Redaktur Eramuslim.com, Muhammad Pizaro menilai skenario Amerika   Serikat untuk menjadikan kelompok Islam dekat dengan demokrasi, memang   membuahkan hasil. Harapan sebagian kalangan, akan tegaknya Islam pasca   tumbangnya boneka AS di Timur Tengah, tampaknya masih jauh dari harapan.   Pasalnya hingga kini tidak terlihat kegigihan kelompok seperti Ikhwan   untuk mengembalikan Timur Tengah ke pelukan Islam.
“Di Tunisia, Biro Eksekutif Partai An Nahdhah, mengatakan ‘Kami akan   bekerja untuk membangun masyarakat sekuler pluralistik’. Ikhwan Mesir   justru bertolak ke AS dan berjanji di depan senator AS untuk menghormati   hak-hak sipil dan perjanjian internasional yang telah ditandatangani  di  masa lalu, termasuk mengkaji kembali perjanjian damai Mesir dengan   Israel. Bahkan menghadiri perayaan Natal di Gereja Koptik Mesir,”   tandasnya dalam acara Kajian Zionisme Internasional, bertema Revolusi Timur Tengah dan Fitnah Akhir Zaman, di Komplek Pupuk Kaltim, Ahad (29/01).
Kedatangan Pejabat Ikhwan menghadiri perayaan Natal bersama memang   membuat heboh. “Pasalnya kedatangan Pejabat Ikhwan ke Gereja itu resmi   dipimpim oleh Wakil Mursyid ‘Aam Jamaah Ikhwanul Muslimin, Dr Mahmoud   Ezzat, yang mewakili Mursyid ‘Aam Mohammad Badie, yang berhalangan   hadhir, dan sedang menikahkan putrinya pada hari yang sama,” lanjutnya.
Kontroversi ternyata tidak hanya terjadi di mesir. Kasus serupa juga   berlangsung di Maroko dimana sebuah partai ikhwan lebih cenderung ke   pola sekularistik. “Di Maroko, lebih dahsyat lagi, pimpinan Partai   Keadilan dan Pembangunan Maroko, Abdullah bin Kiran, mengatakan Agama   milik masjid dan kami tidak akan ikut campur dalam kehidupan pribadi   warga,” sambungnya sembari memutar beberapa slide.
Selanjutnya Muhammad Pizaro mencoba membandingkan bagaimana gerakan   Ikhwan dulu dan kini. Pada masa Hasan Al Banna, Sayyid Quthb dengan   Ikhwan masa kini. Menurutnya Hasan Al Banna adalah ulama yang tegas   menolak demokrasi. Dalam pidatonya, Hasan Al Banna mengatakan,“Al-Ikhwan   Al-Muslimun memiliki sikap bahwa Islam mempunyai implikasi yang   signifikan dan menyeluruh. Islam mengawal semua tingkah laku individu   dan masyarakat. Segala sesuatu mesti tunduk di bawah undang-undang-Nya   dan mengikuti ajaran-Nya. Siapa yang tunduk kepada Islam dari segi   peribadatan saja tetapi meniru orang kafir dalam segala hal lain dapat   dianggap sama derajatnya dengan orang kafir.”
Tidak hanya itu, Hasan Al Banna juga pernah ditawari Inggris untuk   berbicara mengenai demokrasi. Namun ia menolak dan balik berkata kepada   Inggris, “Enyahlah kalian! Kalian telah tersesat dari jalan yang benar   dan menyimpang dari kebenaran!”
Sikap serupa juga dilanjutkan oleh Sayyid Quthb. Ideolog kedua ikhwan   setelah Hasan Al Banna ini mengatakan tidak mungkin Islam tegak dengan   demokrasi. Dalam Ma’alim Fiththariqh, Sayyid Quthb beranggapan ideologi buatan manusia seperti demokrasi adalah bentuk kemusyrikan.
Sayyid Quthb tampaknya sudah meprediksi akan hadirnya fenomena-fenomena seperti ini di tubuh ikhwan. Dalam tafsirFi Zhilalil Qur’annya,   Sayyid Quthb menyinggung kelompok-kelompok muslim yang menjadikan  dalih  maslahat dakwah agar bisa masuk ke parlemen. Bahkan dengan tegas,   Sayyid Quthb melihat para aktivis dakwah seperti itu sudah menjadikan maslahat dakwah sebagai sesembahan baru.
“Mashlahat dakwah’ telah menjelma menjadi berhala, Ilaah yang   diibadahi oleh para aktifis dakwah dan menjadikan mereka melupakan   manhaj dakwah Rasul yang murni dan orisinal. Karena itu, wajib bagi   setiap aktifis dakwah untuk tetap istiqomah di atas manhaj Rasulullah   Shollallohu ‘alaihi wasallam serta dengan sekuat tenaga menjaga agar   tidak tergoda oleh segala bujuk rayu yang pada akhirnya justru akan   menghancurkan bangunan dakwah yang telah mereka bina.” Kata Sayyid Quthb.
Jadi kosakata demokrasi tidak dikenal bahkan sangat asing dalam   konsep ikhwan. Jalan yang terbaik tidak bisa melalui perangkat   demokrasi, terlebih dengan cara merebut kekuasaan dulu dan mengisinya   dengan orang-orang soleh. Sebaliknya, perjuangan menegakkan Islam adalah   sebuah tahapan panjang yang dimulai dari penanaman tauhid yang benar.   Muhammad Pizaro coba menukil perkataan Sayyid Quthb yang kemudian   dibukukan dengan judul ‘Mengapa Aku Dihukum Mati’
“Penegakan sistem Islam dan pemberlakuan syariat Islam tidak   dapat dilakukan dengan cara merebut kekuasaan yang datang dari lapisan   atas. Akan tetapi, melalui perubahan masyarakat secara keseluruhan—atau   pemahaman beberapa kelompok masyarakat dalam jumlah yang mencukupi  untuk  mengarahkan seluruh masyarakat—pada pemikirannya, nilai-nilainya,   akhlaknya, dan komitmennya dengan Islam. Sehingga tumbuh kesadaran  dalam  jiwa mereka, bahwa menegakkan sistem dan syariat Islam itu  merupakan  sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan.”
“Jadi beginilah Ikhwanul Muslimin mengajarkan kami untuk anti   demokrasi,” kilah pemuda yang sempat aktif di suatu partai Islam namun   memilih keluar karena bertentangan dengan tauhid itu. (eramuslim.com/taman-langit7.co.cc)












0 komentar:
Posting Komentar