MEMEILIHARA DIRI DARI AZAB ALLAH
Tafsir Surat al-Baqarah (2) Ayat 281
Oleh : MR Kurnia
Tafsir Surat al-Baqarah (2) Ayat 281
Oleh : MR Kurnia
وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ
Peliharalah diri kalian dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kalian semua dikembalikan kepada Allah, kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna atas apa yang telah dikerjakannya, sedangkan mereka sedikitpun tidak dianiaya/dirugikan.
QS al-Baqarah [2]: 281).
Makna Global
Ayat ini, menurut pendapat yang kuat, merupakan ayat terakhir yang diturunkan. Karena itu, ia merupakan ayat pamungkas. Umumnya, sesuatu yang pamungkas merupakan sesuatu yang amat penting.
Ayat ini diawali oleh beberapa ayat yang berisi pelarangan riba. Dalam ayat-ayat sebelumnya, Allah Pencipta alam mewajibkan manusia meninggalkan apa yang diharamkan-Nya tersebut, bahkan memproklamirkan perang terhadap siapapun yang melabraknya. Berdasarkan dua kondisi nash-nash yang terkait dengannya, nyatalah surat al-Baqarah ayat 281 ini merupakan ayat yang menentukan keberhasilan seorang Mukmin dunia-akhirat.
Melalui ayat tersebut, Allah Swt. menegaskan bahwa kita, semua manusia, akan dikembalikan kepada-Nya, Zat Yang Mahaperkasa. Kaum kafir (baik dari kalangan musyrik maupun Ahlul Kitab bahkan ateis) dan kaum Muslim (baik yang Mukmin-muttaqîn, fasik, zalim, ataupun munafik) semuanya akan dikembalikan kepada Allah Swt. Innâ lillâhi wa innâ ilayhi râji‘ûn; sesungguhnya kita adalah milik Allah dan sungguh kepada-Nya kita kembali.
Makna dikembalikan tersebut bukanlah sekadar dikembalikan, melainkan dikembalikan untuk diperhitungkan setiap amal perbuatan yang telah dilakukan. (Lihat: QS asy Syu‘ara [26]: 113; QS al-Ghasyiyah [88]: 26). Tidak ada satu pun perbuatan yang tersembunyi. Hari itu semua rahasia ditampakkan, dan tidak ada bagi manusia satu kekuatan pun dan tidak ada pula penolong. (Lihat: QS ath-Thariq [86]: 5-10). Kita, manusia, akan dihukumi penuh keadilan. (Lihat: QS an-Nisa’[4]: 40). Saat itulah Allah Swt. menetapkan putusan untuk menyiksa setiap pelaku kemaksiatan dan memberi balasan baik bagi pelaku ketaatan. (Lihat: QS az-Zalzalah [99]: 7-8).
Puncaknya, manusia terbagi ke dalam golongan orang-orang yang diridhai-Nya dengan surga sebagai salah satu wujudnya dan mereka yang mendapatkan murka-Nya dengan neraka sebagai salah satu bentuknya. Siapapun yang hendak meraih keridhaan-Nya harus takut kepada-Nya. (QS al-Bayyinah [98]: 8). Caranya adalah dengan benar-benar beriman. Allah Swt. menyatakan bahwa bagi kaum Mukmin pertemuan dengan Allah adalah pertemuan yang menggembirakan. (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 223; QS Ali Imran [3]: 171). Lalu, melakukan ketakwaan dengan menaati segenap aturan yang Dia tetapkan, berjuang penuh kesabaran, kokoh dalam ketaatan, menentang kekufuran, dan terus berbuat kebaikan. (Lihat: Ali ‘Imran [3]: 145-148; QS al-Bayyinah [98]: 5-8). Dengan kata lain, setiap orang wajib terikat dengan hukum syariat. Semua itu harus dilakukan terus-menerus dan di atas jalan yang lurus (istiqâmah). Allah menjanjikan bagi mereka yang istiqâmah ditolong dunia dan akhirat. (Lihat: Fushilat [41]: 30). Dengan demikian, surat al-Baqarah ayat 281 ini memberikan penjelasan dari Allah Penghisab manusia tentang akhirat sebagai kehidupan hakiki manusia.
Pendapat Ulama Tafsir
1. Tafsir Jalalain1
Peliharalah diri kalian pada hari yang pada waktu itu kalian semua dikembalikan (yakni binâ’ bagi maf’ûl/obyek berarti kalian dikembalikan [turaddûna] dan binâ’ bagi fâ’il/subyek berarti kalian berjalan, pada hari tersebut kepada Allah), yaitu Hari Kiamat. Kemudian diberi (yakni di dalamnya) setiap diri (balasan) atas apa yang telah dikerjakannya, baik berupa kebaikan (khayr) maupun keburukan (syarr), dan mereka sedikitpun tidak dianiaya/dirugikan dengan pengurangan kebaikan atau penambahan keburukan.
2. Tafsir Ibnu Katsir2
Dia Swt. menasihati para hamba-Nya dan memberikan peringatan kepada mereka tentang punahnya dunia dan kefanaan segala yang ada di dalamnya berupa kekayaan dan hal lainnya. Lalu, Dia menjelaskan kedatangan akhirat dan kembali kepada-Nya, Zat Yang Mahatinggi, hisab-Nya terhadap makhluk-Nya atas apapun yang mereka telah lakukan, balasan-Nya kepada mereka atas apa yang mereka perbuat baik berupa kebaikan maupun keburukan, serta Dia mengancam mereka dengan sanksi (‘uqûbat)-Nya.
Telah diriwayatkan bahwa ayat ini merupakan ayat terakhir al-Quran nan agung yang diturunkan. Ibn Lahi’ah berkata, “Atha bin Dinar dari Sa‘îd bin Jubair bahwa dia berkata akhir dari ayat seluruh ayat al-Quran, yang diturunkan adalah ayat ini (QS al-Baqarah [2]: 281).” Hal ini dinyatakan pula berdasarkan riwayat Ibn Mardawaih, an-Nasa’i, adh-Dhahak, ats-Tsauri, dan Ibn Juraij. Semuanya berasal dari Ibn Abbas.
Nabi saw. hidup setelah turunnya ayat ini selama sembilan malam, kemudian wafat pada hari Senin, hari kedua bulan Rabi‘ul Awwal. Begitu menurut riwayat Ibn Abi Hatim dan Ibn Juraij. Sementara itu, menurut riwayat ats-Tsauri antara turunnya ayat tersebut dengan wafatnya beliau adalah 31 hari.
3. Tafsir Al Qurthubi3
Ayat ini disebutkan sebagai ayat terakhir yang diturunkan. Di antara riwayat yang menyatakan demikian berasal dari Ibn Abbas, Athiyah, as-Suday. Ayat ini merupakan peringatan bagi segenap manusia dan merupakan perkara yang menspesifikkan masing-masing individu. Kata yawman tersebut manshûb dalam kedudukannya sebagai maf‘ûl (obyek), bukan zharf (keadaan). Kalimat pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah merupakan na‘at-nya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa maksud dari hari yang diperingatkan itu adalah Hari Kiamat, Hari Pertanggungjawaban, dan Hari Pembalasan. Sebagian ulama ada yang memahami bahwa hari tersebut adalah hari kematian. Ibn Athiyah mengatakan bahwa pendapat pertama itulah yang lebih tepat. Hal ini dilihat dari ungkapan-ungkapan dalam ayat tersebut.
Dalam pernyataan dikembalikan kepada Allah terdapat mudhâf yang dihilangkan (mahzhûf), yang sejatinya bermakna dikembalikan pada hukum Allah dan penyelesaian keputusan oleh-Nya. Kata mereka kembali pada makna keseluruhan/setiap (kull) diri. Ayat tersebut menyatakan bahwa pahala dan siksaan terkait dengan amal-amal yang dilakukan. Hal ini menolak pemahaman Jabariah tentang amal.4
4. Tafsir ath-Thabari5
Dalam ayat ini Allah Zat Yang Maha Terpuji menyatakan, “Waspadalah, wahai manusia, akan suatu hari saat kalian dikembalikan kepada Allah. Pada hari itu kalian dikembalikan kepada-Nya dengan keburukan-keburukan yang membinasakan kalian, berbagai kehinaan yang menghinakan kalian, bermacam kurasan yang menguras (energi, perhatian) kalian sehingga tersingkaplah setiap yang kalian sembunyikan, dan dengan berbagai kerendahan yang membenamkan kalian sehingga hal tersebut mewajibkan kalian berhak mendapatkan siksaan dari Allah yang belum pernah kalian merasakan sebelumnya. Sungguh, hari itu adalah hari pembalasan amal, bukan hari helah untuk meminta keringanan; bukan pula hari berlepas diri, tobat, dan kembali; melainkan hari pembalasan, pahala, dan pertanggungjawaban (hisab). Pada hari itu, dikembalikan semua balasan kepada setiap diri atas apa yang telah mereka lakukan dan upayakan, baik berupa amal keburukan maupun kebaikan. Tak tersisa, pada hari itu, amal kecil maupun besar, dari perbuatan buruk ataupun baik, kecuali dihadirkan. Lalu, dikembalikanlah balasan dari Rabb-nya secara adil, tanpa dizalimi. Bagaimana mungkin dapat dikatakan zalim, suatu perbuatan buruk dibalas dengan satu balasan yang setimpal; sedangkan satu perbuatan baik dibalas sepuluh kali lipat dari perbuatan baiknya itu. Sungguh, wahai para pelaku keburukan, betapa adil dan penuh penghormatan. Karena itu, hal paling utama dan layak, wahai pelaku kebaikan, adalah hendaklah seseorang bertakwa kepada Allah, mengambil pelajaran dari peringatan-Nya itu, dan bersikap waspada jangan sampai saat datangnya hari itu dia termasuk orang yang punggungnya berat menanggung dosa, tetapi justru ringan menenteng amal kebaikan. Sungguh Allah Zat Yang Maha Gagah Perkasa telah memberi peringatan, maka peringatkanlah (manusia). Dia telah menasihatkan, maka sampaikanlah (kepada manusia).”
Ingat Mati
Ketika siapapun menghayati surat al-Baqarah ayat 281, niscaya ia akan teringat akan kematian. Sebab, hari yang diperingatkan Allah Swt. tersebut terjadi setelah kematian.
Utsman bin ‘Affan dalam salah satu khutbahnya pernah menyampaikan, “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah memberi kalian dunia agar dengannya kalian dapat memperoleh akhirat. Dia tidaklah memberikan dunia itu kepada kalian agar kalian berlutut kepadanya. Sungguh, dunia itu fana, sedangkan akhirat itu kekal abadi. Janganlah yang fana itu melalaikan kalian dan melupakan kalian dari akhirat yang kekal. Utamakanlah yang kekal daripada yang fana. Sebab, sesungguhnya dunia itu pasti akan putus hubungan dan tempat kembali itu hanyalah kepada Allah Swt.”
Rasulullah saw. memerintahkan umatnya untuk mengingat kematian dalam hadis yang diriwayatkan Tirmidzi:
«أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ يَعْنِي الْمَوْتَ»
Perbanyaklah oleh kalian mengingat penghancur kelezatan, yakni kematian. (HR at-Tirmidzi).
Rasulullah saw. dan para sahabatnya memiliki karakter untuk senantiasa mengingat kematian. Al-Baihaqi meriwayatkan, suatu waktu turunlah ayat :
أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ وَتَضْحَكُونَ وَلاَ تَبْكُونَ
Apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? (QS an-Najm [53]:59–60).
Pada saat turun ayat ini, para ahlus suffah menangis hingga air matanya membasahi janggut. Rasulullah pun menangis bersama dengan mereka seraya bersabda, “Api neraka tidak akan menyentuh orang yang menangis karena takut kepada Allah, dan tidak akan masuk surga orang yang terus menerus bergelimang dalam kemaksiatan.”
Umar bin Khaththab terkenal tegas dan kukuh dalam berpegang pada kebenaran. Namun, dalam hal kematian, beliau pun senantiasa teringat padanya. Beliau menangis saat mendengarkan ayat-ayat atau peringatan tentang akhirat. Bahkan cincin yang dikenakannya bertuliskan “Kematian itu sudah cukup sebagai peringatan, wahai Umar!”
Bukan hanya sahabat, para penerusnya pun demikian. Diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz setiap malam mengumpulkan para fuqaha. Mereka saling mengingatkan tentang kematian, Hari Kiamat, dan akhirat. Mereka pun menangis seakan-akan menghadapi kematian.
Begitulah, Rasulullah saw., para sahabat, beserta pengikut sesudahnya yang salih senantiasa berupaya mengingat kematian. Siang hari mereka berjuang sebagai mujahid, mencari nafkah, berdakwah, dan melakukan aktivitas lainnya. Semua itu dilakukan dengan diatur oleh syariat Islam, sebab mereka selalu ingat kematian.
Sayangnya, kesadaran akan kematian ini sering tertutup oleh glamour-nya kehidupan. Penguasa menerapkan sekularisme, menolak Islam, bahkan berbuat kezaliman seakan-akan mereka tidak akan dihisab. Begitu pula rakyat, membiarkan kemungkaran merajalela dan berperilaku jauh dari syariat Islam. Padahal, siapapun orangnya akan ditanyai tentang seluruh perbuatannya menyangkut umurnya, masa mudanya, hartanya, bahkan ilmunya, baik besar maupun kecil. Semuanya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Zat Yang Mahatahu.
Catatan kaki:
1 Tafsîr Jalâlain, t.t., Dâr al-Hadîts, Kairo, I/44.
2 Tafsîr Ibn Katsîr, 1401 H, Dâr al-Fikr, Beirut, I/410.
3 Tafsîr al-Qurthubi, 1372 H, Dâr asy-Sya’bi, Kairo, III/374–375.
4 Tafsîr ath-Thabari, 1405 H, Dâr al-Fikr, Beirut, III/113-114.
0 komentar:
Posting Komentar