10 Agustus 2010

Sultan Abdul Hamid II: Pemimpin Amanah yang Dikhianati

Sultan Abdul Hamid II (1842-1918)
Di mana pemimpin seperti dia untuk umat?” tanya seorang pengguna milis Yahoo Indonesia! Answers, forum berbagi informasi, tempat siapa saja mengajukan pertanyaan dan jawaban. Pertanyaan tersebut ditulis dalam bahasa Inggris, dengan huruf besar semua. Ditulis pada 4 Juni 2010. Him (dia) yang dimaksud oleh si penanya adalah Sultan Abdul Hamid II. 

Belum sempat yang lainnya memberikan jawaban, pengelola milis tersebut buru-buru menghapus pertanyaan yang berjudul Untuk Saudaraku Muslim… Semangat Sultan Abdul Hamid II Sehubungan dengan Palestina…? itu. 

Pertanyaan ini sudah dihapus. Begitulah kalimat pemberitahuan yang ditulis di samping logo segitiga merah bertanda seru warna putih tersebut. Lho mengapa dihapus? Memang siapa Sultan Abdul Hamid II itu dan apa hubungannya dengan Palestina?

Penjaga Palestina
Sultan, lahir pada hari Rabu, 21 September 1842. Dengan nama lengkap Abdul Hamid Khan II bin Abdul Majid Khan. Ia adalah putra Abdul Majid dari istri keduanya. Ibunya meninggal saat ia berusia 7 tahun. 

Sultan menguasai bahasa Turki, Arab, dan Persia. Senang membaca dan bersyair. Pada 41 Agustus 1876 (1293 H), Sultan Abdul Hamid dibaiat sebagai Khalifah di tengah-tengah merosotnya pemahaman kaum Muslim akan Islam. 

Kebodohan itu membuat umat tidak tahu lagi mana kawan dan mana lawan. Tidak sedikit yang terkecoh dan bersekutu dengan penjajah termasuk penjajah Zionis Yahudi yang ngebet ingin mencaplok Palestina. Pada 1892 misalnya, sekelompok Yahudi Rusia memohon kepada Sultan untuk tinggal di Palestina. 

Permohonan itu dijawab Sultan dengan tegas. “Pemerintah Ustmaniyyah memberitahukan kepada segenap kaum Yahudi yang ingin hijrah ke Turki, bahwa mereka tidak akan diizinkan menetap di Palestina”. Mendengar jawaban seperti itu kaum Yahudi terpukul berat sehingga duta besar Amerika turut campur tangan.

Empat tahun kemudian, konseptor Der Judenstaat  (Negera Yahudi) Theodor Hertzl, memberanikan diri menemui Sultan Abdul Hamid sambil meminta izin mendirikan gedung di al Quds, Palestina. 

Permohonan itu dijawab sultan “Sesungguhnya Khilafah Utsmaniyyah ini adalah milik kaum Muslim. Mereka tidak akan menyetujui permintaan itu. Sebab itu simpanlah kekayaan kalian itu dalam kantong kalian sendiri.”

Melihat keteguhan Sultan, mereka kemudian melakukan konferensi Basel di Swiss, pada 29-31 Agustus 1897 dalam rangka merumuskan strategi baru menghancurkan Khilafah.

Karena gencarnya aktivitas Yahudi Zionis akhirnya Sultan pada tahun 1900 mengeluarkan keputusan pelarangan atas rombongan peziarah Yahudi ke Palestina untuk tinggal di sana lebih dari tiga bulan. Paspor Yahudi harus diserahkan kepada petugas khilafah terkait. 

Dan pada tahun 1901 Sultan mengeluarkan keputusan mengharamkan penjualan tanah kepada Yahudi di Palestina.

Pada tahun 1902, Hertzl berupaya menyogok Sultan. Sogokan itu di antaranya berupa:

1. Seratus lima puluh juta poundsterling (uang emas Inggris) khusus untuk Sultan;
2. Membayar semua utang pemerintah yang diwariskan khalifah sebelumnya yang  mencapai 33 juta poundsterling;
3. Membangun kapal induk untuk pemerintah dengan biaya 120 juta Franc;
4. Memberi pinjaman 5 juta poundsterling tanpa bunga; dan
5. Membangun Universitas Utsmaniyyah di Palestina.

Semuanya ditolak Sultan, bahkan Sultan tidak mau menemui Hertzl, diwakilkan kepada Tahsin Basya, perdana menterinya, sambil mengirim pesan,

“Nasihati Mr Hertzl agar jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun sejengkal tanah ini (Palestina), karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam. Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka. Yahudi silakan menyimpan harta mereka. Jika Khilafah Utsmaniyah dimusnahkan pada suatu hari, maka mereka boleh mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat Tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup.”

Ya ketegasan seperti itulah yang tidak dimiliki para penguasa negeri Muslim saat ini. Padahal saat itu kondisi pemerintahan Sultan Abdul Hamid dalam keadaan genting karena sebagian besar aparatnya ternyata telah menjadi antek penjajah. Para antek ini tergabung dalam Turki Muda yang dimotori oleh Mustafa Kemal Pasha Laknatullah.

Sehingga alih-alih membela Sultan, mereka malah bekerja sama dengan Kerajaan Protestan Inggris dan sekutunya untuk menggulingkan Sultan. 

Tidak henti-hentinya kaum Yahudi dengan Zionisme melancarkan gerakan untuk menumbangkan Sultan. Dengan menggunakan jargon-jargon liberation (liberalisasi), freedom (kebebasan), dan sebagainya, mereka menyebut pemerintahan Abdul Hamid II sebagai Hamidian Absolutism (pemerintah diktator Hamid), dan sebagainya.

Dikudeta
Malam itu, 27 April 1909 Sultan Abdul Hamid dan keluarganya kedatangan beberapa orang tamu tak diundang. Kedatangan mereka ke Istana Yildiz menjadi catatan sejarah yang tidak akan pernah terlupakan. 

Mereka mengatasnama-kan perwakilan 240 anggota Parlemen Utsmaniyyah, di bawah tekanan Turki Muda, yang setuju penggulingan Abdul Hamid II dari kekuasaannya. Senator Syeikh Hamdi Afandi Mali mengeluarkan fatwa tentang penggulingan tersebut dan akhirnya disetujui oleh anggota senat yang lain. 

Fatwa tersebut terlihat sangat aneh dan setiap orang pasti mengetahui track record perjuangan Abdul Hamid II bahwa fatwa tersebut bertentangan dengan realitas di lapangan.

Keempat utusan itu adalah Emmanuel Carasso, seorang Yahudi warga Italia dan wakil rakyat Salonika (Thessaloniki) di Parlemen Utsmaniyyah (Meclis-i Mebusan) melangkah masuk ke istana Yildiz. Turut bersamanya adalah Aram Efendi, wakil rakyat Armenia, Laz Arif Hikmet Pasha, anggota Dewan Senat yang juga panglima militer Utsmaniyyah, serta Arnavut Esat Toptani, wakil rakyat daerah Daraj di Meclis-i Mebusan.

Mereka mengkudeta Sultan. “Negara telah memecat Anda!” Esat Pasha memberitahu kedatangannya dengan nada angkuh. Kemudian satu persatu wajah anggota rombongan itu diperhatikan dengan seksama oleh Sultan.
“Negara telah memecatku, itu tidak masalah,… tapi kenapa kalian membawa serta Yahudi ini masuk ke tempatku?” Spontan Sultan marah besar sambil menudingkan jarinya kepada Emmanuel Carasso.

Sultan memang kenal benar siapa Emmanuel Carasso itu. Dialah yang bersekongkol bersama Herzl ketika ingin mendapatkan izin menempatkan Yahudi di Palestina. 

Singkat kata, Sultan pun diasingkan ke Salonika, Yunani. Hingga ia menghembuskan nafas terakhir dalam penjara Beylerbeyi pada 10 Februari1918. 

Kepergiannya diratapi seluruh penduduk Istanbul. Mereka baru sadar karena kebodohan mereka membiarkan Khilafah Utsmaniyyah dilumpuhkan setelah pencopotan jabatan khilafahnya. 

Akibatnya fatal, tahun 1924, runtuhlah institusi yang menaungi kaum Muslim tersebut sehingga pada 1948 berdirilah negara ilegal Israel di tempat Nabi Muhammad SAW mikraj.

Sepeninggal pemimpin umat yang dikhianati itu, lahirlah lebih dari 50 penguasa negeri Islam yang menghianati umat. Dengan dalih Hukum  Internasional, mereka tidak mau mengerahkan tentaranya untuk berperang melawan kebiadaban Zionis Israel. [] joko prasetyo dari berbagai sumber


(www.mediaumat.com) 

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites