Setelah sempat tarik ulur menentukan pembatasan dan pemcabutan BBM  bersubsidi. Pemerintah telah bertekad untuk membuktikan konsistensinya  terhadap Neoliberalismenya. Mulai 1 April mendatang pemerintah akan  melakukan pembatasan BBM tersebut diawali di wilayah Jabodetabek. Yang  menyebabkan seluruh kendaraan berplat hitam roda empat dilarang untuk  membeli bensin Premium yang seharga Rp 4.500/liter beralir ke Pertamax  yang harganya Rp 8.350.
Pemerintah berdalih Subsidi yang seharusnya diperuntukkan untuk  kepentingan rakyat tidak mampu malah dinikmati oleh masyarakat yang  berpendapatan tinggi. Apakah Demikian? Hal inilah yang menimbulkan  banyak pertanyaan. Lalu jika demikian siapakah yang menikmati keuntungan?
Menyikapi hal tersebut, DPP  Hizbut Tahrir Indonesia kembali  menyelenggarakan Halqah Islam dan Peradaban Edisi Ke 35 dengan tema “Ada  Apa di Balik Pembatasan BBM Bersubsidi”, Sabtu (28/01) di Wisma Antara  Jakarta.
Hadir sebagai pembicara Effedi MS Simbolan, Anggota Komisi VII DPR  RI-PDIP. Pengamat Ekonomi, Ichsanuddin Noorsy. Dr. Arim Nasim, Ketua  Lajnah Maslahiyah DPP HTI. Serta, Ismail Yusanto Juru Bicara HTI, dan  Prof.Widjoyono Partowidagdo (Wakil Menteri ESDM RI) yang diundang, saat  dikonfirmasi oleh panitia, Wamen ESDM RI akan diwakili oleh Dirjen Migas  Kementrian ESDM, Efita Herawati Legowo namun sangat disayangkan Efita  Herawati juga tidak hadir memenuhi undangan panitia.
Saat pembahasannya Effendi MS Simbolan menyatakan kalau Apapun yag  dilakukan pemerintah Pembatasan dan Penghematan sebenarnya ujungnya  adalah Liberalisasi. “Barang milik kita dilepas ke Pasar, akhirnya kita  sendiri tidak bisa membeli apa yang menjadi milik kita,” jelasnya.
hal itu pula yang menjadi sorotan Pengamat Ekonomi Ichsanuddin  Noorsy. Dalam pemaparannya, Ia menjelaskan fakta-fakta yang  digembar-gemborkan oleh pemerintah diantaranya yaitu pertama, produksi  minyak mentah trus menurun, tidak ditemukan sumur baru yang  berkontribusi menambah julah minyak mentah. Kedua, kilang teknologinya  lama dan tidak bertambah kapasitas produksinya.
“Fakta satu dan dua  disimpulkan oleh pemerintah, kita sebagai make importir  dari situ kita temukan lagi fakta bahwa sejak reformasi hingga hari  ini. Indonesia masuk mekanisme pasar bebas disektor energi dan secara  struktural, bahkan yang terakhir keluar dokumen dari Amerika yang tegas  sekali perintahnya, bahwa Indonesia harus melakukan mekanisme pasar  bebas disektor energi,”Jelasnya.
Dari hal tersebut menciptakan fakta yang ketiga bahwa permintaan  tersebut diterjemahkan lagi dalam perundang-undangan secara sistematik.  Maka lahirlah UU migas, UU listrik, UU minerba, UU batu bara, UU  keenergian. “Bahasanya cuman satu Lepaskan sektor energi menurut harga  keekonomian, mereka tidak memakai kata mekanisme pasar bebas namun  menggunakan istilah harga ekonomi,” urainya.
Fakta yang keempat yang selalu mereka gembar gemborkan dengan riset  bank dunia adalah komsumsi BBM terus meningkat.  Subsidi terus meningkat  dan menurut mereka yang didukung sejumlah tokoh dengan iklannya   dimana-mana menyebutkan kalau Subsidi Salah Sasaran.
Lalu, fakta kelima harga tidak stabil dalam perekonomian karena kita telah menujukkan kita sebagai make importir  dan ditambah harga tidak stabil memberi dampak apa yang disebut importit implesit.  “Dalam bahasa ekonomi politik yaitu pemerintah gagal menjalankan fungsi  untuk menstabilkan harga. Padahal harga yang stabil itu menyangkut  hajat hidup orang banyak,” lanjutnya.
Noorsy mengatakan bahwa fakta terakhir dari apa yang digembar  gmeborkan pemerintah adalah reformasi sektor energi tidak bisa  dihentikan, Kenapa?.  “Karena sudah diterjemahkan dalam  perundang-undangan dan yang menariknya pemerintah sudah menerapkannya  dalam cetak biru, cetak biru BPH migas,cetak biru ESDM, cetak biru semua  lini pengambil kebijakan sektor energi bahwa 2014 harga keekonomian  harus berlaku disektor Energi, Maka tentu semua fakta tersebut menabrak  Konstitusi,” tangkasnya.
Sedangkan, Menurut Arim Nasim. Penghematan subsidi itu tidak pas,  karena selama ini terjadi pemborosan utang luar negeri. Baik bunga  maupun pokoknya.  Dan juga dalam upaya pemerintah melakukan penghematan  anggaran, ini tidak terbukti malahan pemerintah melakukan pemborosan  anggaran yg mereka lakukan.
“Akumulasi sisa anggaran kurang lebih 100 triliun tapi di APBN 2012  pemerintah tetap mengagarkan utang luar negeri sekitar 45 triliun dan  dalam negeri 120 triliun. Tiap tahun utang bertambah Parahnya Pemerintah  mengatakan tidak masalah,  Negera kita sudah tergadaikan, dan dijual.  Dan yang menjualnya adalah pemerintah sendiri,” tegasnya.
Juru Bicara HTI, Ismail Yusanto menegaskan bahwa apa yang terjadi  saat ini sudah terjadi liberalisasi migas disektor Hulu dan itu sudah  berhasil. Dan pada waktunya akan dilakukan Liberalisasi Sektor Hilir.  Ini akan terjadi jika saatnya nanti, “ketika tidak ada lagi BBM yang  lebih murah dari harga BBM di SPBU Asing,” jelasnya.
Kegiatan ini disiarkan langsung tiap edisinya via Streaming melalui web www.hizbut-tahrir.or.id.  Dan kegiatan yang dipandu oleh Host, Karebet Wijaya Kusuma. Sangat  banyak mendapatkan respon pertanyaan maupun tanggapan dari para peserta  yang hadir memadati Auditorium Adhiyama Wisma Antara.[] (fm/hizbut-tahrir.or.id)












0 komentar:
Posting Komentar