5 Mei 2010

Upaya Depolitisasi Ulama’

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Kedudukan Ulama’ 

Ulama’, jamak dari ‘alim adalah orang yang berilmu, dan hamba Allah yang paling takut kepada-Nya. Karena itu, Dr Ahmad al-Qashash, membedakan antara ulama’ dengan muta’allimin. Sebab, ulama’ bukan hanya orang yang berilmu, tetapi juga orang yang sangat takut kepada Allah SWT. Sedangkan orang yang berilmu, tetapi tidak mempunyai rasa takut kepada-Nya, tidak layak disebut ulama’, melainkan hanya muta’allimin, atau kaum terpelajar. Deskripsi ini didasarkan pada firman Allah SWT yang menyatakan:

إِنَّما يَخشَى اللَّهَ مِن عِبادِهِ العُلَمٰؤُا۟
 “Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah para ulama’.” (Q.s. Fathir [35]: 28)


Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Apakah ada maksud lain dari ilmu, kecuali sesuatu yang bisa mengantarkan pada kemakrufan (kebaikan)?” Ummu Darda’ berkata kepada seorang pria, “Apakah Anda sudah melaksanakan apa yang Anda telah ketahui?” Dia menjawab, “Tidak.” Ummu Salamah berkata, “Lalu, mengapa Anda memperbanyak hujah Allah untuk memberatkan diri Anda sendiri?” Al-Fudhail bin Iyadh berkata, “Allah mengampuni tujuh puluh dosa orang bodoh, sebelum mengampuni satu dosa orang berilmu.”[1] Semuanya ini menunjukkan kedudukan ilmu dan orang yang berilmu, serta konsekuensi dan tanggungjawab yang melekat pada keilmuan mereka. Di sinilah esensi para ulama’.

Karena itu, Ibn Hazm, dalam kitabnya, al-Akhlaq wa as-Siyar, menegaskan bahwa ilmu mempunyai banyak manfaat dalam meraih kemuliaan:

وهو أنه يعلم حسن الفضائل فيأتيها ولو في الندرة، ويعلم قبح الرذائل فيجتنبها ولو في الندرة، ويسمع الثناء الحسن فيرغب في مثله، والثناء الرديء فينفر منه، فعلى هذه المقدمات يجب أن يكون للعلم حصة في كل فضيلة، وللجهل حصة في كل رذيلة، ولا يأتي الفضائل ممن لم يتعلم العلم إلا صافي الطبع جداً، فاضل التركيب، وهذه منزلة خص بها النبيون عليهم الصلاة والسلام لأن الله تعالى علمهم الخير كله، دون أن يتعلموه من الناس.
 Dengan ilmu, dia mengetahui baiknya kemuliaan, kemudian mendatanginya, meski kemuliaan itu sangat langka. Dia mengetahui buruknya kehinaan, kemudian menjauhinya, meski itu sangat langka. Dia mendengar pujian baik, kemudian menginginkan pujian sepertinya, juga celaan yang buruk, kemudian menjauhinya. Berdasarkan proposisi di atas, maka ilmu seharusnya mempunyai kontribusi dalam setiap kemuliaan, sementara kebodohan mempunyai kontribusi dalam setiap kehinaan. Tentu tidak mungkin orang mendatangi kemuliaan, sementara dia tidak mempelajari ilmu, kecuali orang yang tabiaatnya sangat bersih, dengan konstruksi kemuliaan. Ini merupakan kedudukan yang dikhususkan untuk para Nabi ‘alaihissalam, karena Allah telah mengajarkan seluruh kebaikan kepada mereka, dan mereka pun tidak perlu mempelajarinya dari manusia.[2]

Dengan demikian, para ulama’ dengan keilmuannya yang mumpuni itu merupakan hamba Allah yang memiliki martabat dan kemuliaan. Martabat dan kemuliaan yang pada akhirnya dikenang dan diabadikan dalam sejarah karena sikap dan pendirian mereka. Bukan semata-mata karena kedalaman dan kemumpunian ilmu mereka.

Ulama’ dan Politik

Abu al-Wafa’ ibn ‘Aqil berkata, “Melaksanakan politik merupakan keputusan bulat, dan tidak akan pernah lepas dari keberadaan seorang imam (pemimpin).” Ulama’ lain menyatakan, “Tidak ada politik kecuali apa yang sesuai dengan ketentuan syariah.” Ibn ‘Aqil berkata lagi, “Politik adalah aktivitas yang mendekatkan manusia kepada kebaikan, dan menjauhkan mereka dari keburukan.” [3]

Ini sekilas pandangan ulama’ dahulu tentang politik. Hanya saja, gambaran ini belum begitu jelas. Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menggambarkan politik dengan lebih jelas, sebagaimana berikut ini:

وهو أنه يعلم السياسة هي رعاية شؤون الأمة داخليا وخارجيا، وتكون من قبل الدولة والأمة، فالدولة هي التي تباشر هذه الرعاية عمليا، والأمة هي التي تحاسب بها الدولة. ورعاية شؤون الأمة داخليا وخارجيا من قبل الدولة تكون بتنفيذ المبدأ في الداخل، وهذه هي السياسة الداخلية. وأما رعاية شؤون الأمة خارجيا من قبل الدولة فهي علاقتها بغيرها من الدول، والشعوب والأمم ونشر المبدأ إلى العالم، وهذه هي السياسة الخارجية.
 Politik adalah mengurusi urusan umat, baik di dalam maupun di luar negeri, dan itu dilakukan oleh negara dan umat. Negaralah yang  bertugas mengurus urusan ini secara praktis, sedangkan umat yang bertugas mengoreksi negara.  Mengurusi urusan umat di dalam negeri dan luar negeri dilakukan dengan menerapkan ideologi di dalam negeri. Inilah politik dalam negeri. Sedangkan mengurusi urusan umat di luar negeri ini urusannya terkait dengan negara, bangsa dan umat lain, serta menyebarluaskan ideologi ke seluruh dunia. Inilah politik luar negeri.[4]

Karena itu, menyibukkan diri dalam urusan politik hukumnya wajib, sebagaimana melaksanakan kewajiban yang lainnya. Ini didasarkan kepada hadits Nabi saw. yang menyatakan:

وهو أنه يعلم «مَنْ لاَ يَهْتَمُّ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَلَيْسَ مِنْهُمْ، وَمَنْ لاَ يُصْبِحْ وَلاَ يُمْشِي نَاصِحاً لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِكِتَابِهِ وَلإِمَامِهِ وَلِعَامَّةِ الْمُسْلِمِينَ فَلَيْسَ مِنْهُمْ»
“Siapa saja yang tidak peduli terhadap urusan kaum Muslim, maka dia bukanlah kaum Muslim. Siapa saja yang di pagi hari dan di sore hari tidak menjadi penasehat untuk Allah, Rasul, Kitab dan imam-Nya serta seluruh kaum Muslim, maka dia bukan termasuk Muslim.”[5]

Karena itu, para ulama’ terdahulu benar-benar telah memposisikan dirinya sebagai bukan hanya orang yang berilmu, tetapi bagaimana ilmu mereka bisa digunakan untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Itu tidak lain adalah dengan berpolitik, yaitu menggunakan ilmu mereka untuk mengurusi urusan umat. Dengan begitu, politik para ulama’ bukanlah politik partisan, apalagi politik pragmatis dan oportunistik. Tetapi, politik mereka adalah politik ideologis.

Adalah Imam Abu Hanifah, seorang ulama’ mujtahid mutlak, pendiri mazhab Hanafi, yang juga dikenal sebagai ahli ar-ra’y, menolak dengan mentah-mentah jabatan qadhi (hakim) yang diberikan kepada beliau. Meski untuk imbalan sikapnya itu, beliau harus rela mendekam di penjara. Imam Malik, ulama’ mujtahid mutlak, sekaligus pendiri mazhab Maliki, yang dikenal sebagai ahl al-hadits, juga menolak kitabnya, al-Mudawwanah al-Kubra, untuk dijadikan sebagai perundang-undangan negara, karena tidak ingin Khilafah berubah menjadi negara mazhab, dan di sana ada kontribusi beliau. Padahal ini keliru. Inilah sikap dan pendirian politik para ulama dahulu.

Ulama’ Politikus dan Politikus Ulama’

Syaikh Samih ‘Athif az-Zain, dalam kitabnya, Sifat ad-Da’iyyah, menjelaskan bahwa seorang politikus tidaklah sama dengan mufti, yang bisa memberikan fatwa kepada masyarakat, tetapi tidak hirau apakah fatwanya dilaksanakan atau tidak. Karena, bagi politikus, hukum syara’ adalah hukum yang harus diterapkan, maka bagaimana caranya agar umat ini benar-benar menerapkannya dalam kehidupan. Maka, dia pun tidak puas sekedar menyampaikan hukum, tetapi juga berpikir bagaimana umat ini benar-benar mengadopsi dan menerapkan hukum yang mereka dapatkan.

Politikus juga tidak sama dengan orang alim, yang mempunyai ilmu banyak, dan belajar agar bisa menguasai banyak pengetahuan, tanpa tidak hirau apakah ilmu dan pengetahuannya digunakan untuk menyelesaikan masalah keumatan atau tidak. Berbeda dengan ulama’ politikus, yang tentu dengan kapasitas keulama’annya telah menguasai ilmu yang luas dan mendalam, namun itu bukanlah tujuan, karena tujuannya mempelajari ilmu dan pengetahuan yang luas dan mendalam adalah untuk mencari solusi, dan mengimplementasikannya dalam kehidupan.

Politikus juga tidak sama persis dengan seorang guru (ustadz), yang hanya mengajarkan ilmu dan pengetahuan sekedar transfer of knowledge. Karena politikus senantiasa berpikir, bagaimana menjadikan orang lain seperti dirinya, atau lebih hebat daripada dirinya. Dia menyampaikan gagasan, bukan sekedar teori, tetapi gagasan ideal yang bisa dan harus diterapkan. Karena itu, dia berusaha sekuat tenaga meyakinkan orang lain, agar mau menerima dan meyakini gagasannya, kemudian mengadopsi dan menerapkannya dalam kehidupan.
Dengan demikian, politik merupakan kewajiban yang agung bagi para ulama’, sekaligus akan mengantarkan mereka untuk maraih martabat dan kemuliaan, sebagaimana yang diraih oleh Imam Hanafi dan Imam Malik.

Bahaya Depolitisasi Ulama’

Namun, kini kita menyaksikan terjadinya upaya sistematik untuk menjauhkan politik dari umat Islam, dan para ulama’. Politik diidentikkan sebagai aktivitas kotor dan najis. Karena aktivitas politik yang luhur dan agung itu tidak lagi dilaksanakan demi tujuan mengembalikan kehidupan Islam. Politik telah menjadi ajang pertarungan untuk memperebutkan jabatan dan kursi, dengan menghalalkan segala cara.

Pilpres dan Pilkada yang berlangsung hampir setiap tahun, dengan dana triliunan rupiah justru semakin mengokohkan wajah politik yang kotor dan penuh intrik. Martabat dan kemuliaan ulama’ pun nyaris terkoyak, dan hilang dalam lipatan wajah politik yang sadis. Ulama’ yang menjadi panutan dan dihormati, akhirnya tergerus oleh opini kotor dan sadisnya politik. Pada situasi seperti itu kemudian muncul seruan untuk mengembalikan ulama’ pada habitatnya non-politik. Dengan dalih menyelamatkan martabat dan kehormatan ulama’.

Padahal, sadar atau tidak, upaya depolitisasi ulama’ ini sama berbahayanya dengan kondisi yang pertama. Karena, upaya ini akan menggusur peran dan tangungjawab ulama’ dalam perjuangan untuk mengembalikan kehidupan Islam di tengah-tengah umat. Padahal, merekalah simpul-simpul umat yang sesungguhnya. Selain mereka sendiri tidak bisa terbebas dari kewajiban politik, depolitisasi ini juga bisa menyebabkan terawetkannya sistem Kapitalisme-Sekular, dan tentu penjajahan di negeri Muslim terbesar ini.


[1] Ibn al-Jauzi, Shaid al-Khathir, al-Marja’ al-Akbar, juz I, hal. 42.
[2] Ibn Hazm, al-Akhlaq wa as-Siyar, al-Marja’ al-Akbar, juz I, hal. 4.
[3] Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Raudh as-Sa’ilin fi Fatwa Sayyidi al-Mursalin, al-Marja’ al-Akbar, hal. 2.
[4] Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Mafahim Siyasiyyah li Hizb at-Tahrir, al-Marja’ al-Akbar, hal. 5.
[5] Al-Hafidh Jalaluddin as-Suyuthi, Jami’ al-Masanid wa al-Marasil, Dar al-Fikr, Beirut, 1994, Juz VII, hal. 406.


0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites