Dalam salah satu masterpiece-nya, At-Tibr al-Masbûk fî Nashîhah al-Mulûk, pada bagian awal babnya, Hujjatul Islam Imam  al-Ghazali menukil beberapa riwayat sebagai bahan renungan bagi para  penguasa, juga para ulamanya.
Suatu hari, saudara kandung  al-Bulkhi menemui Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah kemudian berkata,  “Nasihatilah aku!”
Orang itu berkata,  “Sesungguhnya Allah telah mendudukkanmu pada kedudukan Abu Bakar  ash-Shiddiq, Umar bin al-Khaththab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi  Thalib (yakni sebagai penguasa, pen.).  Karena itu, Allah Swt. meminta darimu sifat benar/jujur seperti yang  ditunjukkan Ash-Shiddiq (Abu Bakar); Allah memintamu menjadi pembela  yang haq dan penumpas yang batil seperti Al-Faruq  (Umar); Allah memintamu memiliki rasa malu dan kemurahan seperti Utsman  bin Affan; Allah pun memintamu memiliki ilmu dan keadilan seperti yang  ditunjukkan Ali bin Abi Thalib.”
“Teruskan,” kata Khalifah…
Orang itu berkata lagi,  “Perumpamaanmu seperti mataair, sedangkan seluruh ulama di dunia ini  seperti wadahnya. Jika mataair itu jernih, kotornya wadah air tidaklah  berbahaya. Namun, jika matairnya kotor, bersihnya wadah air tak ada  gunanya.”
Pada waktu lain, suatu malam,  Khalifah Harun ar-Rasyid menemui Fudhail bin Iyadh. Saat pintu rumah Ibn  Iyadh dibuka,  Khalifah menyalami tuan rumah, yang spontan berkata,  “Api nerakalah untuk tangan halus ini jika ia tidak selamat dari azab  pada Hari Kiamat nanti.”
Ia melanjutkan, “Amirul  Mukminin, bersiap-siaplah engkau untuk menjawab pertanyaan Allah kelak,  karena sesungguhnya Allah akan menghadapkanmu kepada setiap Muslim atas  kebijakanmu terhadap masing-masing dari mereka.”
Mendengar itu, menangislah  Harun ar-Rasyid sejadi-jadinya seraya menundukkan kepalanya di dadanya.  Saat itu, Abbas, yang mendampinginya, berkomentar, “Celakalah, wahai  Fudhail. Engkau telah membunuh Amirul Mukminin!”
Ibn Iyadh menjawab, “Wahai  Hamman, justru kamu dan kaummulah yang mencelakakannya…”
Harun ar-Rasyid lalu berkata  kepada Abbas, “Jika ia menyebutmu Hamman, berarti ia menganggapku  Fir’aun.”
Setelah menerima nasihat dan  kritik Ibn Iyadh, Khalifah Harun ar-Rasyid bukannya marah. Ia kemudian  memberi Fudhail bin Iyadh uang seribu dinar (setara 4,25 kg emas) seraya  berkata, “Ini adalah harta halal dari pemberian dan warisan ibuku.”
Ibn Iyadh malah berkata,  “Akulah yang menyuruhmu melepaskan kedua tanganmu dari harta dunia dan  kembali kepada Penciptamu. Lalu mengapa engkau malah ’melemparkan’-nya  kepadaku?!”
Fudhail bin Iyadh sama sekali  enggan menerimanya. Ia pun pergi dari hadapan Khalifah.
Dalam riwayat lain, Khalifah  Umar bin Abdul Aziz pernah ditanya, “Apa penyebab tobatmu?”
Khalifah menjawab, “Suatu  hari, aku pernah memukul pembantuku. Pembantuku kemudian berkata  kepadaku, ’Ingatlah  suatu malam yang esoknya adalah Hari Kiamat.’ Sungguh, sejak itu perkataannya telah menghujam  dalam hatiku.”
Kali lain, Khalifah Umar bin  Abdul Aziz meminta nasihat kepada Abu Hazim. Abu Hazim lalu berkata,  “Jika engkau tidur, taruhlah kematian di bawah kepalamu… Sungguh,  kematian itu sangat dekat jaraknya darimu.” 
Setiap hari, Khalifah Umar bin  Abdul Aziz memenuhi kebutuhan rakyatnya. Karena kelelahan, ia lalu  duduk menyandar, kemudian pulang ke rumah untuk istirahat sebentar,  menghilangkan kepenatan. Putranya kemudian berkata, “Apa yang telah  membuat Ayah merasa aman? Padahal kematian setiap saat bisa datang  menjemput, sementara di luar mungkin masih ada orang yang membutuhkan  Ayah.”
Khalifah Umar menjawab,  “Engkau benar.”
Seketika, Khalifah Umar pun  bangkit dan pergi kembali menemui rakyatnya. (Al-Ghazali, At-Tibr al-Masbûk fî Nashîhah al-Mulûk. Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, hlm. 23-54, 1988).
*****
Demikianlah, nasihat adalah  bagian tak terpisahkan dari para penguasa Muslim pada masa lalu, bahkan  telah menjadi ’makanan’ sehari-hari mereka. Sebaliknya, nasihat kepada  para penguasa juga tidak pernah lepas dari para ulama, bahkan menjadi  ’kebutuhan’ mereka. Banyak para ulama pada masa lalu rela menghabiskan  waktunya untuk mengontrol, mengawasi, menasihati, mengkritik sekaligus  meluruskan para penguasa—apalagi yang menyimpang—tanpa kenal lelah, rasa  khawatir atau takut.
Dengan itulah, dalam sistem  Islam, keadilan tetap kukuh meski seandainya bumi runtuh; kezaliman  lenyap meski bumi berdiri tegap. 
Tidak aneh jika sepanjang  zaman Kekhilafahan Islam pada masa lalu, terlalu banyak kisah-kisah  nyata para penguasa Muslim yang menggugah perasaan karena kezuhudan,  kerendahatian, keadilan, kejujuran, kemanahan dan kebajikan mereka dalam  memimpin rakyatnya. Terlalu banyak pula kisah-kisah nyata para ulama   yang menyentuh kalbu karena kewaraan, keberanian dan ketajaman lidah  mereka di hadapan para penguasa. 
Sudah sepantasnya para  penguasa Muslim saat ini menjadikan kisah-kisah di atas sebagai cermin  dan pelajaran. Selayaknya mereka senantiasa lapang dada dalam menerima  nasihat, bahkan selalu meminta nasihat kepada para ulama. Sebaliknya,  para ulama wajib menyampaikan nasihat kepada penguasa, diminta atau  tidak diminta. Sejatinya mereka tidak bermanis-muka dan menyembunyikan  kebenaran di hadapan penguasa, apalagi penguasa zalim.
Sayang, dalam kungkungan  sistem sekular saat ini, kisah-kisah nyata sarat ’cahaya’ semacam ini  lenyap tak berbekas, terkubur oleh kisah-kisah buram yang dipenuhi  dengan ragam kezaliman, kesombongan dan kebusukan tingkah para penguasa;  terhapus oleh kisah-kisah kelam yang sarat dengan pembiaran,  pemasabodohan dan ketidakacuhan para ulama menyaksikan kejahatan para  penguasa. Tidak ada lagi penguasa yang gemar meminta nasihat kepada para  ulama. Tidak ada lagi para ulama yang wara, berani dan tajam lidahnya  di hadapan para penguasa. 
Wajarlah jika dalam sistem  sekular seperti saat ini, keadilan sudah lama runtuh meski bumi tetap  berdiri kukuh; kezaliman tetap berdiri ’tegap’ meski seandainya bumi  lenyap.
Sebuah renungan di bawah ini  mungkin berguna bagi para penguasa maupun para ulama—juga kita  semua—yang sering lalai menjalankan titah-Nya:
Suatu ketika, Khalifah Umar  bin al-Khaththab melayat jenazah. Ketika jenazah itu dikubur, seseorang  datang dan meletakkan tangannya di atas kuburan seraya bergumam, “Ya  Allah, jika Engkau mengazabnya, itu adalah hak-Mu, karena dia telah  bermaksiat kepada-Mu. Jika Engkau merahmatinya, sesungguhnya dia sangat  membutuhkan rahmat-Mu. Beruntunglah engkau, wahai mayit, jika engkau  bukan seorang penguasa, intelektual, pejabat negara, tokoh masyarakat  atau pengumpul pajak.” (Al-Ghazali, 1988: 29).











0 komentar:
Posting Komentar