Pengantar
Secara etimologis, kata zalim (lalim) dalam bahasa Indonesia sering disepadankan dengan kata aniaya, sewenang-wenang, despotis.1 Dalam bahasa Arab sendiri, kata zalim merupakan padanan dari ism mashdar (akar kata) zhulm. Azh-Zhulm sendiri berasal dari kata kerja zhalama-yazhlimu-zhulman-mazhlimatan, yang makna dasarnya adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya (lawan kata dari adil [al-‘adl]). Dalam sebuah perumpamaan Arab dikatakan, “Man asybaha abâhu fa mâ zhalam (Siapa saja yang menyerupai bapaknya, ia tidaklah berlaku ‘zalim’).” Berkaitan dengan perumpamaan ini, al-Ashma’i mengatakan bahwa frasa mâ zhalama (tidak berlaku ‘zalim’) artinya mâ wadha‘a asy-sibha fî ghayri mawdhî‘ihi (tidak membuat penyerupaan dengan sesuatu yang tidak pada tempatnya). Dikatakan pula, misalnya, “Man istara’a adz-dzi’ba, faqad zalama (Siapa saja yang memelihara srigala, ia telah berlaku ‘zalim’).” Berlaku ‘zalim’ di sini artinya melakukan tindakan yang tidak tepat.2
Masih berkaitan dengan konteks bahasa, al-Jurzani mengatakan bahwa zhulumah bermakna tidak adanya cahaya pada apa yang seharusnya ada cahaya.3
Sementara itu, secara terminologis, dalam ucapan Ibn az-Zimal dikatakan, “Lazimu ath-tharîq falam yazhlimûhu ay lam ya’dilu ‘anhu (Mereka menyusuri jalan hingga tidak menyimpang darinya atau tidak melampauinya). Dikatakan juga, misalnya, “Akhada fî ath-tharîq famâ zhalama yamînan walâ syimâlan (Ia berjalan di tengah jalan hingga tidak menyimpang ke kanan atau ke kiri).” Sementara itu, dalam hadis riwayat Ummu Salmah dikatakan, “Abû Bakar wa ‘Umar tsakama al-amra fama zhalamahu ay lam ya’dilâni (Abu Bakar dan ‘Umar pernah menetapi suatu perkara dan keduanya tidak melampauinya atau menyimpang darinya).”4
Singkatnya, setiap orang yang meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya berarti telah berbuat zalim. Dengan demikian, orang zalim adalah orang yang menyimpang dari kebenaran sembari melakukan tindakan yang berlawanan dengan kebenaran atau yang semisalnya. Dengan kata lain, zalim bermakna melanggar atau menyimpang dari kebenaran hingga melakukan kebatilan atau kedurhakaan.5
Zhulm-zhulmah juga merupakan lawan dari an-nûr. Jamaknya adalah zhulam, zhulumât, zhulamât, zhulmât. Contoh, “Azhlama al-layl (Malam telah gelap),” Azhlama al-qaum (Mereka memasuki kegelapan). Allah Swt. berfirman:
وَءَايَةٌ لَهُمُ اللَّيْلُ نَسْلَخُ مِنْهُ النَّهَارَ فَإِذَا هُمْ مُظْلِمُونَ
Suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam. Kami menanggalkan siang dari malam itu sehingga dengan serta-merta mereka berada dalam kegelapan. (QS Yasin [36]: 37).
Makna Zalim dalam al-Quran
Berdasarkan pengertian syar‘î, menurut Syihabuddin Ahmad ibn Muhammad al-Ha’im al-Mishri, kata zalim yang makna dasarnya adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya itu kemudian digunakan untuk menyebut tindakan syirik, pembangkangan, dan pengurangan.6 Karena itu, jika dihubungkan dengan Allah, manusia sebagai pribadi, maupun manusia dalam hubungannya dengan sesama manusia lainnya, kata zalim antara lain bermakna:
1). Durhaka atau melampaui batas. Allah Swt. berfirman:
وَقُلْنَا يَاآدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلاَ مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلاَ تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ
Kami berfirman, “Hai Adam, tinggallah kamu dan istrimu di surga ini, makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kalian berdua sukai, dan janganlah kalian mendekati pohon ini yang dapat mengakibatkan kalian termasuk orang-orang yang zalim.” (QS al-Baqarah [2]: 35).
Frasa termasuk orang-orang yang zalim, menurut ath-Thabari, maksudnya adalah menjadi orang-orang yang melampaui batas hingga melanggar apa yang tidak diperkenankan Allah.7
Dalam hadis tentang wudhu, misalnya, juga dikatakan:
فَمَنْ زَادَ أَوْ نَقَصَ فَقََدْ أَسَاءَ وَظَلَمَ
Siapa saja yang menambah-nambah atau mengurangi (wudhu) berarti telah berlaku buruk dan zalim. (HR Abu Dawud).
Artinya, ia telah melakukan adab yang buruk dengan meninggalkan sunnah, tidak beradab dengan adab syar‘î, dan menzalimi dirinya sendiri dengan mengurangi pahala wudhunya.8
2) Kemusyrikan. Di dalam al-Quran dinyatakan:
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezaliman. (QS al-An’am [6]: 82).
Ketika menafsirkan ayat ini, Ibn ‘Abbas dan jumhur alhi tafsir menyatakan bahwa maksudnya adalah, “Mereka tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kemusyrikan.”
Berkaitan dengan ayat di atas, Huzayfah, Ibn Mas’ud, dan Salman mengaitkannya dengan ayat berikut:
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya syirik itu merupakan kezaliman yang sangat besar. (QS Luqman [31]: 1).
Ayat di atas bermakna bahwa Allah adalah Satu-satunya Zat Yang Maha Menghidupkan dan Mematikan serta Yang Maha Pemberi rezeki dan Maha Pemberi nikmat. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Apabila Allah disekutukan dengan selain-Nya maka tindakan demikian merupakan kezaliman yang sangat besar.
Berkenaan dengan ayat di atas pula, Ibn Katsir menyatakan bahwa syirik merupakan kezaliman yang sangat besar (a’zham azh-zhulm). Mengutip Imam al-Bukhari dari Qutaybah disebutkan bahwa ketika turun QS al-An’am [6] ayat 82 di atas, para sahabat bimbang. Mereka kemudian bertanya kepada Rasulullah, “Bukankah kami tidak menukar keimanan kami dengan kezaliman?” Rasul menjawab, “Bukan demikian maksudnya. Bukankah kalian pernah mendengar ucapan Luqman kepada anaknya yang mengatakan, “Wahai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah. Sesungguhnya menyekutukan Allah itu adalah kezaliman yang besar?” (QS Luqman [31]: 13). (HR Muslim).9
3) Pengurangan. Allah Swt. berfirman:
كِلْتَا الْجَنَّتَيْنِ ءَاتَتْ أُكُلَهَا وَلَمْ تَظْلِمْ مِنْهُ شَيْئًا
Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya. Kebun itu tiada berkurang buahnya sedikitpun. (QS al-Kahfi [18]: 33).
Ayat di atas bermakna, “Jangan menguranginya sedikitpun.”
Allah Swt. juga berfirman:
وَمَا ظَلَمُونَا وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
Mereka tidaklah menzalimi Kami. Akan tetapi, merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri. (QS al-Baqarah [2]: 7).
Berkaitan dengan ayat di atas, al-Fira’ menyatakan, bahwa maksudnya, “Mereka tidaklah mengurangi Kami. Akan tetapi, merekalah yang mengurangi diri mereka sendiri.”10
4. Melanggar perintah Allah. Allah Swt. berfirman:
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلاَ تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ
Apabila kalian mentalak istri-istri kalian, lalu mereka mendekati akhir ‘iddah-nya, hendaklah kalian merujuk mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf pula. Janganlah kalian merujuk mereka untuk memberi kemadaratan, karena dengan demikian kalian menganiaya mereka. Barangsiapa yang berbuat demikian, sesungguhnya ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. (QS al-Baqarah [2]: 231).
Dalam ayat di atas, berbuat zalim terhadap diri sendiri adalah karena ia telah melanggar perintah Allah.11
Pengertian yang kurang lebih sama dikemukakan oleh al-Baydhawi ketika menafsirkan ayat berikut:
قَالاَ رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Keduanya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS al-A’raf [7]: 23).
Ia menyatakan bahwa kalimat kami telah menzalimi diri kami sendiri maksudnya adalah kami telah merugikan diri sendiri dengan berbuat maksiat dan keluar dari surga.12
5. Menjerumuskan diri pada azab Allah. Masih berkaitan dengan ayat di atas, dikatakan bahwa menzalimi diri sendiri pada ayat tersebut maksudnya menjerumuskan diri ke dalam azab Allah.13
6. Berhukum dengan hukum selain Allah.
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ الله فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Barangsiapa yang berhukum dengan selain hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim. (QS al-Maidah [5]: 45).
Berkaitan dengan ayat ini, juga dengan ayat sebelum dan setelahnya, al-Baghawi menyatakan, bahwa menurut Qatadah dan adh-Dhahak, ketiga ayat ini ditujukan kepada kaum Yahudi. Menurut al-Barra’ bin Azib, ayat ini ditujukan kepada orang kafir secara keseluruhan. Akan tetapi, ada juga yang berpendapat bahwa ayat ini ditujukan kepada seluruh umat manusia. Sementara itu, menurut Ikrimah, ayat di atas mengandung pengertian bahwa siapa saja yang berhukum dengan selain hukum Allah dengan penuh kesadaran adalah kafir. Namun demikian, jika ia tetap mengakui hukum Allah tetapi dalam praktiknya ia tidak melaksanakannya, ia terkategori zalim dan fasik. Hal senada diungkapkan oleh ‘Abdul Aziz bin Yahya al-Kinani. Ia menyatakan bahwa ayat ini berlaku bagi siapa pun yang tidak berhukum dengan hukum Allah. Hanya saja, orang yang tetap berhukum dengan hukum Allah dalam masalah tauhid dan meninggalkan syirik, sementara ia tidak menerapkannya dalam masalah syariat, ia tidak sampai dihukumi kafir.14
Khatimah
Paparan di atas hanyalah mewakili sebagian pengertian dari kata zalim yang terdapat dalam al-Quran. Namun demikian, dari penjelasan di atas, kita dapat menarik benang merah, bahwa kezaliman adalah mencakup seluruh tindakan penyimpangan dari syariat atau pelanggaran terhadap berbagai ketentuan Allah; baik dalam konteks kezaliman terhadap Allah, diri sendiri, maupun orang lain.
Yang menarik, dalam berbagai ayat-Nya, Allah sering menisbatkan kezaliman kepada manusia, sembari menafikannya terhadap Diri-Nya sendiri. Artinya, Allah tidaklah mungkin berbuat zalim atas manusia, tetapi manusialah yang berlaku zalim atas dirinya sendiri. Demikianlah sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Allah di dalam sejumlah ayat (dalam sepuluh tempat) seperti: QS at-Taubah (9) ayat 70; Yunus (10) ayat 44; Hud (11) ayat 101; an-Nahl (16) ayat 33 & 108; al-Ankabut (29) ayat 40; Ali Imran (3) ayat 117; an-Nur (24) ayat 50; ar-Rum (30) ayat 9; az-Zukhruf (43) ayat 76.15.
Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. Wa mâ tawfîqî illâ billâh. (ABI). []
Catatan kaki:
- Kamus Bahasa Indonesia.
- Muhammad bin Mukrin bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, t.t., Lisân al-‘Arab, 5/145-147. Beirut: Dar ash-Shadir.
- ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali al-Jurjani, t.t. At-Ta’rîfât. I/237. Beirut: Darul Kitab al-‘Arabi.
- Muhammad bin Abi Bakr bin ‘Abdul Qadir ar-Razi, t.t. Mukhtâr as-Shahâh, I/239. Beirut: Maktabah Lebanon.
- Syihabuddin Ahmad ibn Muhammad al-Ha’im al-Mishri, 1992. At-Tibyân fî Tafsîr Gharîb al-Qur’ân, I/76 & 1/97, cet. ke-1. Kairo: Dar ash-Shahabah li at-Turats. Lihat juga: Abu Yahya Zakariya bin Muhammad bin Zakariya al-Anshari, 1411 H. Al-Hudûd al-Anîqah wa at-Ta‘rîf ad-Daqîqah, I/73, cet. ke-1. Beirut: Dar al-Fikr al-Mu‘ashir.
- Syihabuddin Ahmad bin Muhammad al-Ha’im al-Mishri, ibid, I/176.
- Ath-Thabari, op. cit. I/234.
- Muhammad bin Abi Bakr ibn ‘Abdul Qadir ar-Razi, op. cit., I/239. Beirut: Maktabah Lebanon.
- Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar ibn Katsir ad-Dimasyqi, 1410 H, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm. Beirut: Dar al-Fikr. Lihat juga: Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari al-Ja’fi, 1987, al-Jâmi‘ ash-Shahîh al-Mukhtashar, 4/1694, cet. ke-3. Beirut: Dar Ibn Katsir, al-Yamamah; Abu ‘Abdillah Muhammad bin Bahadir bin ‘Abdillah az-Zarkasyi, 1391 H, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, 1/14. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
- Muhammad bin Mukrin bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, op. cit., 12/373-376. Lihat juga: Muhammad bin Abi Bakr bin Abdul Qadir ar-Razi, op. cit., 1/170.
- Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir ad-Dimasyqi, op. cit., 1/282. Lihat juga: Al-Husain bin Mas’ud al-Fira’ al-Baghawi, 1407 H. Ma’âlim at-Tanzîl, I/210. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
- Al-Baydhawi, 1996. Tafsîr al-Baydhâwi, 3/13. Beirut: Dar al-Fikr.
- Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad asy-Syaukani, t.t. Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fanni ar-Riwâyah wa ad-Dirâyah min ‘Ilm a-Tafsîr, 1/242. Beirut: Dar al-Fikr. Lihat juga: Muhammad bin Muhammad, Abdurrahman bin Abi Bakr al-Mahalli, as-Suyuthi, t.t. Tafsîr al-Jalâlayn, 1/50. cet. ke-1. Kairo: Dar al-Hadits.
- Al-Baghawi, op. cit., 2/41.
- Abu al-Fadha’il Ahmad ibn Muhammad bin al-Muzhaffir bin al-Mukhtar ar-Razi, 1982, Kitâb Hujaj al-Qur’ân, 1/34, cet. ke-2. Beirut: Dar ar-Ra’id al-‘Arabi.
0 komentar:
Posting Komentar