Pak Odih, seperti biasa, terkulai lemah. Tubuhnya yang kecil, kurus dan rapuh tak kuasa lagi ia tegakkan. Ia hanya ias terbaring lemah tak berdaya. Jangankan untuk duduk sendiri, untuk sekadar menggerakkan tubuhnya ke kiri atau ke kanan di pembaringan, ia sudah tak kuasa. Bahkan untuk sekadar mengangkat kepalanya, atau menggerakkan jari-jemarinya, ia sudah tak memiliki tenaga. Yang masih ias ia lakukan adalah menggerakan bola matanya serta berbicara dengan amat lirih.
Pak Odih—yang sebagian ruangan rumahnya dijadikan majelis taklim yang rutin setiap ias saya isi—menjalani kehidupan semacam itu lebih dari 20 tahun! Tepatnya, saat tiba-tiba ia diserang penyakit aneh. Penyakit itu tiba-tiba melumpuhkan seluruh tubuhnya, bahkan menjadikan tubuhnya yang semula gagah dan besar menjadi semakin mengecil dari tahun ke tahun. Hingga kini, tubuh tinggi dan gagah 20 tahun ke belakang itu sudah tak kelihatan lagi. Yang tampak hanyalah Pak Odih yang berbadan kecil, kurus dan ringkih; dengan tangan dan kaki yang juga kecil dan susut.
Namun, dalam kondisi yang amat mengharukan siapapun yang menyaksikannya, Pak Odih sesungguhnya tak pernah kehilangan semangat hidup. Senyumnya selalu tersimpul saat siapapun iasm untuk sekadar menengoknya. Ia pun tampak bahagia karena satu hal: kekuatan cinta sang istri kepadanya.
Bu Atih, demikian biasa ia dipanggil para tetangganya, memang seorang istri yang luar biasa. Ia rela tetap menjadi istri yang setia bagi suaminya. Dengan penuh keikhlasan, kesabaran dan rasa cintanya kepada Pak Odih, ia tak pernah lelah mengurus dan melayani suaminya; dari mulai pagi sampai malam hari; dari mulai membangunkan suaminya untuk shalat malam, lalu menggendongnya ke kamar mandi, memandikannya sekaligus mengambil air wudhu dan me-’wudhu’-kannya; mengganti pakaiannya dan menyiapkan tempat shalatnya di pembaringan; menyiapkan sarapan pagi sekaligus menyuapinya hingga memenuhi segala kebutuhan suaminya sampai larut malam. Ia baru berhenti saat suaminya sudah tertidur. Ia melakukan semua itu setiap hari, sejak menjelang waktu subuh hingga malam hari, selama lebih dari 20 tahun!
Padahal pada saat yang sama, Bu Atih juga harus berjualan sembari mengurus keempat anaknya sejak usia 4-8 tahun, Sekarang, alhamdulillah, keempat anaknya itu sudah menjadi dewasa dan semuanya sudah berumah tangga.
Siapapun mungkin tak akan pernah ias membayangkan ias menjalani hidup seperti Pak Odih dan Bu Atih. Namun. Dengan kekuatan cinta, semua itu toh mampu dijalani oleh keduanya. Kekuatan cinta Bu Atih kepada suaminya mampu menjadikan dirinya selalu ikhlas, sabar dan tak mudah mengeluh dalam menjalani hidup bersama suaminya yang lumpuh itu. Begitupun Pak Odih, dengan kekuatan cinta sang istri, ia tetap memiliki semangat hidup, bahkan mereguk kebahagiaan, meski puluhan tahun dihinggapi ketakberdayaan.
Para pengemban dakwah sejatinya ias mengambil ’ibrah (pelajaran) dari fragmen kehidupan kedua iasm ini. Bagaimana kekuatan cinta ias menjadi energi yang luar biasa bagi seseorang untuk ias tetap mengarungi hidup yang tak selalu indah dalam bayangan. Hal ini ias kita terapkan dalam kehidupan dakwah kita. Dalam arti, hendaklah setiap pengemban dakwah menumbuhkan, memelihara dan terus mengembangkan rasa cinta terhadap dakwah ini, yang sesungguhnya merupakan wujud cinta kita pada Islam dan kepada umat ini. Dengan kekuatan cinta yang kita miliki terhadap Islam dan umat ini, kita akan selalu ikhlas, sabar dan tak mudah putus asa saat dihadapkan dengan berbagai rintangan dan halangan dakwah. Itulah juga yang sesungguhnya ditunjukkan oleh Rasulullah saw. Dan para Sahabat serta generasi shalafush-shalih setelah mereka.
Rasa cinta yang begitu besar terhadap Islam dan umat inilah yang menjadikan Rasulullah saw. Memiliki tekad yang kuat, keikhlasan, kesabaran dan keistiqamahan dalam mendakwahi kaumnya selama 23 tahun! Padahal untuk itu beliau tidak jarang harus berhadapan dengan penderitaan hidup serta kekerasan dan kekejaman kaumnya. Dihina, dicaci-maki, dituduh gila, dilempari kotoran dan batu, diboikot, bahkan diancam untuk dibunuh adalah hal yang dialami Rasul sepanjang perjalanan dakwahnya. Hal itu sering beliau alami selama 13 tahun dalam periode dakwahnya di Makkah.
Hal yang sama dialami oleh para Sahabat yang memang sejak awal bertekad untuk terus mengikuti jejak dakwah Rasul yang penuh bahaya dan ias mengancam jiwa. Bilal bin Rabbah ias dengan tegar mengucapkan kata, “Ahad! Ahad! Ahad!” sekaligus bertahan saat dibaringkan oleh orang-orang kafir dalam keadaan tak berbaju di atas padang pasir yang amat panas dan sengatan sinar matahari yang membakar; lalu dihimpit dengan batu besar dan terus-menerus dicambuk. Abu Dzar al-Ghifari rela dikeroyok, ditendang dan dipukuli oleh orang-orang kafir hingga terluka parah saat mengumandangkan syahadat di tengah-tengah mereka. Bukannya kapok, hal yang sama ia lakukan keesokan harinya meski untuk itu ia pun kembali dikeroyok, ditendang dan dipukuli. Khabbab bin al-Art pernah rela diseret di atas timbunan bara api hingga lemak dan darah yang mengalir dari badannya memadamkan bara api tersebut. Siksaan yang tak kalah keji dialami pula oleh Amar bin Yasir dan kedua orangtuanya hingga keduanya syahid di jalan Allah.
Gambaran di atas hanyalah secuil kisah yang menunjukkan betapa karena kecintaan para Sahabat yang demikian kuat pada Islam dan umatnya, mereka mampu bertahan dalam menghadapi segala macam tantangan dakwah. Dengan kekuatan cinta itu pula mereka selalu ikhlas, sabar dan tetap istiqamah di dalam dakwah.
Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita benar-benar mencintai Islam dan umatnya secara tulus? Sudahkah kita benar-benar memiliki rasa cinta yang besar dan kuat terhadap dakwah ini?
Tentu, pertanyaan-pertanyaan itu tak perlu kita jawab secara lisan. Yang lebih penting, mari buktikan klaim cinta kita itu—cinta pada dakwah, Islam dan umatnya—dalam kenyataan. Caranya adalah dengan tetap ikhlas dalam dakwah; terus bersemangat di dalamnya; senantiasa sabar dan tabah dalam menghadapi berbagai tantangannya; selalu siap-sedia menjalankan taklif-taklif dakwah; tetap istiqamah; serta selalu rela berkorban apa saja demi dan untuk dakwah!
Wa mâ tawfîqî illâ billâh wa ’alayhi tawakkaltu wa ilayhi unîb.
0 komentar:
Posting Komentar