Istiqâmah adalah mashdar dari istaqâma–yastaqîmu–istiqâmah. Secara bahasa artinya adalah i’tidâl (lurus). Istiqamah adalah lawan dari i’wijâj (kebengkokan). Al-Hafizh al-Jurjani di dalam At-Ta’rifât menjelaskan bahwa istiqamah itu adalah keberadaan suatu garis yang memenuhi semua bagian yang diperlukan sebagian atas sebagian yang lain, di atas semua keadaan.
Al-Quran menyatakan kata mustaqîm sebanyak 37 kali (kata al-mustaqîm lima kali, mustaqîman enam kali dan mustaqîmun 26 kali) yang semuanya menggunakan makna bahasanya, yaitu lurus. Kata ini 33 kali di-idhâfah-kan pada kata shirâth (jalan), satu kali pada kata tharîq (jalan) dan satu kali pada kata hudan (petunjuk). Jalan yang lurus (tharîq atau shirâth al-mustaqîm) itu hanya satu, yaitu Islam yang meliputi akidah dan syariahnya (QS al-An’am [6]: 153). Ibn Mas’ud menuturkan, “Rasul saw. menggambar garis untuk kami, kemudian beliau bersabda, ‘Ini adalah jalan Allah.’ Kemudian beliau membuat garis di kiri dan kanannya centang perenang dan beliau bersabda, ‘Ini jalan-jalan lain, di masing-masingnya ada setan yang mengajak padanya.’” (HR Ahmad, an-Nasai dan ad-Darimi).
Sikap istiqamah adalah sikap yang diperintahkan Allah SWT (Lihat: QS Hud [12]: 112; asy-Syura [42]: 15).
Sufyan bin Abdullah ats-Tsaqafi pernah meminta kepada Rasul saw. pesan suatu ucapan tentang perkara di dalam agama ini yang bisa dia jadikan pegangan dan dia tidak perlu bertanya tentang yang lain kepada seseorang setelah beliau. Rasul saw. lalu menjawab:
قُلْ: آمَنْتُ بِاللهِ، ثُمَّ استَقِمْ
Katakan, “Aku beriman kepada Allah,” kemudian beristiqamahlah (HR Ahmad dan Muslim)
Kemudian Allah SWT memberitahukan bahwa orang yang beriman lalu istiqamah tidak akan merasa takut, tidak akan bersedih hati dan akan mendapat pahala surga (lihat QS Fushshilat: 30; Al-Ahqaf: 13; al-Jin: 16). Semua ini merupakan indikasi yang menunjukkan bahwa perintah untuk istiqamah itu bersifat tegas. Artinya, istiqamah itu hukumnya wajib.
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Ali asy-Syaikh di dalam bukunya Syarh al-Arba’în an-Nawawiyah menjelaskan bahwa istiqâmah menggunakan wazan istaf’ala, maknanya bisa thalab (permintaan), misal istaghfara artinya thalab al-gufrân (meminta ampunan); bisa juga bermakna luzûm al-washfi wa katsratu al-ittishâfi bihi wa ‘azhmu al-ittishâfi bihi (keharusan satu sifat dan banyak serta besarnya menyifati diri dengannya), misal istaghnâLlâh (QS at-Taghabun: 6). Kata istiqâmah menurut makna yang kedua ini.
Jadi, dalam konteks ini istiqâmah maknanya memiliki sifat iqâmah (menegakkan, meluruskan atau mengerjakan), banyak memiliki sifat itu dan menetapinya, tidak berubah dan tidak berganti darinya. Karena itu, istiqamah maknanya adalah tegak dan lurus di atas keimanan dan agama Islam, banyak menyifati diri dengan itu dan menetapinya. Ringkasnya, istiqamah adalah ats-tsabât ‘alâ ad-dîn (teguh secara kontinu di atas agama).
Imam an-Nawawi di dalam Riyâdh ash-Shâlihîn mengatakan, “Para ulama berkata, ‘Istiqamah adalah luzûm ath-thâ’ah (menetapi ketaatan).’”
Ibn Rajab al-Hanbali di dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam menjelaskan bahwa istiqamah adalah bertindak sesuai dengan jalan yang lurus, yaitu agama yang lurus (Islam) tanpa menyimpang ke kiri atau ke kanan, dan hal itu mencakup semua aktivitas ketaatan lahir maupun batin, dan meninggalkan semua yang dilarang.
Mula Ali al-Qari di dalam Mirqat al-Mafâtîh Syarh Misyhkah al-Mashâbâh juga menjelaskan bahwa istiqamah adalah melaksanakan semua yang diperintahkan dan menjauhi semua yang dilarang, termasuk di dalamnya aktivitas hati dan badan berupa iman, Islam dan ihsan; sebab istiqamah tidak terealisasi beriringan dengan suatu kebengkokan.
Di dalam Hasyiyah as-Sindi ‘alâ Sunan Ibn Mâjah disebutkan bahwa istiqamah adalah mengikuti kebenaran dan menegakkan keadilan serta menetapi manhaj yang lurus dengan melaksanakan semua yang diperintahkan dan menjauhi semua yang dilarang. Hal itu merupakan perkara agung yang tidak bisa dilakukan kecuali oleh orang yang hatinya disinari oleh cahaya suci dan membebaskan diri dari kegelapan manusiawi serta mendapat pertolongan dari sisi Allah.
Dengan demikian, istiqamah yang sempurna dalam segala hal adalah tegak dan lurus di atas keimanan yang benar dan sempurna, melaksanakan dan menetapi semua bentuk ketaatan serta menjauhi semua bentuk kemaksiatan lahir maupun batin dalam semua keadaan dan kesempatan.
Keistiqamahan yang sempurna seperti itu jelas merupakan sesuatu yang sangat berat. Bahkan diisyaratkan bahwa seorang hamba tidak akan mampu merealisasi keistiqamahan yang sempurna dalam segala perkara sepanjang waktu dan yang bisa merealisasinya adalah seorang nabi yang ma’shûm. Karenanya, Allah SWT di dalam QS Fushshilat [41]: 6, setelah memerintahkan untuk istiqamah, lalu memerintahkan kita untuk memohon ampunan. Artinya, seorang hamba yang berusaha sungguh-sungguh untuk istiqamah, ia masih mungkin melakukan kebengkokan, karenanya diperintahkan untuk beristighfar. Rasul saw. juga bersabda:
اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا …
Beristiqamahlah kalian dan kalian tidak akan mampu (melakukannya secara sempurna) (HR Ahmad, Ibn Majah, ad-Darimi dan Malik).
Karenanya, beliau dalam kesempatan lain bersabda:
سَدِّدُوْا وَقَارِبُوْا
Beristiqamahlah secara hakiki dan berusahalah mendekati keistiqamahan yang hakiki itu (HR al-Bukhari dan Muslim).
Kaidah yang harus dijadikan pegangan adalah sabda Rasul saw.:
فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Jika aku melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah dan jika aku memerintahkan suatu perkara maka lakukan sesuai kemampuan kalian (HR Ahmad, Bukhari, Muslim, al-Baihaqi dan Ibn Hibban)
Jadi, kita harus sungguh-sungguh berusaha semaksimal mungkin untuk istiqamah; yaitu menetapi keimanan, tauhid dan akidah Islam yang benar dan lurus; serta menetapi ibadah dan ketaatan kepada Allah SWT. Hal ini pada dasarnya adalah hakikat ketakwaan itu sendiri.
Para ulama menjelaskan, agar bisa tetap istiqamah, setidaknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama: mewujudkan keimanan yang benar, lurus dan berpengaruh. Keimanan harus senantiasa diperbarui. Di antaranya dengan me-refresh metode meraih keimanan; me-refresh bukti, dalil dan argumentasinya yang pasti dan terus dijaga dan dipertegas; terus diingat dalam hati, diucapkan dengan lisan dan menghadirkan makna-makna keimanan yang syar’i; menghadirkan kesan di dalam benak atas kenikmatan surga, pedihnya siksa neraka dan apa saja yang wajib diimani; juga terus menghadirkan kesadaran akan murâqabah Allah dan bahwa Allah Mahatahu. Semua itu merupakan dorongan terbesar untuk bersikap istiqamah. Keistiqamahan akan berbanding lurus dengan benar dan lurusnya keimanan serta tingkat pengaruh keimanan itu dalam diri kita. Dalam hal ini amal-amal ibadah dan zikir sangat besar faedahnya.
Kedua: menjaga keikhlasan semata karena Allah dan untuk meraih ridha-Nya. Sebab, setan tidak akan bisa menggoda hamba-Nya yang ikhlas (QS al-Hijr: 39-40; Shad [38]: 82-83).
Ketiga: menuntut ilmu syariah, ilmu tentang halal dan haram. Sebab, seseorang tidak mungkin berlaku lurus tanpa mengetahui apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang. Kemudian berpegang pada kaidah amal, yaitu berpikir dan mencari tahu hukumnya, baru memutuskan untuk mengambil dan melakukannya atau tidak.
Keempat: senantiasa membina kesabaran dalam segala keadaan saat mendapat kenikmatan maupun ketika tertimpa musibah; terus membangun sikap qanâ’ah (rasa syukur dan merasa cukup) atas pemberian dari Allah SWT.
Kelima: teman dan lingkungan yang salih dan kondusif untuk istiqamah. Sebab, orang-orang Mukmin saling tolong-menolong di antara mereka di dalam keimanan dan ketaatan. Rasul juga bersabda:
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
Seseorang itu sesuai dengan agama temannya. Karena itu, hendaklah siapapun dari kalian memperhatikan dengan siapa ia berteman (HR Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi).
Di sinilah pentingnya berjamaah. Para ulama memperingatkan bahwa setan lebih mudah memperdaya orang yang sendirian dan jauh dari orang yang berjamaah.
Keenam: senantiasa instrospeksi diri sendiri sehingga dengan cepat akan bisa tahu dan sadar akan terjadinya penyimpangan. Jadi, ‘alarm’ pendeteksi kemaksiatan dan penyimpangan harus selalu on dalam diri kita.
Ketujuh: berdoa memohon kepada Allah perlindungan dari kebengkokan dan memohon taufik, pertolongan dan bantuan Allah untuk bisa istiqamah.
Allâhummâ ânta rabbunâ farzuqnâ al-istiqâmah. [Yahya Abdurrahman]
0 komentar:
Posting Komentar