupakan pernyataan yang bertentangan dengan al-Quran dan proses turunnya. Awalnya al-Quran memang diturunkan sesuai dengan permasalahan, pertanyaan, perdebatan, dan situasi politik yang terjadi pada saat itu. Hal ini kemudian melahirkan cabang ilmu al-Quran yang dikenal dengan asbabun nuzul, sebab-sebab turunnya ayat. Sebagai contoh, berikut adalah peristiwa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Vol. 6 No. 109). Urwah meriwayatkan bahwa az-Zubair berselisih dengan seorang lelaki dari Anshar mengenai sumber air alami di al-Harra. Nabi saw. lalu bersabda, “Wahai Zubair, airilah tanahmu, lalu biarkan air itu mengalir ke tetanggamu.” Orang Anshar itu berkata, “Wahai Rasulullah, dia adalah sepupumu”. Ucapan orang Anshar itu membuat wajah Nabi saw. memerah saking marahnya, lalu beliau bersabda, “Zubair, airilah tanahmu, lalu tahanlah airnya hingga melampaui tembokmu dan biarkan mengalir ke tetanggamu.” Dalam kasus ini Nabi saw. membiarkan az-Zubair memperoleh haknya setelah orang Anshar itu melakukan provokasi yang membuat beliau marah. Padahal, sebelumnya Nabi saw. telah memberikan keputusan yang menguntungkan kedua belah pihak. Terkait hal ini az-Zubair mengatakan, “Aku pikir peristiwa ini menjadi sebab turunnya ayat berikut:”
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Tuhanmu, mereka itu (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim atas perkara yang mereka perselisihkan, dan mereka tidak merasakan suatu keberatan di hati mereka atas keputusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuh hati. (TQS. an-Nisa’ [4]: 65)
Setiap kali muncul masalah yang membutuhkan hukum, turun ayat al-Quran sebagai jawabannya. Sejumlah riwayat mengisahkan bagaimana para sahabat r.a. mendekati Rasulullah saw. (untuk meminta suatu hukum) dan beliau tetap diam, sampai kemudian Allah Swt. menurunkan hukum tentang masalah yang ditanyakan. Contohnya adalah kisah yang diriwayatkan oleh Bukhari berikut. Jabir r.a. meriwayatkan: Bahwa Nabi saw. dan Abu Bakar r.a. datang membesukku di kediaman Banu Salamah. Nabi saw melihat aku tidak sadarkan diri, lalu beliau meminta air dan memercikkan air itu ke mukaku. Aku tersadar lalu bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang harus kulakukan dengan kekayaanku?” Diriwayatkan bahwa Nabi saw. terdiam sejenak hingga kemudian turunlah ayat tentang waris (Bukhari, Jilid 6, no. 101).
Demikianlah, setiap muncul peristiwa yang memerlukan kepastian hukum selalu dijawab oleh Islam dengan turunnya ayat al-Quran dan setelah hukumnya jelas seketika itu juga hukum itu diterapkan. Tidak ada kecenderungan sedikit pun untuk menerapkan setiap hukum syara’ secara bertahap. Dengan demikian, jelas sudah bahwa Rasulullah saw. tidak pernah mengabaikan hukum Allah Swt. dan menunda pelaksanaannya, karena hal itu berarti sama saja dengan menuduh beliau berhukum selain dengan yang diturunkan Allah Swt., dan itu berarti hukum kufur.
Kewajiban untuk berhukum dengan Islam dan keharaman untuk berhukum dengan hukum kufur mana pun adalah perkara yang telah diketahui secara pasti di dalam Islam dan tidak memungkinkan adanya interpretasi lain. Karena itu, penerapan secara bertahap dalam kekuasaan, atau dalam berbagi kekuasaan, dalam segala bentuknya, adalah perkara yang dilarang. Allah Swt. berfirman:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Siapa saja yang tidak memutuskan berdasarkan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (TQS. al-Maidah [5]: 44)
Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir menyatakan pandangan Ibnu ‘Abbas r.a. dan para mufasir lain, bahwa siapa pun yang tidak meyakini kelayakan syariat, atau bahkan satu saja aturan dari syariat Islam, adalah kafir. Selain itu, penguasa yang menjalankan kekuasaannya berdasarkan aturan selain Islam sambil meyakini bahwa apa yang dilakukannya adalah benar, maka ia kufur. Akan tetapi, penguasa yang menjalankan sistem kufur, tetapi ia sadar bahwa ia melakukan kekufuran, maka tidak dikatakan kufur, tetapi dosa besar (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Karim, Jilid 2, hlm. 60-66). Jadi, gradualisme dan pembagian kekuasaan adalah hal yang dilarang, dan bukan metode Islam dalam menciptakan perubahan politik.
Jelas bahwa Islam melarang setiap upaya untuk memanfaatkan struktur demokrasi yang kini tampil, baik itu dengan cara meraih posisi menteri dalam kabinet pemerintahan yang menerapkan sistem kufur maupun dengan cara yang lain. Larangan tersebut juga mencakup dukungan terhadap partai politik kufur yang melanggengkan sistem kufur di negeri-negeri Islam, dalam rangka memperoleh pengaruh dalam proses pengambilan keputusan politik. Demikian pula dengan upaya meloloskan undang-undang yang berupaya menerapkan sebagian dari syariat Islam, lalu melakukan voting dalam masalah itu adalah perkara yang terlarang. Hal ini berarti membuat manusia memiliki kedaulatan yang lebih tinggi dibandingkan hukum Allah, dan ini jelas-jelas bertentangan dengan akidah Islam.
Ide-ide seperti itu harus disingkirkan dari benak umat Islam. Umat seharusnya sadar bahwa pemikiran-pemikiran keliru itu justru menjadi hambatan bagi umat Islam dalam mengubah kondisi dan menegakkan kembali negara Khilafah. Oleh karena itu, pemikiran-pemikiran semacam itu harus dibuang jauh-jauh.
Memerangi Penguasa
Pandangan lain yang dianut oleh sebagian kalangan kaum Muslim adalah memerangi penguasa secara fisik, dengan anggapan bahwa melalui perjuangan militer seperti itu Islam akan kembali ke pentas dunia. Argumen ini berlandaskan sejumlah hadis. Diriwayatkan dari banyak sumber termasuk Imam Muslim, bahwa Nabi saw. bersabda:
Janganlah menentang penguasa kecuali kalian melihat kekufuran yang nyata yang buktinya jelas di sisi Allah.
Dalam Tafsir-nya, Ibnu Katsir mengatakan bahwa bila seorang Khalifah telah berpaling pada sistem kufur, maka ia harus diperangi hingga kembali menerapkan syariat Islam. Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari juga mengatakan bahwa bila seorang Khalifah menjadi kafir, atau mengubah syariat, maka ia harus diperangi dan dilengserkan. Pendapat ini juga terdapat dalam Nail al-Awthar dan didukung oleh Imam asy-Syaukani. Apabila penguasa berhukum dengan selain syariat Islam, maka ia harus diperangi sampai ia bertaubat atau dicopot dari jabatannya.
Sebenarnya, semua itu hanya berlaku dalam situasi di mana seorang Khalifah sebelumnya menjalankan sistem Islam, lantas beralih ke sistem kufur dan tidak menaati Allah Swt. Hal itu tidak berlaku dalam kasus Khalifah yang lalim dan juga tidak berlaku dalam kasus Khalifah yang secara personal korup. Dalam dua kasus terakhir ini, seorang Khalifah tetap harus ditaati, dan kaum Muslim masih tetap harus berada di belakangnya dan berjihad bersamanya.
Hadis di atas dan hadis-hadis lain yang semakna sebenarnya tidak berkaitan dengan situasi umat yang kini terjadi. Hadis-hadis itu berkaitan dengan masalah memberontak dan melawan Khalifah. Maka dari itu, hadis-hadis itu ditempatkan di bawah tajuk Khuruuj min al-Khalifah, yaitu tentang pembangkangan terhadap kekuasaan Khalifah atau imam.
Situasi yang kita alami sekarang bukanlah situasi ketika ada seorang Khalifah yang menggunakan hukum Islam lantas berpaling ke hukum kufur. Bukan pula semata-mata menggusur seorang penguasa dengan cara membunuhnya. Adapun yang menjadi masalah justru adalah bercokolnya sistem kufur yang diterapkan atas kaum Muslim selama kurang lebih 80 tahun. Dalam kurun waktu selama itu tidak ada satu pun penguasa yang menerapkan syariat dan tidak ada satu pun penguasa yang berstatus Khalifah dengan menjalankan sistem Khilafah. Sistem yang diterapkan para penguasa sekarang adalah sistem monarki atau kapitalistis dengan sistem demokrasinya. Karena itu, yang jadi soal bukanlah menggusur seorang Khalifah yang zalim dalam konteks Negara Islam. Realitas yang kita hadapi sekarang adalah bagaimana mencabut sistem kufur ini dari akarnya, termasuk penguasanya, lantas menggantinya dengan sistem Islam melalui tegaknya Negara Islam. Para penguasa yang ada sekarang tidak dapat disamakan dengan para Khalifah yang pernah memasukkan satu-dua undang-undang kufur ke dalam Khilafah. Dengan demikian, hadis-hadis tadi itu tidak berlaku dalam situasi yang kini terjadi. Hadis-hadis itu juga memang selalu dipahami dalam konteks Darul Islam, ketika hukum Islam diterapkan dan keamanannya terletak di tangan kaum muslim. Hadis-hadis itu membahas tentang perlawanan yang harus dilakukan terhadap Khalifah yang berhukum dengan hukum kufur di Negara Islam, bukan tentang penggantian keseluruhan sistem kufur dengan cara memerangi dan membunuhi penguasa sistem kufur itu.
Satu-satunya situasi yang dapat disamakan dengan situasi kita sekarang adalah dalil-dalil tentang penegakan Negara Islam untuk pertama kalinya oleh Nabi saw. dan perjuangan yang beliau tempuh untuk menegakkannya dengan mengubah Darul Kufur menjadi Darul Islam. Perjuangan inilah yang beliau maksud dalam hadis tentang Hamzah dan sebagaimana yang digambarkan dalam kitab-kitab Sunnah dan sirah. Dengan demikian, yang terjadi pada konteks itu adalah, keberadaan sistem kufur yang tegak seutuhnya, lalu diganti oleh sistem Islam secara keseluruhan. Karena itu, yang jadi soal adalah mengganti sistem, bukan sekadar mengganti penguasa. Adapun hadis tentang memerangi penguasa berlaku dalam kasus Khalifah yang mengganti sistem Islam dengan sistem kufur. Perjuangan Nabi saw. di Makkah itulah yang relevan dengan masalah perubahan sistem. Walhasil, perjuangan militer bukanlah metode untuk menegakkan negara Khilafah.
Fatalisme
Banyak di antara kaum Muslim yang terjangkiti fatalisme. Sikap itu timbul ketika melihat banyaknya hadis Nabi saw. yang mengabarkan tentang akan datangnya suatu masa dimana Islam akan mendominasi dunia, dari Timur hingga ke Barat. Juga banyak riwayat yang berbicara tentang akan kembalinya negara Khilafah. Bagi sebagian orang riwayat-riwayat itu malah menumbuhkan sikap apatis. Mereka menyatakan kaum Muslim tidak perlu melakukan aktivitas politik untuk menegakkan negara Khilafah. Tunggu saja kemenangan yang Allah Swt. janjikan itu.
Kita harus sadar bahwa pandangan seperti itu sangat keliru. Untuk itu, kita perlu memahami dengan jelas perbedaan antara masalah akidah, termasuk di dalamnya janji Allah Swt., dan masalah syariat yang memberikan dorongan dan arahan aktivitas kaum mukmin.
Adapun yang menjadi soal dalam masalah akidah adalah perkara keyakinan dan keimanan. Hal ini berkaitan dengan pemahaman terhadap jawaban atas pertanyaan paling mendasar yang harus dijawab oleh manusia. Misalnya, “Apa tujuan hidup ini?”, “Bagaimana manusia bisa lahir ke dunia?”, serta “Apa yang akan terjadi setelah kita mati, dan apakah kehidupan di dunia mempengaruhi apa yang ada setelah mati, maksudnya apakah ada hubungan antara kehidupan di dunia dengan apa yang terjadi setelah dunia ini berakhir?’ Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan membentuk suatu keyakinan, keimanan, atau akidah seorang Muslim. Persoalan utama dari pertanyaan-pertanyaan itu terkait dengan pemahaman akan realitas dunia ini. Karena itu, seorang Muslim meyakini bahwa Allah Swt. menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya, dan bahwa Allah akan meminta pertanggungjawaban manusia atas setiap perbuatan yang dilakukannya di dunia ini, apakah dilakukan dalam rangka ketaatan kepada Allah Swt. dan mengikuti petunjuk-Nya atau tidak. Untuk itu, Allah Swt. mengirim seorang Rasul yang mengemban risalah-Nya melalui para malaikat.
Akidah itu sendiri tidak menuntut aktivitas apa pun, walaupun seluruh aktivitas harus berdasarkan akidah. Untuk mengatur perbuatan manusia, Allah Swt. telah menurunkan serangkaian panduan dalam bentuk hukum-hukum syara’. Sistem ekonomi Islam, sistem pemerintahan Islam, juga cara-cara beribadah kepada Allah Swt., tidak dapat dipahami dengan hanya mengetahui akidah. Dalam hal ini dibutuhkan hukum syara’. Misalnya, setiap Muslim sadar bahwa Allah Swt. adalah ar-Raaziq, Pemberi Rezeki. Allah Swt. menghidupi umat manusia, hewan, dan seluruh makhluk hidup di alam semesta ini. Akan tetapi, tidak berarti seorang Muslim boleh duduk ongkang-ongkang kaki di rumah dan menunggu rezeki datang menghampiri. Dalam hal ini seorang Muslim harus memperhatikan dan mengikuti perintah Allah Swt:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوا فِي اْلأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; serta carilah karunia Allah dan banyak-banyaklah mengingat Allah agar kamu beruntung. (TQS. al-Jumu’ah [62]: 10)
Contoh lainnya, seorang Muslim tentu yakin bahwa Allah Swt. adalah an-Naashir, Maha Penolong. Meskipun yakin bahwa kemenangan berada di tangan Allah Swt., tetapi seorang Muslim wajib untuk beraktivitas sesuai dengan hukum syara’ dan mempersiapkan segala potensi kekuatan untuk menjalankan perintah Allah Swt.
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ
Persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi. (TQS. al-Anfal [8]: 60)
Dengan demikian, jelas bahwa setiap aktivitas harus sesuai dengan hukum syara’, serta tidak perlu dipertentangkan dengan keyakinan dan sikap tawakal bahwa Allah Swt. mengatur segala sesuatu, yang tetap menjadi aspek keyakinan. Dalam sebuah peristiwa, Nabi saw. menegur seorang lelaki yang meninggalkan untanya tanpa diikat. Saat itu lelaki itu berkata, “Aku bertawakal kepada Allah”. Nabi saw. mengingatkan:
Ikatlah dan bertawakallah kepada Allah!
Meskipun kita harus mengimani bahwa kemenangan hanya datang dari Allah Swt. dan bahwa Allah akan menjadikan kaum mukmin berkuasa kembali di muka bumi ini, kaum Muslim tetap harus melakukan aktivitas-aktivitas relevan yang diwajibkan. Duduk berdiam diri, tidak melakukan apa pun selain berharap kemenangan segera tiba, adalah haram. Meskipun seandainya hal itu dilakukan sambil banyak berdoa. Perjuangan menegakkan Islam, seperti halnya perjuangan para sahabat r.a. di medan perang dan melawan para pemimpin Quraisy, adalah sebuah kewajiban. Dengan begitu, kelak di Hari Perhitungan kita bisa berkata bahwa kita telah berusaha semaksimal mungkin. Inilah yang dituntut oleh syariat.
Di samping banyaknya hadis yang mengabarkan tentang akan kembalinya negara Khilafah, dan tentang kemenangan yang Allah Swt. janjikan kepada kaum mukmin, al-Quran juga mewajibkan kaum Muslim untuk mengikuti dan menaati perintah Allah Swt. yang berkaitan dengan metode melakukan perubahan. Hal ini seperti Nabi saw. yang mempersiapkan kekuatan untuk ke medan perang dalam rangka menaati hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah persiapan perang. Beliau tetap melakukan persiapan itu secara sungguh-sungguh, meskipun beliau juga tahu Allah Swt. telah menjanjikan kemenangan. Para sahabat pun tidak pernah diam di rumah menunggu-nunggu datangnya kemenangan. Mereka justru mengikuti hukum syara’ dan tetap kokoh dalam keimanan mereka bahwa Allah Swt. akan memberikan kemenangan dan pertolongan kepada umat Islam sesuai dengan janji-Nya.
Pada saat ini pun, kita harus melakukan segala aktivitas yang relevan dalam rangka menegakkan kembali negara Khilafah dan tidak bisa begitu saja menunggu kemenangan datang menghampiri. Andaikan seperti itu, akan mengundang murka Allah Swt. di Hari Pembalasan kelak, karena kita mengabaikan perintah melakukan kewajiban; suatu kewajiban yang Rasulullah saw. saja sampai rela mengorbankan hidupnya. Jadi, Islam tidak akan pernah tegak di tengah-tengah kehidupan kaum Muslim atau masyarakatnya, kecuali kaum Muslim menyadari pentingnya melakukan kewajiban itu dan menjadikannya perkara hidup dan mati, serta rela berjuang sesuai dengan syariat. Islam hanya dapat ditegakkan melalui perjuangan menegakkan kembali negara Khilafah sesuai dengan panduan hukum syara’.
Individualisme
Konsep lain yang juga sama berbahayanya, kalau tidak bisa dibilang lebih berbahaya, ialah ide bahwa kita harus berusaha memperbaiki diri sendiri, dan hal ini pada gilirannya akan mengakibatkan perubahan radikal dalam sistem yang diterapkan oleh negara. Pemikiran seperti ini tentu saja bertentangan dengan seruan untuk menegakkan negara Khilafah dan jelas-jelas melanggar aturan syariat. Selain itu, juga bertentangan dengan hakikat risalah Islam dan tujuan diturunkannya Islam kepada Muhammad saw., yaitu untuk mengungguli sistem hidup yang lain.
Islam diturunkan kepada Rasulullah Muhammad saw. dan beliau menyampaikannya kepada umat manusia. Beliau tidak punya sifat egois sedikit pun dalam dirinya dan justru mengorbankan segalanya demi mengemban dakwah Islam kepada manusia. Tidak satu pun dari kita yang akan mengecap manisnya Islam tanpa adanya dakwah dari orang-orang sebelum kita. Para sahabat r.a. memiliki guru terbaik yang membina mereka dengan pemahaman yang benar tentang Islam. Para sahabat pun mengemban Islam ke seluruh umat manusia dengan cara mengorbankan segalanya demi dakwah. Islam yang kita nikmati sekarang adalah buah dari perjuangan dan pengorbanan mereka.
Di antara pemikiran-pemikiran berbahaya yang menjangkiti kaum Muslim dan membuat mereka enggan mengemban dakwah, ialah sikap memandang rendah orang-orang yang berusaha menyingkirkan kemungkaran dari masyarakat. Sebaliknya, umat malah meninggikan mereka yang tidak mempedulikan masalah lain selain penyempurnaan ‘iman’ mereka. Padahal, bagaimana mungkin iman seorang Muslim bisa sempurna kalau dia hanya mengimani sebagian dari yang Allah Swt. turunkan. Bisakah dikatakan seseorang memiliki iman yang sempurna dengan hanya meyakini shalat dan termotivasi olehnya, tetapi tidak meyakini zakat, dan karena itu tidak membayarnya? Allah Swt. mengutuk keras sikap pilih-pilih dalam urusan agama. Allah Swt. berfirman:
أَفَتُؤمِنونَ بِبَعضِ الكِتٰبِ وَتَكفُرونَ بِبَعضٍ ۚ فَما جَزاءُ مَن يَفعَلُ ذٰلِكَ مِنكُم إِلّا خِزىٌ فِى الحَيوٰةِ الدُّنيا ۖ وَيَومَ القِيٰمَةِ يُرَدّونَ إِلىٰ أَشَدِّ العَذابِ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغٰفِلٍ عَمّا تَعمَلونَ
Apakah kamu mengimani sebagian isi al-Kitab dan mengingkari sebagian yang lain? Tidak ada balasan bagi orang yang berbuat seperti itu selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka diberi siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. (TQS. al-Baqarah [2]: 85)
Lalu, kok bisa-bisanya mereka hanya menekankan sebagian aspek syariat Islam dan mengemukakan dalih untuk mengabaikan aspek lain dari agama Allah Swt. ini, khususnya setiap aspek selain masalah ibadah ritus individual.
Klaim bahwa kaum Muslim dapat memperbaiki situasi dengan mengisolasi diri mereka dari urusan sosial kemasyarakatan adalah klaim yang salah. Demikian pula dengan pandangan bahwa kaum Muslim cukup dengan saling menasihati untuk menyempurnakan kualitas aktivitas diri masing-masing sebelum mulai mendiskusikan urusan-urusan masyarakat. Pandangan seperti ini malah membantu orang-orang kafir menguasai kaum Muslim, karena dengan demikian kaum Muslim kian lemah, tidak pernah mampu mengurusi urusannya, sebab kita sendiri tidak peduli bagaimana caranya mengalahkan konspirasi orang-orang kafir yang melawan kita.
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لاَ تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antaramu, dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksa-Nya. (TQS. al-Anfal [8]: 25)
Pandangan bahwa kaum Muslim harus mengabaikan seruan penerapan syariat Islam di tengah-tengah masyarakat dan lebih baik berkonsentrasi pada ibadah ritual, diperingatkan oleh hadis berikut, karena orang-orang egois-individualis tidak melakukan apa pun untuk mencegah kebatilan, selain hanya berkonsentrasi pada kesalehan pribadi mereka. Rasulullah saw. ditanya, “Apakah kita akan hancur padahal ada orang-orang alim di antara kita?” Beliau menjawab, “Ya, ketika kebatilan merajalela”. Nabi saw. bersabda, “Setiap orang yang melihat ketidaktaatan muncul dan ia tidak mengubahnya, tidaklah lebih terhormat dan lebih aman dibandingkan pendosa dari hukuman Allah yang menimpa mereka”.
Ahmad dan Thabrani meriwayatkan dari Udai bin Umairah bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Allah tidak menghukum suatu kaum secara keseluruhan disebabkan kesalahan yang dilakukan oleh sebagian dari mereka, kecuali jika mereka melihat kebatilan yang dilakukan itu tapi tidak menghentikannya, padahal mereka mampu. Jika memang itu yang mereka lakukan, Allah akan menghukum para pelaku kebatilan itu dan orang-orang selainnya secara keseluruhan.
Abu Dawud meriwayatkan dari Qais bin Abi Hazm, “Setelah memuji dan memuja Allah Swt., Abu Bakar r.a. berkata, ‘Hai orang-orang! Kalian membaca ayat berikut, tapi kalian tidak memahaminya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لاَ يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; orang-orang yang sesat itu tidak akan memberi mudharat bagimu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu semua akan kembali, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa saja yang telah kamu kerjakan. (TQS. al-Maidah [5]: 105)
Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Jika orang-orang melihat penguasa lalim dan mereka tidak mengoreksinya, maka Allah akan menghukum mereka semuanya’. Lalu, aku mendengar Rasulullah saw. berkata, ‘Setiap orang yang melihat dilakukannya suatu perbuatan dosa, dan mereka tidak mengubahnya, padahal mereka mampu melakukannya, maka Allah akan menimpakan azab yang menimpa mereka secara keseluruhan” (HR Abu Dawud).
Begitulah, bagaimana seorang Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. memahami betul pentingnya menaati Allah Swt. dalam perkara penguasa yang merusak masyarakat. Juga, bukankah Nabi Muhammad saw. mengatakan bahwa kita harus meneladani perbuatan sahabat karena merekalah generasi terbaik? Nabi Muhammad saw. bersabda:
Perumpamaan antara orang-orang yang menjaga hukum Allah dan yang melanggarnya seperti rombongan yang naik sebuah kapal. Mereka membagi tempat duduknya masing-masing, ada yang di bagian atas dan ada yang di bagian bawah kapal. Bila ada orang di bagian bawah yang hendak mengambil air, maka ia harus melewati orang yang duduk di atasnya. Lalu, orang yang di bagian bawah tadi berkata, ‘Seandainya aku melubangi tempat dudukku sendiri agar mendapat air, tentu aku tidak akan mengganggu orang yang ada di atas’. Apabila para penumpang lain membiarkannya, tentu mereka semua akan tenggelam. (HR Bukhari)
Perumpamaan ini menunjukkan bagaimana Islam seharusnya diterapkan di tengah-tengah masyarakat, dan itulah cara terbaik untuk melindungi diri sekaligus memastikan keberlangsungan agama itu sendiri. Karena itu, sikap politis adalah sesuatu yang hendaknya dimiliki oleh kaum Muslim dan harus disadari bahwa mereka memiliki tanggung jawab yang sama dalam memelihara urusan kaum mukmin. Pemahaman ini jelas bertentangan dengan pandangan perubahan individu semata sebagai cara untuk melahirkan kebangkitan umat Islam.
Rasulullah saw. berkata:
Akan ada para pemimpin di antara kalian, yang akan melakukan hal-hal yang kalian kenali sebagai bagian dari agama, dan hal-hal yang tidak kalian kenali. Siapa pun yang mengenalinya, ia akan bebas dari dosa, dan siapa pun yang mengingkari yang salah, ia akan selamat.
Ahmad meriwayatkan dari Abi Bakrah bahwa Rasulullah saw. berkata, “Apabila orang-orang melihat suatu kemungkaran dan mereka tidak mengubahnya, Allah akan menghukum mereka” (HR Imam Ahmad).
Masihkah kita menganggap diri kita lebih baik berdiam diri setelah kita menyimak riwayat al-Bazzar dan Thabrani dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. berkata:
Kalian harus menyeru kepada yang makruf dan mencegah yang mungkar, atau Allah akan menimpakan azab atas kalian, lalu orang-orang alim di antara kalian berdoa kepada Allah dan Allah tidak mengabulkannya. (HR al-Bazzar dan Thabrani)
Hadis tersebut justru menyalahkan orang-orang paling alim yang melalaikan aktivitas amar makruf nahi mungkar dan mengubah masyarakat.
Ibnu Majah dari Abu Said, Ahmad, Ibnu Majah, dan Thabrani dan Baihaki dari Abu Umamah, Ahmad dan Nasa’i dari Tabi’, serta Tariq bin Shihab, semua meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Jihad yang paling utama adalah kata-kata yang haq di hadapan penguasa yang lalim.
Imam al-Khatib mengatakan dalam Tarikh, dan Imam al-Khattabi meriwayatkan bahwa Umar bin al-Khaththab r.a. berkata, “Demi Allah, apa yang Allah lindungi dan cegah dengan adanya penguasa adalah lebih besar (pengaruhnya) daripada apa yang dilindungi dan dicegah oleh al-Quran semata”. Semoga Allah Swt. meridhainya. (Hadis al-Khatib adalah riwayat nomor 14284, dalam Kanzul Ummal oleh al-Muttaqi al-Hindi). Di samping itu, al-Baihaki meriwayatkan dari Ali karamallahu wajhah bahwa ia berkata, “Umat tidak akan menjadi baik kecuali oleh imam (Khalifah), terlepas apakah dia imam yang baik atau buruk” (Kanzul Ummal riwayat no. 14286).
Bukhari meriwayatkan dari Qais bin Abi Hazim bahwa Abu Bakar r.a. ditanya oleh seorang wanita dari Ahmas bernama Zainab, “Sampai kapan kita akan berada dalam perkara yang baik ini (Islam) yang telah Allah turunkan setelah sekian lama kita dilalaikan?” Abu Bakar r.a. menjawab, “Selama kalian meluruskan penguasa”. Semoga Allah Swt. meridhainya. (Hadis no. 2068 dalam Jami’u al-Ushul oleh Ibnu al-Athir). Juga, ad-Darimi meriwayatkan dari Hayya bin Abi Hayya. Ia berkata, “Wahai hamba Allah (Abu Bakar), sampai kapan Islam akan seperti ini?” Abu Bakar menjawab, “Selama penguasa kalian luruskan”. Ibnu Katsir menyatakan sanad hadis ini hasan dan sahih.
Abu Nu’aim meriwayatkan dalam Hulyat al-Awaliya dari Abdullah bin Umar yang berkata, “Umat tidak akan menderita, meskipun mereka ditindas dan penuh dosa, jika penguasa mereka diberi petunjuk dan bersifat mengayomi. Namun, umat akan menderita, meskipun mereka diberi petunjuk, jika penguasanya penindas dan pendosa”. Semoga Allah Swt meridhainya.
Dengan demikian, kaum Muslim harus mengetahui bahwa mereka adalah penjaga umat ini, dan itu adalah cara untuk melindungi diri mereka juga. Individualisme bukanlah ciri Islam. Bahkan, kecenderungan itu merupakan hal yang asing bagi umat Islam. Individualisme hanya akan membuat umat tidak menyadari bahwa masalah penegakan Khilafah adalah perkara utama mereka. Individualisme membuat mereka lebih terfokus pada masalah perbaikan diri mereka semata. Konsepsi ini jelas sangat berbahaya yang pada kenyataannya akan menjadi hambatan bagi upaya mengembalikan tegaknya negara Khilafah dan akan menunda perjuangan umat.
Ringkasnya, bagaimana kita bisa melakukan perubahan politik tanpa memperjuangkannya? Bagaimana bisa kita mengabaikan hukum syara’ yang berkaitan dengan menghilangkan kemungkaran dan hukum syara’ tentang tanggung jawab penguasa? Bagaimana bisa kita mengabaikan perjuangan menegakkan negara Khilafah dan mengabaikan sebagian aturan syariat?
Karena itulah, kita harus memahami metode Islam untuk mendirikan negara Khilafah. Yaitu, apa yang telah hukum syara’ tetapkan bagi umat Islam untuk diikuti dalam upaya menegakkan kembali negara Khilafah dan mengembalikan Islam ke dalam kancah kehidupan.
(Dikutip dari buku The Method To Re-Establish The Khilafah, Syabab Inggris)
0 komentar:
Posting Komentar