Pandangan Islam Tentang Asuransi

Asuransi syariah dikampanyekan sebagai alternatif bagi kaum muslim untuk menjalankan akad asuransi. Sesuai dengan fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) tentang Pedoman Umum tentang Asuransi Syariah disebutkan bahwa asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan / atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.

Yang Teristimewa Bagi Wanita

"...Wahai pena..! Titiplah salam kami teruntuk kaum wanita. Tak usah jemu kau kabarkan bahwa mereka adalah lambang kemuliaan. Sampaikanlah bahwa mereka adalah aurat ..."

Sistem Pemerintahan Islam Berbeda dengan Sistem Pemerintahan yang Ada di Dunia Hari ini

Sesungguhnya sistem pemerintahan Islam (Khilafah) berbeda dengan seluruh bentuk pemerintahan yang dikenal di seluruh dunia

Video: Puluhan Ribu Warga Homs Suriah Berikrar, Pertolongan Bukan dari Liga Arab atau Amerika Tapi dari Allah!

.

Analisis : Polugri AS di Asia Tenggara

Secretary of State Amerika Serikat Hillary Clinton 21 Juli 2011 lalu berkunjung ke Indonesia. Sebelumnya, dia melawat dua hari ke India untuk ambil bagian dalam konferensi tingkat menteri ASEAN yang diselenggarakan di Bali 22 Juli.

Khilafah: Solusi, Bukan Ancaman

Berbagai macam dampak destruktif akibat penerapan sistem kapitalis-sekular telah mendorong manusia untuk mencari sistem baru yang mampu mengantarkan mereka menuju kesejahteraan, keadilan, kesetaraan dan kemakmuran. Dorongan itu semakin kuat ketika kebijakan-kebijakan jangka pendek dan panjang selalu gagal mencegah dampak buruk sistem kapitalis.

MIMPI PARA ULAMA BUKAN SEMBARANG MIMPI

Apakah Anda tadi malam bermimpi? Apa mimpi Anda? Kata orang, mimpi hanyalah kembang (bunga) orang tidur. Maksudnya, mimpi tidak bermakna signifikan. Tapi, sebenarnya tidak semua mimpi tak ada artinya.

Nasehat Imam Abdurrahman bin Amru al-Auza’iy :Empat Tipe Pemimpin

Ada nasihat berharga yang disampaikan Imam Abdurrahman bin Amru al-Auza’iy kepada Khalifah Abu Ja’far al-Manshur, ketika ulama besar itu dimintai nasihat.

3 Desember 2011

Hakikat Cinta Kepada Allah Swt

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan tentang segala sesuatu dengan Kehalusan Kuasa-Nya dan Keindahan Kreasi-Nya. Dia memperindah ciptaan-Nya dan menghadirkan seluruh entitas dalam bentuk yang tidak pernah ada sebelumnya. Tidak ada sekutu bagi-nya dalam penciptaan. Alangkah bahagianya jika seseorang berhasil meraih dan menggapai cinta Allah swt. Sebab, bila seseorang berhasil mendapatkan cinta Allah, maka hidupnya akan dituntun dan dibimbing oleh Allah swt. Allah akan membimbing penglihatannya tatkala dirinya melihat; Allah akan membimbing pendengarannya, manakala ia mendengarkan. Sebaliknya, betapa menyakitkan bila kita merasa mencintai dan dicintai oleh Allah, akan tetapi cinta kita hanya bertepuk sebelah tangan. Kita merasa mendapatkan kecintaan Allah, akan tetapi sebenarnya kita tidak pernah mendapatkan kecintaan dari Allah swt.

Betapa banyak orng sibuk mengerjakan perbuatan2 tertentu untuk mendapatkan kecintaan dari Allah swt. Ada diantara manusia yg menyendiri di tengah hutan, jarang makan-minum, bahkan mandi; menjauhi anak-isterinya dan sanak keluarganya. Ia beranggapan bahwa dgn cara ini ia akan mendapatkan kecintaan dari Allah swt. Kita juga menyaksikan ada diantara manusia yg melakukan ritual2 tertentu untuk mendapatkan kecintaan dari Allah swt. Ada yg berpuasa tiga hari tiga malam tanpa putus2, bahkan ada yg sampai 40 hari 40 malam. Ada pula yg sibuk membaca kalimat2 dzikir, mengunjungi kuburan para nabi dan wali, membaca riwayat hidup Rasulullah saw, dan sebagainya.

Akan tetapi, apakah dgn cara2 seperti itu mereka akan mndapatkan kecintaan dari Allah swt? Lalu, bagaimana cara kita meraih dan menggapai kecintaan dari Allah swt; agar cinta kita tidak bertepuk sebelah tangan dan tidak hanya sebatas merasa mencintai Allah swt, namun Allah sama sekali tidak mencintai kita.

Allah swt telah memberikan petunjuk yg sangat jelas, bagaimana cara mendapatkan kecintaanNya. Allah swt telah berfirman, artinya:

Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[Qs.Ali Imron : 31]

Imam Ibnu Katsir dalam tafsir Ibnu Katsir menyatakan, Ayat ini merupakan pembukti, Siapa saja yang mengaku mencintai Allah swt, namun ia tidak berjalan sesuai dengan jalan yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad saw, maka orang tersebut hanya berdusta saja. Dirinya diakui benar-benar mencintai Allah, tatkala ia mengikuti ajaran yang dibawa oleh Muhammad saw, baik dalam perkataan, perbuatan, dan persetujuan beliau saw. Jika teruji bahwa ia benar-benar mencintai Allah, yakni dengan cara menjalankan seluruh ajaran Muhammad saw, maka Allah akan balas mencintai orang tersebut. Rasul saw bersabda:

Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan maka perbuatan itu tertolak. (Muttafaq'alaihi)

Para ahli hikmah telah menyatakan,âPerkara yang hebat bukanlah kamu [merasa] mencintai Allah, akan tetapi, kalian benar-benar dicintai [oleh Allah swt].

Imam Hasan al-Bashriy pernah berkata, Ada suatu kaum merasa bahwa mereka telah mencintai Allah swt, lalu, Allah swt menguji mereka dengan firmanNya, Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[Qs.Ali Imron : 31]

Imam Ibnu Abi Hatim meriwayatkan sebuah hadits dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, Bukankah agama ini adalah cinta dan benci karena Allah swt?

Imam Ibnu Katsir juga menjelaskan, Jika kalian mengikuti sunnah Rasulullah saw, maka kalian akan mendapatkan keberkahan hidup.

Atas dasar itu, jika kita hidup sesuai dgn sunnah Rasulullah saw, maka kita pasti akan mendapatkan kecintaan dari Allah swt, dan kita juga pasti akan mendapatkan ampunan dari Allah swt.

Dari uraian Imam Ibnu Katsir di atas jelaslah bagi kita, jika seseorang ingin meraih dan mendapatkan kecintaan dari Allah swt, kita mesti berbuat dan berperilaku sesuai tuntunan Islam. Jika kita berjalan sesuai dengan ajaran yg dibawa Muhammad saw, tentu kita akan dicintai oleh Allah swt. Sebaliknya, meskipun kita merasa mencintai dan dicintai Allah swt, kita tidak akan mendapatkan kecintaan dari Allah swt, selama tidak berjalan sesuai dgn ajaran Muhammad saw.

Atas dasar itu, kita tidak boleh membuat tatacara atau ritual tersendiri untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ajaran ataupun ritual apapun yg tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw tidak mungkin mengantarkan kita untuk meraih cinta Allah swt. Hanya dgn menjalankan ajaran Islam secara konsisten dan konsekuen. Kita akan mendapat kecintaan dari Allah swt.

Jelaslah kini, hanya ada satu cara untuk mendapatkan kecintaan dari Allah swt. yaitu, selalu menjaga keimanan dan berperilaku sesuai dgn ajaran yang dibawa oleh Muhammad saw. Seorang yg mencintai Allah swt akan berusaha dgn segenap tenaga untuk menerapkan aturan2 Allah swt, baik yg brhubungan dgn masalah ekonomi, politik, dan sosial budaya.

Sayangnya, saat ini kita tidak mampu lagi menerapkan aturan2 Allah swt dikarenakan tidak ada institusi yg menjaminnya. Penerapan syariat Islam dalam bingkai negara (Khilafah) masih jauh di atas kenyataan. Padahal, penerapan syariat Islam secara utuh dan menyeluruh merupakan bukti kecintaan kita kepada Allah, sekaligus jalan pembuka untuk meraih cinta Allah. Bagaimana kita bisa merasa dicintai Allah swt sementara itu kita mencampakkan aturan2-Nya dan menerapkan pranata2 kufur? Pastinya, bukan kecintaan yg kita dapat, akan tetapi laknat dan kebencian yg akan kita sandang. Na'udzu billahi min dzaalik

Ada baiknya kita renungkan sabda beliau (Saw) ini:

"Siapa yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah hendaklah dia mengamati bagaimana kedudukan Allah dalam dirinya. Sesungguhnya Allah menempatkan hambaNya dalam kedudukan sebagaimana dia menempatkan kedudukan Allah pada dirinya."(HR. Al Hakim) Wallahua'alam. [CSA] 

29 November 2011

Para Imam di Libya Menuntut Penerapan Syariah Islam

Puluhan imam dan simbol-simbol Islam di Libya, pada hari Senin (28/11) menuntut agar Konstitusi bagi negara Libya yang baru berasaskan prinsip-prinsip syariah Islam.

Para imam menghimbau-selama konferensi yang diadakan oleh Kementerian Urusan Islam Libya, pada hari Senin di Tripoli, yang dihadiri oleh 250 ulama Muslim-kepada Majelis Transisi Nasional untuk melucuti senjata yang tersisa di tangan kaum revolusioner yang mereka sebut dengan “mujahidin”.

Jaringan berita Amerika “ABC News” menyebutkan bahwa para peserta konferensi yang memfokuskan pada pembahasan masalah-masalah mendesak di kancah Libya, menyerukan untuk mengakhiri ketegangan antara suku-suku Libya satu dengan yang lainnya.

Sementara Ketua Majelis Transisi Nasional, Mustafa Abdul Jalil  menegaskan dalam pidato yang disampaikan pada saat mengumumkan kemerdekaan Libya dari rezim Kolonel Muammar Gaddafi setelah kematiannya pada Oktober lalu, bahwa prinsip-prinsip syariah Islam moderat akan menjadi sumber utama Konstitusi dan perundang-undangan bagi Libya yang baru (islamtoday.net, 28/11/2011).

Imam Masjidil Haram Bicara Tentang Kebutuhan pada Khilafah Serta Kerusakkan Demokrasi pada Anak Muda

Semua sistem pemerintahan di seluruh dunia berada dalam konflik langsung dengan sistem pemerintahan Islam, sistem Khilafah. Tidak ada Khilafah di setiap bagian dunia hari ini di sisi Allah Swt yang telah mengirim manusia sebagai Khalifah-Nya. Imam Ka'bah Dr. Saud bin Ibrahim Ashareem mengungkapkan pemikirannya ketika berbicara dalam sebuah konferensi press di Mumbai, Jumat, 25/11/2011.

Imam yang bernama lengkap Dr. Syeikh Abu Ibrahim Sa'ud ibn Ibrahim ibn Muhammad ash-Shuraim An-Najdimengatakan bahwa karena ketidaktahuan generasi hingga mereka terjerumus ke dalam nilai-nilai demokrasi. Ia lebih jauh mengatakan bahwa ada kebutuhan untuk membuat mereka menyadari ajaran Islam dalam rangka mengubah gaya hidup mereka karena sistem demokrasi telah membuat pikiran anak-anak muda bebas menyebabkan mereka mengabaikan Peradaban Islam serta mengadopsi ketidaktaatan.

Mengungkapkan kesukaannya untuk India, ia mengatakan bahwa dia ingin mengunjungi negeri itu lagi dan lagi untuk menyebarkan Islam. Menjawab pertanyaan yang diberikan kepadanya tentang keadilan, ia mengatakan bahwa sistem keadilan dalam Islam telah berasal dari dua sumber. Salah satunya adalah al-Quran dan yang lainnya adalah hadits. Jika analisis sistem Islam dibuat, akan mengungkapkan bahwa beberapa sistem keadilan yang lazimnya di dunia seperti Islam tetapi dalam banyak kasus mereka menyimpang dari prinsip-prinsip Islam.

Konsep keadilan yang diberikan Islam tidak tampil dalam sistem apa pun. Dr. Saud mengatakan bahwa Islam memiliki konstitusi sendiri, yang Nabi Saw sendiri telah membingkainya. Kita harus menjalani hidup kita sesuai dengan sabda Nabi Saw.

Menjawab pertanyaan tentang terorisme, ia mengatakan bahwa agama telah mengajkarkan perdamaian dan memainkan peran penting dalam menghilangkan ketidaktahuan, tidak disalahkan untuk mempromosikan terorisme. Dia mengatakan bahwa tidak diizinkan untuk membunuh perempuan, anak-anak, dan orang tua dari musuh, bahkan memotong pohon dari musuh pun tidak diperbolehkan.

Ketika Islam mengajarkan ajaran-ajaran seperti itu, untuk menghubungkannya dengan terorisme adalah kejam. Meninjau kegiatan dari beberapa orang yang terlibat dalam kegiatan teroris, Imam mengatakan bahwa tindakan seperti itu adalah kegiatan mereka sendiri dan tidak ada kaitannya dengan Islam.

Dr. Saud mengatakan bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang memberikan hak-hak universal bagi perempuan. Hak tersebut tidak tersedia dalam agama mana pun. Dia mengatakan bahwa pria dan wanita diciptakan oleh Allah Swt. dan ditugaskan di dalam dan di luar rumah. Islam

Mengacu pada sistem peradilan Islam, ia mengatakan bahwa Islam memiliki sistem sendiri untuk menghukum pemerkosaan, pembunuhan, dll yang mencegah kejahatan. Hukum Islam tersebut ditentang oleh hukum-hukum lain di dunia yang tidak benar.

Masya Allah, laporan tentang pembicaraan Imam Masjidil Haram, Qari terkenal Syeikh Saud Ash-Shuraim, semoga Allah membalasnya, memberinya kekuatan untuk menghadapi penegakkan Khilafah, mempercepat rakyat melalui dirinya, dan membuat anti tesis kepada para ulama lainnya di masjid suci yang telah berpihak dengan tiran (Raja Saudi, Musharraf atas pembantaian Masjid Merah), dan lain-lainnya di mana mereka melanjutkan tur mereka untuk melakukan qiro'.

Laporan ini memberitahukan kepada kita pernyataan tentang Khilafah, kebutuhannya, ketiadaannya sesuatu yang menyerupai Islam hari ini (yang merupakan titik penting menerangkan penipu negara Saudi dan klaim-klaimnya), serta kebutuhan bagi pemuda Muslim untuk ditatsqif dalam nilai-nilai Islam dan untuk menghindari "nilai-nilai demokrasi".

Tentang komentar-komentar sang Imam tadi, ada yang mencatat bahwa "Kemungkinannya sang rezim akan mengatakan kepadanya untuk pergi seperti yang mereka lakukan kepada Syeikh Ali Al-Hudhaiyfi, mantan Imam Masjid Nabawi, karena berbicara dengan kalimat yang mirip."

Semoga Allah Swt. memberikan keberanian dan kekuatan kepada para ulama ini untuk berbicara lebih lanjut. Mereka berada di jantung sarang lebah dan posisi mereka tidaklah mudah. Insya Allah, mereka mampu memenuhi tanggungjawab mereka kepada Allah Swt, sekalipun ujian bisa saja menimpa, tetapi itu merupakan kenikmatan bagi mereka. Insya Allah, Khilafah semakin dekat saja! [m/f/fa/siyasi/np/syabab.com/taman-langit7.co.cc]


Aljazair Menutup 900 Masjid dan Mempersulit Para Imam

Penasihat Media Menteri Agama dan Wakaf di pemerintah Aljazair mengatakan bahwa otoritas Aljazair telah menutup 900 masjid dan musholla berdasarkan laporan keamanan. Otoritas menyatakan bahwa “beberapa dari masjid itu merupakan pusat-pusat pertemuan dan kajian oleh beberapa kelompok Islam, yang tidak diketahui tujuannya” serta menyatakan bahwa “beberapa dari masjid itu tidak memenuhi standar keamanan dan kesehatan sehingga membahayakan bagi para jamaah shalat,” katanya.
 
Kementerian Agama Aljazair telah mengeluarkan instruksi pada bulan Oktober lalu untuk para imam yang menyampaikan khotbah pada setiap masjid di semua wilayah yang jumlahnya mencapai 48 wilayah agar mereka “merekam khotbahnya untuk diserahkan kepada Kementerian Agama pada saat diperlukan” guna memastikan bahwa khotbah mereka “tidak provokatif” sesuai standar pemerintah.

Sungguh perilaku pemerintah Aljazair yang memusuhi masjid dan syiar-syiar keagamaan di dalamnya mengungkapkan akan kebenaran fakta bahwa negara Aljazair yang telah memerangi Islam dalam segala bentuk dan manifestasinya adalah alat represi dan tekanan terhadap kaum Muslim yang dieksploitasi oleh negara-negara kafir Barat penjajah dalam perang salib yang terus menerus terhadap Islam dan kaum Muslim.(Kantor berita HT, 26/11/2011).[htipress/taman-langit7.co.cc]

Hizbut Tahrir Indonesia “Mengecam Arogansi GKI Yasmin, Bogor”

Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan mendukung pencabutan IMB Gereja GKI Yasmin karena gereja itu dibangun dengan cara menipu warga. Apalagi pada faktanya gereja dibangun bukan sekedar sebagai tempat ibadah, tapi juga merupakan sentral dari kegiatan Kristenisasi alias pemurtadan.

Demikian satu diantara pernyataan Hizbut Tahrir Indonesia yang berjudul "Mengecam Arogansi GKI Yasmin, Bogor". Dalam pernyataannya itu juga dijelaskan tentang opini yang berkembang akibat pemberitaan yang keliru, sehingga menyudutkan umat Islam Bogor, padahal pihak gereja telah melakukan cara-cara curang seperti memalsukan KTP dan melakukan penyuapan terhadap warga agar menyetujui pembangunan gereja tersebut.

Hizbut Tahrir Indonesia juga Mengecam arogansi GKI Yasmin yang terus saja ngotot akan mendirikan gereja di tempat itu meski secara hukum sudah terbukti illegal, dan secara demonstratif mengadakan misa di tepi jalan sehingga sangat mengganggu lalu lintas.

"Apalagi kemudian dengan sengaja memblow-up kasus ini ke dunia internasional dengan menyebarkan opini sesat seolah-olah orang-orang Kristen di Indonesia teraniaya. Hal ini membuat umat Islam, khususnya di Bogor yang asalnya ditipu, kini malah menjadi tertuduh."

Hizbut Tahrir Indonesia juga menyerukan kepada umat Islam, khususnya di Kota Bogor, untuk tetap bersatu dalam menghadapi fitnah dan tipu daya jamaah GKI Yasmin dan para pendukungnya mengingat saat ini tengah berjalan usaha adu domba diantara umat Islam dengan modus membangkitkan pro dan anti gereja GKI Yasmin di kalangan umat Islam sendiri. [m/htipress/syabab.com]

Pernyataan

Maktab I’lamiy
Hizbut Tahrir Indonesia

NO: 215/11/11     27 November 2011/01 Muharram 1432 H

PERNYATAAN
HIZBUT TAHRIR INDONESIA

“MENGECAM AROGANSI GKI YASMIN, BOGOR”

Dalam kasus gereja GKI Yasmin Bogor, opini yang berkembang akibat pemberitaan yang keliru adalah bahwa Walikota Bogor Diani Budiharto tidak melaksanakan Putusan PK Mahkamah Agung tanggal 9 Desember 2010 yang menyatakan bahwa pembekuan IMB Gedung GKI Yasmin Bogor harus dibatalkan. Juga, pemberitaan itu cenderung menyudutkan umat Islam Bogor sebagai tidak toleran. Sehingga tampak seolah GKI Yasmin sebagai “korban” dari pihak yang dituduh telah bertindak dzalim padanya, yakni Pemda Kota Bogor dan umat Islam di sekitar lokasi gereja.

Padahal sesungguhnya Walikota Bogor telah melaksanakan Putusan PK MA itu dengan mencabut pembekuan IMB melalui SK tertanggal 8 Maret 2011 yang ditandatanggani oleh Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor. Namun kemudian Walikota Bogor mencabut IMB Gedung GKI Yasmin itu melalui SK 645.45-137 tertanggal 11 Maret 2011 karena pembangunan gereja itu melanggar Peraturan Bersama Menteri (PBM) tahun 2006 tentang perijinan mendirikan rumah ibadah. Disamping itu, bakal Gereja yang berada di tengah-tengah pemukiman itu ditolak warga setempat. Apalagi proses untuk mendapatkan persetujuan warga ternyata dilakukan dengan cara-cara curang seperti memalsukan KTP dan melakukan penyuapan terhadap warga agar menyetujui pembangunan gereja tersebut.

Dan yang banyak tidak diketahui oleh publik, Mahkamah Agung dalam suratnya nomor: 45/Td.TUN/VI/2011 tertanggal 1 Juni 2011, sesungguhnya juga telah mengakui SK Walikota Bogor tentang Pencabutan IMB GKI Yasmin tersebut dan mempersilakan pihak yang merasa dirugikan untuk menggugat ke Pengadilan.

Berkenaan dengan hal ini, Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:

1. Mendukung pencabutan IMB Gereja GKI Yasmin Bogor karena gereja itu dibangun dengan cara menipu warga. Apalagi pada faktanya banyak gereja dibangun bukan sekedar sebagai tempat ibadah, tapi juga merupakan sentral dari kegiatan Kristenisasi alias pemurtadan.

2. Mengecam arogansi GKI Yasmin yang terus saja ngotot akan mendirikan gereja di tempat itu meski secara hukum sudah terbukti illegal, dan secara demonstratif mengadakan misa di tepi jalan sehingga sangat mengganggu lalu lintas. Apalagi kemudian dengan sengaja memblow-up kasus ini ke dunia internasional dengan menyebarkan opini sesat seolah-olah orang-orang Kristen di Indonesia teraniaya. Hal ini membuat umat Islam, khususnya di Bogor yang asalnya ditipu, kini malah menjadi tertuduh.

3. Menolak opini bahwa seolah di Indonesia stidak ada kebebasan beragama. Terganjalnya pendirian satu gereja tidak bisa dianggap sebagai bukti telah terjadi diskriminasi atas kaum minoritas Kristen. Opini semacam ini jelas-jelas telah pula menutupi fakta betapa pertumbuhan gereja dalam beberapa tahun terakhir lebih banyak daripada pertumbuhan masjid. Menurut mantan Kepala Badan Litbang Departemen Agama, Prof. Atho Mudzhar, pertumbuhan gereja sejak 1977 hingga 2004 lebih besar dibanding masjid. Masjid pada periode itu hanya meningkat 64,22 persen, sementara gereja Kristen Protestan meningkat 131,38 persen dan Kristen Katolik meningkat hingga 152 persen (Republika, 18 Februari 2006).

4. Menyerukan kepada umat Islam, khususnya di Kota Bogor, untuk tetap bersatu dalam menghadapi fitnah dan tipu daya jamaah GKI Yasmin dan para pendukungnya mengingat saat ini tengah berjalan usaha adu domba diantara umat Islam dengan modus membangkitkan pro dan anti gereja GKI Yasmin di kalangan umat Islam sendiri.

5. Menyerukan kepada umat Islam dimana pun berada untuk lebih bergiat dalam perjuangan mewujudkan kehidupan Islam, yakni kehidupan yang didalamnya diterapkan syariah Islam secara kaffah dalam naungan khilafah. Hanya dalam kehidupan Islam lah, izzul Islam wal muslimin akan bisa diujudkan kembali dan fitnah serta tipu daya orang-orang kafir bisa dihadapi secara tuntas.

Hasbunallah wa ni’mal wakiil, ni’mal maula wa ni’man nashiir


Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia
Muhammad Ismail Yusanto
Hp: 0811119796 Email: Ismailyusanto@gmail.com

Meneladani Kesederhanaan Para Khalifah

Filosofi-filosofi sesat dalam sistem politik demokrasi telah menyesatkan banyak politisi yang terlibat dan berkecimpung di dalamnya. Sebagai permisalan konsep dasar demokrasi ‘kedaulatan di tangan rakyat’ telah menjadikan banyak politisi muslim terjebak dalam kesyirikan dan dosa. Mereka melegislasi perundangan dan hukum berdasarkan selera dan keinginan mayoritas bukan berdasarkan al Quran dan as Sunnah. Disadari atau tidak para politisi ini telah menjadikan manusia, tepatnya diri mereka sendiri sejajar dengan Allah sebagai pembuat hukum nau’dzubillah! Mereka pun telah berdosa karena produk undang-undang yang mereka sepakati banyak bertentangan dengan keyakinan dan hukum-hukum yang seharusnya mereka laksanakan atau diingkari sebagai muslim

Adagium “tidak ada lawan abadi, tidak ada kawan abadi yang ada hanyalah kepentingan abadi” telah menjadikan para penganut dan pejuang demokrasi bersikap munafik sepanjang kehidupan politik mereka. Politisi dan partai yang semula menyerukan Islam, tanpa harus merasa berdosa mengumumkan bahwa syariat Islam tidak lagi cocok diterapkan di negeri ini. Bersekutu dengan para politisi dan partai yang sekuler bukan lagi perkara yang harus dipersoalkan sepanjang hal itu dilakukan demi suara mayoritas dalam pemilu.

Para politisi dan pejabat dalam sistem demokrasi tidak lagi memandang jabatan dan kekuasan sebagai amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan mahkamah Allah SWT yang tidak ada pembela pada hari itu kecuali amal kebaikan yang telah dilakukannya semasa hidup di dunia.

Bagi mereka, jabatan adalah identik dengan prestise, martabat, kehormatan, bahkan ladang penghasilan yang subur. Makanya gaya hidup mereka pun harus menyesuaikan dengan citra tersebut. Wajar jika mereka berebut untuk mendapatkannya. Dengan begitu, bukan saja mereka akan menjadi kaya raya dan hidup bergelimang dengan kemewahan tetapi juga menjadi selebriti, terkenal, dan dalam waktu sekejap menjadi orang yang dihormati. Lengkap dengan privasi dan pengawalan yang ketat.

Walhasil, gaya hidup mewah mewarnai kehidupan hampir semua penguasa kaum Muslim. Mulai dari pakaian, kediaman, kantor hingga mobil dinas dengan harga ratusan juta hingga milyaran rupiah. Ini tidak bisa dilepaskan dari cara pandang mereka terhadap kedudukannya.

Kesederhanaan Khalifah Abu Bakar ash Shidiq r.a

Berbeda dari falsafah-falsafah politik dalam system demokrasi, falsafah politik dalam sistem Khilafah Islamiyah telah membantu politisi yang hidup di dalamnya tetap bertaqwa dan bersikap amanah dalam memegang jabatannya.

Jabatan dan kekuasaan adalah amanah. demikian salah satu falsafah politik dan jabatan dalam Islam. Hal ini sebagaimana Rasulullah SAW nasehatkan kepada Abu Bakar ra:” “Hai Abu Bakar, urusan kedudukan itu adalah untuk orang yang tidak menginginkannya, bukan untuk orang-orang yang menonjol-nonjolkan diri dan memburunya. Ia adalah bagi orang yang memandang kecil urusan itu dan bukan bagi orang yang mengulur-ulurkan kepalanya untuk itu.”

Rasulullah pun sudah menjelaskan: “Sesungguhnya kepemimpinan itu adalah amanat dan pada hari akhirat kepemimpinan itu adalah rasa malu dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan haq serta melaksanakan tugas kewajibannya.” (HR. Muslim).

Bertolak dari falsafah ini Khalifah Abu Bakar Ash Shidiq di hari pembaitannya berpidato di hadapan rakyatnya “Hai umat, aku telah diangkat untuk memerintahmu. Sebenarnya aku terpaksa menerimanya. Aku bukanlah orang yang terpandai dan termulia dari kamu. Bila aku benar dukunglah bersama-sama, tetapi jika aku menyimpang dari tugasku, betulkanlah bersama-sama. Jujur dan lurus adalah amanat, sedang bohong dan dusta adalah penghianatan.” 

Pidato beliau ini bukanlah pencitraan dan lipstick semata. Selama beliau berkuasa dengan berbagai prestasi yang dicapainya beliau tetap sederhana jauh dari sikap berfoya-foya dan pamer kekayaan. Dengan penuh ketaqwaan beliau tetap waspada dan berhati-hati terhadap amanah kekuasaan yang dipegangnya.

Kesederhanaan beliau nampak dari sepenggal kisah berikut ini. Alkisah, suatu hari Abu Bakar keluar ke Pasar Madinah memakai baju dari kulit kambing. Ketika kejadian itu dilihat keluarganya, mereka buru-buru datang kepada Abu Bakar dan berkata: “Hai khalifah, engkau sungguh-sungguh membuat malu kami di mata kaum muhajirin, Anshar, dan orang Arab.” Lalu Abu Bakar menjawab: “Apakah kamu bermaksud agar aku menjadi seorang Raja yang angkuh di zaman Jahiliyah dan angkuh di zaman Islam?” 

Ketika Abu Bakar hendak meninggal, ia berkata kepada putrinya Aisyah: “Hai Aisyah, unta yang kita minum susunya, juga bejana tempat kita mencelupkan pakaian, serta baju qathifah yang saya pakai, semuanya hanya dapat kita gunakan selama saya berkuasa. Dan bila aku meninggal, seluruhnya harus dikembalikan kepada Umar.” Maka ketika Abu bakar meninggal, Aisyah mengembalikan semua barang tersebut kepada Umar bin Khaththab.

Kisah yang lainnya, tatkala seorang wanita kampung bernama Unaisar berkata: “Hai Abu Bakar, apakah engkau masih dapat menolong kami memerah susu kambing seperti sebelum menjadi khalifah?” Jawab Abu Bakar: “Insya Allah aku akan tetap bersedia menolong kamu.” Demikianlah sosok Abu Bakar sebagai kepala negara yang telah berhasil menaklukkan dua kerajaan besar (Syiria dan Persia) masih menyediakan waktu untuk memeraskan susu kambing untuk para wanita sekampungnya.

Kesederhanaan Khalifah Umar Bin Al Khaththab r.a

Kesederhanaan Abu Bakar sebagai pemimpin Negara menjadi suri tauladan bagi para khalifah setelahnya. Umar bin al Khathab khalifah setelahnya dikenal sebagai sosok yang sangat tegas dalam mentaati syariah Islam dan tegas pula dalam hal menjaga diri, keluarga dan para pejabat di pemerintahannya untuk tidak menyelewengkan kekuasaan demi kepentingan pribadi.

Umar bin al Khathtab pernah memaksa putranya Abdullah bin Umar untuk segera menjual unta gemuk putranya itu yang digembalakan di tanah milik Negara dan mengembalikan seluruh hasil penjualannya ke dalam kas Negara (baitul maal). Khalifah Umar tidak menginginkan anak-anaknya bersikap aji mumpung memanfaatkan fasilitas Negara selama beliau berkuasa.

Kesederhanaan beliau juga tercermin  dalam kisah berikut ini. Suatu saat, sejumlah Sahabat di antaranya Utsman, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam dan Thalhah ra berunding untuk mengusulkan agar santunan untuk Khalifah Umar ra dinaikkan karena dianggap terlalu kecil. Namun, tidak ada seorang pun dari mereka yang berani mengajukan usul tersebut kepada Khalifah Umar ra yang terkenal sangat tegas dan ‘keras’. Mereka khawatir usulan itu tidak diterima. Akhirnya, mereka menemui Hafshah ra, Ummul Mukminin, salah seorang istri Baginda Nabi SAW yang tidak lain putri Umar ra. Saat Hafsah menyampaikan pesan mereka terkait dengan usulan kenaikan santunan untuk Khalifah tersebut, Umar  tampak seperti menahan marah. Beliau dengan nada agak keras bertanya, “Siapa yang berani mengajukan usulan itu?”

Hafshah tidak segera menjawab, selain berkata, “Berikan dulu pendapat Ayah.”

Umar ra berkata, “Seandainya saya tahu nama-nama mereka, niscaya saya pukul wajah-wajah mereka!”

“Hafshah, sekarang coba engkau  ceritakan kepadaku tentang pakaian Nabi SAW yang paling baik, makanan paling lezat yang biasa beliau makan dan alas tidur paling bagus yang biasa beliau pakai di rumahmu,” kata Umar lagi.

Hafshah menjawab, “Pakaian terbaik beliau adalah sepasang baju berwarna merah yang biasa beliau pakai pada hari Jumat dan saat menerima tamu. Makanan terlezat beliau adalah roti yang terbuat dari tepung kasar yang dilumuri minyak. Tempat alas tidur terbagus beliau adalah sehelai kain agak tebal, yang pada musim panas kain itu dilipat empat dan pada musim dingin dilipat dua; separuh beliau jadikan alas tidur dan separuh lagi beliau jadikan selimut.”

“Sekarang, pergilah. Katakanlah kepada mereka, Rasulullah SAW telah mencontohkan hidup sangat sederhana dan merasa cukup dengan apa yang ada demi mendapatkan akhirat. Aku akan selalu mengikuti jejak beliau. Rasulullah, Abu Bakar dan aku bagaikan tiga orang musafir. Musafir pertama telah sampai di tujuan seraya membawa perbekalannya. Demikian pula musafir kedua, telah berhasil menyusulnya dan sampai di tujuannya. Aku, musafir ketiga, masih sedang dalam perjalanan. Seandainya aku bisa mengikuti jejak keduanya, tentu aku akan bertemu dengan mereka. Sebaliknya, jika aku tidak mampu mengikuti jejak keduanya, aku tidak akan pernah bertemu mereka,” tegas Umar lagi.

Pada saat lain, ketika beliau sedang asyik makan roti, datanglah Utbah bin Abi Farqad ra. Utbah pun beliau persilakan masuk sekaligus beliau ajak untuk ikut makan roti bersama. Roti itu ternyata terlalu keras sehingga Uthbah tampak agak kesulitan memakannya. “Andai saja engkau membeli makanan dari tepung yang empuk,” kata Uthbah.

Khalifah Umar malah bertanya, “Apakah setiap rakyatku mampu membeli tepung dengan kualitas yang baik?”

“Tentu tidak,” jawab Uthbah ra.

“Kalau begitu, engkau telah menyuruhku untuk menghabiskan seluruh kenikmatan hidup di dunia ini,” tegas Umar.

*****

Umar bin Al Khaththab tidak hanya memberlakukan kesederhanaan pada dirinya semata, namun juga terhadap para pejabat di pemerintahannya sebagaimana kisah diatas.

Itulah Khalifah Umar ra., penguasa Muslim yang wilayah kekuasaannya saat itu adalah seluruh jazirah Arab, Timur Tengah, bahkan sebagian Afrika. Kebe-saran kekuasan beliau tentu jauh lebih besar daripada kekuasaan para raja Arab saat ini. Namun, semua itu ternyata tidak otomatis menjadikan beliau kaya-raya serta bergelimang harta dan kemewahan, sebagaimana para penguasa Arab saat ini; juga sebagaimana penguasa dan para pejabat Muslim di negeri ini, yang hampir setengah rakyatnya (sekitar 100 juta orang) tergolong miskin.

Kesederhanaan Khalifah Ali Bin Abi Thalib

Ali bin Abi Thalib (sa), selain dalam kehidupan pribadinya, ia adalah orang yang zuhud (sederhana dalam hidup), beliau memandang bahwa zuhud bagi penguasa merupakan sesuatu yang penting dan wajib. Beliau berkata, “Allah menjadikanku sebagai imam dan pemimpin dan aku melihat perlunya aku hidup seperti orang miskin dalam berpakian, makan, dan minum sehingga orang-orang miskin mengikuti kemiskinanku dan orang-orang kaya tidak berbuat yang berlebihan.” (Biharul Anwar, jilid 40, hlm. 326)

Imam Ali bin Abi Thalib (sa) memakai pakaian yang keras, yang dibelinya seharga lima dirham. Pakaian itu bertambal sehingga dikatakan, “Wahai Imam Ali! Pakaian apa yang engkau kenakan?” Beliau berkata, “Pakaian yang menjadi contoh bagi Mukminin menjadi penyebab khusyuknya hati dan tawadhu’, menyampaikan manusia kepada tujuan, merupakan syiar orang saleh, dan tidak menyebabkan kesombongan. Alangkah baiknya kalau Muslimin mencontohnya.” (Biharul Anwar, jilid 4, hlm 323)

Dalam suratnya kepada Usman bin Hunaif, Imam Ali (sa) menyatakan: “Setiap makmum memiliki imam yang diikutinya dan dimanfaatkan cahaya ilmunya. Ketahuilah bahwa imam kalian qanaah ‘merasa cukup’ dengan dua pakaian yang sudah tua dan makanan dengan dua keping roti. Namun, kalian tidak mampu menerima hal seperti itu. Maka, bantulah aku dalam menjauhi dosa dan jihad nafs serta menjaga iffah (kesucian diri) dan kebenaran. Demi Tuhan! Dari dunia kalian, aku tidak menyimpan sedikit pun dan dari ghanimah (harta rampasan perang), aku tidak menyimpan sesuatu apa pun. Aku tidak membeli pakaian karena cukup dengan pakaian tuaku. Adakah aku cukup puas dengan masyarakat yang memangilku Amirul Mukminin tetapi tidak menyertai mereka dalam penderitaan dan kesulitan hidup serta tidak menjadi contoh dalam menahan kesulitan-kesulitan? Aku tidaklah diciptakan untuk disibukkan dengan makanan-makanan yang enak, seperti binatang ternak yang kehidupannya hanyalah untuk makan rumput atau binatang liar yang sibuk makan dan lupa dengan masa depannya.” (Nahjul Balaghah, surat nomor 45)

Di bagian lain dari surat yang sama, beliau menyatakan: “Apabila meghendaki, aku tahu bagaimana caranya membuat madu yang telah disaring, biji gandum dan pakaian sutera. Namun, semoga hawa nafsu tidak mengendaraiku dan kerakusan tidak menyeretku kepada berbagai jenis makanan. Padahal, mungkin Badui Hijaz atau Yaman tidak mempunyai harapan untuk mendapatkan makanan roti dan tiada pernah mengenyangkan perut mereka sedangkan aku tidur dengan perut yang kenyang sementara di sekelilingku, banyak perut yang lapar dan kerongkongan yang haus.” (Nahjul Balaghah, surat 45)

******

Demikianlah tauladan kesederhanaan para pemimpin dalam system Khilafah Islamiyah. Mereka adalah para pemimpin yang faqih dalam agama, memiliki keimanan yang kokoh terhadap akhirat. Cakap dalam memimpin dan memberi tauladan kepada para pegawai dan pejabat di bawahnya beserta segenap rakyatnya. Mereka adalah para pemimpin yang dicintai oleh rakyatnya disegani para lawannya. Hanya musuh-musuh Alloh saja yang membenci keberhasilan mereka.

Pemimpin dan pejabat Negara yang demikian tidak akan pernah ada dalam system rusak seperti demokrasi sekarang ini. Yang terjadi sebaliknya orang yang secara pribadi sholeh tidak akan bisa lepas dari debu-debu kesesatan demokrasi pada saat mereka berkecimpung di dalamnya. Wallohu ‘alam bii ash shaawab.

19 November 2011

Sebelum Khitbah, Lihatlah Dulu

Oleh : K.H. M. Shiddiq al-Jawi


Soal: Melihat calon isteri, dilakukan sebelum atau sesudah khitbah (melamar/meminang)? Apakah hanya dibolehkan setelah khitbah? (Syahidah Mufidah, Yogya) 

Jawab: Melihat calon isteri pada dasarnya hukumnya mandub (sunnah) menurut pendapat jumhur ulama (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, jld. III, hal. 113). 

Adapun dari segi waktu, melihat calon isteri hukumnya boleh (mubah) sebelum khitbah, berdasarkan tunjukan (dalalah) bahasa dan dalil hadits Nabi Saw. Boleh pula dilakukan sesudah khitbah berdasarkan dalil hadits Nabi Saw. 

Mengenai tunjukan bahasa yang membolehkan melihat sebelum khitbah, dapat dipahami dari hadits Jabir bin Abdillah ra: “Idza khathaba ahadukum al-mar’ata fa in istathâ’a an yanzhura minhâ ilâ mâ yad’uw ilaa nikahiha fal yaf’al.” (Jika seseorang dari kamu hendak mengkhitbah seorang perempuan, maka jika ia mampu melihat perempuan itu pada apa yang mendorong menikahinya, maka lakukanlah). [HR. Ahmad dan Abu Dawud, dan disahihkan oleh al-Hakim. Lihat Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, jld. III, hal. 113]. 

Secara bahasa, frase “idza khataba ahadukum al-mar’ata” hendaknya diterjemahkan secara benar menjadi “Jika seseorang dari kamu hendak mengkhitbah seorang perempuan” dan bukannya “Jika seseorang dari kamu telah mengkhitbah seorang perempuan.” Mengapa diartikan demikian, padahal dalam frase itu digunakan fi’il madhi (kata kerja lampau), yakni “khathaba” bukan fi’il mudhari’ (kata kerja kini dan akan datang) yakni “yakhthubu”? Jawabnya, hal itu terpulang pada pengertian khitbah itu sendiri, karena khitbah adalah thalabul mar’ati li az-zawâj, yaitu permintaan (seorang laki-laki) kepada seorang wanita untuk menjadi isterinya (Ibrahim Anis dkk, Al-Mu’jamul Wasith, jld. I, hal. 243; Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah (terj.), jld 6, hal. 30). Padahal pada galibnya, tidaklah seorang lelaki itu meminta seorang perempuan untuk menjadi isterinya, kecuali setelah lelaki itu merasa mantap dan ridha dengan keadaan calon isterinya. Dan kemantapan dan keridhaan itu antara lain dihasilkan dari melihat calon isterinya. Maka, tunjukan (dalalah) bahasa ini menunjukkan, bahwa melihat itu dilakukan sebelum khitbah. 

Dari segi pengunaan kata idza (jika), para ulama ahli bahasa Arab telah menjelaskan bahwa apabila dalam suatu kalimat terdapat fi’il madhi setelah kata idza, maka fi’il madhi itu dalam maknanya menunjukkan sesuatu yang akan datang (mustaqbal). Syaikh Musthafa al-Ghayalaini dalam Jami’ ad-Durus al-‘Arabiyah, jld. III, hal. 58 mengatakan: 

“Kata idza adalah suatu zharaf (keterangan waktu) yang umumnya untuk menunjukkan masa akan datang (mustaqbal). Kata idza umumnya mengandung pengertian pemberian syarat dan secara khusus masuk dalam jumlah fi’liyah. Fi’il yang menyertai idza kebanyakan adalah  fi’il madhi dari segi lafazh tetapi menunjukkan masa akan datang (mustaqbal) dari segi pengertiannya…” (Syaikh Musthafa al-Ghayalaini, Jami’ ad-Durus al-‘Arabiyah, jld. III, hal. 58, Beirut : Syirkah Abna’ Syarif Al-Anshari, cetakan ke-30, 1994. Penjelasan serupa lihat Umar Taufiq Safaragha, Al-Mu’jam fi al-I’rab, hal. 8, Maroko : Darul Ma’rifah, 1993). 

Jadi, tidak setiap fi’il madhi selalu diartikan sebagai kata kerja lampau. Penggunaan fi’il madhi untuk perbuatan yang hendak dilakukan, biasa digunakan dalam bahasa Arab, jika terdapat qarinah (petunjuk) yang menunjukkannya atau menjadi tuntutan makna dari redaksi kalimat (siyaqul kalam) yang ada, misalnya jika penggunaan fi’il madhi itu terdapat dalam suatu kalimat yang diawali kata idza

Contoh yang semacam itu banyak. Misalnya firman Allah SWT (bunyinya): “Idza qumtum ila ash-shalâti faghsilû wujûhakum wa aydiyakum ilal marâfiq.” (Jika kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.) (Qs. al-Mâ’idah [5]: 6). Frase “idza qumtum ila ash-shalati” jika diartikan secara harfiyah artinya “jika kamu telah mengerjakan shalat”. Ini tidaklah tepat, karena redaksi kalimat menunjukkan adanya perintah berwudhu setelah itu. Padahal wudhu itu wajib sebelum shalat, bukan sesudahnya. Maka dari itu, frase tadi haruslah diartikan “idza aradtum al-qiyama ila ash-shalâti” (jika kamu hendak mengerjakan shalat) (Dr. Muhammad Ali al-Hasan, Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 5). 

Contoh lain, firman Allah SWT (bunyinya): “fa-idza qara’ta al-Qur’âna fasta’izh billahi minasy syaitânir rajîm” (Apabila kamu hendak membaca al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.) (Qs. an-Nahl [16]: 98). Ayat ini menganjurkan membaca ta’awwuzh pada saat sebelum (bukan sesudah) membaca al-Qur’an. Frase “fa-idza qara’ta al-Qur’âna” tidaklah benar kalau diartikan “jika kamu telah membaca al-Qur’an…”. Yang benar, frase itu hendaknya ditafsirkan “fa-idza aradta al-qira’ah…” (maka jika kamu hendak membaca al-Qur’an). Jadi, walau pun menggunakan fi’il madhi (idza qara’ta) (jika kamu telah membaca) tapi yang dimaksud adalah idza aradta al-qira’ah (jika kamu hendak membaca) karena ada qarinah syar’iyyah berupa hadits Nabi Saw bahwa ketika shalat malam, Nabi Saw membaca ta’awwuzh sebelum membaca surah al-Fatihah [HR. Muslim dan Ash-Habus Sunan, Tafsir Ibnu Katsir, jld. I, hal. 31,: Lihat Dr. Muhammad Ali al-Hasan, Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 5]. 

Contoh lain, dalam satu hadits Nabi Saw bersabda: 

Idza qataltum fa-ahsinul qitlata wa idza dzabahtum fa-ahsinudz dzibhata.” (Jika kamu hendak menghukum mati (qishash), jatuhkanlah hukuman itu dengan baik, dan jika kamu hendak menyembelih binatang, sembelihlah dengan baik). [HR. Muslim, dari Syadad bin Aus ra; Lihat Dr. Abdurrahman al-Maliki, Nizham al-‘Uqubat, hal. 109]. 

Hadits ini berkaitan dengan perintah untuk bersikap ihsan (baik) dalam melakukan qishash dan penyembelihan binatang, yaitu menggunakan senjata yang tajam agar memudahkan kematian. Jadi frase “Idza qataltum” tidaklah tepat diartikan secara harfiyah “jika kamu telah selesai menjatuhkan qishash”, tapi hendaknya diartikan “jika kamu hendak menjatuhkan qishash.” Mengapa? Sebab redaksi kalimat menghendaki bahwa sikap ihsan itu adalah sebelum pelaksanaan qishash atau penyembelihan binatang, bukan sesudahnya. Demikianlah seterusnya. 

Itulah beberapa contoh yang menunjukkan bahwa penggunaan fi’il madhi dapat pula untuk menunjukkan perbuatan yang hendak dilakukan, jika terdapat qarinah (indikasi/petunjuk) yang menunjukkannya atau menjadi tuntutan makna dari redaksi kalimat (siyaqul kalam) yang ada, misalnya jika penggunaan fi’il madhi itu terdapat dalam suatu kalimat yang diawali kata idza

Dari tinjauan bahasa ini dapat dipahami, bahwa boleh hukumnya sebelum khitbah, seorang muslim melihat calon isterinya, berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah ra yang telah ditunjukkan di awal tulisan ini. 

Jabir bin Abdillah ra mengatakan, Rasulullah Saw bersabda: 

Idza khathaba ahadukum al-mar’ata fa in istathâ’a an yanzhura minhâ ilâ mâ yad’uw ilâ nikahiha fal yaf’al.” Artinya yang tepat dari hadits itu adalah: “Jika seseorang dari kamu hendak mengkhitbah seorang perempuan, maka jika ia mampu melihat perempuan itu pada apa yang mendorong menikahinya, maka lakukanlah.” [HR. Ahmad dan Abu Dawud]. 

Jadi, melihat itu adalah sebelum khitbah. Pemahaman seperti inilah yang telah diadopsi oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya An-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam, halaman 41-42. Melihat calon isteri, menurut beliau, adalah sebelum khitbah. Perhatikan pernyataan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani ketika beliau menjelaskan adanya pengecualian hukum menundukkan pandangan, “Ay yajibu ‘alal mu’miniina an yaghudhdhû min abshârihim illa al-khâthibiina fa inna lahum ‘adama ghadhdhil bashari ilâ man yuriidûna al-khitbata minan nisâ’i.” (Artinya, wajib kaum mukmin menundukkan sebagian pandangan mereka, kecuali laki-laki yang hendak mengkhitbah, karena mereka boleh tidak menundukkan pandangan untuk melihat siapa saja yang hendak mereka khitbah dari kalangan wanita) (Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam, hal. 42). Kalimat tersebut jelas berarti, bahwa kebolehan melihat berdasarkan hadits Jabir RA tersebut, adalah sebelum khitbah. Sebab dikatakan oleh beliau “melihat siapa saja yang hendak mereka khitbah.” Syaikh an-Nabhani tidak mengatakan “melihat siapa saja yang telah mereka khitbah.” 

Ini dari segi tinjauan tunjukan (dalalah) bahasa. Adapun dari segi dalil hadits, telah terdapat hadits Nabi Saw yang secara jelas menunjukkan bolehnya melihat calon isteri sebelum khitbah. Dalil ini memperkuat tinjauan bahasa yang kami paparkan sebelumnya. Nabi Saw bersabda, “Idza khathaba ahadukum al-mar’ata fa-lâ junâha ‘alayhi an yanzhura ilayhâ idzâ kaana innama yanzhuru ilayhaa li-khitbatihi wa in kânat lâ ta’lam.” (Jika salah seorang kamu hendak mengkhitbah seorang perempuan, maka tidak ada dosa atasnya untuk melihat perempuan itu jika semata-mata dia melihat perempuan itu untuk khitbah baginya, meskipun perempuan itu tidak mengetahuinya). [HR. Ibnu Hibban dan ath-Thabarani, dari Abu Hamid As-Sa’idiy ra. Hadits hasan. Lihat Imam as-Suyuthi, Al-Jami’ush Shaghir, jld. I, hal. 24; Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, hal. 354). 

Hadits itu dengan jelas menunjukkan bolehnya melihat perempuan sebelum mengkhitbahnya. Sabda Nabi Saw “idzâ kâna innama yanzhuru ilayhâ li-khitbatihi” (jika semata-mata dia melihat perempuan itu untuk khitbah baginya) menunjukkan bahwa terjadinya aktivitas melihat, adalah sebelum khitbah. Namun hal itu dibolehkan dengan syarat bahwa aktivitas melihat itu semata-mata untuk kepentingan khitbah, bukan untuk iseng atau main-main yang tanpa tujuan. 

Maka dari itu, berdasarkan hadits itu (dan hadits lainnya) banyak ulama yang membolehkan melihat calon isteri sebelum terjadinya khitbah (termasuk Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani sendiri). 

Imam ash-Shan’ani menyatakan, “Para ulama mazhab Syafi’i mengatakan, hendaknya melihat perempuan itu adalah sebelum khitbah, supaya kalau laki-laki itu tidak suka, dia dapat meninggalkan perempuan itu tanpa menyakiti hatinya, beda halnya kalau sesudah khitbah…” (Imam ash-Shan’ani, Subulus Salam, III/113). 

Syaikh Taqiyuddin al-Husaini mengatakan, “Waktu melihat, adalah setelah adanya azam (tekad kuat) [dari seorang laki-laki] untuk menikahi seorang perempuan, dan sebelum khitbah, agar tidak menyakiti hati perempuan itu andaikata dilakukan setelah khitbah lalu tidak jadi…” (Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar, jld. II, hal. 48). 

Syaikh asy-Syarbayni al-Khathib mengatakan, “Waktu melihat, adalah sebelum khitbah dan setelah ada azam (tekad kuat) untuk menikah. Sebab sebelum adanya azam tidak ada hajat baginya, dan [jika] sesudah khitbah terkadang dapat menyakiti hati perempuan kalau tidak jadi…” (Asy-Syarbayni al-Khathib, Al-Iqna’, jld. II, hal. 120). 

Demikianlah contoh beberapa pendapat ulama yang membolehkan melihat calon isteri sebelum khitbah. 

Kesimpulannya, bahwa secara syar’i mubah bagi seorang laki-laki untuk melihat perempuan calon isterinya sebelum terjadinya khitbah dari lelaki itu kepada pihak perempuan. Namun dalam melakukannya, tidak boleh dilakukan dengan berkhalwat (berdua-duan secara menyendiri) (Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam, hal. 42). 

Adapun melihat setelah khitbah, juga dibolehkan menurut syara’. Diriwayatkan bahwa al-Mughirah ra telah mengkhitbah seorang perempuan. Nabi Saw lalu bersabda kepadanya, “Unzhur ilayha! Fa-innahu ahrâ an yu’dama baynakumâ.” (Lihatlah dia! Karena itu akan lebih mengekalkan perjodohan kalian berdua). [HR. at-Tirmidzi dan an-Nasa’i. Lihat Imam ash-Shan’ani, Subulus Salam, III/113). Wallahu a’lam [www.taman-langit7.co.cc] 


MASIH PANTASKAH KITA.?

Rasulullah Saw telah bersabda, "Allah telah mewahyukan kepadaku: "Wahai saudara para Rasul, wahai saudara para pemberi peringatan! Berilah berita peringatan kpda kaummu, agar mereka jgn memasuki satu rumahpun dari rumah2-Ku (masjid), kecuali dgn hati yg bersih, lidah yang benar, tangan yg suci, dan kemaluan yg bersih. Janganlah mereka memasuki salah satu rumah-Ku (masjid) padahal mereka masih tersangkut barang aniayaan hak orang lain. Sesungguhnya Aku tdk memberi rahmat, selama ia berdiri dihdpan-Ku melakukan shalat hingga ia mengembalikan barang aniayaan itu kpda pemiliknya. Apabila ia telah mengembalikannya, Aku akan jd alat pendengarannya yg dgn alat itu ia mendengar, dan Aku akan menjadi alat penglihatannya yang dgnnya ia akan melihat, dan ia akan menjadi salah seorang kekasih dan orang pilihan-Ku, dan akan menjadi tetanggaKu bersama para Nabi, para shiddiqin, dan para syuhada yang ditempatkan didlm surga."(Hadits Qudsiy riwayat Abu Na'im, Hakim, al-Dailami, dan Ibnu 'Asakir dari Hudzaifah ra.)


Khalifah Umar bim Abdul Aziz pernah memberikan pesan kpda kaum muslim: "Wahai sekalian manusia! jgnlah kalian menganggap kecil dosa2 itu. Selidiki dan usahakanlah untuk mengkikis habis dosa2 yg pernah dilakukan dgn jalan melakukan taubat....Telah sia2 dan merugi orang2 yg keluar dari rahmat Allah yg meliputi segala sesuatu. Mereka tlh diharamkan masuk ke suqga yg luasnya seluas langit dan bumi. Ketahuilah, perasaan aman pd hari kiamat hanya dimiliki oleh orang2 yg takut akan Rabbnya. yaitu orang yg suka menjual barangnya yg sedikit untuk ditukar dgn barang yg lebih banyak, orang yg suka menukar yg fana' (dunia) dgn yg kekal abadi (akhirat)."
 
Lalu, apakah kita masih pantas memasuki rumah Allah dan mendptkan rahmat di sisi Allah Swt. sementara itu, tangan dan hati kita masih berlumuran dosa dan kedzaliman.

Pantaskah kita duduk dihdpan-Nya, sedangkan farji dan pandangan kita tdk prnah di jaga. Masihkah kita berharap menjadi kekasih Allah. pdhal, kita masih suka menganiaya dan memusuhi kekasih-kekasih-Nya?

Pantaskah kita menjadi tamu Allah Swt. pdhak kita masih menanggung barang2 aniayaan milik orang lain, tdk prnah henti2nya membebani rakyat dgn beban2 berat, dan menguras harta dan peluh mereka?

Pantaskah kita bermunajat memohon ampunan Allah. sementara itu kita getol menyudutkan bhkan merencanakan makar untuk memenjarakan dan menyakiti pembela2 agama Allah yg selalu merindukan tertegaknya al-Quran dan as-Sunnah? 

Pantaskah kita berharap surganya Allah Swt. sementara itu kita gemar memburu dan memerangi kaum mukhlish yg selalu mendekatkan diri kpda Allah Swt. dgn alasan terorisme, makar dan seribu alasan lainnya?

Bukankah Allah Swt. telah menyatakan melalui lisan Nabi Muhammad Saw, "Barangsiapa memusuhi kekasih-Ku, Aku telah mendeklarasikan perang kpdanya..."(Hadits Qudsiy, HR.Bukhari)

Betapa angkuh dan sombongnya diri kita! Kita selalu membenci dan memusuhi orang yg dicintai Allah Swt. namun masih berharap mendapat kecintaan dan rahmat dari Allah Swt. Betapa banyak kekasih Allah Swt yg distigma dgn cap2 buruk, bhkan diperlakukan tdk manusiawi. Apakah kita tdk mengetahui atau pura2 tdk tahu, bahwa tdk ada perbuatan yg lebih hina dibandingkan memerangi dan memusuhi kekasih-kekasih Allah Swt. Lantas, masih pantaskah kita menyandang muslim dan mukmin, namun, kita enggan untuk tunduk dgn aturan Allah. bahkan memproduk aturan2 yg bertentangan dgn aturan Allah? Bila tdk pantas lalu gelar apa yg paling pantas bagi kita? Wallahua'lam.(www.taman-langit7.co.cc)

Bertakwa dan Berkata Benar

Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

 
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar (TQS al-Ahzab [33]: 70-71).


Lidah  tak  bertulang. Ungkapan ini biasa digunakan untuk menggambarkan  betapa mudahnya  orang  untuk berbicara. Padahal, meskipun terasa ringan, setiap kata yang keluar  darinya,  mendatangkan konsekuensi.  Bahkan  konsekuensinya kadang tidak ringan. Maka lidah bagaikan pisau bermata dua. Bisa menjadi senjata yang  menyelamatkan  pemiliknya atau berbalik menikam pemiliknya.  Inilah  yang  banyak tidak disadari orang.

Agar  tidak  salah  mengeluarkan perkataan, ayat ini penting  untuk  dijadikan  sebagai panduan.

Perintah  Bertakwa  dan Berkata Benar

Allah  SWT  berfirman:  Yâ ayyuhâ  al-ladzîna  âmanû  [i]ttaqûl-Lâh (hai  orang-orang  yang beriman, bertakwalah kamu kepada  Allah).  Seruan  ayat  ini ditujukan  kepada  orang-orang Mukmin.  Mereka  diperintahkan [i]ttaqûl-Lâh (bertakwa  kepada Allah).  Secara  bahasa,  al-taqwâ berarti  menjadikan  diri  dalam perlindungan  dari  segala  yang menakutkan. Oleh karena itu, al-taqwâ terkadang  bermakna  al-khawf, seperti dalam firman-Nya: Wa [i]ttaqû al-nâr al-latî u'iddat li al-kâfirîn (dan peliharalah dirimu dari api neraka yang disediakan untuk  orang-orang  yang  kafir, (TQS Ali Imran [3]: 131).

Secara syar'i, al-taqwâ didefinisikan sebagai penjagaan diri dari  perbuatan  dosa.  Hal  itu dilakukan dengan melaksanakan kewajiban  dan  meninggalkan larangan.  Di  samping  itu,  menurut al-Raghib al-Asfahani, juga disempurnakan dengan meninggalkan sebagian perkara mubah.

Dalam  Alquran,  perintah untuk  bertakwa  amat  banyak. Selain ayat ini, juga dalam QS al-Baqarah  [2]:  98,  196,  278,  Ali Imran [2]: 130, al-Nisa [4]: 9, dan lain-lain.  Bahkan  dalam  awal surat ini, perintah untuk bertakwa  juga  ditujukan  kepada  Rasulullah SAW dengan firman-Nya: Hai  Nabi,  bertakwalah  kepada Allah  dan  janganlah  kamu  menuruti  (keinginan)  orang-orang kafir  dan  orang-orang  munafik (TQS al-Ahzab [33]: 1).

Kemudian  diiringi  dengan diperintahkan: wa qûlû qawl[an] sadîd[an] (dan  katakanlah  perkataan yang benar). Kata al-sadîd merupakan  bentuk  shifah  musyabbahah dari  kata  al-sadâd. Dalam Mukhtâr al-Shihhah dijelaskan bahwa al-sadâd berarti al-shawâb wa al-qashd min al-qawl wa  al-'amal (ucapan  dan  perbuatan yang benar dan lurus). Al-Raghib mengatakan, pengertian al-sadâd adalah  istiqâmah.  Sedangkan  menurut  al-Syaukani, kata  al-sadîd diambil  dari  kata tasdîd  al-sahm (membetulkan anak  panah)  agar  tepat  sasarannya.

Dalam  konteks  ayat  ini, sadîd[an] bisa berarti shawâb[an] (benar) sebagaimana dijelaskan Ibnu  'Abbas.  Menurut  Qatadah bermakna 'adl[an] (adil). Tak jauh berbeda, al-Hasan menafsirkannya sebagai shidq[an] (jujur). Ada pula yang memaknainya mustaqîm[an] (lurus). Sedangkan menurut 'Ikrimah, sadîd[an] dalam ayat ini bermakna ucapan lâ ilâha illâl-Lâh. Dengan demikian, perkataan  yang  diperintahkan  keluar dari orang Mukmin adalah qawl[an]  sadîd[an].  Yakni,  perkataan yang benar, adil, jujur, dan lurus. Tentu saja, kriteria, batasan, dan koridornya didasarkan pada Islam. Perintah bertakwa yang disebutkan sebelumnya jelas menunjukkan kesimpulan tersebut.

Sebagaimana dijelaskan al-Syaukani, takwa yang diperintahkan itu meliputi seluruh urusan. Itu artinya, ketaatan kepada perintah dan larangan-Nya mencakup semua hal, dalam perbuatan maupun ucapan. Oleh karena itu, frase qûlû qawl[an] sadîd[an] di sini berkedudukan sebagai 'athf al-khâsh  'alâ  al-'âmm (menambahkan  yang  khusus  kepada yang umum). Penyebutan secara khusus  tersebut  menunjukkan pentingnya berkata benar bagi kaum Mukmin.

Menurut zhahir-nya ayat ini, perintah berkata benar tersebut berlaku  umum  untuk  semua perkara. Tidak  hanya  dikhususkan  untuk  satu  jenis  perkara. Oleh  karena  itu,  sebagaimana dijelaskan  al-Sa'di,  membaca (Quran), dzikir, amar ma'ruf, nahi munkar,  belajar  dan  mengajarkan  ilmu,  dll  termasuk  dalam cakupan  qawl[an]  sadîd[an]. Demikian juga berdakwah, mendamaikan  perselisihan  antar Mukmin, dan lain-lain.

Dengan demikian, berkata benar, jujur, adil, dan lurus merupakan  karakter  setiap  Mukmin. Sikap  tersebut  diambil  bukan didasarkan  pada  nilai  manfaat yang  akan  diperoleh,  namun didasarkan  kepada  ketakwaan. Sehingga, apa pun hasilnya, sikap  itu  harus  dilakukan  secara konsisten.  Rasulullah  SAW  bersabda:  Katakanlah  kebenaran walaupun  pahit  (HR  al-Baihaqi dari Anas).

Selain  sebagai  perintah berkata benar, ayat ini juga bisa dipahami  sebagai  larangan berlaku  sebaliknya.  Sebagaimana perkataan benar dapat mengantarkan pelakunya ke surga, perkataan batil juga bisa menjerumuskan  pelakunya  ke  dalam neraka. Sebut saja misalnya syahâdat  al-szûr (kesaksian  palsu) yang  terkategori  sebagai  dosa besar. Demikian juga dosa besar lainnya,  seperti  kemusyrikan, menghalangi manusia dari jalan Allah, durhaka kepada orang tua dll, bisa dilakukan oleh lisan. Dari Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang  penyebab  terbesar  yang membawa masuk  surga.  Beliau menjawab, “Taqwa kepada Allah dan  akhlak  yang  baik.”  Dan  ditanya  penyebab  terbesar  yang membawa manusia masuk neraka, maka beliau  menjawab, “Dua rongga  badan  yaitu  mulut  dan kemaluan.” (HR al-Tirmidzi).

Diperbaiki  Amalnya  dan Diampuni Dosa-dosanya

Terhadap orang yang menjalankan  perkara  yang  diperintahkan tersebut dijanjikan mendapatkan dua perkara. Pertama: yushlih  lakum  a'mâlakum (niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu).  Ishlâh  al-a'mâl bisa berarti taufik dan kemudahan  yang  diberikan  Allah SWT  terhadap  mereka  dalam mengerjakan  amal  shalih.  Ibnu Jarir al-Thabari adalah di antara mufassir menafsirkan demikian. Pengertian  ini  juga  sejalan  dengan QS al-Lail [92]: 5-6. Bisa pula berarti memperbaikinya dengan menerima dan memberikan pahala  kepada  mereka.  Demikian al-Nasafi dan al-Baidhawi dalam tafsir mereka.

Kedua:  wa  yaghfir  lakum dzunûbakum (dan mengampuni bagimu  dosa-dosamu).  Artinya, dosa-dosa  dimaafkan,  kesalahan-kesalahan mereka ditutup, mereka  tidak  ditimpakan  azab. Hal  ini  juga  ditegaskan  dalam TQS al-Thalaq [65]: 5. Dua balasan kebaikan  itu  tentu  merupakan seuatu yang menjadi kebutuhan setiap manusia.

Kemudian ditegaskan lagi: wa man yuthi'il-Lâh wa rasûlahu (dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya). Jika dilihat pengertiannya, frase ini memberikan penegasan terhadap perkara yang telah disebutkan sebelumnya.  Sebab,  ketaatan  terhadap Allah SWT dan rasul-Nya merupakan aplikasi riil bertakwa kepada-Nya.

Mereka diberitakan: faqad fâza  fawz[an]  azhîm[an] (maka sesungguhnya  ia  telah  mendapat  kemenangan  yang  besar). Menurut Ibnu Manzhur, kata al-fawz berarti al-najâ` wa al-zhafar bi al-umniyah wa al-khayr (selamat dan berhasil  meraih sesuatu yang diharapkan dan kebaikan). Dijelaskan al-Jazairi, kemenangan besar yang dimaksud adalah teraihnya  tujuan  yang  diharapkan. Yakni, selamat dari neraka dan  berhasil  masuk  surga.  Tak jauh  berbeda,  al-Baidhawi  mengatakan, di dunia terpuji dan di akhirat berbahagia.

Dalam  Alquran,  banyak ayat  yang  menyebut  balasan surga  dengan  berbagai  kenikmatan di dalamnya sebagai al-fawz al-'azhîm. Di antaranya adalah QS al-Nisa' [4]: 13, al-Maidah [5]: 119, al-Taubah [9]: 72, 89, 100, dll. Juga disebut sebagai al-fawz al-kabîr (lihat al-Buruj [85]: 11).

Inilah  kunci  sukses  bagi setiap manusia yang selamat dan bahagia di dunia dan akhirat: taat terhadap seluruh ketentuan syariah-Nya.  Terutama  menjaga lisannya agar senantiasa berkata benar!  Wal-Lâh  a'lam  bi  al-shawâb. [media-umat.com/www.taman-langit7.co.cc]

Ikhtisar:

1.Kaum Mukmin diperintahkan bertak- wa dan berkata benar.
2.Balasan yang dijanjikan kepada mereka yang mengerjakan perintah tersebut: diperbaiki amalnya dan diampuni dosa-dosanya.
3.Orang yang menaati Allah SWT dan rasul-Nya niscaya memperoleh kemenangan besar.

Khilafah Buah Revolusi Yang Ditakuti Yahudi dan Barat

Pernyataan Kepala Pertahanan Keamanan dan Politik Israel, Jenderal Amos Gilad mengungkapkan akan kebenaran dari apa yang sangat ditakuti Yahudi, yaitu revolusi yang menyapu kawasan Timur Tengah, khususnya revolusi Suriah, di mana hari demi hari semakin dekat tercapainya impian rakyat Suriah, yang selama ini diperjuangan dengan penuh kesabaran dan keteguhan.

Dalam hal ini, Gilad mengatakan bahwa “Jatuhnya rezim Presiden Bashar Assad akan mengakibatkan bencana yang akan memusnahkan Israel.” Dikatakan bahwa “Alternatif bagi rezim Assad adalah lahirnya imperium Islam di kawasan Timur Tengah.” Bahkan ia memperkirakan ketegangan hubungan dengan Mesir, “Kami sedang menghadapi gempa bumi, dan saya tidak melihat kekuatan gempa itu sedang mengalami penurunan.”

Penyataan ini dan pernyataan-pernyataan sebelumnya, seperti pernyataan Rami Makhlouf mengungkapkan bahwa rezim Assad yang selama beberapa dekade membanggakan perlawanan dan mengklaim adanya konspirasi Barat untuk menggulingkannya, adalah kepentingan Barat “Israel”. Rezim Assad seperti yang dilihat dunia secara riil benar-benar telah menyelamatkan perbatasan wilayah utara entitas Yahudi lebih dari 4 dekade tanpa ada satu tembakan pun dari Suriah yang memecah keheningan di Golan, sekalipun terjadinya karena sebuah kesalahan.

Penyataan itu juga mengungkapkan sebuah fakta yang akhir-akhir ini sering keluar dari lisan sejumlah pejabat tingi entitas Yahudi, bahwa kelangsungan hidup mereka tergantung pada rezim sekitarnya yang yang selama ini melindungi mereka. Jadi, rezim inilah yang telah menjaga keamanan Yahudi dan perbatasannya selama lebih dari enam puluh tahun, dan rezim ini pula yang telah membantu air dan gas, bahkan rezim ini yang mensponsori pronyek pendudukan Israel atas Palestina. Jika bukan kerena keberadaan rezim antek ini, niscaya entitas kangker Yahudi tidak bisa bertahan di tengah-tengah kaum Muslim, khususnya di bumi yang diberkati, tempat Isra’ dan Mi’rajnya rasulullah Saw.

Dang yang menyedihkan adalah bahwa Barat dan Yahudi sangat menyadari kenyataan ini, bahkan mereka berkerja tujuan semua ini, sementara Otoritas Palestina buta terhadap realitas dan perubahan di kawasan ini. Sehingga ia terus saja memberikan loyalitasnya pada entitas Yahudi, serta percaya dengan ilusi yang dibisikan Barat, di saat yang sama ia terus memperlihatkan permusuhannya terhadap upaya penerapan syariah Islam. Dalam hal ini, seolah-olah ia tidak mengerti sama sekali akan fakta yang sangat dimengerti oleh Barat!

Sunguh, tegaknya Khilafah merupakan buah dari pergerakan dan cita-cita umat. Dalam hal ini, sama saja apakah Khilafah berdiri sekarang atau setelah beberapa saat kemudian, maka Yahudi dan kekuatan Barat penjajah akan gemetar dan diselimuti ketakutan. Khilafah akan menyapu bersih entitas Yahudi dari Palestina, dan akan mengakhiri pengaruh Barat penjajah dari kawasan Timur Tengah dan negeri-negeri kaum Muslim. Mereka akan pulang ke negara-negara dalam keadaan hina tanpa menyisakan pengaruh sedikit pun di negeri-negeri kaum Muslim. Sesunguhnya hari esok itu dekat bagi yang melihatnya.

Allah SWT berfirman: “Lalu  mereka akan menggeleng-gelengkan kepala mereka kepadamu dan berkata: ‘Kapan itu ?’ Katakanlah: ‘Mudah-mudahan waktu berbangkit itu dekat’.” (TQS. Al-Isra’ [17] : 51).

Sumber: pal-tahrir.info, 16/11/2011.

18 November 2011

METODE YANG BENAR

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ 
Sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat suri teladan yang baik. (TQS. al-Ahzab [33]: 21)

Pembentukan Partai Politik

Allah Swt. berfirman dalam al-Quran:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Hendaklah ada segolongan umat di antara kalian yang menyerukan kebajikan (Islam), menyeru kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan merekalah orang-orang yang beruntung. (TQS. Ali ‘Imran [3]: 104)

Dalam ayat ini Allah Swt. menyerukan tentang harus adanya sekelompok umat dari kalangan umat sendiri (minkum ummatun). Yaitu, sekelompok orang yang membentuk kelompok tersendiri, seolah-olah membentuk umat di dalam umat, karena seruan di atas berbentuk sebagian (tab’idh) yang mengindikasikan sebagian dari umat. Kelompok yang sebagian itu harus memiliki sesuatu yang mengikat mereka, sebagaimana umat juga memiliki sesuatu yang mengikatnya sebagai satu umat. Namun, kelompok itu punya kekhususan dalam hal menyerukan yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, serta menyeru pada al-khair, yaitu Islam secara keseluruhan.

Selain itu, setiap kelompok (jama’ah) membutuhkan seorang amir, sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi saw. dalam sebuah hadis:

Apabila ada tiga orang di antara kalian (dalam perjalanan), maka pilihlah salah satu menjadi amir.

Karena itu, kelompok tersebut harus memiliki struktur agar dapat benar-benar tampil, serta memiliki pemahaman tentang apa saja yang makruf dan apa saja yang mungkar.

Walaupun demikian, pemeliharaan kemakrufan dan pencegahan kemungkaran secara efektif memang hanya dapat dilakukan oleh negara, dan mustahil oleh yang lain. Imam Qurtubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa hanya penguasalah yang memiliki kemampuan untuk menegakkan kemakrufan dan menghilangkan kemungkaran dengan cara menerapkan hudud dan melalui tangan-tangan kekuasaannya (Imam Qurtubi, Jami’u Ahkam al-Qur'an, Jilid 4, hlm. 47).

Allah Swt berfirman :

الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي اْلأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلاَةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَ ِللهِ عَاقِبَةُ اْلأُمُورِ

(Yaitu) Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka akan menegakkan shalat, menunaikan zakat, serta menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah yang mungkar. Kepada Allahlah segala urusan dikembalikan. (TQS. al-Hajj [22]: 41)

Sehubungan dengan itu, yang menjadi tugas dari partai sebagaimana disebutkan dalam Ali ’Imran (3): 104 adalah memastikan bahwa kemakrufan telah tegak di tengah masyarakat dan kemungkaran telah lenyap. Dengan kata lain, aktivitas partai itu adalah aktivitas politik, dengan cara mengawasi negara dalam melaksanakan kewajiban terhadap umat dan mengemban Islam ke seluruh dunia melalui dakwah dan jihad. Akan tetapi, keadaan yang terjadi sekarang adalah, hampir seluruh kemakrufan hilang di tengah-tengah masyarakat akibat hilangnya Islam dalam kancah kehidupan. Justru, kemungkaran yang merajalela, karena tidak adanya negara yang menerapkan syariat Islam.

Sebelum ini telah dibahas bahwa perkara utama umat saat ini adalah reunifikasi negeri-negeri Islam ke dalam satu pemerintahan Islam dengan kembali tegaknya negara Khilafah. Akar dari segala kemungkaran yang menjadi sumber segala bentuk kemungkaran yang lain adalah kekufuran berikut sistem kufurnya, sementara itu pangkal dari segala kemakrufan yang akan mengembalikan setiap bentuk kemakrufan dan menghidupkan Din al-Islam secara total adalah negara Khilafah. Negara Khilafahlah yang akan kembali menegakkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.

Karena itu, partai politik itu harus berjuang menegakkan negara Khilafah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Partai harus melakukan langkah-langkah nyata untuk mengembalikan tegaknya negara Khilafah. Jadi, partai itu harus memiliki pemahaman dalam masalah, misalnya, sistem pemerintahan, ekonomi, sosial kemasyarakatan, pendidikan, dan aturan-aturan yang telah Islam turunkan. Tanpa itu semua, partai tidak akan mampu menegakkan negara Khilafah. Selain itu, partai itu juga harus memiliki kesatuan pemahaman, karena jika tidak, partai itu tidak akan dapat bekerja secara kolektif sebagai sebuah partai. Hal ini sesuai dengan kaidah syara’ ‘jika suatu kewajiban tidak bisa sempurna tanpa sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib’. Pertanyaannya sekarang adalah, seperti apakah metode yang harus ditempuh partai itu dan bagaimana aktivitas yang harus dilakukan untuk menegakkan negara Khilafah kembali?

MENELADANI RASULULLAH SAW

Aktivitas Rasulullah saw. menjadi contoh metode sejati penegakan Khilafah dan pendirian Negara Islam, atau dengan kata lain mengubah Darul Kufur menjadi Darul Islam. Untuk itu, kita perlu memahami bagaimana rukun-rukun dari metode yang dilakukan Rasulullah saw. Setelah itu, kita terapkan ke dalam situasi kita untuk meniti jalan menuju kembalinya negara Khilafah.

Prinsip ta’assi atau meneladani perbuatan Rasulullah saw. senantiasa mendapat bagian tersendiri dalam buku-buku yang membahas masalah Ushul ketika memahami Sunnah Nabi saw. Adapun yang jadi soal dalam hal ini adalah bagaimana cara kita meneladani perbuatan Rasulullah saw. dan apa hukumnya. Allah Swt. berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

Sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik. (TQS. al-Ahzab [33]: 21)

Allah Swt. juga memerintahkan kepada Nabi saw. untuk berkata kepada orang-orang beriman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah: “Apabila kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. (TQS. Ali ‘Imran [3]: 31)

Dengan demikian, kaum Muslim wajib meneladani dan mengikuti jejak langkah Rasulullah saw. jika mereka mengharapkan ampunan Allah Swt. dan surga yang dijanjikan-Nya. Oleh karena itu, meneladani dan mengikuti perbuatan Rasulullah saw. adalah wajib. Akan tetapi, kaum Muslim harus meneladani beliau dengan benar dan dalam hal-hal yang memang Allah perintahkan. Berikut adalah klasifikasi perbuatan Rasulullah saw.

Perbuatan Jibiliyyah

Perbuatan jibiliyyah adalah perbuatan yang dilakukan Nabi saw. sebagai bagian dari karakter kemanusiaannya. Misalnya, Bukhari meriwayatkan bagaimana merahnya wajah beliau ketika marah. Menurut Imam Tirmidzi dalam Syama’il, beliau saw. berjalan begitu cepatnya seolah-olah sedang menuruni bukit. Hal-hal seperti ini boleh-boleh saja kita tiru demi menunjukkan kecintaan kita terhadap Rasulullah saw, karena itu memang perbuatan beliau. Namun, perbuatan semacam itu tidak memiliki konsekuensi hukum, sehingga status hukum perbuatan-perbuatan seperti itu adalah mubah.

Perbuatan Khas

Perbuatan khas adalah perbuatan yang memang khusus dan dikhususkan bagi Nabi saw. Misalnya, di dalam al-Quran dinyatakan bahwa istri-istri beliau dilarang menikah lagi setelah menjanda, sedangkan wanita-wanita beriman dapat menikah lagi setelah suami mereka meninggal atau setelah bercerai. Nabi saw. juga dibolehkan menikahi lebih dari dari empat wanita, sementara itu lelaki Muslim dilarang. Rasulullah saw. berpuasa siang dan malam non-stop, tetapi beliau melarang kaum Muslim melakukan hal yang sama. Status hukum shalat tahajud itu wajib bagi Nabi saw, tetapi bagi kaum Muslim sunnah nafilah (Syakhshiyyah Islamiyyah, Jilid 3). Kaum Muslim dilarang mengikuti Rasulullah saw. dalam perbuatan-perbuatan semacam ini. Jadi, kita tidak boleh melakukan tahajud sebagai sebuah kewajiban. Kita pun tidak boleh melarang seorang Muslimah menikah kembali setelah mereka bercerai atau menjanda. Demikian pula laki-laki Muslim tidak boleh memiliki lebih dari empat istri. Mengikuti Rasulullah saw. dalam perbuatan-perbuatan semacam ini adalah haram.

Perbuatan Umum (Tasyri’)

Perbuatan tasyri’ adalah perbuatan, perkataan, atau persetujuan Rasulullah saw. yang mengandung konsekuensi hukum. Perbuatan itu bisa jadi berstatus wajib, mandub, atau mubah. Apabila perbuatan yang Rasulullah saw. lakukan adalah penjelasan atas suatu kewajiban, maka perbuatan itu adalah wajib. Misalnya, Allah Swt. menyatakan dalam banyak ayat al-Quran tentang wajibnya menegakkan shalat lima waktu. Dalam hadis masyhur yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah saw. bersabda:

Shalatlah kalian sebagaimana aku shalat.

Jadi, fakta bahwa Nabi saw shalat dalam urutan yang sama (tartib) dan berulang-ulang (ta’addud) merupakan penjelasan atas kewajiban shalat lima waktu tadi, karena itu cara shalat kita pun wajib mengikuti shalatnya Rasulullah saw.

Dalam ayat lain Allah Swt. berfirman:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Siapa saja yang melihat bulan, berpuasalah. (TQS. al-Baqarah [2]: 185)

Lalu, dalam sebuah hadis yang masyhur kita dapati Nabi saw bersabda:

Berpuasalah kalian manakala melihat bulan dan berbukalah tatkala melihat bulan. Adapun jika bulan tertutup awan, maka genapkanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari (bulan Sya’ban). (Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Bulugh al-Maram).

Riwayat ini menjelaskan kapan mulai berpuasa dan kapan berhenti berpuasa. Artinya, hadis ini merupakan penjelasan atas perintah Allah Swt. dalam al-Quran tadi. Hukum perbuatan yang dijelaskan dalam hadis ini sama dengan perbuatan yang diperintahkan dalam al-Quran, yaitu wajib. Selin itu, yang juga termasuk wajib adalah melihat hilal atau menggenapkannya menjadi tiga puluh hari ketika mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan.

Contoh lain ialah firman Allah Swt. dalam al-Quran:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya. (TQS. al-Maidah [5]: 38)

Dalam sebuah hadis marfu’ yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Jami’u ash-Shahih dari Aisyah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda:

Tidak dipotong tangan pencuri dalam kasus pencurian kecuali yang mencapai seperempat dinar atau lebih.

Hadis ini menjelaskan hukum sebelumnya, yaitu tentang kewajiban memotong tangan seorang pencuri.

Demikian pula dalam masalah dakwah. Rasulullah saw. wajib melakukan aktivitas dakwah dan beliau diwajibkan untuk menegakkan agama ini. Hal ini dapat kita tinjau dari fakta bahwa beliau siap mengorbankan hidupnya demi melaksanakan kewajiban tersebut. Rasulullah saw. berkata kepada pamannya:

Demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku berhenti dari perkara ini, niscaya aku tidak akan berhenti darinya hingga Allah memenangkan perkara ini atau aku mati karenanya. (Imam Thabari, Sirah, Jilid 6, par. 1179)

Dengan demikian, setiap perbuatan dan pernyataan yang menjelaskan metode itu harus dipandang sebagai bagian kewajiban dari metode untuk melangsungkan kehidupan Islam.

Aktivitas Qurbah (Mendekatkan Diri kepada Allah Swt.)

Mendekatkan diri kepada Allah Swt. dan memperoleh ridha-Nya adalah tujuan orang-orang beriman dan menjadi landasan dasar dari seluruh perbuatannya. Setiap perbuatan yang jika dilakukan akan mendatangkan ridha Allah Swt. dan jika ditinggalkan akan mengundang azab-Nya dikategorikan sebagai wajib. Perbuatan yang mendekatkan seorang Muslim kepada Allah Swt., tetapi jika tidak dilakukan tidak mengundang hukuman dipandang sebagai perbuatan yang mandub. Perbuatan Rasulullah saw. yang mengindikasikan upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. (taqarrub illa Allah) juga berstatus mandub. Misalnya, aktivitas zikir dan doa dapat mendatangkan ridha Allah Swt., sehingga keduanya berstatus hukum mandub. Dalam Syama’il, Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadis bahwa Nabi saw. terbiasa membaca basmallah sebelum makan. Aktivitas seperti ini mengingatkan diri kepada Allah Swt. dan menunjukkan rasa syukur. Oleh karena itu, membaca doa sebelum makan adalah mandub.

Mubah

Perbuatan-perbuatan yang tidak mengandung indikator qurbah atau tidak menunjukkan pahala atau siksa, berstatus hukum mubah. Kaum Muslim boleh melakukannya sesuai dengan kehendak mereka. Misalnya, Nabi saw. terbiasa meminta juru tulisnya untuk menuliskan al-Quran di pelepah daun kurma. Cara ini tidak mengandung konsekuensi pahala atau siksa, karena itu status hukumnya adalah mubah. Dalam konteks ini, menggunakan cara lain, seperti CD dan mencetaknya juga mubah-mubah saja.

Relevansi dari semua ini dengan topik yang kita bahas adalah, kita harus dapat memilah-milah perbuatan-perbuatan yang Rasulullah saw. lakukan. Aktivitas mana yang beliau lakukan semata-mata sebagai manusia sehingga tidak wajib diikuti dan aktivitas mana yang memang wajib diikuti, yang memang beliau lakukan sebagai sebuah kewajiban dan bagian dari metode beliau dalam menegakkan Diinullah.


METODE RASULULLAH SAW DALAM MENDIRIKAN NEGARA ISLAM

Nabi Muhammad saw. mendirikan Negara Islam di Madinah. Setelah beliau wafat, Abu Bakar r.a. menjadi Khalifah, lalu berturut-turut Umar r.a., Utsman r.a., dan Ali r.a.. Sistem Khilafah ini terus berlanjut selama tiga belas abad, hingga kemudian diruntuhkan pada 3 Maret 1924 M.

Adapun yang harus kita lakukan sekarang adalah menggali metode itu dari dalil syariat yang ada, dalam hal ini Sunnah Nabi saw, dengan cara menelaah dan memahami sirah Rasulullah saw. dari aspek hukum. Setelah itu, kita ikuti perbuatan-perbuatan yang beliau lakukan yang merupakan bagian dari upaya beliau untuk melaksanakan kewajiban menjalankan kehidupan yang Islami secara praktis.

TAHAP PERTAMA MEMBINA KADER

Allah Swt. memerintahkan Nabi saw.:

يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ

Wahai orang yang berselimut, bangunlah lalu berikanlah peringatan, dan agungkanlah Tuhanmu. (TQS. al-Muddatstsir [74]: 1-3)

Imam Abu Ja’far ath-Thabari mengatakan bahwa Allah memerintahkan Nabi saw. untuk bangkit dan memberikan peringatan kepada orang-orang bahwa Allah akan menghukum mereka karena tidak bersyukur kepada Tuhan mereka, serta karena kebiasaan mereka menyekutukan Allah dan menyembah berhala sehingga mengabaikan Allah yang menciptakan dan menghidupi mereka. Beliau juga diperintahkan untuk menyampaikan kepada mereka tentang karunia Tuhan yang dilimpahkan kepadanya. Menurut Ibnu Ishaq yang dimaksud adalah kenabian Muhammad saw. (Tarikh ath-Thabari, Jilid 6, par. 1156).

Setelah turun ayat ini Nabi saw. mulai mengajak orang-orang untuk mengemban dakwah. Beliau memulainya dengan mengajak mereka masuk Islam, menerima tauhid akan keesaan Allah, al-Khalik dan al-Malik yang tidak memiliki sekutu, dan untuk menerima kepemimpinan beliau. Beliau melakukan hal itu bukan dengan cara menantang orang-orang Quraisy, maupun dengan cara menentang gaya hidup mereka, melainkan dengan menjelaskan akidah kepada mereka agar mereka masuk Islam. Terhadap orang-orang yang masuk Islam, Rasulullah saw. membina mereka dengan Islam sesuai dengan ayat-ayat al-Quran yang turun pada saat itu.

Pada tahap ini dakwah Nabi saw. berlangsung selama tiga tahun dan beliau berulang kali melakukan dua hal yang diperintahkan tadi itu meskipun beliau menggunakan beragam cara. Pada satu waktu beliau mengundang orang-orang ke rumah, pada saat yang lain beliau sendiri yang datang berkunjung ke rumah-rumah mereka. Di waktu lain beliau berdiskusi dengan orang-orang di pasar dan banyak hadis yang meriwayatkan hal ini. Akan tetapi, terlepas dari beragamnya cara, yang beliau lakukan hanya meliputi dua hal saja, yaitu mengajak orang masuk Islam, serta membangun keimanan dan pemahaman akan Laa ilaaha illa Allah pada diri orang-orang yang menerima seruannya.

Perkara penting yang harus dicamkan di sini adalah bahwa pada saat itu tidak ada hukum-hukum shalat, hukum-hukum shaum, ataupun zakat. Dakwah yang dilakukan kepada orang-orang pada saat itu bukanlah mengajak mereka melakukan ibadah ritual, melainkan mengajak mereka ke dalam suatu akidah. Yaitu, akidah yang secara radikal akan mengubah pandangan hidup mereka, serta mengubah cara pandang mereka ihwal bagaimana seharusnya menjalani kehidupan di dunia ini. Dengan akidah itu, mereka tidak lagi menyembah berhala-berhala, tidak juga hidup demi kehidupan dunia semata, ataupun menjalani hidup sekadar memuaskan hawa nafsu belaka. Mereka sadar bahwa eksistensi mereka dan tujuan mereka di dunia ini adalah untuk akhirat dan karena itu mereka harus menjalani kehidupan sesuai dengan petunjuk yang Allah berikan.

Oleh karena itu, sejak masuk Islam, para sahabat r.a. sudah siap untuk mengorbankan segala yang mereka miliki demi agama ini. Bilal r.a., seorang budak dari Habasyah (Etiopia), rela ditindih oleh batu besar di bawah teriknya mentari. Sumayah r.a. sanggup mengorbankan nyawanya, demikian juga Yasir r.a. Itu semua berkat keimanan yang kuat dan kokoh yang mereka miliki. Mereka juga paham betul tanggung jawab mereka sebagai pengemban Islam.

Ayat-ayat al-Quran yang pertama-tama muncul selalu mengingatkan mereka tentang kemenangan yang akan Allah berikan berikut tanggung jawab yang harus mereka emban. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a. bahwa ketika turun ayat:

وَمَا هُوَ إِلاَّ ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ

Al-Qur'an itu tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat. (TQS. al-Qalam [68]: 52)

Mereka paham bahwa Islam akan menguasai dunia, meskipun pada saat ayat itu turun, jumlah kaum Muslim masih sangat sedikit (Imam ath-Thabari, Jami’u al-Bayan an Ta’wil al-Qur'an).

Ketika orang-orang musyrik bertemu orang-orang muslim, orang-orang musyrik selalu mengolok-olok dengan mengatakan, “Inilah para penguasa bumi yang akan mengalahkan Kisra Persia dan Kaisar Romawi” (Rahiq al-Makhtum). Pada saat itu, orang-orang Quraisy belum melihat adanya sesuatu yang membahayakan dari kaum Muslim.

Demikianlah yang terjadi pada tahap ini. Nabi saw. mengajak orang-orang masuk Islam. Setiap orang yang masuk Islam langsung dibina dengan pemahaman yang jernih dan keimanan yang kokoh akan datangnya kemenangan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Ibnu Hisyam (Jilid 1/343) mengisahkan bagaimana Umar bin Khaththab masuk Islam ketika melihat adiknya, dan suami adiknya, sedang dibina oleh Khabbab bin Arrat r.a. dan beliau mendengar al-Quran dibacakan. Juga, bagaimana para sahabat dibina di rumah al-Arqam.

Nabi Muhammad saw. terus melakukan hal itu selama tiga tahun sampai Allah Swt. memerintahkan beliau untuk melakukan tahap selanjutnya. Inilah yang harus kita jadikan teladan sebagai bagian dari metode penegakan Islam.

Dengan demikian, aktivitas pokok dalam tahap pertama ini adalah :

1. Mengajak orang-orang masuk Islam melalui diskusi, bukan melalui kekerasan.
2. Membina orang-orang yang masuk Islam dengan pemahaman yang kuat akan Islam dan keimanan yang kokoh dalam rangka mengemban tanggung jawab dakwah.

Oleh karena itu, berdasarkan hukum syara’, partai politik Islam wajib menyerukan pemikiran-pemikiran Islam, menyebarluaskan konsep-konsep Islam, dan membongkar pemikiran-pemikiran yang rusak.

Selain itu, partai tersebut juga harus membangun tubuh partai dan anggotanya agar mereka mampu memikul tanggung jawab mengemban dakwah Islam dengan disertai rasa iman yang kokoh terhadap Allah, agama-Nya, dan kemenangan yang dijanjikan-Nya. Partai tersebut harus mengubah kepribadian orang-orang muslim yang hendak mengemban tanggung jawab dakwah Islam itu secara radikal agar sesuai dengan kepribadian Islami. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad saw. bersabda:


Tidak sempurna keimanan salah seorang di antara kalian sebelum hawa nafsunya tunduk pada apa yang aku bawa (Islam). (diriwayatkan oleh al-Isfahani dalam Kitab al-Hujjah dan disahihkan oleh Imam al-Nawawi dalam Arba’in)

TAHAP KEDUA BERINTERAKSI DENGAN UMAT

Imam Abu Ja’far ath-Thabari mengatakan, “Setelah tiga tahun masa kenabian, Allah memerintahkan Rasulullah saw. untuk pergi dan menyampaikan risalah secara terbuka ke tengah-tengah masyarakat dan mengajak mereka masuk Islam. Allah Swt. berfirman kepada Muhammad saw,

فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ

Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan apa yang telah diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik. (TQS. al-Hijr [15]: 94) (Tarikh ath-Thabari, Jilid 6, par. 1170).


Pada tahap ini Nabi saw. berinteraksi dengan masyarakat. Beliau mengemban Islam kepada masyarakat agar diterapkan melalui kekuasaan. Nabi saw. menentang kekuasaan Quraisy. Beliau menentang kesalahan-kesalahan mereka dalam mengatur urusan kemasyarakatan, yaitu interaksi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Beliau juga mengekspos praktik-praktik yang rusak dalam kehidupan mereka. Tak heran kalau kemudian Nabi saw. bersama para sahabat kerapkali mendapat tuduhan, diboikot, dan menerima siksaan dalam segala bentuknya. Nabi Muhammad saw. menolak setiap ajakan kompromi dari Quraisy dan para pemimpinnya. Beliau mengemban Islam sebagai satu-satunya kepemimpinan bagi masyarakat Arab dan umat manusia seluruhnya.

Dari sini kita dapat melihat bahwa dakwah sejatinya dilakukan dengan cara pertarungan pemikiran dan perjuangan politik dalam rangka mengubah segala aspek dari sistem yang ada untuk menegakkan agama Allah, serta mencabut sistem kufur dari akarnya dan menggantinya dengan sistem Islam. Semua itu diriwayatkan di dalam Sunnah dan sirah Rasulullah saw. mengenai turunnya wahyu ayat-ayat al-Quran, peristiwa-peristiwa di seputar turunnya wahyu, dan cara Nabi saw. menyampaikan wahyu itu kepada masyarakat.

Menyerang Bentuk Interaksi dan Praktik Sosial Masyarakat

Dalam berbagai ayat al-Quran, Allah Swt. menegur sejumlah interaksi dan praktik sosial kemasyarakatan. Contohnya ayat al-Quran berikut:


وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ

Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup itu ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh. (TQS. al-Takwir [81]: 8-9)

Di dalam sirah dikatakan bahwa ayat ini memiliki dampak yang sangat luas. Masyarakat Arab ketika itu terbiasa mengubur anak perempuan yang baru lahir, meskipun mereka sendiri tidak bisa membenarkan tradisi itu. Diriwayatkan bahwa Sumayah r.a., ibunda dari Ammar r.a., masuk Islam setelah turunnya ayat itu. Rupanya ayat itu membuat Sumayah berpikir tentang kebiasaannya yang rusak itu dan juga berpikir tentang agama baru yang dibawa Muhammad saw.

Nabi saw., melalui ayat al-Quran, juga menyerang praktik-praktik curang yang terjadi di pasar. Para pemimpin Quraisy terbiasa dengan praktik kotor itu terutama ketika musim haji tiba. Allah Swt. berfirman:

وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ

Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (TQS. al-Muthaffifin [83]: 1)

Ath-Thabari mengutip Ibnu Ishaq melalui Ibnu Humaid dari Salamah, “Rasulullah saw. menyerukan Islam kepada orang-orang secara terbuka dan terang-terangan… . Sejauh yang saya ketahui mereka tidak menerima ataupun menolaknya sampai beliau berbicara tentang tuhan-tuhan mereka dan beliau mencelanya. Ketika beliau melakukan hal itu, mereka semua mulai terpengaruh dan bersatu memusuhi beliau. Mereka tidak suka Nabi saw. menyerang kebiasaan dan tuhan-tuhan mereka. Lalu, mereka berupaya melobi Abu Thalib (paman Rasulullah yang melindungi beliau dari Quraisy) dengan mengatakan, ‘Abu Thalib, keponakanmu itu telah mencaci-maki tuhan-tuhan kita, mencela agama kita, mencemooh nilai-nilai tradisi kita, dan mengatakan bahwa nenek moyang kita dungu’. Dalam riwayat Ibnu Sad dikatakan, ‘Tidak ada satu pun kejahatan yang belum ia lakukan”.

Begitulah, dapat kita lihat bagaimana dakwah Rasulullah saw. menyerukan perubahan radikal dalam hal cara masyarakat menjalani kehidupannya, tata cara ibadah mereka, nilai-nilai sosial, dan praktik-praktik perdagangan mereka. Identitas dan gaya hidup mereka dihantam habis-habisan, agar mereka mau menggantinya dengan agama dan gaya hidup yang baru. Nabi saw. menyerang sistem kehidupan yang dijalankan oleh Quraisy. Nabi saw. melakukan semua itu seraya menawarkan sistem Islam sebagai penggantinya, yang dipimpin oleh beliau sendiri.

Perjuangan Politik

Segala apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. di atas dengan sendirinya melibatkan dirinya dalam pertentangan dengan para pemimpin politik Quraisy yang berusaha menentang agama yang dibawanya. Dengan keteguhan sikap Rasulullah saw. dalam perjuangannya melawan Quraisy dan mengekspos mereka sebagai orang-orang yang menentang kebenaran, perjuangan beliau memasuki episode perjuangan politik yang menghebohkan. Al-Quran sendiri menyebutkan setiap pemimpin Quraisy dengan sebutan-sebutan yang jelas dan tegas.

Al-Waqidi dalam Asbab an-Nuzul Qur’an (hlm. 502) meriwayatkan kisah Abu Sufyan bin Harb pada saat belum masuk Islam. Sebagai salah seorang pemuka Quraisy, Abu Sufyan sempat menjadi perwakilan Quraisy dalam sejumlah perjanjian termasuk dengan Rasulullah saw. di kemudian hari. Suatu ketika Abu Sufyan mengadakan pesta perjamuan makan dengan memotong dua ekor kambing. Seorang anak yatim datang ke rumahnya dan meminta makanan. Abu Sufyan sangat jengkel sampai-sampai ia menghardik dan memukul kepala anak itu dengan tongkat. Berkaitan dengan peristiwa inilah Allah Swt. menurunkan surat al-Ma’un:

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ وَلاَ يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ

Tahukah kamu ketahui siapakah orang yang mendustakan agama? Yaitu, orang yang menghardik anak yatim dan tidak memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang-orang yang shalat tapi lalai dalam shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan orang-orang yang enggan (menolong dengan) barang yang berguna. (TQS. al-Ma’un [107]: 1-7)

Ibnu Abbas mengatakan, “Nabi saw pergi ke al-Batha dan naik ke bukit lalu berteriak lantang, “Sahabat-sahabatku sekalian!”, sehingga orang-orang Quraisy berkumpul di sekitar beliau. Nabi saw. bertanya kepada mereka, “Percayakah kalian kalau kukatakan bahwa musuh akan menyerang kalian esok pagi atau petang?” Orang-orang yang berkumpul serempak menjawab, “Ya”. Lalu, Nabi saw. berkata, “Kalau begitu, akulah pemberi peringatan kepada kalian tentang azab yang pedih!”. Abu Lahab berkata, “Untuk inikah kau kumpulkan kami di sini? Binasalah kau”. Kemudian, Allah Swt. menurunkan:

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ

Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sungguh ia akan binasa. Harta benda dan apa yang diusahakannya tidak akan berfaedah apa-apa. Kelak ia akan masuk ke dalam api yang sangat membara. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar, yang di lehernya ada tali dari sabut. (TQS. al-Lahab [111]: 1-5)

Dampak langsung dari perjuangan itu adalah penyiksaan yang menimpa para sahabat. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Sumayah disiksa dan dibunuh. Namun, Nabi Muhammad saw. tidak menyerah dan berhenti, melainkan terus melakukan aktivitas dakwah dan berjuang menentang para pemuka Quraisy. Hal ini menjadi indikasi tentang wajibnya melakukan perjuangan politik.

Diriwayatkan bahwa tatkala Hamzah r.a. masuk Islam, ia pergi menemui Abu Jahal dan memperingatkannya untuk tidak mengganggu keponakannya, yaitu Nabi Muhammad saw., sambil mengatakan bahwa dirinya adalah salah seorang penganut agama baru yang dibawa keponakannya itu. Nabi saw. menyinggung peristiwa ini dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:

Pemimpin para syuhada ialah Hamzah dan setiap orang yang berdiri di hadapan penguasa yang lalim, lalu menasihatinya dengan kebenaran dan melarangnya melakukan kemungkaran, lantas penguasa itu membunuhnya. (Disahihkan oleh Ibnu Hajar al-Hathami dalam Majmuu’ al-Zaaid)

Dalam hadis di atas kita simak bagaimana Nabi saw. menggambarkan setiap Muslim yang gugur dalam perjuangannya menentang penguasa tiran, juga para sahabat yang dibunuh oleh para tiran karena aktivitas dakwah yang mereka lakukan, bukan saja sebagai syuhada, melainkan seperti pemimpin para syuhada. Perkara ini mencerminkan dua hal. Pertama, perjuangan menentang penguasa tiran harus dilakukan dengan berani, terbuka, dan terus terang, seraya tetap berdiri di atas kebenaran. Kedua, seorang Muslim harus siap mati dalam melakukan aktivitas seperti ini; aktivitas yang merupakan bagian dari kewajiban dalam rangka dakwah melangsungkan kehidupan Islam.

Upaya Quraisy Berkompromi dengan Rasulullah saw.

Banyak cara yang dilakukan oleh Quraisy untuk melakukan kompromi dengan Nabi saw., di antaranya dengan melobi Abu Thalib, paman Nabi saw. Akan tetapi, Nabi saw. senantiasa menolak ajakan kompromi itu sambil menegaskan kesiapannya untuk mati demi dakwah. Quraisy pernah coba menawari beliau tahta, harta, dan wanita. Mereka siap berbagi kekuasaan dengan beliau saw. Mereka berjanji akan selalu berkonsultasi dengan Nabi Muhammad saw. dalam segala urusan. Rasulullah saw. tak bergeming dengan semua tawaran itu. Beliau dengan tegas menyatakan:

Demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku berhenti dari perkara ini, niscaya aku tidak akan berhenti darinya hingga Allah memenangkan perkara ini atau aku mati karenanya. (ath-Thabari dalam Tarikh ath-Thabari, Jilid 6, par. 1179)

Dari penjelasan tersebut, tampak sekali bahwa Nabi Muhammad saw. tidak pernah melakukan kompromi. Beliau tetap berjuang agar Islam menang tanpa harus berbagi dengan kekufuran. Malah, beliau rela gugur demi perjuangannya tersebut. Nabi saw. berjuang demi perubahan politik secara radikal yang meliputi keseluruhan sistem, bukan hanya sebagian dari sistem. Beliau memperjuangkan perubahan sistem secara total dan menyeluruh, mulai dari akar hingga ke buahnya. Rasulullah saw. berupaya untuk menegakkan Islam dalam bentuk negara yang kelak akan mengemban Islam ke seluruh penjuru alam. Dengan demikian, kewajiban dalam tahap kedua ini adalah pertarungan pemikiran dan perjuangan politik melawan Quraisy dengan cara mengungkap kebobrokan sistem kufur sambil menjelaskan sistem Islam secara gamblang. Itulah yang senantiasa dilakukan Rasulullah saw., dengan mengabaikan segala bentuk penyiksaan, penderitaan, dan penawaran untuk berkompromi.

Nabi Muhammad saw. lebih memilih mati daripada mengompromikan setiap unsur dakwahnya dan menyia-nyiakan kerja kerasnya di jalan dakwah. Semua itu menjadi indikasi yang jelas tentang wajibnya melakukan pertarungan pemikiran dan perjuangan politik.


Meraih Dukungan (Thalab an-Nushrah)

وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلاَ مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللهِ وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِينَ

Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) para rasul sebelum kamu, namun mereka bersabar terhadap pendustaan dan penganiayaan terhadap mereka hingga datanglah pertolongan kami kepada mereka. Tidak ada seorang pun yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat (janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebagian berita para rasul itu. (TQS. al-An’am [6]: 34)

Ibnu Katsir meriwayatkan dari Ali karamallahu wajhah, “Tatkala Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk mendakwahi suku-suku Arab, beliau pergi ke Mina yang merupakan tempat suku-suku Arab berkumpul, dengan ditemani olehku dan Abu Bakar” (Bidayah wan Nihayah, Jilid 3).

Nabi Muhammad saw. mulai melakukan pendekatan terhadap sejumlah suku dan pemimpin suku dalam rangka mencari nushrah, yaitu dukungan fisik ataupun dukungan untuk menerapkan kekuasaan Nabi saw., yang berarti menegakkan kekuasaan Islam. Beliau pergi mencari dukungan militer dari orang-orang yang dianggap mampu menjaga kekuasaannya dan melindungi kaum Muslim. Suatu kekuasaan yang dapat menjamin diterapkannya syariat Islam dan mengemban Islam ke seluruh penjuru alam dengan dakwah dan jihad.

Imam Tirmidzi dalam al-Jami’u meriwayatkan bahwa selama festival Ukaz, Nabi Muhammad saw. senantiasa mengabarkan tentang kenikmatan surga dan menjanjikan kemenangan bagi siapa saja yang meyakini dan mengemban Islam. Secara blak-blakan beliau mengatakan bahwa mereka akan sejahtera, memimpin seluruh Jazirah Arab, dan menaklukkan Persia jika mereka memegang tauhid dan menerima kekuasaan Nabi Muhammad saw.

Ibnu Ishaq dari az-Zuhri r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. pergi ke Bani Amir bin Sha’sha’ah. Beliau mengajak mereka kepada Allah dan menawarkan dirinya kepada mereka: “Dukunglah dan lindungilah aku” (Ibnu Hisyam). Salah seorang dari mereka yang bernama Baihara bin Firas berkata, “Demi Allah, jika aku dapat mengambil anak muda ini dari Quraisy, maka aku dapat menaklukkan seluruh Arab bersamanya.” Lalu, ia pun bertanya kepada Nabi saw., “Jika kami mengikutimu dan Allah memberimu kemenangan, apakah kami dapat memiliki kekuasaan setelahmu?”

Kekuasaan berada di tangan Allah, yang Dia berikan kepada yang dikehendaki-Nya,” ujar Nabi saw. Mendengar itu Baihara lantas berkata, “Kami harus menyerahkan leher kami kepada orang-orang Arab demi melindungimu, lalu ketika kau meraih kemenangan, kekuasaan tidak ada pada kami? Kalau begitu, kami tidak perlu agamamu!” Kabar tersebut sampai ke salah seorang pemuka Bani Amir yang tidak dapat melaksanakan haji, sehingga otomatis tidak ikut pertemuan dengan Nabi saw. Ia berkata, “Bani Amir, adakah cara untuk memperbaiki hal ini? Adakah cara agar kita dapat memperoleh kembali kesempatan yang hilang itu? Demi Dia yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada satu pun keturunan Isma’il yang pernah berbohong. Inilah kebenaran yang dijanjikan! Apa yang terjadi sehingga kalian salah menilai dia?” (Juga diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam dan Imam Ath-Thabari dalam kitab Tarikh, Jilid 6, dan juga Ibnu Katsir dalam Bidayah wan Nihayah, Jilid 3, hlm. 139).

Nabi Muhammad saw. juga berdialog dengan Bani Syaiban bin Tsa’labah. Mereka menyatakan siap mendukung beliau melawan orang-orang Arab, tetapi tidak melawan Persia. Lagi-lagi Rasulullah saw. menolak dukungan bersyarat tersebut karena yang beliau cari adalah dukungan tanpa syarat untuk melawan seluruh dunia, sebuah perkara yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw. memiliki visi ke depan untuk menyebarkan Islam dan menaklukkan perkara selain Islam, segera setelah Islam tegak.

Ibnu Katsir dalam Bidayah wan Nihayah juga meriwayatkan dari Abdullah bin Ka’ab bin Malik bahwa Rasulullah saw. pergi ke sebuah kelompok Bani Kalb yang dipimpin Malih. Nabi saw. mengajak mereka kepada Allah Swt. dan meminta perlindungan, akan tetapi mereka menolak (Bidayah wan Nihayah, Jilid 3, hlm. 139).

Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Ali r.a. berkata kepadanya: “Ketika Allah, Yang Maha Tinggi, Maha Suci, meminta Rasul-Nya untuk berdakwah di antara suku-suku Arab, beliau segera pergi ke Mina bersama Abu Bakar r.a. Kami menuju salah satu majelis suku-suku Arab. Sayidina Abu Bakar tampil ke depan dan mengucapkan salam kepada mereka. Abu Bakar selalu tampil ke depan dalam acara seperti itu karena beliau memang ahli dalam urusan silsilah orang Arab.

Abu Bakar bertanya: “Dari suku manakah kalian berasal?”

“Rabiah,” jawab mereka.

“Rabiah yang mana?” kembali Abu Bakar bertanya.

Kemudian, diriwayatkan sebuah hadis yang panjang yang di dalamnya Sayidina Ali berkata, “Lalu, kami pergi ke sebuah majelis suatu suku yang sangat terhormat dan sepi. Sejumlah laki-laki terhormat dan berwibawa duduk di sana. Abu Bakar tampil ke depan dan mengucapkan salam.” Ali melanjutkan, “Beliau selalu tampil ke muka dalam kesempatan seperti itu. Abu Bakar pun bertanya kepada mereka, ‘Dari suku mana kalian berasal?’ Mereka menjawab, ‘Kami dari Bani Syaiban Tsa’labah.’ Lalu, Abu Bakar mengatakan kepada Rasulullah saw., ‘Demi Ayah dan Ibuku, tidak ada seorang pun di suku itu yang lebih terhormat dibandingkan mereka.’ Maruq bin Amr, Hani bin Qabisah, Mathanna bin Haritsa, dan Nu’man bin Syarik juga ada di antara mereka. Mafruq bin Amr adalah relasi dekat Abu Bakar. Dia adalah orang yang paling pandai di antara mereka. Dua ikat rambutnya menjuntai hingga dadanya. Di majelis itu dialah yang duduk paling dekat dengan Abu Bakar.

Abu Bakar lantas bertanya kepada mereka, “Berapa jumlah kalian?”

“Jumlah kami seribu orang, dan seribu orang bukanlah jumlah yang kecil,” jawab Mafruq.

“Bagaimana dengan pertahanan kalian?” tanya Abu Bakar.

“Kami selalu berjuang (dan mempertahankan diri), karena setiap bangsa harus senantiasa berjuang,” ujar Mafruq.

Abu Bakar pun bertanya, “Bagaimana hasil peperangan antara kalian dan musuh-musuh kalian?”

Mafruq menjawab, “Saat kami berperang, kami mengamuk dan pertempuran berlangsung sangat dahsyat. Kami lebih mementingkan kuda-kuda yang digunakan dalam pertempuran daripada anak-anak. Selain itu, kami lebih peduli senjata daripada susu hewan. Adapun kemenangan datangnya dari Allah. Kadang kami menang, kadang mereka yang menang. Tampaknya kalian berasal dari Quraisy.”

“Aku pikir kalian telah mendapat informasi tentang Rasulullah saw. Itu dia orangnya”. ujar Abu Bakar sambil melihat Nabi saw.

“Kami memang telah menerima kabar itu,” timpal Mafruq. Lalu, ia berpaling kepada Rasulullah saw. dan bertanya, “Wahai Saudaraku dari Quraisy, apakah yang hendak kau tawarkan?”

Rasulullah saw. tampil ke muka dan duduk, sedangkan Abu Bakar tetap berdiri di belakang beliau sambil memegang kain. Rasulullah saw. berkata, “Aku mengajakmu untuk bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah, aku adalah Rasulullah, serta mengajak kalian untuk menjaga dan melindungi aku; juga membantuku hingga aku menunaikan tugas yang Allah bebankan kepadaku. Quraisy telah terang-terangan melanggar perintah Allah Swt., menolak utusan-Nya, serta merasa puas dengan kebatilan dan menolak kebenaran. Juga Allah adalah Esa, yang kepada-Nya bergantung segala sesuatu, Yang Patut Disembah.”

“Apa tadi yang kau katakan, wahai Saudaraku dari Quraisy?” tanya Mafruq.

Lalu, Rasulullah membacakan ayat berikut:

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ مِنْ إِمْلاَقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلاَ تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ وَلاَ تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لاَ نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan oleh Tuhanmu kepadamu, yaitu janganlah kamu menyekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah kepada ibu bapak, janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka. Janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali atas dasar alasan yang benar. Demikianlah yang diperintahkan oleh Tuhanmu supaya kamu memahaminya. Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat hingga ia dewasa. Sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang, kecuali menurut kadar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan oleh Allah kepadamu agar kamu ingat. Dan sesungguhnya (yang Kami perintahkan) ini adalaha jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia; dan janganlah kamu ikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan lain itu mencerai-beraikanmu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan oleh Allah kepadamu agar kamu bertakwa. (TQS. al-An’am [6]: 151-153)

Mafruq masih penasaran, “Beritahu aku sesuatu tentang ibadahmu, wahai saudaraku dari Quraisy! Demi Allah, ucapan tadi bukanlah berasal dari penduduk bumi. Karena jika berasal dari manusia, tentu kami akan mengenalinya.”

Rasulullah saw. lantas membacakan ayat berikut:

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berbuat adil, berbuat kebajikan, dan memberi kepada kaum kerabat; dan Allah melarang berbuat keji, mungkar, dan permusuhan. Dia memberi peringatan kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (TQS. al-Nahl [16]: 90)

Mendengar itu Mafruq berkata, “Wahai orang Quraisy! Demi Allah, engkau telah mengajak kami kepada sesuatu yang luhur dan perbuatan yang baik. Bangsamu itu telah secara sengaja menolak kebenaran, menolakmu, dan memerangimu.” Setelah itu, Mafruq berbicara seolah-olah dia ingin Hani bin Qabisah untuk ambil bagian dalam diskusi itu dengan mengatakan, “Dia adalah Hani bin Qabisah, pemimpin kami. Dialah pemimpin spiritual kami.”

Mendengar itu Hani berkata, “Wahai Saudaraku dari Quraisy! Aku dengar ucapanmu dan aku membenarkannya. Keputusan kami mungkin kurang baik jika kami memutuskan untuk menyerahkan agama kami dan mengikutimu di pertemuan pertama ini. Engkau tahu bahwa kita tidak pernah bertemu sebelum ini, ataupun berharap bertemu lagi di masa yang akan datang. Karena itu, berilah kami kesempatan untuk mempertimbangkan misimu, daripada kami memberikan keputusan yang keliru. Biarkan kami pertimbangkan dengan serius masalah ini karena ketergesa-gesaan bisa menimbulkan kesalahan. Kami punya sebuah bangsa di belakang kami. Tidak layak bagi kami memutuskan perkara ini tanpa meminta pertimbangan mereka. Engkau kembalilah sekarang, pikirkan lagi, dan biarkan kami mempertimbangkan hal ini.”

Tampaknya Qabisah juga ingin mengajak Mutsanna bin Haritsah untuk berpartisipasi dalam diskusi itu. Qabisah memperkenalkan Mutsanna, “Dia adalah Mutsanna, pemimpin dan komandan kami di medan tempur.”

Mutsanna menimpali, “Wahai Saudaraku dari Quraisy! Aku pun mendengar ucapanmu. Aku mengagumi ucapanmu itu. Aku pun terkesima dengan ajaranmu. Jawaban dari pihakku sama dengan jawaban yang diberikan Hani bin Qabisah. Kami tinggal di sebuah tempat yang dikelilingi oleh dua lembah di kedua sisinya, satunya Yamamah dan satunya lagi adalah Samawah.”

Rasulullah saw bertanya, “Apa yang engkau maksud dengan dua lembah itu?”

Mutsanna menjawab panjang lebar, “Yang satu adalah padang pasir Arab dan perbukitan yang tandus, sedangkan yang satunya lagi adalah wilayah Persia dengan sungai milik Kisra. Kami memiliki perjanjian dengan Kisra, Raja Persia, sehingga kami dapat tinggal di sana. Berdasarkan perjanjian itu kami tidak berhak membuat gerakan baru atau memberikan dukungan terhadap orang yang menggagas gerakan baru. Sangat mungkin misimu itu tidak disukai oleh Kisra. Di Arab, seorang pengkhianat bisa diampuni dan alasannya diterima, tapi tidak demikian halnya dengan di Persia. Di sana pelanggar tidak akan diampuni dan alasannya tidak akan diterima. Jika engkau membutuhkan bantuan dan perlindungan kami di Arab, kami siap untuk itu.”

Rasulullah saw. berkata, “Aku pikir kalian tidak akan mengajukan syarat-syarat, seandainya ucapan kalian benar. Hanya orang yang menolong agama Allahlah yang akan dilindungi dari segala sesuatu.” Setelah itu, Rasulullah saw. meraih tangan Abu Bakar r.a. dan mengajaknya pergi dari sana. (Dikisahkan oleh Abu Na’im dalam Dala’il al-Nubuwah, hlm. 96. Diceritakan juga oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah, Jilid 3 hlm. 142; diriwayatkan oleh Abu Na’im; dalam Shahih Imam al-Hakim, dan juga Sunan Baihaqi. Riwayat di sini berasal dari Abu Na’im).

Diriwayatkan bagaimana Nabi saw. tetap berjuang dan pergi menemui lebih dari 40 suku dalam rangka mencari nushrah, sampai beliau berhasil mendapatkannya dari orang-orang Madinah. Kontinuitas, kekonsistenan, dan keteguhan sikap Rasulullah saw. untuk tidak menerima syarat-syarat yang diajukan oleh Bani Amr dan Bani Syaiban, meskipun hal itu berkaitan dengan kewajiban menegakkan kekuasaan Islam yang telah beliau nyatakan sebagai masalah hidup dan mati, menunjukkan hukum syariat tentang thalab an-nushrah. Hal ini juga mengindikasikan thalab an-nushrah sebagai bagian tak terpisahkan dari metode penegakan Negara Islam.

Dukungan dari Madinah

Suku Aus dan Khazraj, dua suku yang berkuasa di Madinah, akhirnya memberikan dukungannya kepada Nabi saw. sehingga mereka dikenal sebagai kaum Anshar (penolong). Ibnu Hisyam meriwayatkan bahwa Nabi saw. bertemu dengan pemimpin Aus dan Khazraj di bukit Aqabah sebelum musim haji dan mengambil baiat dari mereka. Baiat itu dikenal sebagai bai’atul harb (janji perang). Menurut Ath-Thabari (Jilid 6 par. 1220), sebelum memberikan baiat, Abbas berbicara kepada orang-orang Aus dan Khazraj itu terlebih dahulu. Al-Barra’ dari kalangan Anshar menceritakan bahwa Abbas mengatakan kepada orang-orang Anshar, “Wahai orang-orang Khazraj (menurut tradisi Arab yang dimaksud adalah Aus dan Khazraj), sebagaimana yang kalian ketahui sesungguhnya Muhammad berasal dari golongan kami. Kami telah menjaganya dari ancaman kaum kami, dan dari orang yang memiliki kedudukan yang sama. Dia dimuliakan kaumnya dan disegani di negerinya. Akan tetapi, hal itu ditolaknya untuk pergi mendatangi kalian dan bergabung dengan kalian. Jika kalian beranggapan dapat memenuhi janji yang kalian ucapkan dan melindungi dirinya dari orang-orang yang memusuhinya, maka kalian dan apa yang akan kalian bawa menjadi tanggung jawab kalian terhadap semua itu. Jika kalian malah akan menyerahkan dan menelantarkannya setelah dia keluar dari kota ini menuju kalian, maka lebih baik sekarang juga kalian tinggalkan dia, karena dia dihormati kaumnya dan aman di negerinya.”

Mendengar pernyataan Abbas, rombongan dari Madinah berkata, “Kami mendengar apa yang engkau katakan.” Lalu, mereka berpaling kepada Rasulullah saw. “Bicaralah, wahai Rasulullah, lalu ambillah apa yang engkau sukai untuk dirimu dan Tuhanmu,” lanjut mereka.

Setelah membacakan al-Quran yang memberikan semangat Islam kepada kami, demikian tutur al-Barra’, Rasulullah saw. berkata, “Aku memercayai kalian untuk melindungiku seperti kalian melindungi istri-istri dan anak-anak kalian.”

Lalu, al-Barra’ meraih tangan beliau seraya berkata, “Kami membaiatmu, wahai Rasulullah. Demi Allah, kami adalah generasi kesatria dan penduduk dari suatu daerah yang kerap berperang. Kami mewarisi sifat-sifat kepahlawanan dan kami berasal dari keturunan para pahlawan.”

Namun, belum selesai ia mengucapkan perkataannya, al-Barra’ disela oleh Abu al-Haitsam bin at-Tiihan dengan mengatakan, “Ya Rasulullah, antara kami dan orang-orang Yahudi ada ikatan perjanjian. Kami berniat memutuskannya. Jika kami melakukan hal itu, kemudian Allah memenangkanmu, apakah engkau akan kembali kepada kaummu dan meninggalkan kami?”

Rasulullah saw. menatap mereka sejenak lalu berkata, “Aku akan memerangi orang-orang yang kalian perangi dan berdamai dengan orang yang kalian berdamai dengannya. Darahku adalah darah kalian dan perjanjianku adalah perjanjian kalian.” (Ibnu Hisyam).

Ath-Thabari menyebutkan bahwa Rasulullah saw. berkata, “Ajukan kepadaku dua belas orang pemimpin di antara kalian.” Lalu, setelah peristiwa pembaiatan itu berlangsung, kaum Quraisy bertanya kepada suku Aus dan Khazraj tentang kebenaran kabar proses pembaiatan itu. Orang-orang musyrik dari suku Aus dan Khazraj yang tidak hadir di Aqabah mengatakan bahwa mereka tidak tahu-menahu tentang perjanjian itu. Bahkan, mereka mengatakan bahwa Nabi saw. hijrah ke Madinah secara diam-diam.

Tujuan Nabi saw. meminta nushrah itu adalah untuk menegakkan Negara Islam di Madinah dengan cara meraih kekuasaan dari orang-orang yang memberikan dukungan (ahl an-nushrah). Rasulullah saw. mendirikan negara di Madinah setelah beliau menyadari bahwa dukungan yang beliau dapatkan di Makkah tidak cukup untuk sampai mendirikan negara di sana. Kriteria ahl an-nushrah itu adalah mereka secara riil harus memiliki kekuasaan, yang tidak hanya untuk mendirikan negara di negeri mereka, tetapi juga untuk mempertahankannya dari serangan musuh. Itulah sebabnya Rasulullah saw. tidak melakukan pendekatan terhadap Bani Ghifar meskipun mereka telah nyata-nyata masuk Islam melalui dakwah yang dilakukan oleh Abu Dzar al-Ghifari r.a. Itu pula sebabnya kenapa Nabi saw menolak dukungan Bani Syaiban yang tidak dapat memberikan jaminan pertahanan dari ancaman Persia.

Ketika Rasulullah saw. berhijrah ke Madinah, para ahl an-nushrah (orang-orang Aus dan Khazraj) menemui beliau dengan mengenakan pakaian dari kulit macan dan membawa pedang sebagai seragam dan perlengkapan perang mereka, untuk menegakkan hukum yang dibawa Nabi saw dan memerangi setiap penentangnya. Orang-orang Yahudi di Madinah menyadari bahwa hal itu sudah direncanakan sebelumnya. Nabi saw. mengambil kekuasaan tanpa memberikan kesempatan kepada musuh untuk membuat persiapan melawan beliau. Rupanya beliau telah menyusun suatu pengambilalihan kekuasaan. Menurut Ibnu Hisyam, Abdullah bin Ubay bin Salul yang sebelum peristiwa Baiat Aqabah itu adalah seorang Penguasa Yatsrib (Madinah), pergi ke Quraisy dan mengatakan bahwa orang-orang Madinah belum pernah membuat suatu keputusan tanpa berkonsultasi dulu dengannya. Bahkan, pengambilalihan kekuasaan itu telah membuat Nabi saw. dapat leluasa memasuki Madinah sebagai pemimpin baru di sana.

Dengan demikian, dalam konteks perjuangan partai politik, langkah-langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut.

1. Terus-menerus menyerukan Islam kepada masyarakat melalui pertarungan pemikiran, bukan dengan jalan kekerasan fisik.
2. Terus membina orang-orang yang menerima dakwah dengan pemahaman Islam yang kuat dan iman yang kokoh agar siap mengemban tanggung jawab dakwah.
3. Terus melakukan pertarungan pemikiran dan perjuangan politik. Hal ini direalisasikan dengan cara mengadopsi kemaslahatan-kemaslahatan masyarakat dan mengekspos kerusakan-kerusakan sistem yang ada, serta menjelaskan keunggulan sistem Islam. Juga, dengan mengungkapkan kebobrokan para penguasa dan kelalaian mereka dalam mengurusi kemaslahatan masyarakat. Dalam konteks kekinian, hal ini berarti mengungkapkan makar-makar kolonialis.
4. Mencari dukungan dari orang-orang yang memiliki kekuasaan dan yang memiliki kemampuan militer dalam rangka mengubah sistem yang ada, lalu menegakkan, mengamankan, dan memelihara sistem Islam,. Dukungan ini harus datang dari mereka yang masuk Islam dan tanpa syarat.

Bagian terakhir ini normalnya dilakukan oleh partai politik tersebut dengan mencari akses ke militer dalam rangka meraih kekuasaan. Hal ini dapat dilakukan setelah melakukan pengopinian kepada masyarakat tentang penerapan syariat Islam melalui pertarungan pemikiran dan perjuangan politiik, sehingga masyarakat melihatnya sebagai tujuan politis mereka dan jalan untuk menyelamatkan masyarakat. Setelah itu, kekuatan militer akan dapat menjaga kekuasaan Islam. Karena itu, pengambilalihan kekuasaan merupakan hasil perubahan politik yang dilakukan partai politik Islam tersebut di tengah-tengah masyarakat dan menjadi dukungan riil untuk mengemban Islam ke seluruh dunia melalui dakwah dan jihad.

Beberapa Perbedaan Penting

Akan tetapi, ada perbedaan yang nyata antara metode yang ditempuh Rasulullah saw. dan situasi umat terkini, dan perbedaan tersebut harus dipahami secara jelas.

1. Perbedaan yang paling penting adalah bahwa kaum Muslim saat ini tidak dibimbing oleh Allah Swt. secara langsung sebagaimana yang Nabi saw. dulu alami. Karena itu, yang menjadi titik awal (nuqthah al-ibtida’) dakwah adalah saat partai memulai dakwah di dunia Islam mana pun, dan yang sekaligus menjadi awal dari tahap pembinaan. Nabi saw. juga mendapat arahan dari Allah Swt. tentang kapan harus masuk ke tahap berinteraksi dengan masyarakat, sedangkan kaum Muslim saat ini tidak mendapat arahan seperti itu. Berdasarkan kaidah syara’ jika suatu kewajiban tidak bisa sempurna tanpa sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib, kaum Muslim saat ini harus berupaya memasuki tahap berinteraksi dengan masyarakat pada saat partai politik itu telah siap melakukannya. Jika partai tidak berhasil masuk ke tahap ini, misalnya karena anggota partai mengabaikan partainya atau dibunuh sehingga tidak dapat berinteraksi, maka partai tersebut harus kembali ke tahap pembinaan. Titik kritis ini adalah titik di mana partai berusaha untuk terjun langsung ke masyarakat. Jika berhasil, maka partai akan sukses masuk ke masyarakat dan masuk ke tahap berinteraksi dengan masyarakat. Inilah yang disebut dengan titik tolak (nuqthah al-inthilaq).

2. Saat ini, dakwah kaum Muslim berhadapan dengan konsep-konsep dan pemikiran-pemikiran kufur yang berbeda dengan yang Nabi saw. hadapi dulu, meskipun cara menghadapinya sama saja, yaitu dengan pertarungan pemikiran dan perjuangan politik. Rasulullah saw saat itu menghadapi berhala berupa Latta dan Uzza. Sementara itu, kita sekarang menghadapi berhala berwujud demokrasi dan kerajaan manusia melawan Allah Swt. Rasulullah saw. berhadapan dengan konsep pembunuhan bayi, sedang kita sekarang berhadapan dengan konsep feminisme, hak-hak asasi manusia dan kebebasan, yang semua itu adalah konsep-konsep sekuler. Nabi saw. berhadapan dengan agama orang-orang musyrik, Yahudi, dan Nasrani, kini kita berhadapan dengan Kapitalisme dan Sosialisme. Dulu kala Rasulullah saw. berhadapan dengan suku Quraisy dan para pemimpinnya. Sekarang, yang kita hadapi adalah kolonialis dan kaki-tangannya di dunia Islam.

3. Perbedaan lain berkaitan dengan masalah kekuasaan. Pada masa Rasulullah saw., kekuasaan berada di tangan suku yang berkuasa dan para pemimpinnya. Kini, kebanyakan kekuasaan berada di tangan militer di negeri-negeri muslim. Ini mempengaruhi aktivitas thalab an-nushrah; kepada siapa kita harus meminta dukungan. Kelak setelah mencapai titik ini, yang dikenal dengan istilah nuqthah al-irtikaz, partai politik tersebut akan memasuki tahap akhir, yaitu meraih kekuasaan dan menerapkan Islam, serta mengembannya ke seluruh dunia melalui dakwah dan jihad.

Inilah perbedaan-perbedaan yang memengaruhi dakwah kontemporer. Meskipun ada perbedaan-perbedaan sebagaimana disebut di atas, metodenya tetap sama dan memang hanya itulah metode yang Islam tetapkan untuk menegakkan Islam.

Jadi, partai politik Islam harus menjalani proses menegakkan Islam itu dengan mengikuti jejak langkah Rasulullah saw. dengan tanpa melenceng barang sehelai rambut pun. Jika melenceng sedikit saja, maka hal itu berarti penyimpangan terhadap metode syariat yang telah ditetapkan melalui ijtihad yang benar. Inilah Sunnah Rasulullah saw. dan tidak ada bedanya dengan hukum shalat atau kewajiban lain yang telah Allah Swt. perintahkan dan Rasulullah saw. jelaskan bagi kita.

Inilah satu-satunya jalan untuk membangkitkan umat. Satu-satunya cara untuk mengembalikan Islam ke dalam kancah kehidupan, karena hanya negara Khilafahlah yang dapat menjaga eksistensi Islam. Inilah metode yang telah Islam gariskan.


TAHAP KETIGA MERAIH KEKUASAAN

Setelah memperoleh dukungan, Nabi saw. menegakkan Islam di Madinah. Beliau segera menyusun sebuah undang-undang dasar bagi masyarakat Madinah yang mengandung perincian peraturan interaksi dan bagaimana urusan-urusan kaum muslim akan diselesaikan di antara mereka sendiri, dan antara kaum muslim dan orang-orang kafir. Dokumen tersebut dikenal juga dengan Piagam Madinah.

Berikut adalah sebagian dari isi Piagam tersebut untuk memberikan gambaran yang jelas perihal dokumen tersebut dan mengetahui bagaimana masyarakat Madinah saat itu diatur.

Dengan menyebut nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang. Ini adalah perjanjian dari Muhammad saw., utusan Allah, yang mengatur hubungan antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka.

1. Mereka adalah satu umat yang berbeda dengan umat-umat yang lain.
2. Orang-orang Muhajirin dari Quraisy tetap dalam tradisi mereka yang dilegalkan Islam. Mereka membayar diyat (ganti rugi pembunuhan atau pencederaan) kepada sebagian yang lain, serta menebus tawanan mereka dengan cara yang baik dan adil. Setiap suku dari kalangan Anshar tetap seperti keadaan mereka semula.
3. Kaum mukmin tidak boleh menelantarkan orang yang memiliki banyak utang dan tanggungan yang banyak.
4. Sesungguhnya perdamaian kaum mukmin itu satu. Orang mukmin tidak boleh berdamai dengan selain orang mukmin dalam perang di jalan Allah, kecuali atas dasar persamaan dan keadilan di antara mereka.
5. Sesungguhnya orang mukmin yang beriman kepada isi perjanjian ini, beriman kepada Allah dan beriman kepada Hari Akhir, haram membela pelaku bid’ah dan melindunginya.
6. Jika kalian berselisih dalam suatu persoalan, kembalikan kepada Allah Swt. dan Muhammad saw.
7. Siapa yang membunuh orang mukmin secara sengaja tanpa alasan yang dapat dibenarkan, maka ia dibunuh.
Ini semua dikutip dari Ibnu Hisyam (Jilid 1, hlm 502/3).

Dengan demikian, tahap akhir dari perjuangan partai politik ialah memastikan bahwa Islam diterapkan secara keseluruhan, tanpa gradualisme ataupun parsialisme. Penerapan syariat Islam harus dilakukan secara komprehensif. Selain itu, kekuasaan dan keamanan dalam dan luar negeri harus berada di tangan kaum muslim.

Menerapkan Islam dan Mengemban Dakwah

Partai politik Islam harus memiliki pemahaman yang jernih tentang sistem Islam dan juga bagaimana cara negara mengemban dakwah. Bahkan, partai politik Islam itu harus mengadopsi sejumlah permasalahan, seperti bagaimana sistem pemerintahan, struktur dan fungsinya, bagaimana pemerintahan menerapkan hukum syara’, pemahaman yang terperinci akan sistem peradilan, dan bagaimana penguasa menjalankan fungsi-fungsi pokoknya. Di samping itu, parpol tersebut memahami sistem dan prinsip-prinsip ekonomi serta anggaran negara, cara-cara mengatur masalah ekonomi, sumber daya alam, sistem perpajakan, serta hubungan negara dan perusahaan-perusahaan swasta, termasuk status kepemilikan negara dan keuangan negara. Semua itu dimaksudkan agar dapat dibuat kebijakan ekonomi yang efektif sesuai dengan syariat dan agar penggunaan anggaran benar-benar disusun berdasarkan keperluan dan prioritas. Perlu pula ada pemahaman tentang status warga negara, baik muslim maupun nonmuslim. Bagaimana aturan diterapkan kepada muslim maupun nonmuslim. Juga, masalah-masalah lain. Untuk itu, diperlukan suatu rancangan undang-undang dasar untuk memberikan gambaran perihal negara Khilafah dan juga agar dapat diajukan untuk diterapkan segera setelah Khilafah berdiri.

Untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut, Hizbut Tahrir telah mengadopsi sebuah undang-undang dasar yang terperinci, dan juga telah mengelaborasi dalil-dalil atas undang-undang dasar tersebut dan penerapannya dalam buku Muqadimah al-Dustur aw Asbab al-Muwajjabba. Buku tersebut juga mengelaborasi aspek-aspek penting dalam sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, dan pendidikan, serta kebijakan luar negeri yang telah disebutkan di dalam rancangan undang-undang dasar tersebut. Berikut adalah pasal pertama dari rancangan undang-undang dasar yang disusun oleh Hizbut Tahir yang berisi landasan negara Khilafah dan pentingnya penerapan Islam di dalam setiap aspek kehidupan, serta pentingnya mengemban dakwah.

Pasal 1. Landasan Negara adalah Akidah Islam. Segala sesuatu yang menyangkut struktur negara, penguasa, pertanggungjawaban, atau aspek lain yang berhubungan dengan kenegaraan, harus dibangun berdasarkan akidah Islam. Akidah Islam juga menjadi sumber asas undang-undang dasar dan perundang-undangan negara. Dengan demikian, segala sesuatu yang berkaitan dengan undang-undang dasar dan perundang-undangan harus bersumberkan akidah Islam.

Negara berdiri berdasarkan terbentuknya ide-ide baru yang menjadi landasan dan strukturnya. Artinya, kekuasaan dan kewenangan di dalam negara berubah seiring perubahan ide-ide tersebut. Jika ide-ide itu menjadi pemahaman dan dipahami dengan baik dan diyakini, maka pemahaman itu akan memengaruhi manusia. Manusia akan berperilaku dan menjalani hidup sesuai dengan pemahamannya itu. Tolok ukur kemaslahatan akan berubah seiring berubahnya cara pandang terhadap kehidupan, serta kekuasaan dan kewenangan berperan mengatur mekanisme yang mengawasi dan mengurusi kemaslahatan tersebut. Pemikiran yang khas akan melahirkan pandangan kehidupan yang juga khas, yang akan menjadi dasar negara serta melandasi seluruh kekuasaan, kewenangan, sistem, dan undang-undang dasarnya. Mengingat pemikiran khas tentang kehidupan itu terangkum dalam serangkaian pemahaman, standar, dan keyakinan, maka kumpulan pemahaman, standar, dan keyakinan itu menjadi dasar negara. Adapun penguasa adalah pihak yang mengurusi kepentingan-kepentingan masyarakat, serta memantau pelaksanaan kepentingan-kepentingan masyarakat itu agar sesuai dengan pemahaman, standar, dan keyakinan tadi. Sekumpulan pemikiran itu menentukan keseluruhan pandangan hidup dan cara-cara penanganan kepentingan masyarakat, sedang penguasa berperan menjalankan fungsi-fungsi tersebut. Dari pemahaman seperti ini, negara didefinisikan sebagai suatu lembaga atau entitas yang berfungsi untuk menerapkan sekumpulan pemahaman (mafahim), standar (maqayis), dan keyakinan (qana’ah) yang diterima oleh masyarakat.

Kumpulan pemikiran yang menjadi landasan suatu negara itu bisa berasal dari pemikiran yang mendasar dan khas, bisa juga berasal dari pemikiran yang tidak khas. Jika kumpulan pemikiran itu lahir dari pemikiran yang mendasar, maka negara akan memiliki landasan yang kuat dan kokoh. Dalam hal ini, negara akan tegak di atas pemikiran yang khas yang akan menjadi sumber dari segala pemikiran, perasaan, undang-undang dasar, dan sistemnya. Apabila negara tidak berdiri di atas pemikiran yang mendasar, maka negara akan memiliki landasan yang rapuh, sehingga mudah digoyang atau dijajah oleh negara asing. Lemahnya landasan negara akan membuat negara tersebut mudah tunduk kepada pemikiran dan konsep-konsep asing, yang pada gilirannya akan mengundang kekuatan asing untuk menguasai atau menghancurkan negara.

Negara Islam berdiri di atas akidah Islam, karena kumpulan pemahaman, standar, dan keyakinan yang diterima umat berasal dari akidah Islam sebagai qaidah fikriyyah (kaedah berpikir). Umat Islam menerima akidah itu dan meyakininya sebagai qaidah fikriyyah berdasarkan bukti-bukti yang qath’i dan meyakinkan. Berdasarkan keyakinan itulah, kaum Muslim wajib tunduk sepenuhnya terhadap akidah Islam dan menjadikan akidah Islam sebagai landasan hidupnya, serta sebagai standar perbuatan, pemikiran, dan perasaannya. Akidah tersebut selanjutnya akan membentuk seluruh cara pandang umat terhadap kehidupan ini dan menjadi landasan bagi cara pandang kehidupannya. Umat juga akan memandang kemaslahatan berdasarkan akidah tersebut. Dari akidah yang sama, umat juga akan mengambil sekumpulan pemahaman, standar, dan keyakinan. Dengan demikian, akidah Islam adalah dasar Negara Islam.

Negara Islam yang ditegakkan oleh Rasulullah saw. berdiri di atas landasan yang khas. Karena itu, landasan tersebut harus menjadi dasar negara Islam di mana pun dan kapan pun. Ketika Nabi saw. mengambil alih kekuasaan dan mendirikan pemerintahan Islam di Madinah, beliau mendirikannya di atas akidah Islam, meskipun ayat-ayat yang berkenaan dengan legislasi hukum belum turun seluruhnya. Nabi saw. menjadikan landasan kehidupan kaum Muslim, penilaian, interaksi, dan urusan masyarakat, serta kekuasaan, kewenangan dan pemerintahan, berdasarkan prinsip Laa ilaaha illa Allah, Muhammad al-Rasul Allah.

Nabi saw. juga memerintahkan jihad dan mewajibkan kaum Muslim untuk mengemban akidah Islam ke seluruh umat. Dengan mekanisme ini, Negara Islam mampu mempropagandakan Islam ke seluruh dunia dan memperluas wilayahnya sambil menjaga perbatasan-perbatasan dan berjaga-jaga dari setiap upaya yang akan merongrong landasan negara. Dalam sebuah hadis, Nabi saw. bersabda:

Aku diperintahkan untuk memerangi seluruh manusia hingga mereka mengatakan Laa ilaaha illa Allah, Muhammad ar-Rasul Allah. Jika mereka mengatakan hal itu, maka darah dan harta mereka terlindungi, serta aman dariku kecuali secara hak.

Islam memberikan kekuasaan kepada kaum Muslim untuk menerapkan hukum-hukum syariat. Umat menunjuk penguasa sebagai wakil untuk menjalankan tanggung jawab tersebut. Allah Swt. mewajibkan kaum Muslim untuk memastikan bahwa Islam diterapkan secara keseluruhan dengan melakukan kontrol terhadap penguasa, mengawal Negara dan para pejabatnya untuk senantiasa terikat pada hukum Islam, serta memelihara qiyadah fikriyyah (kepemimpinan berpikir) dan pemikiran Islam di antara umat. Allah Swt. menyebutkan wajibnya kaum Muslim mendirikan partai atau kelompok untuk menjalankan fungsi-fungsi berikut.

Untuk menjaga agar ketaatan dan loyalitas hanya diberikan kepada Islam, Allah Swt. memerintahkan kaum Muslim untuk menaati penguasa selama penguasa itu melakukan tugasnya dalam menerapkan hukum-hukum Islam dan menjadikan hukum syara’ sebagai rujukan dalam menghadapi segala masalah dan situasi. Banyak hadis yang menjelaskan tentang Islam sebagai satu-satunya kriteria untuk ketaatan terhadap penguasa, sekaligus menginstruksikan kaum Muslim untuk menarik diri dari ketaatan itu apabila penguasa tidak menerapkan Islam.

Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian, mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakannya. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian”. Kami bertanya, “Ya, Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka?” Beliau menjawab, “Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat” (HR Muslim)

Dalam hadis ini, kata shalat berarti menjalankan kekuasaan pemerintahan berdasarkan hukum Islam.

Semua ini menjadi dalil bahwa landasan negara adalah akidah Islam. Nabi saw. mendirikan negara di atas akidah Islam. Rasulullah saw. memerintahkan kaum Muslim untuk menjaga akidah Islam itu dengan melakukan jihad, dan mewajibkan kaum Muslim untuk siap berjuang demi mempertahankannya sebagai landasan negara. Inilah dalil-dalil yang melandasi isi pasal satu di atas.

Seluruh masalah, besar atau kecil, penting atau tidak penting, bernilai atau tidak bernilai, harus didekati, ditelaah, dan diselesaikan berdasarkan akidah Islam. Setiap ide, pemikiran, pemahaman, atau undang-undang yang bersumber dari akal manusia, penilaian manusia, atau setiap sumber selain Akidah Islam dan tidak digali dari hukum-hukum syara’, tidak dapat diterima. Konsep-konsep seperti pragmatisme, realisme, atau yang sejenisnya yang menjadikan manusia sebagai sumber hukum, tidak memiliki landasan sama sekali.

Islam adalah sistem yang sempurna yang harus diterapkan secara paripurna. Allah Swt. melarang penerapan Islam secara parsial. Karena Negara Islam berdiri di atas landasan akidah Islam, maka konsep-konsep penerapan Islam secara gradual dan parsial tidak dapat diterima. Menerapkan 20% sistem Islam berarti menerapkan 80% sistem kufur, dan Islam menolak keras hal itu. Selain itu, konsep demokrasi tidak boleh diadopsi oleh negara karena demokrasi bertentangan dengan konsep yang lahir dari akidah Islam. Terlebih lagi, demokrasi tidak bersumber dari akidah Islam. Demokrasi adalah demos kratos, yang berarti kedaulatan rakyat.

Konsep-konsep seperti nasionalisme, patriotisme, atau segala bentuk ashabiyyah (fanatik terhadap keluarga, suku, atau asal muasal) tidak memiliki tempat di dalam Islam karena semua itu tidak berasal dari akidah Islam, bahkan bertentangan dengan akidah Islam. Dalam banyak hadis, Nabi saw. secara tegas melarang segala bentuk ashabiyyah.

Sehubungan dengan bagian kedua dari pasal satu di atas, alasannya ialah bahwa konstitusi adalah undang-undang dasar negara. Dalil bahwa Allah Swt. memerintahkan penguasa untuk menerapkan hukum-hukum Islam tertuang dalam al-Quran dan Sunnah. Allah Swt. berfirman:

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, dan mereka tidak merasakan suatu keberatan di hati mereka atas keputusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuh hati. (TQS. an-Nisa’ [4]: 65)

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ
يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu mereka. Dan, berhati-hatilah kamu terhadap mereka, agar mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah sesungguhnya Allah menghendaki untuk menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (TQS. al-Maidah [5]: 49)

Demikian pula, Allah Swt. telah memerintahkan agar legislasi hukum negara dilakukan dengan berdasarkan wahyu yang Allah turunkan dan melarang pemerintahan yang dijalankan selain dengan Islam.

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Siapa saja yang tidak berhukum berdasarkan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu termasuk orang-orang yang kafir. (TQS. al-Maadah [5]: 44)

Nabi saw. menyebutkan bahwa segala sesuatu yang tidak berasal dari Islam, meskipun mirip dengan Islam, tidak akan diterima. Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda:

Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan (baik) yang tidak kami perintahkan (kepada siapa pun) untuk melakukannya (atau tidak sesuai dengan Islam), maka perbuatan itu tidak akan diterima. (HR Bukhari)

Semua ini menjadi dalil bahwa legislasi hukum negara terikat dengan segala apa yang muncul dari akidah Islam dan hanya dapat dilakukan dengan cara menggali hukum syara’.(www.taman-langit7.co.cc)

(Dikutip dari buku The Method To Re-Establish The Khilafah, Syabab Inggris)

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites