Formalisasi syariat Islam dianggap sebagai ancaman bagi
kebhinekaan.Lantas, benarkah bila syariat Islam diterapkan, semua orang
dipaksa memeluk agama Islam? Benarkah formalisasi syariat Islam akan
diiringi dengan penyeragaman (uniformisasi) agama, budaya, pemikiran,
dan pandangan hidup? Benarkah akan terjadi peminggiran peran kelompok
minoritas jika syariat Islam diterapkan dalam koridor negara?
Berikut paparan mengenai penerapan syariat Islam di tengah keragaman
agama, keyakinan, dan budaya, ditinjau dari sisi sejarah dan nash-nash
syariat. Juga mengetengahkan cara pandang dan solusi Islam terhadap
keragaman budaya, agama, dan pemikiran.
Inklusivitas Masyarakat Islam
Tatkala Rasulullah SAW menegakkan Daulah Islam (Negara
Islam) di Madinah, struktur masyarakat Islam saat itu tidaklah seragam.
Masyarakat Madinah dihuni oleh kaum Muslim, Yahudi, Nashrani, dan juga
kaum Musyrik. Namun, mereka bisa hidup bersama dalam naungan Daulah
Islamiyyah dan di bawah otoritas hukum Islam. Entitas-entitas selain
Islam tidak dipaksa masuk ke dalam agama Islam atau diusir dari Madinah.
Mereka mendapatkan perlindungan dan hak yang sama seperti kaum Muslim.
Mereka hidup berdampingan satu dengan yang lain tanpa ada intimidasi
dan gangguan. Bahkan Islam telah melindungi "kebebasan mereka" dalam
hal ibadah, keyakinan, dan urusan-urusan privat mereka. Mereka dibiarkan
beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan mereka.
Masyarakat Islam yang inklusif seperti ini terlihat jelas
dalam Piagam Madinah yang dicetuskan oleh Rasulullah SAW. Dalam
klausul 13-17 Piagam Madinah disebutkan sebagai berikut, "Orang
mukmin tidak boleh membunuh orang mukmin untuk kepentingan orang kafir,
juga tidak boleh menolong orang kafir dalam memusuhi orang mukmin. Janji
perlindungan Allah adalah satu. Mukmin yang tertindas dan lemah akan
memperoleh perlindungan hingga menjadi kuat. Sesama mukmin hendaknya
saling tolong menolong. Orang-orang Yahudi yang mengikuti langkah kami
(Muhammad), mereka memperoleh perlindungan dan hak yang sama; mereka
tidak akan dimusuhi dan tidak pula dianiaya. Perjanjian damai yang
dilakukan oleh orang-orang mukmin haruslah merupakan satu
kesepakatan.Tidak dibenar-benarkan seorang mukmin mengadakan perdamaian
dengan meninggalkan yang lain dalam keadaan perang di jalan Allah,
kecuali telah disepakati dan diterima bersama."
Kaum Yahudi yang disebut dalam piagam ini adalah orang-orang Yahudi
yang ingin menjadi bagian dari penduduk negara Islam. Mereka mendapatkan
perlindungan dan hak muamalah yang sama sebagaimana kaum Muslim. Sebab,
mereka merupakan bagian dari rakyat negara Islam yang berhak
mendapatkan perlindungan dan dipenuhi haknya. Dalam Piagam Madinah
tersebut disebutkan nama-nama kabilah Yahudi yang mengikat perjanjian
dengan Rasulullah SAW (menjadi bagian Daulah Islamiyyah), yakni Yahudi
Bani 'Auf, Yahudi Bani Najjar, dan sebagainya.
Kelompok pluralis sendiri mengakui masyarakat Madinah sebagai model
masyarakat inklusif. Bahkan, mereka menyepadankan masyarakat Madinah
dengan civil society atau masyarakat plural. Walaupun penyepadanan masyarakat Madinah dengan civil society ini
tidaklah tepat, hanya saja, pengakuan kaum pluralis terhadap
masyarakat Madinah sebagai masyarakat yang inklusif justru membuktikan
bahwa mereka sebenarnya meyakini bahwa Daulah Islamiyyah menjamin
dan melindungi keragaman, dan sama sekali tidak menghendaki adanya
uniformisasi. Lantas, mengapa sekarang mereka justru membuat isu;
penerapan syariat Islam dalam koridor negara akan mengancam keberagaman
dan kebhinekaan? Mengapa pula mereka getol menyebarkan isu uniformisasi dan eksklusifitas bila syariat Islam diformalisasikan dalam undang-undang negara? Lalu, di mana letak konsistensi mereka dalam berpendapat?
Setelah kekuasaan Daulah Islamiyyah meluas di jazirah Arab, Nabi SAW
memberikan perlindungan atas jiwa, agama, dan harta penduduk Ailah,
Jarba', Adzrah, Maqna, yang mayoritas penduduknya beragama Kristen.
Nabi SAW juga memberikan perlindungan, baik harta, jiwa, dan agama
penduduk Khaibar yang mayoritasnya beragama Yahudi. Beliau juga
memberikan perlindungan kepada penduduk Juhainah, Bani Dlamrah, Asyja',
Najran, Muzainah, Aslam, Juza'ah, Jidzaam, Qadla'ah, Jarsy, orang-orang
Kristen yang ada di Bahrain, Bani Mudrik, dan Ri'asy, dan masih banyak
lagi.
Imam Bukhari menuturkan sebuah riwayat dari Rabi’ bin Khudaij, bahwasanya ia berkata, “Seorang
laki-laki dari Anshor terbunuh di Khaibar. Walinya menghadap
Rasulullah SAW dan menceritakan peristiwa itu kepada beliau SAW.
Rasulullah SAW bertanya kepada mereka, “Kamu harus menghadirkan dua
orang saksi yang menyaksikan pembunuhan atas saudaramu.” Mereka berkata,
“Ya Rasulullah di sana tidak ada seorangpun dari kaum Muslim akan
tetapi hanya ada orang-orang Yahudi yang kadang-kadang bisa berbuat
lebih kejam daripada ini. Rasulullah SAW bersabda, “Pilihlah 50 orang
dari mereka Yahudi, dan suruhlah mereka bersumpah. Setelah itu,
Rasulullah SAW membayarkan diyat pembunuhan kepada wali pihak yang
terbunuh."
Saat itu, Khaibar telah menjadi bagian Negara Islam, dan penduduknya
didominasi oleh orang-orang Yahudi. Ketika orang—orang Yahudi bersumpah
tidak terlibat dalam pembunuhan, Rasulullah SAW pun tidak menjatuhkan
vonis kepada mereka. Bahkan, beliau SAW membayarkan diyat atas
peristiwa pembunuhan di Khaibar tersebut. Hadits ini menunjukkan
bagaimana Rasulullah SAW menegakkan keadilan hukum bagi warga negaranya
tanpa memandang lagi perbedaan agama, ras, dan suku. Adapun non Muslim
yang hidup di bawah kekuasaan Islam, mereka tunduk dan patuh terhadap
syariat Islam yang telah ditetapkan sebagai hukum negara. Mereka juga
mendapatkan perlindungan dalam menjalankan peribadatan, dan keyakinan
mereka. Mereka tidak dipaksa untuk memeluk Islam, atau diperintah untuk
melenyapkan truth claim atas agama dan keyakinan yang mereka
anut. Malah, mereka diberi kebebasan untuk menjalankan seluruh
aktivitasnya sesuai dengan koridor hukum negara (syariat Islam).
Fragmen sejarah di atas membuktikan, bahwa formalisasi syariat Islam
bukanlah ancaman bagi keberagaman, kebhinekaan, dan kelompok minoritas.
Zaman Kekhilafahan Islam
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, tugas kenegaraan dan pengaturan
urusan rakyat dilanjutkan oleh para khalifah. Kekuasaan Islam pun meluas
hingga mencakup hampir 2/3 dunia. Kekuasaan Islam yang membentang
mulai dari Jazirah Arab, jazirah Syam, Afrika, Hindia, Balkan, dan Asia
Tengah itu, tidak mendorong para Khalifah untuk melakukan uniformisasi
warga negara, maupun upaya-upaya untuk memberangus pluralitas. Padahal,
dengan wilayah seluas itu, Daulah Islam memiliki keragaman budaya,
keyakinan, dan agama yang sangat besar, dan sewaktu-waktu bisa
memunculkan "konflik agama". Akan tetapi, hingga kekhilafahan terakhir Islam, tak ada satupun pemerintahan Islam yang mewacanakan adanya uniformisasi (keseragaman), atau berusaha menghapuskan pluralitas agama, budaya, dan keyakinan dengan alasan untuk mencegah adanya konflik.
Bahkan, penerapan syariat Islam saat itu, berhasil menciptakan
keadilan, kesetaraan, dan rasa aman bagi seluruh warga negara, baik
Muslim maupun non Muslim. Dalam bukunya Holy War, Karen Amstrong menggambarkan saat-saat penyerahan kunci Baitul Maqdis kepada Umar bin Khathathab kira-kira sebagai berikut, "Pada
tahun 637 M, Umar bin Khaththab memasuki Yerusalem dengan dikawal oleh
Uskup Yunani Sofronius. Sang Khalifah minta agar dibawa segera ke
Haram al-Syarif, dan di sana ia berlutut berdoa di tempat Nabi Mohammad
SAW melakukan perjalanan malamnya. Sang uskup memandang Umar penuh
dengan ketakutan. Ia berpikir, ini adalah hari penaklukan yang akan
dipenuhi oleh kengerian yang pernah diramalkan oleh Nabi Daniel.
Pastilah, Umar ra adalah sang Anti Kristus yang akan melakukan
pembantian dan menandai datangnya Hari Kiamat. Namun, kekhawatiran
Sofronius sama sekali tidak terbukti." Setelah itu, penduduk
Palestina hidup damai, tentram, tidak ada permusuhan dan pertikaian,
meskipun mereka menganut tiga agama besar yang berbeda, Islam, Kristen,
dan Yahudi.
Keadaan ini sangat kontras dengan apa yang dilakukan oleh tentara
Salib pada tahun 1099 Masehi. Ketika mereka berhasil menaklukkan
Palestina, kengerian, teror, dan pembantaian pun disebarkan hampir ke
seluruh kota. Selama dua hari setelah penaklukkan, 40.000 kaum Muslim
dibantai. Pasukan Salib berjalan di jalan-jalan Palestina dengan
menyeberangi lautan darah. Keadilan, persatuan, dan perdamaian tiga
penganut agama besar yang diciptakan sejak tahun 1837 oleh Umar bin
Khaththab hancur berkeping-keping. Meskipun demikian, ketika
Shalahuddin al-Ayyubiy berhasil membebaskan kota Quds pada tahun 1187
Masehi, beliau tidak melakukan balas dendam dan kebiadaban yang serupa.
Karen Armstrong menggambarkan penaklukan kedua kalinya atas Yerusalem
ini dengan kata-kata berikut ini, "Pada tanggal 2 Oktober 1187,
Salahuddin dan tentaranya memasuki Yerusalem sebagai penakluk dan selama
800 tahun berikutnya Yerusalem tetap menjadi kota Muslim. Salahuddin
menepati janjinya, dan menaklukkan kota tersebut menurut ajaran Islam
yang murni dan paling tinggi. Dia tidak berdendam untuk membalas
pembantaian tahun 1099, seperti yang Alquran anjurkan (16:127), dan
sekarang, karena permusuhan dihentikan, ia menghentikan pembunuhan
(2:193-194)".
Di Andalusia, kaum Muslim, Yahudi, dan Kristen hidup berdampingan
selama berabad-abad, di bawah naungan kekuasaan Islam. Tidak ada
pemaksaan kepada kaum Yahudi dan Kristen untuk masuk ke dalam agama
Islam. Sayangnya, peradaban yang inklusif dan agung ini berakhir di
bawah mahkamah inkuisisi kaum Kristen ortodoks. Orang-orang Yahudi dan
Muslim dipaksa masuk agama Kristen. Jika menolak mereka diusir dari
Andalusia, atau dibantai secara kejam dalam peradilan inkuisisi.
Pada tahun 1519 Masehi, pemerintahan Islam memberikan sertifikat
tanah kepada para pengungsi Yahudi yang lari dari kekejaman inkuisisi
Spanyol pasca jatuhnya pemerintahan Islam di Andalusia.
Pemerintah Amerika Serikat pun pernah mengirimkan surat ucapan terima
kasih kepada Khilafah Islamiyyah atas bantuan pangan yang dikirimkan
kepada mereka pasca perang melawan Inggris pada abad ke 18.
Surat jaminan perlindungan juga pernah diberikan kepada Raja Swedia yang diusir tentara Rusia dan mencari suaka politik ke Khalifah pada tanggal 30 Jumadil Awwal 1121 H/7 Agustus 1709 H.
Pada tanggal 13 Rabiul Akhir 1282/5 September 1865, khalifah
memberikan izin dan ongkos kepada 30 keluarga Yunani yang telah
berimigrasi ke Rusia namun ingin kembali ke wilayah khalifah. Sebab, di
Rusia mereka tidak mendapatkan kesejahteraan hidup.
Inilah sebagian fragmen sejarah yang menunjukkan, bahwa penerapan
syariat Islam dalam koridor Negara tetap melindungi dan metolerir adanya
keragaman dan kebhinekaan. Tidak ada uniformisasi, tidak ada
pemberangusan terhadap pluralitas, tidak ada pemaksaan atas non Muslim
untuk masuk Islam, dan tidak ada pengusiran terhadap non Muslim dari
wilayah kekuasaan Islam. Yang terjadi justru, perlindungan terhadap non
Muslim, Lebih dari itu, pemerintah Islam dengan syariat Islamnya
benar-benar telah mewujudkan gagasan masyarakat inclusive tanpa
menghapus truth claim agama, dan tanpa melakukan uniformisasi dan intimidasi.
Lalu, mengapa penerapan syariat Islam dalam koridor negara selalu
dikesankan dengan upaya-upaya uniformisasi, pengusiran terhadap non
Muslim, eksklusifitas, dan penghancuran terhadap pluralitas? Bukankah
kesan tersebut jelas-jelas keliru dan bertentangan dengan realitas
sejarah? Barangkali, yang menyebarkan isu ini adalah orang yang awam
terhadap sejarah Islam; barangkali a histories dan tidak jujur
terhadap sejarah; atau barangkali ini adalah isu politis yang ditujukan
untuk menghambat penerapan syariat Islam dalam koridor negara.(mediaumat.com)
0 komentar:
Posting Komentar