27 Agustus 2010

MAKSIAT

Suatu ketika, ada seseorang yang menjumpai Ibrahim bin Adham ra. Ia kemudian berkata sembari meminta nasihat kepadanya, “Wahai Abu Ishaq, aku ini gemar sekali berbuat maksiat. Aku ingin berhenti, tetapi sering tidak bisa. Karena itu, tolonglah aku. Berilah aku nasihat agar aku tidak bermaksiat lagi.”

Ibrahim bin Adham ra. menjawab, “Bagiku, tak masalah engkau gemar berbuat maksiat, asalkan engkau memenuhi dulu lima syarat.”

Heran campur bingung, lelaki itu bertanya, “Apa saja lima syarat itu, wahai Abu Ishaq, sehingga saya dapat bebas berbuat maksiat?” 

“Syarat pertama,” kata Ibrahim bin Adham, “Jika engkau ingin bermaksiat kepada Allah, janganlah engkau makan dari rezeki-Nya.”

“Lalu, saya mau makan apa? Semua yang saya makan adalah rezeki dari Allah.”

“Kalau begitu, pantaskah engkau memakan rezeki dari Allah, sedangkan engkau suka melanggar perintah-Nya?” jawab Ibrahim.

“Baiklah. Apa syarat yang kedua?”

“Kalau engkau ingin bermaksiat kepada Allah, janganlah engkau tinggal di bumi-Nya.”

“Kalau bukan di bumi milik Allah, aku harus tinggal di mana? Bumi dan langit ini semuanya milik Allah.”

“Kalau begitu, layakkah engkau makan dari rezeki Allah dan tinggal di bumi-Nya, sedangkan engkau gemar menentang aturan-Nya?”

Orang itu terdiam. Namun, ia kemudian bertanya lagi, “Baiklah. Terus, apa syarat yang ketiga?”

“Jika engkau ingin tetap makan dari rezeki Allah dan tetap tinggal di bumi milik-Nya, namun engkau pun tetap ingin bermaksiat kepada-Nya, silakan saja, asal engkau lakukan itu di tempat yang tidak dilihat oleh-Nya.”

“Wahai, Abu Ishaq,” kata lelaki itu, “Mana mungkin saya bersembunyi di tempat yang tidak dilihat-Nya, sementara Dia adalah Zat Yang Mahaawas?”

“Jika demikian, lalu mengapa engkau tetap bermaksiat kepada-Nya?” tegas Ibrahim lagi.
“Baiklah. Sekarang, apa syarat yang keempat?”

“Kalau Malaikat Maut datang menjemputmu, sedangkan engkau dalam keadaan bermaksiat kepada Allah, katakan saja kepadanya, ‘Nanti saja, jangan cabut nyawaku dulu. Beri dulu aku kesempatan untuk bertobat dan beramal salih.’”

“Wahai Abu Ishaq, mana mungkin?”

“Kalau engkau sadar bahwa kematian tidak bisa ditunda, lalu mengapa engkau tetap tak mengindahkan perintah dan larangan-Nya?”

“Baiklah. Sekarang, apa syarat yang kelima.”

“Apakah engkau sudah tahu nasibmu nanti di akhirat, apakah masuk surga atau masuk neraka?” tanya Ibrahim balik bertanya.

“Tentu saja saya tidak tahu.”

“Kalau engkau tidak tahu nasibmu nanti di akhirat, apakah masuk surga atau masuk neraka, hal itu seharusnya sudah cukup untuk menghentikan dirimu dari kegemaranmu berbuat maksiat kepada-Nya.” 

Orang itu pun menangis. Ia kemudian berkata, “Wahai Abu Ishaq, cukup. Jangan Anda teruskan lagi. Mulai hari ini, aku akan bertobat dengan sebenar-benarnya kepada Allah. Aku berjanji, mulai hari ini aku tidak akan bermaksiat lagi.”

Demikianlah, sejak nasihat itu, lelaki itu berubah menjadi orang yang salih dan berusaha menjauhi segala kemaksiatan kepada Allah.

****

Sepenggal kisah di atas seharusnya sudah cukup memberikan ibrah bagi kita, betapa tidak pantasnya seorang manusia, apalagi Mukmin, banyak bermaksiat kepada Allah dan melanggar perintah-Nya. Memang, sebagaimana kata Nabi saw., manusia adalah tempat salah dan khilaf. Namun, sengaja berbuat maksiat kepada Allah, apalagi gemar melanggar perintah-Nya, bukanlah sikap sejati seorang Mukmin. 

Namun, begitulah manusia; sering lupa diri; bahkan sering tak tahu diri. Ia diberi kesempatan tinggal di bumi ini oleh Allah, diberi rezeki dari Allah, namun ia sering melupakan bahkan menentang perintah-Nya. Ia senantiasa diawasi oleh Allah, selalu diintai oleh Malaikat Maut, tetapi tak pernah menyadarinya. Banyak manusia yang bukan saja gemar bermaksiat kepada Allah, namun bahkan bangga dengan kemaksiatan yang dilakukannya. 

Hari-hari ini kita menyaksikan, betapa banyak orang yang tidak mau hidup diatur oleh syariah Allah, bahkan dengan sombong menentang syariah-Nya. Mereka berlagak seolah-olah merekalah pemilik dunia ini. Mereka merasa berhak untuk mengatur dunia ini sesuai dengan kehendak hawa nafsu mereka. Padahal, di antara mereka banyak yang mengaku Muslim. 

Kita melihat, banyak Muslim yang rajin salat, namun gemar pula bermaksiat; shaum di bulan Ramadhan, tetapi tetap melakukan keharaman di luar Ramadhan; berhaji berkali-kali, tetapi dengan biaya dari hasil korupsi; gemar berzikir, namun tetap tak mau mikir; suka bersedekah dan rajin berumrah, tetapi tak pernah mau peduli pada syariah; mengaku mencintai Nabi, namun sering berperilaku yang tidak islami; mengaku bermoral, tetapi paha dan pusar sering diobral; mengaku khawatir dengan kepribadian generasi muda, tetapi membiarkan para kapitalis mejerumuskan mereka ke dalam kubangan narkoba dan asusila; bersimpuh dan bersujud setiap waktu, tetapi menzalimi rakyat tak pernah jemu; mengklaim pelayan masyarakat, namun yang sering dibela para konglomerat jahat; “Bersama kita bisa,” katanya, sementara mengatakan ‘tidak’ kepada Amerika pun tak kuasa; mencita-citakan masyarakat yang bermartabat, namun membiarkan para wanita mengobral aurat; menghendaki masyarakat yang berbudi pekerti, tetapi tak pernah henti menyuguhi mereka dengan pornografi-pornoaksi; mengaku pengemban dakwah, namun tak pernah berusaha memperjuangkan syariah dan Khilafah; meyakini kedaulatan ada di tangan syariah, namun justru demokrasilah yang dibela dengan susah-payah; mengaku berjuang untuk sesuatu yang syar‘i, namun enggan mencontoh manhaj dakwah yang dicontohkan Nabi; mengklaim bagian dari masyarakat beradab, tetapi sering bertindak biadab; menangkapi para pejuang syariah, namun tak pernah mau menyentuh para penjarah; bertekad ingin keluar dari berbagai krisis, namun mendengar kata syariah saja ‘miris’; mengaku anggaran negara ‘kering’, namun sumber-sumber kekayaan alam terus diserahkan kepada pihak asing; mengaku bangsa merdeka, tetapi membiarkan diri diperlakukan semena-mena; mengklaim membenci penjajah, namun bermental layaknya bangsa terjajah. Na‘ûdzu billâh!  

[Arief B. Iskandar]


0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites