20 Mei 2010

Kemuliaan Wanita

Pada era modern ini banyak sekali wanita yang kehilangan jatidirinya. Sebagian merasa menjadi wanita yang mulia dan dihargai saat dia tampil cantik dan menarik. Akibatnya, mereka menghabiskan waktu, tenaga dan uang agar bisa tampil cantik dan menarik. Sebagian ada yang merasa mulia dan percaya diri jika bekerja, menduduki jabatan penting dan karirnya cemerlang. Mereka rela bekerja meskipun tempat kerjanya jauh, atau kerja full dari pagi sampai sore/malam. Akibatnya, mereka jarang bertemu dengan anak-anaknya meskipun satu rumah. Sering saat mereka pergi, anak-anaknya belum bangun, sementara saat mereka pulang, anaknya sudah tidur. Inilah salah satu pengaruh dari ideologi Kapitalisme dan Liberalisme.
 
Sebenarnya semua itu tidak memuliakan wanita, bahkan merendahkan wanita. Pasalnya, wanita dihargai dan dianggap mulia hanya karena kecantikannya dan materi/harta yang mereka miliki. Artinya, pada hakikatnya Kapitalisme/Liberalisme hanya memuliakan harta dan kecantikan wanita, tidak menghargai diri wanita itu sendiri. Begitu juga saat wanita harus bekerja sampai meninggalkan kewajiban utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Sebab, yang demikian bisa menjadikan suami dan anaknya kurang perhatian. Semuanya bisa berujung pada keretakan rumah tangga, yang tentu akan menghancurkan masa depan anak.

Dalam Islam kedudukan wanita mulia bukan karena kecantikan, harta atau jabatannya, tetapi karena ketakwaanya, yaitu melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Allah SWT berfirman: 

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian (QS al-Hujurat [49]: 13).

Kemuliaan Wanita

Dalam rumah tangga, Allah SWT memuliakan wanita dengan memberi peran sebagai sebagai ibu dan pengatur rumah tangga (umm[un] wa rabat al-bayt) yang bertanggung jawab mengatur rumah tangganya di bawah kepemimpinan laki-laki/suami. Sebagai pemimpin rumah tangga suami wajib memimpin, melindungi dan memberi nafkah kepada anggota keluarganya (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 34). Rasulullah saw. juga bersabda, “Wanita (istri) adalah penanggung jawab dalam rumah tangga suaminya dan anak-anaknya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Wanita yang mulia adalah yang paling bertakwa, yaitu wanita yang beraktivitas sesuai dengan hukum syariah. Karena itu, wanita yang bertakwa adalah yang mampu menjalankan perannya dengan baik, melaksanakan kewajibannya sebagai istri dan ibu sesuai dengan tuntutan syariah Islam. Mereka mengatur rumah tangganya dengan baik hingga mampu menciptakan suasana yang kondusif bagi suami dan anak-anaknya, untuk menggapai kemuliaan, yaitu menjadi pemimpin orang-orang yang bertakwa (Lihat: QS al-Furqan [25]: 74).

Dengan demikian, keluarga yang mulia adalah keluarga yang bertakwa, yaitu keluarga yang melaksanakan syariah Islam secara kâffah. Karena sampai sekarang syariah Islam belum tegak, maka keluarga yang bertakwa adalah keluarga yang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan Islam dan memperjuangkan tegaknya syariah secara kâffah dalam naungan Khilafah Islamiyah.

Keluarga yang bertakwa akan saling menasihati dalam kesabaran dan kebaikan. Suami akan mendidik dan menfasilitasi istrinya agar bisa melaksankan kewajibannya kepada Allah, termasuk berdakwah memperjuangkan Khilafah. Begitu juga istri akan mengingatkan suaminya jika lalai melaksanakan kewajiban kepada Allah, misalnya, dakwahnya kurang maksimal dan optimal karena kesibukan kerja. 

Di rumah tangga istri wajib melaksanakan kewajiban-kewajibannya, antara lain menaati suaminya, meminta izin suami jika keluar rumah, menyenangkan suami bila dipandang dan mengatur rumah tangganya sehingga nyaman bagi anggota keluarganya. Dengan itu seluruh anggota keluarganya bisa merasakan ’baytî jannatî’ (rumahku adalah surgaku). Ia mampu menjadikan anggota keluarganya bahagia. Suami dan anak-anak dalam keadaan riang, penuh kasih sayang dan semangat dalam menjalankan aktivitasnya sehari-sehari sesuai dengan perintah Allah untuk meraih kemuliaan hidup.

Seorang istri akan menyiapkan makanan yang halal dan sehat, yang disukai suami dan anak-anaknya. Karenanya, seorang istri harus meluangkan waktu untuk memilih makanan yang menyehatkan, bukan sekadarnya untuk dimakan. Ia juga harus membiasakan anggota keluarga menyukai makanan yang sehat dan halal dengan pendekatan persuasif. Sebab, anak-anak dan suami yang sehat mencerminkan kualitas pengaturan rumah tangga oleh sang istri.

Demikian pula dengan pakaian, karena anak-anak dalam masa pertumbuhan, maka harus diperhatikan apakah ada baju yang sudah tidak layak, baik karena robek, kancingnya hilang, sudah tidak muat atau ’ngatung’ sehingga auratnya terlihat. Begitu pula baju suami harus diperhatikan kelayakan dan ke-syar’i-annya. Sebab, pakaian yang dipakai anak-anak dan suami juga mencerminkan kualitas pengaturan rumah tangga oleh sang istri.

Tugas Mulia Mendidik Anak

Sebelum membahas peran ibu dalam mendidik anaknya, marilah kita memperhatikan beberapa tokoh Islam yang mencatat sejarah dengan tinta emas, antara lain:
1. Ali asy-Syaukani, seorang ulama besar, mujtahid dan pakar pendidikan yang telah menulis 348 judul buku.
2. Jabir Ibn Hayyan, pakar kimia yang menciptakan skala timbangan akurat, mendefinisikan senyawa kimia. Ia menulis 200 buku, 80 buku diantaranya di bidang kimia.
3. Imam al-Bukhari meneliti 300.000 hadis, yang diriwayatkan 1000 orang dan hadis yang dipilih hanya yang sahih, yaitu 7.275.
4. Imam Syafii (150 H-204 H), ahli fikih, hapal al-Quran umur 7 tahun, karyanya sangat banyak, salah satu karyanya kitab Al-Umm.
5. Imam Hanbali (164 H-241 H), ahli hadis, ahli fikih dan mujtahid. Karyanya antara lain: Musnad Ahmad Hanbali. Beliau memeriksa 750.000 hadis dan beliau memilih yang sahih 40.000.

Memperhatikan ketokohan mereka, sebagai seorang ibu tentu kita akan terdorong menjadi seperti ibu-ibu mereka, yaitu para ibu yang mampu melahirkan para tokoh yang membawa kejayaan Islam dan kaum Muslim. Tentu mereka itu dididik oleh ibu yang mulia, ibu yang memahami kewajibannya untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya menjadi orang mulia. Walaupun anak setelah besar akan dididik orang lain, tetapi ibulah pondasi pendidikan mereka; ibulah madrasah utama dan pertama mereka. 

Ibu bertanggung jawab terhadap tugas yang mulia, yaitu pengaturan rumah tangganya serta pengasuhan dan pendidikan anak-anaknya (sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan al-Bukhari-Muslim). Bersama ayah, seorang ibu wajib mendidik anak-anaknya agar menjadi anak yang salih, mujtahid, inovator serta pejuang yang tangguh, yang mampu mengantarkan pada kejayaan Islam dan kaum Muslim dengan tegaknya Khilafah Islamiyah. Keduanya mempersiapkan generasi yang siap menjadi pemimpin orang-orang yang bertakwa, menjadi SDM Khilafah Islamiyah serta mampu menjalanlan roda pemerintahan sesuai dengan syariah Islam. Tiada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi anak, kaum Muslim dan agama Islam, kecuali pemberian pendidikan yang baik kepada anak. Rasulullah saw. bersabda: 

مَا نَحَلَ وَالِدٌ وَلَدًا مِنْ نَحْلٍ أَفْضَلَ مِنْ أَدَبٍ حَسَنٍ
Tidak ada pemberian seorang ayah (orangtua) yang lebih utama daripada pendidikan yang baik (HR at-Tirmidzi).

Peran ini adalah peluang besar bagi seorang ibu untuk memperoleh pahala yang besar karena merupakan amal jariah, yaitu suatu amal yang pahalanya mengalir terus-menerus sekalipun ia sudah meninggal dunia. Ilmu yang diberikan kepada anaknya akan menjadi amal jariah jika anaknya mengamalkan dan menyampaikan kepada yang lain. Dengan itu sang ibu akan senantiasa mendapat kiriman pahala dari setiap orang yang mengamalkan ilmunya. Pahala ini tanpa mengurangi pahala yang melaksanakannya. Demikian pula merupakan amal jariah, yaitu anak salih yang senantiasa mendoakan orangtuanya.
Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []

Penulis adalah Narasumber Radio pada Rubrik Ketahanan Keluarga, Program Radio Cermin Wanita Shalihah, MMC-Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia. 

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites