14 Mei 2010

ISLAM KAFFAH


Tafsir Surat (al-Maidah [05]: 3)

Oleh : KH.Drs. Hafidz ‘Abdurrahman, MA

الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ، الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا

Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agama kalian. Oleh karena itu, janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kalian kepada-Ku.  Pada hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, telah mencukupkan atas kalian nikmat-Ku, dan telah meridhai Islam menjadi agama bagi kalian (QS al-Maidah [5]: 3).
Tafsir Ayat
Mengenai waktu dan tempat diturunkan-nya ayat ini, al-Bukhari telah mengeluarkan hadis yang berasal dari ‘Umar bin al-Khaththab r.a., yang menyatakan:

Ada seorang laki-laki Yahudi berkata kepada beliau (‘Umar), “Amirul Mukminin, ayat dalam kitab Anda yang tengah Anda baca itu, seandainya diturunkan kepada kami, orang-orang Yahudi, tentu kami akan menjadikan hari (turunnya ayat) itu sebagai hari raya.” Beliau (‘Umar) bertanya, “Ayat yang mana?” Laki-laki itu berkata:
}الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيـنًا{
            ‘Umar berkata:

«قَدْ عَرَفْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ وَالْمَكَانَ الَّذِي نَزَلَتْ فِيهِ عَلَى النَّبِيِّ r وَهُوَ قَائِمٌ بِعَرَفَةَ يَوْمَ جُمُعَةٍ»

Kami benar-benar mengetahui hari dan tempat ayat itu diturunkan kepada Nabi saw., yaitu ketika beliau berdiri (wuquf) di Arafah pada Hari Jumat.[i]

            Sedangkan as-Suyuthi menyatakan:

Ibn Mandah telah mengeluarkan riwayat dalam kitab as-Shahâbah dari ‘Abdullah bin Jabalah bin Hibban bin Hajar. ‘Abdullah menerimanya dari bapaknya, sementara bapaknya dari kakeknya, yakni Hibban yang mengatakan:

«كُنَّا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ  وَأَنَا أَوْقَدُ تَحْتَ القِدْرِ فِيْهَا لَحْمُ الْمَيْتَةِ فَأَنْزَلَ تَحْرِيْمَ الْمَيْتَةِ فَأَكْفَأْتُ القِدْرَ»

Kami pernah bersama Nabi saw.. Saat itu saya sedang memanaskan wadah yang berisi daging bangkai, kemudian Allah menurunkan (ayat) yang mengharamkan bangkai (QS al-Maidah [05]: 3), lalu kami menumpahkan wadah tersebut.[ii]

            Secara dalâlah (lafadz) bisa disimpulkan, bahwa pernyataan ‘Umar yang menyatakan: 'Arafnâ dzâlika al-yawm wa al-makân al-ladzî nazalat fîhi ‘alâ an-nabiy (kami benar-benar mengetahui hari dan tempat ayat itu diturunkan kepada Nabi saw.), khususnya frasa:  al-ladzî nazalat fîhi ‘alâ an-nabiy, mirip dengan penyataan sahabat: nazalat hâdzihi al-âyat fî kadzâ (ayat ini diturunkan dalam konteks ini). Dalam hal  ini, menurut Ibn Taimiyah, ada perbedaan, apakah berarti sebab atau tafsir? Termasuk musnad (hadis marfû‘) atau bukan? Yang jelas, al-Bukhari memasukkannya sebagai musnad atau marfû‘.[iii] Pernyataan ‘Umar di atas lebih menunjukkan sebab, khususnya berkaitan dengan waktu dan tempatnya.



sedangkan riwayat yang kedua, secara dalâlah menunjukkan, bahwa riwayat tersebut memang merupakan sebab turunnya ayat ini. Sebab, di sana dinyatakan dengan fâ’ at-ta‘qîb, yang berkonotasi akibat.[iv] Hanya saja, riwayat tersebut tidak menyatakan waktu dan tempatnya. Karena itu, kebanyakan ulama  tafsir, baik klasik maupun kontemporer, seperti Ibn Katsir dan as-Sayis, misalnya, menyatakan bahwa waktu dan tempat turunnya ayat ini merujuk pada riwayat al-Bukhari, seperti yang dinyatakan oleh ‘Umar di atas.[v] Sementara itu, peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut jarang disebut,  kecuali dalam riwayat as-Suyuthi di atas.

Ayat ini bukan ayat yang terakhir diturunkan kepada Rasul karena setelahnya Rasul masih hidup selama 81 hari. Ayat-ayat yang diturunkan sesudahnya antara lain, secara berurutan, ayat kalâlah, ribâ, dan dayn (utang).[vi] Setelah ayat ribâ (QS 2: 281) dan ayat dayn diturunkan, Rasul masih hidup selama 9 malam.[vii] Yang jelas, surat al-Maidah [5]: 3 ini diturunkan setelah berbagai peristiwa politik terjadi dalam kehidupan umat Islam, seperti pembersihan entitas politik Yahudi (Bani Qaynuqa’, Bani Nadhir, Bani Qurayzhah, dan Khaybar) dan entitas politik musyrik (Qurays Makkah), penaklukan kota Makkah, serta tunduknya kabilah-kabilah di Jazirah Arab kepada negara Islam Madinah.

Karena itu, pantas jika dalam konteks itu Allah Swt. kemudian berfirman: al-Yawm[a] ya’is[a] al-ladîna kafarû min dînikum (Hari ini, orang-orang kafir putus asa terhadap agamamu). Di sini Allah menggunakan frasa al-ladzîna kafarû yang merupakan shîghat umum, tanpa disertai takhshîsh, sehingga konotasinya tetap umum, meliputi semua orang kafir. Artinya, setelah semua peristiwa tersebut, orang-orang kafir—baik Yahudi, Nasrani maupun Musyrik—telah berputus asa untuk menghancurkan agama kalian dan mengalahkan kalian. Karena itu, Allah kemudian menyatakan: Falâ takhsyawhum wakhsyawnî (Janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kalian kepada-Ku). Di sini, Allah menyatakan dengan fâ’ at-ta‘qîb, yang menjelaskan alasan mengapa orang-orang Mukmin tidak boleh dan bahkan tidak perlu takut kepada orang-orang kafir, tetapi hendaknya hanya takut kepada Allah. Sebab, orang-orang kafir itu sudah merasa tidak mampu lagi untuk menghancurkan agama kalian dan juga umat kalian. 

Selanjutnya Allah berfirman: al-Yawm[a] akmaltu lakum dînakum (Hari ini, Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian), yang  berarti secara eksplisit, ayat ini menyatakan, bahwa sejak hari ini (Hari Jumat, saat Nabi wuquf di Arafah) agama ini telah sempurna, tidak ada penambahan dan pengurangan. Padahal, pada kenyataannya, setelah ayat tersebut turun, masih ada beberapa ayat hukum yang diturunkan, seperti yang dijelaskan di atas. Karena itu, menurut as-Suyuthi, frasa: akmaltu lakum dînakum ini adalah bentuk isykâl (ambigu).[viii] Namun, ambiguitas tersebut bisa dijelaskan oleh as-Sayis dengan baik. Menurutnya,  yang dimaksud Allah telah menyempurnakan agama ini adalah, bahwa sebelum turunnya ayat ini, hukum-hukum Islam ada yang—menurut ilmu Allah—bersifat temporal, dan berpeluang untuk di-nasakh (dihapus), namun sekarang semuanya sudah sempurna dan layak untuk diimplementasikan pada tiap waktu dan tempat. Di sini, kesempurnaan Islam tersebut terlihat pada substansinya; ketika ia mengajarkan dasar-dasar akidah, legislasi hukum (tasyrî‘ al-ahkâm), dan ketentuan  ijtihad (qawânîn al-ijtihâd).[ix] Di sisi lain, orang Arab biasa menggunakan kata dîn (agama) dengan konotasi syarî‘ah yang disyariatkan,[x] yang meliputi akidah dan hukum syariat; baik ibadah, ekonomi, pemerintahan, sosial, pendidikan, maupun yang lainnya. Artinya, sebagai ajaran, Islam adalah ajaran yang sempurna, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak ada lagi aspek syariat yang belum dibahas di dalamnya. Ini dikuatkan oleh firman Allah:

}وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ{

Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu. (QS an-Nahl [16]: 89).

Sementara itu, firman Allah yang menyatakan, wa atmamtu ‘alaykum ni‘matî (Aku telah menyempurnakan untuk kalian nikmat-Ku), maksudnya adalah nikmat memasuki kota Makkah dengan aman dan tenang, sementara sebelumnya mereka telah diusir dari Makkah dan tidak bisa masuk ke dalamnya. Namun, setelah terjadinya penaklukan kota Makkah, orang-orang musyrik dibersihkan dari Makkah. Kemudian setelah turunnya surat Barâ’ah (at-Taubah), mereka dilarang melakukan haji di Baitullah sehingga umat Islam bisa melakukan ibadah haji dengan tenang dan tidak terganggu dengan hajinya orang-orang musyrik.[xi]
Selanjutnya, Allah berfirman: wa radhîtu lakum al-Islâm[a] dîn[an] (Aku telah meridhai Islam sebagai agama kalian). Kata al-Islâm di sini bisa berarti musytarak (kata dengan banyak konotasi), antara tunduk dan nama agama tertentu, dan bisa berarti manqûl (kata yang maknanya telah ditransformasikan dari konteks bahasa ke konteks syariat). Karena itu, di sini berlaku kaidah: al-manqûl râjih ‘alâ al-musytarak (kata manqûl lebih kuat ketimbang kata musytarak). Dengan demikian, frasa tersebut mempunyai konotasi bahwa Allah telah meridhai al-Islâm (Islam) sebagai agama bagi Nabi Muhammad dan umatnya. Ini dikuatkan dengan firman Allah:

}إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ الإِسْلاَمُ{

Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS Ali ‘Imran [3]: 19).

}وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ{

Siapa saja yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima agama itu. (QS Ali ‘Imran [3]: 85).

            Frasa wa radhîtu lakum al-Islâm[a] dîn[an] merupakan dalil yang mengkhususkan Islam sebagai agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Ini bisa dipahami dari struktur kalimat: wa radhîtu lakum al-Islâm[a] dîn[an], dengan mendahulukan lakum ketimbang obyeknya, al-Islâm, yang bisa berarti hashr (meng-“hanya”-kan). Dengan demikian, bisa diartikan, bahwa Dia meridhai Islam hanya sebagai agama untuk kalian. Inilah secara umum tafsir ayat al-Quran di atas.

Wacana Tafsir: Konotasi Dîn menurut al-Quran
Orang-orang Barat telah menyempitkan konotasi kata dîn hanya terbatas pada spiritualisme dan ritualisme, tidak lebih. Dalam bahasa Arab, kata dîn adalah kata musytarak (mengandung banyak arti). Al-Quran kadang-kadang menggunakan kata dîn dengan konotasi balasan (jazâ’) dan akuntabilitas (hisâb),[xii] misalnya:
}فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ{

Apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? (QS at-Tin [95]: 7).

            Kata tersebut, juga bisa berarti thâ‘ah (taat), misalnya:

}وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ{

Sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. (QS al-A‘raf [7]: 29).

bisa berarti ‘âdah (tradisi), misalnya:

}لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ{

Untukmulah tradisi agamamu dan untukku tradisi agamaku. (QS al-Kafirun [109]: 6).

juga bisa berarti millah (agama), misalnya:

}شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلاَ تَتَفَرَّقُوا فِيهِ{
Dia telah mensyariatkan kalian tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh,  apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, serta apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan ‘Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah-belah tentangnya. (QS as-Syura [42]: 13).

bisa juga berarti syarî'at (akidah dan hukum), misalnya:

}أَفَغَيْرَ دِينِ اللهِ يَبْغُونَ{

Apakah mereka mencari agama (akidah dan hukum) yang lain dari agama (akidah dan hukum) Allah. (QS Ali ‘Imran [3]: 83).

Juga bisa berarti keadaan (al-hâl), kekuasaan (as-sulthân), paksaan (al-qahr), maksiat (al-ma‘shiyyah) dan apa yang menjadi agama seseorang (yatadayyana bihi ar-rajul).[xiii] Karena itu, untuk menentukan makna mana yang lebih tepat untuk penggunaan kata tersebut harus dikembalikan pada qarînah lafdhiyyah (indikator kata) yang ada. 

Hanya saja, dalam al-Quran, konotasi dîn sebagai agama dinyatakan secara umum; meliputi millah, yang  berarti dasar-dasar monoteisme (ashl at-tawhîd), yang mengajarkan bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan syarî'at, yang meliputi akidah dan hukum syariat. Sementara itu, dîn dalam konteks Islam tidak lain adalah syariat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri, dan sesamanya.[xiv]
 
Dengan demikian, penggunaan istilah dîn yang merujuk pada konotasi agama—apalagi untuk menyebut Islam—dengan maksud spiritualisme dan ritualisme an sich adalah ahistoris.

Wacana Tafsir: Islam adalah Akidah dan Sistem
Islam adalah nama yang digunakan oleh Allah Swt. untuk menyebut agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., seperti yang dinyatakan dalam surat al-Maidah ayat 3: wa radhîtu lakum al-Islâm[a] dîn[an, atau yang dinyatakan dalam surat Ali ‘Imrân: 85: waman yabtaghi ghayr[a] al-Islâm[a] dîn[an].
Para ulama telah bersepakat, bahwa Islam bukan hanya terdiri dari akidah, tetapi juga syariat. Mahmud Syaltut, mantan syaikh al-Azhar, mengatakan:

Siapa saja yang mengimani akidah (Islam) dan mengabaikan syariatnya atau mengambil syariat tetapi meninggalkan akidah, maka menurut Allah, dia bukanlah Muslim, dan dalam pandangan Islam, dia tidak menapaki jalan keselamatan.[xv]

Inilah yang dinyatakan dalam firman Allah Swt.: 

} يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً {

Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam agama Islam secara kâffah (total). (QS al-Baqarah [2]: 208).

Dalam hal  ini, Ibn  Manzhur menyatakan, bahwa maksudnya adalah masuklah ke dalam Islam dengan seluruh syariatnya.[xvi] Lebih jauh, Syaltut mengatakan, bahwa Islam menuntut diintegrasikannya syariat dengan akidah; masing-masing tidak bisa dipisahkan. Akidah adalah dasar yang memancarkan syariat, sementara  syariat merupakan wujud fisik yang lahir dari akidah.[xvii] Dengan kata lain,  akidah adalah fondasi, sedangkan syariat adalah bangunan yang berdiri di atasnya. Karena itu, akidah tanpa syariat bagaikan fondasi tanpa wujud bangunan, sehingga abstrak dan sulit diukur. Sebaliknya, bangunan tanpa fondasi juga tidak mungkin, karena ia akan runtuh. Karena itu pula, para ulama menyatakan, bahwa keimanan adalah aspek batiniah, sedangkan syariat adalah aspek lahiriah.[xviii]
 
Sementara itu, secara syar‘î, akidah adalah keimanan yang bulat yang sesuai dengan realitas (yang diimani) dan bersumber dari dalil[xix] yang berkaitan dengan Allah, malaikat, kitab, rasul, Hari Kiamat serta qadhâ’ dan qadar yang baik dan buruknya berasal dari Allah Swt. Sebaliknya, syariat adalah sistem yang disyariatkan oleh Allah atau sistem yang dasar-dasarnya disyariatkan oleh Allah agar digunakan oleh manusia untuk mengatur hubungan dirinya dengan Tuhan, diri, dan sesamanya.[xx] Dalam hal ini, ‘Alwi as-Saqqaf dengan tepat sekali menyatakan:

Allah telah menurunkan syariat ini kepada Rasul-Nya saw. Di dalamnya dijelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh makhluk-Nya dalam mengemban tanggung jawab yang diperintahkan kepada mereka serta ritualitas yang telah dibebankan ke pundak mereka. Rasulullah saw. belum akan wafat sebelum agama ini sempurna, dengan kesaksian dari Allah Swt. dalam perkara tersebut, seraya berfirman:

} الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا {

Pada hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, mencukupkan untuk kalian nikmat-Ku, dan meridhai Islam sebagai agama kalian. (QS al-Maidah [5]: 3).

Karena itu, siapa saja yang menyangka bahwa masih ada sesuatu dalam agama ini yang belum sempurna, sejatinya sangkaan itu telah ditolak dengan firman Allah tersebut.[xxi]

Dengan demikian, Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna, yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak ada satupun persoalan yang belum dipecahkan oleh Islam sehingga masih kabur atau tidak jelas status hukumnya. Nabi saw. Bersabda:

«قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلاَّ هَالِكٌ»

Aku telah meninggalkan kalian dalam keadaan yang terang-benderang, malamnya bagaikan siang harinya; setelahku tidak akan ada yang tersesat kecuali orang yang celaka. (HR Ahmad dari Irbadh bin Sariyyah). []


[i] Bukhâri, Shahîh al-Bukhâri, Kitâb al-Imân, hadits no. 43.
[ii] As-Suyûthi, Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl, ter. Rohadi Abu Bakar, Wicaksana, Semarang, cet. I, t.t., hal. 138-139.  
[iii] Ibn Taymiyyah, Muqaddimah fî Ushûl at-Tafsîr, ed. 'Adnân Zarzûr, Dâr al-Qur'ân al-Karîm, Kuweit, cet. I, 1071, hal. 48. Mengenai status Marfû' atau Musnad dan tidaknya pernyataan sahabat, an-Nabhâni juga berpendapat yang sama, khususnya jika konteks pernyataan tersebut menjelaskan sebab, bukan tafsir sahabat. Lihat juga, an-Nabhâni, as-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Dâr al-Ummah, Beirut, cet. V, 1997, juz I, hal. 339.
[iv] Lihat, 'Ali al-Hasan, al-Manâr fi 'Ulûm al-Qur'ân, Dâr al-Fikr al-'Arabi, Beirut, cet. I, 1998, hal. 120-121.  
[v] Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Adhîm, ketika menafsirkan surat al-Maidah [05]: 3; 'Ali as-Sâyis, Tafsîr Ayât al-Ahkâm, Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1998, juz I, hal. 166.  
[vi] Menurut Bukhâri-Muslim, yang terakhir diturunkan adalah ayat kalâlah (Q.s. an-Nisâ' [3]: 176), sedangkan menurut Sa'id bin al-Musayb, ayat yang terakhir diturunkan adalah ayat hutang (Q.s. al-Baqarah [2]:  282), sedangkan menurut Ibn 'Abbâs, adalah ayat riba (Q.s. al-Baqarah [2]: 277) dan ayat 281. Dalam tarjih as-Suyûthi, ketiganya bisa dikompromikan dengan kesimpulan bahwa ketiga-tiganya diturunkan sekali, sebagaimana yang terdapat dalam urutan mushaf.    
[vii] Lihat, as-Suyûthi, al-Itqân fi 'Ulûm al-Qur'ân, Dâr al-Fikr, Beirut, t.t., juz I, hal. 27.     
[viii] as-Suyûthi, al-Itqân, juz I, hal. 29.    
[ix] 'Ali as-Sâyis, Tafsîr, juz I, hal. 166.     
[x] Al-Qurthûbi, al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur'ân, ketika menafsirkan surat al-Mâidah [5]: 3.   
[xi] Muhammad 'Alwi al-Mâliki, Zubdat al-Itqân, Dâr as-Syurûq, Jeddah,  cet. II, 1983, hal. 10.     
[xii] Q.s. al-Fâtihah: 4; al-Hijr: 35; an-Nûr: 25; as-Syu'arâ': 82; as-Shaffât: 20; Shad: 78; ad-Dzâriyat: 12; al-Wâqi'ah: 56; al-Ma'ârij: 26; al-Mudatsir: 46; al-Infithâr: 15, 17 dan 18, al-Muthaffifîn: 11. Dalam hal ini, lafadz dîn selalu dikaitkan dengan yawm (hari), misalnya: yawm ad-dîn, atau jika tidak dikaitkan dengan lafadz: wafâ'  (memenuhi), misalnya yuwafiyahum dînahum (memenuhi atau membalas balasan mereka) (Q.s. an-Nûr: 25).
[xiii] Lihat, Ibn Mandhûr, Lisân al-'Arab, Dâr al-Fikr, Beirut, t.t., juz XIII, hal. 170.
[xiv] Lihat, Abd al-Karîm Zaydân, al-Madkhal Ilâ as-Syarî'ah al-Islâmiyyah, Mu'ssasah ar-Risalah, Beirut, cet. XIV, 1996, hal. 34.
[xv] Mahmûd Syaltût, al-Islâm Aqîdat[an] wa Syarî'at[an], Dâr al-Qalam, Beirut, cet. III, 1966, hal. 14.
[xvi] Ibn Mandhûr, Lisân, juz XII, hal. 295.
[xvii] Mahmûd Syaltût, al-Islâm, hal. 12-13.
[xviii] Al-Kirmâni, Jawâhir al-Bukhâri, Dâr Ihyâ' al-Kutub al-'Arabiyyah, Indonesia, t.t., hal. 39.
[xix] Mahmûd Syaltût, Op. Cit., hal. 56.
[xx] Ibid, hal. 12.
[xxi] 'Alwi as-Saqqâf, Mukhtashar Kitâb al-I'tishâm li al-'Allâmah as-Syâthibi, Dâr al-Hijrah, Beirut, cet. I, 1997, hal. 135.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites