mediaumat.com - Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menyelenggarakan shalat Idul Adha di berbagai kota di seluruh Indonesia bertepatan 10 Dzulhijah 1431 H sesuai kalender haji Mekkah Al Mukkaramah. Pemerintah Indonesia sendiri menetapkan 10 Dzulhijah sehari berikutnya, Rabu (17/11).
Kendati begitu, sejak matahari mulai terbit umat Islam di berbondong-bondong menuju ke lokasi shalat Id. Mereka membawa alas shalat masing-masing. Setiap kota menentukan sendiri lokasi shalat tersebut. Ada yang di lapangan terbuka, di pusat bisnis, dan pusat keramaian lainnya. Acara ini dihadiri ratusan hingga ribuan umat Islam.
Di Jakarta, lebih dari 1.000 kaum Muslimin memadati pelataran Pusat Dakwah HTI. Sementara di kota Bogor, kota di selatan Jakarta, lebih dari 3.000 orang memadati ruang parkir sebuah mal. Acara yang sama berlangsung di Surabaya, Medan, Solo, Makassar, Bandung, dan kota-kota lainnya. HTI pun mengadakan shalat Idul Adha di pusat pengungsian Merapi di Stadion Maguwoharjo, Sleman, Yogyakarta.
Di awal khutbah, khatib menyoroti kondisi Indonesia yang terus dilanda bencana dan sikap ketidakpedulian penguasa terhadap penderitaan rakyat. Ketika rakyat membutuhkan bantuan, justru penguasa dan wakil rakyat pergi ke luar negeri untuk urusan yang tak penting. "Sampai kapan kondisi ini harus terus terjadi?'' kata khatib.
Para khatib mengingatkan kaum Muslimin bahwa Allah Swt dan Rasulullah saw telah menunjukkan solusi tuntas bagi kita atas seluruh problematika ini. Yakni ketaatan total tanpa syarat kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan total itu dapat terwujud sempurna dengan penerapan syariah secara kaffah dalam naungan Khilafah.
"Tiadanya khilafah inilah yang membuat umat Islam lemah tak berdaya menghadapi musuh-musuhnya. Kondisinya persis seperti yang digambarkan Nabi saw: laksana makanan di atas nampan yang dikerumuni musuh-mushnya. Jumlahnya besar, namun seperti buih yang diombang-ambingkan gelombang," kata khatib.
Khatib mengajak kaum Muslim meneladani sikap Nabi Ibrahin dan Nabi Ismail. Mereka berdua memiliki ketaatan total kepada Allah. Kecintaannya kepada Allah diletakkan paling tinggi dibandingkan dengan kecintaan yang lainnya.
Fakta menunjukkan, banyak kaum Muslim masih didominasi oleh cinta kepada selain Allah daripada cinta kepada-Nya. Akibatnya, lebih mencintai dunia dibandingkan akhirat; lebih mencintai keluarganya daripada berdakwah dan memperjuangkan agamanya; lebih mencintai harta ketimbang berjihad di jalan-Nya; lebih mencintai kekuasaan ketimbang memperjuangkan kemuliaan Islam; bahkan lebih mencintai musuh-musuh Islam ketimbang kaum Muslim.
Inilah kondisi yang menyebabkan umat Islam tak lagi menempati posisinya sebagai umat terbaik (khairu ummah). Umat Islam justru mengikuti kemauan orang kafir penjajah dengan menjalankan sistem sekuler-kapitalistik dengan menjunjung tinggi HAM dan pluralisme dalam bingkai demokrasi. "Jadilah kita umat yang hina. Terpuruk dalam kenistaan, kemiskinan, dan kebodohan. Jadilah kita korban keserakahan mereka hingga nyawa pun tidak ada harganya," kata khatib seraya menunjukkan penderitaan warga Palestina, Irak, Afghanistan, Kashmir, Patani, Moro dan lainnya.
Khatib pun menyoroti tindakan para penguasa kaum Muslim yang menjadi pengekor Barat. Penguasa Indonesia di tengah keterpurukan bangsanya justru menandatangani kemitraan komprehensif dengan Obama. Padahal Allah melarang kaum Muslim menjadikan kaum kafir sebagai sahabat/mitra.
Di bagian akhir khutbah, khatib mengajak kaum Muslim terus-menerus berjuang untuk menerapkan Syariat Islam dengan menegakkan Khilafah, sebagai bentuk kesungguhan beribadah kepada Allah Swt, dengan menanggung segala resiko hingga kita dimenangkan Allah Swt atau kita binasa karenanya.
"Marilah kita menjadikan peristiwa haji dan kurban sebagai inspirasi dan motivasi bagi kita semua untuk selalu tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya sekaligus untuk senantiasa berkorban dalam perjuangan menerapkan syariah Islam secara kaffah, tentu dalam institusi Khilafah Islamiyah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah," ajak para khatib.
Sebelum acara dimulai, panitia membacakan pernyataan tentang perbedaan penentuan Idul Adha 1431 H. Mereka menjelaskan, perbedaan itu seharusnya tidak perlu terjadi manakala kaum Muslim menjadikan pelaksanaan haji sebagai patokan, khususnya wukuf di Arafah.
HTI menyeru umat Islam di Indonesia khususnya untuk menarik pelajaran dari peristiwa ini, bahwa demikianlah keadaan umat bila tidak bersatu. Umat akan terus berpecah belah dalam berbagai hal, termasuk dalam perkara ibadah. Karena itu, perpecahan ini harus dihentikan. Caranya, umat Islam harus bersungguh-sungguh, dengan segala daya dan upaya masing-masing, untuk berjuang bagi tegaknya kembali Khilafah Islam sebagai pemersatu umat (MJ)
0 komentar:
Posting Komentar