Dalam salah satu tulisannya, Sayyid Qutb rahimahullah menulis sebagai berikut:
“Da'wah Islam yang dilakukan Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم
hanyalah merupakan mata rantai terakhir dari serentetan da'wah, yang
panjang, yang menyeru kepada Islam, yang dilakukan oleh serombongan para
Rasul yang mulia ‘alaihimus-salaam. Sepanjang sejarah manusia, tujuan
da'wah itu hanya satu saja. Yaitu: mengenalkan manusia kepada Ilah mereka yang satu, Ilah mereka yang sesungguhnya, menegaskan bahwa mereka adalah hamba Ilah mereka yang satu, dan menghilangkan ke-ilah-an makhluk.
Selain dari beberapa gelintir manusia pada saat-saat tertentu
dalam sejarah, manusia tidak pernah mengingkari prinsip ketuhanan, atau
menolak adanya Ilah sama sekali. Hanya mereka tersalah dalam mengenal hakekat Ilah mereka yang hak itu. Atau mereka perserikatkan Allah سبحانه و تعالى dengan suatu ilah yang lain, baik dalam bentuk kepercayaan atau peribadatan ( الاعتقاد و العبادة), maupun dalam bentuk kepenguasaan dan kepengikutan (الحاكمية و الإتباع ). Kedua bentuk ini adalah sama saja syiriknya, karena keduanya mengeluarkan manusia dari agama Allah سبحانه و تعالى , sebagaimana yang telah mereka kenal dari tangan setiap Rasul. Kemudian
manusia itu mengingkari Rasul kalau masa telah berjalan agak lama.
Manusia kembali kepada kejahiliyahan yang tadinya Rasul itu telah
mengeluarkan mereka dari padanya. Manusia kembali mempersekutukan Allah سبحانه و تعالى sekali
lagi. Hal ini terjadi baik dalam kepercayaan dan peribadatan, baik
dalam hal kepengikutan dan kepenguasaan, maupun dalam kedua hal itu
sekaligus.” (Buku “Petunjuk Jalan” Sayyid Qutb- Media Da’wah- hlm 66)
Jelas sekali sebagaimana ditulis oleh Sayyid Qutb di atas bahwa Sepanjang sejarah manusia, tujuan da'wah itu hanya satu saja. Yaitu: mengenalkan manusia kepada Ilah mereka yang satu, Ilah mereka yang sesungguhnya, menegaskan bahwa mereka adalah hamba Ilah mereka yang satu, dan menghilangkan ke-ilah-an makhluk.
Tujuan da’wah seperti ditegaskan beliau di atas sangat sesuai dengan
ayat-ayat Al-Qur’an dimana Allah سبحانه و تعالى menegaskan bahwa para
Nabi dan Rasul Allah semua menyerukan kaumnya masing-masing pesan abadi
yang serupa:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut
itu."(QS An-Nahl 36)
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ إِنِّي لَكُمْ نَذِيرٌ مُبِينٌ أَنْ لا تَعْبُدُوا إِلا اللَّهَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia
berkata): "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi
kamu, agar kamu tidak menyembah selain Allah.”(QS Hud 25-26)
وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ إِنْ أَنْتُمْ إِلا مُفْتَرُونَ
“Dan kepada kaum Ad (Kami utus) saudara mereka, Hud. Ia berkata:
"Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Ilah selain
Dia. Kamu hanyalah mengada-adakan saja.”(QS Hud 50)
Inilah pesan sepanjang zaman yang menjadi inti da’wah Islam. Yaitu
mengajak setiap manusia untuk memfokuskan ibadah hanya kepada Allah
سبحانه و تعالى seraya meninggalkan berbagai ilah atau thaghut yang merupakan musuh para Nabiyullah ‘alaihimussalam. Demikianlah yang diungkapkan Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam kepada kaumnya:
قَالَ أَفَرَأَيْتُمْ مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ
أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمُ الأقْدَمُونَ فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِي إِلا رَبَّ
الْعَالَمِينَ
“Ibrahim berkata: "Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang
selalu kamu sembah, kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu? Karena
sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Rabb
semesta alam.”(QS Asy-Syuara 75-77)
Selanjutnya Sayyid Qutb menulis: “Selain dari beberapa gelintir
manusia pada saat-saat tertentu dalam sejarah, manusia tidak pernah
mengingkari prinsip ketuhanan, atau menolak adanya Ilah sama sekali. Hanya mereka tersalah dalam mengenal hakekat Ilah mereka yang hak itu.” Menurutnya,
manusia pada umumnya tidak mengingkari prinsip ketuhanan atau menolak
adanya ilah sama sekali. Artinya, sekedar mengaku ber-ilah bukanlah hal
yang istimewa, sebab pada umumnya manusia memang mengakui adanya ilah
bagi mereka. Tetapi mereka sering tersalah di dalam mengenal, memahami
dan memuliakan ilah yang hak itu.
Malah lebih lanjut beliau menulis: “Atau mereka perserikatkan Allah سبحانه و تعالى dengan suatu ilah yang lain, baik dalam bentuk kepercayaan atau peribadatan ( الاعتقاد و العبادة), maupun dalam bentuk kepenguasaan dan kepengikutan (الحاكمية و الإتباع ).” Sering
pula terjadi bahwa manusia memperserikatkan Allah سبحانه و تعالى dengan
suatu atau beberapa ilah lainnya. Artinya manusia menjadikan bersama
Allah سبحانه و تعالى partner yang disetarakan, disejajarkan atau
disandingkan dengan Allah سبحانه و تعالى Dzat yang Maha Kaya lagi Maha
Terpuji. Dzat yang tidak bisa diserupakan dengan apapun dan siapapun.
Dzat yang menjadi tempat bergantung segenap makhluk di langit maupun di
bumi dan semua yang ada di antara keduanya. Dan sialnya lagi, manusia
menyekutukan Allah سبحانه و تعالى bukan saja dalam bentuk kepercayaan atau peribadatan ( الاعتقاد و العبادة), yang
mana hal ini sudah sangat diketahui dan diwaspadai oleh banyak muslim
sebagai suatu dosa besar yang tidak bakal bisa diampuni Allah سبحانه و
تعالى.
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ
لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا بَعِيدًا
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan
(sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik
itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan
(sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat
sejauh-jauhnya.” (QS An-Nisa 116)
Sudah relatif banyak muslim yang faham bahwa dalam hal keyakinan (di
dalam hati) atau peribadatan (seperti sholat atau bersujud) dia mestilah
mengesakan Allah سبحانه و تعالى semata. Allah سبحانه و تعالى tidak
mereka dua-kan, tiga-kan atau lebih di dalam hatinya. Dia
tahu itu adalah salah satu bentuk dosa tak terampuni, yakni syirik. Dia
juga tahu bahwa jika dia ruku atau sujud di hadapan sesuatu atau
seseorang selain Allah سبحانه و تعالى berarti itu merupakan bentuk dosa
tak terampuni, yakni syirik. Setiap muslim –pada umumnya- sadar dan
waspada untuk tidak mempartnerkan Allah سبحانه و تعالى dalam aspek
keyakinan dan peribadatan. Ini sudah jelas.
Namun Sayyid Qutb kemudian memperingatkan kita bahwa dosa
mempersekutukan Allah سبحانه و تعالى tidak hanya terjadi dalam aspek
keyakinan dan peribadatan. Ia menulis: “...maupun dalam bentuk kepenguasaan dan kepengikutan (الحاكمية و الإتباع ).” Jadi, juga termasuk dosa tak terampuni –yakni syirik- bila seorang muslim men-dua-kan
atau lebih Allah سبحانه و تعالى dalam aspek kepenguasaan dan
kepengikutan. Artinya, bila ada seorang yang mengaku muslim tetapi ia
rela atas kepenguasaan fihak selain Allah سبحانه و تعالى maka ia telah
terlibat dalam salah satu bentuk dosa tak terampuni, yakni syirik.
Begitu pula, bila ada seorang yang mengaku muslim namun rela menyerahkan
kepengikutan atau ketaatannya kepada fihak selain Allah سبحانه و تعالى
berarti ia telah terlibat dalam salah satu bentuk dosa tak terampuni,
yakni syirik.
Sehingga di bagian lain tulisannya, Sayyid Qutb menulis: “Inilah
bentuk da'wah yang menyeru kepada Allah sepanjang perputaran sejarah
manusia. Tujuannya adalah "Islam". Atau penyerahan. Penyerahan hamba
kepada Rabb hamba itu. Melarang mereka untuk menyembah hamba (manusia) yang lain dan menyuruh mereka untuk hanya menyembah Allah saja. Mengeluarkan manusia dari lingkaran kekuasaan hamba dan memasukkan mereka kepada lingkaran Allah dalam hal kepenguasaan, hukum, nilai dan tradisi. Dalam segala segi persoalan kehidupan. Tentang persoalan inilah Islam datang dengan perantaraan Muhammad صلى الله عليه و سلم .
Sebagaimana dahulunya Islam telah datang di tangan para Rasul yang
mulia Islam datang untuk mengembalikan manusia kepada penguasaan Allah.
Kekuasaan yang mengatur hidup manusia haruslah kekuasaan yang
mengatur adanya manusia itu. Manusia tidak boleh menyeleweng dan
mengadakan sistim sendiri, kekuasaan sendiri, kebijaksanaan sendiri,
lain dari sistim, kekuasaan dan kebijaksanaan (Allah) Yang telah mengatur seluruh alam semesta. Dia (Allah) yang
bahkan telah mengatur adanya manusia itu sendiri dalam kehidupan mereka
yang di luar kehendak mereka. Manusia tunduk kepada undang-undang fitri
yang telah dibuat Rabb dalam penciptaan dan pertumbuhan
mereka, dalam sehat-sakitnya mereka, dan dalam hidup-matinya mereka.
Sebagaimana halnya manusia itu harus tunduk kepada undang-undang ini
dalam persatuan sosial mereka dan kepada akibat yang mereka derita
sebagai hasil kebebasan gerakan mereka sendiri. Mereka tidak sanggup
merubah sunnatullah dalam hal peraturan alam-semesta yang mengatur alam
semesta ini dan tindak-tanduknya.” (Buku “Petunjuk Jalan” Sayyid Qutb- Media Da’wah- hlm 67)
Berdasarkan itu, maka sepatutnya setiap manusia memeluk dienullah
Al-Islam, menerima syariat Allah سبحانه و تعالى dan tunduk kepada hukum
Al-Qur’an bila ia ingin menjalani hidup yang selaras antara aspek fitri dirinya yang tunduk kepada sunnatullah aturan Allah سبحانه و تعالى yang berlaku di alam semesta, dengan aspek iradi (kehendak) yang membebaskan dirinya memilih antara menjadi mu’min taat atau kafir
ingkar kepada Allah سبحانه و تعالى Rabb semesta alam. Bila ia memilih
menjadi mu’min taat berarti ia bakal menjalani kehidupan yang selaras
dan serasi dengan gerak alam dan gerak fisik dirinya. Bila ia memilih
menjadi kafir yang ingkar kepada Allah سبحانه و تعالى , maka ia
menjalani kehidupan yang kontradiktif dengan gerak fisik dirinya dan
dengan gerak alam yang melingkupinya.
أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ
“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah
(Al-Islam), padahal kepada-Nya-lah “aslama” (berserah diri) segala apa
yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya
kepada Allahlah mereka dikembalikan.”(QS Ali Imran 83)
Oleh karena itu Sayyid Qutb selanjutnya menulis: “Tetapi faham jahiliyah yang berdasarkan berkuasanya manusia atas manusia, dan
dengan begitu telah menyeleweng dari wujud adanya alam semesta dan
bertentangan antara sistim segi iradi dan segi fitri dari kehidupan
manusia, maka faham jahiliyah seperti inilah yang telah dihadapi oleh
setiap Rasul yang menyeru kepada Islam, terhadap penyerahan diri kepada Allah saja. Faham ini pulalah yang telah dihadapi Rasulullah صلى الله عليه و سلم ketika beliau berda'wah.” (Buku “Petunjuk Jalan” Sayyid Qutb- Media Da’wah- hlm 67)
Kutipan paragraf buku Petunjuk Jalan di atas menegaskan bahwa setiap
Rasul yang menyeru kepada Islam selalu berhadapan dengan “faham
jahiliyah yang berdasarkan berkuasanya manusia atas manusia”. Setiap
Nabi dan Rasul yang menyeru manusia agar hanya menghamba kepada Allah
سبحانه و تعالى serta menjauhi segenap ilah dan thaghut senantiasa
bertolak-belakang dengan seruan jahiliyah apapun yang pada intinya
berdasarkan penghambaan manusia atas sesama manusia lainnya. Apapun nama
seruan atau faham jahiliyah tersebut.
Oleh karena itu kita dapati dewasa ini kaum muslimin yang peduli
menegakkan tauhid secara murni dan konsekuen tidak dapat menerima
berbagai faham dan ideologi bikinan manusia, apapun nama dan bentuknya.
Sebab setiap faham dan ideologi selain Islam pastilah bukan dari Allah
سبحانه و تعالى , sehingga di dalamnya mesti mengandung keharusan
mengakui berkuasanya manusia atas manusia lainnya. Misalnya faham demokrasi,
di dalamnya ada segelintir orang yang diberikan wewenang serta
kekuasaan untuk menetapkan hukum dan perundang-undangan agar
diberlakukan dan wajib ditaati oleh sekian banyak manusia di luar mereka
yang disebut rakyat kebanyakan. Padahal segelintir orang tersebut tidak
menetapkan hukum dan perundang-undangan berlandasakan hukum tertinggi
dan tanpa cacat, yakni hukum Allah سبحانه و تعالى . Mereka wajib dan
hanya boleh menetapkan hukum dan perundang-undangan di dalam bingkai
faham dan ideologi bikinan manusia yang disebut Konstitusi atau
Nasionalisme.
Berarti sekian banyak manusia (baca: rakyat) tersebut diwajibkan
mengakui kekuasaan segelintir manusia atas diri mereka semua. Inilah
hakekat jahiliyah. Berarti segelintir manusia tadi telah memainkan peran
sebagai Rabb selain Allah سبحانه و تعالى . Sebab di dalam Islam, hak
menetapkan hukum, menetapkan mana yang halal dan mana yang haram
hanyalah milik Allah سبحانه و تعالى .
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ
“…menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah…”(QS. Al An’am 57)
Sedangkan rakyat kebanyakan tersebut berarti telah menyerahkan
kekuasaan dan ketaatan mereka kepada fihak selain Allah سبحانه و تعالى .
Dan itu berarti mereka telah memilih untuk meninggikan hukum selain
hukum Allah سبحانه و تعالى . Padahal di dalam Al-Qur’an Allah سبحانه و
تعالى hanya menawarkan dua pilihan saja dalam urusan berhukum. Yakni
hukum Allah سبحانه و تعالى atau hukum jahiliyah.
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah
yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”
(QS Al-Maidah 50)
Dan begitu rakyat menolak untuk mengutamakan hukum Allah سبحانه و
تعالى alias menerima hukum jahiliyah, maka Allah سبحانه و تعالى segera
memvonis mereka telah bertahkim kepada hukum thaghut, padahal
orang-orang yang mengaku beriman telah diperintahkan oleh Allah سبحانه و
تعالى untuk mengingkari thaghut, jangan hendaknya meninggikan,
memuliakan apalagi meng-ilahkan thaghut...!
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ
يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالا بَعِيدًا
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya
telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang
diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal
mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud
menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.”(QS An-Nisa
60)
Kemudian yang membuat kita menjadi sangat prihatin melihat keadaan ini ialah karena Sayyid Qutb menyatakan: “Selain
dari beberapa gelintir manusia pada saat-saat tertentu dalam sejarah,
manusia tidak pernah mengingkari prinsip ketuhanan, atau menolak adanya
Ilah sama sekali. Hanya mereka tersalah dalam mengenal hakekat Ilah mereka yang hak itu. Atau mereka perserikatkan Allah سبحانه و تعالى dengan suatu ilah yang lain, baik dalam bentuk kepercayaan atau peribadatan ( الاعتقاد و العبادة), maupun dalam bentuk kepenguasaan dan kepengikutan (الحاكمية و الإتباع ). Kedua bentuk ini adalah sama saja syiriknya, karena keduanya mengeluarkan manusia dari agama Allah سبحانه و تعالى , sebagaimana yang telah mereka kenal dari tangan setiap Rasul.” (Buku “Petunjuk Jalan” Sayyid Qutb- Media Da’wah- hlm 66)
Baik seseorang mempersekutukan Allah سبحانه و تعالى dalam bentuk
kepercayaan dan peribadatan maupun dalam bentuk kepenguasaan dan
kepengikutan, maka kedua bentuk ini adalah sama saja syiriknya. Na’udzubillahi mindzaalika...!
Ya Allah, jadikanlah kami sebagaimana para pemuda Kahfi yang
menyerukan dan istiqomah dengan seruan lantang kalimat al-haq sebagai
berikut:
رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ إِلَهًا لَقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا
"Rabb kami adalah Rabb langit dan bumi; kami sekali-kali tidak
menyeru ilah selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah
mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran".(QS Al-Kahfi 14)
(eramuslim.com/www.taman-langit7.co.cc)
0 komentar:
Posting Komentar