Oleh :
Abdurrahman Al Baghdady
Abdurrahman Al Baghdady
Pengantar
Fenomena puasa maupun hari raya muncul pertama kali pada masa Nabi Muhammad Shallallâhu 'alaihi wa sallam, tepatnya delapan belas bulan setelah berdirinya daulah Islamiyah di Madinah. Kewajiban menunaikan puasa bulan Ramadhan turun akhir bulan Sya'ban tahun kedua hijriyah, yang kemudian diikuti perintah untuk mengeluarkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan tahun yang sama. Mulai saat itulah pertama kalinya kaum musliminmenunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan dan mengeluarkan zakat fitrah.
Kemudian ibadah shalat Ied disyariatkan akhir bulan Ramadhan. Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wa sallam dan Kaum Muslimin untuk pertama kalinya menunaikan salat ied pada bulan Syawal tahun itu.
Sebelum itu telah turun hukum bagaimana ikut serta dalam hari-hari raya orang kafir, pada tahun pertama hijrah. Saat Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wa sallam tiba di Madinah beliau mendapati penduduknya ikut merayakan hari raya umat-umat lain seperti an-Nirûz dan Mahrajan yang keduanya ialah hari raya orang Persia. Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wa sallam melarang Kaum Muslimin ikut serta merayakan hariraya tersebut. Kemudian beliau menerangkan bahwa hari raya umat muslimin adalah hari raya idul fitri, hari raya idul adha dan hari-hari tasyriq –tanggal sebelas hingga tiga belas bulan Dzul hijjah. Anas bin Malik Radhiyallâhu 'anhu meriwayatkan:
"Bahwasanya ketika Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wa sallam tiba di Madinah, penduduk Madinah merayakan dua hari raya yang mereka, bersenang-senang di dalamnya. Lalu, Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wa sallam bertanya, "Hari apakah dua hari ini?" mereka menjawab, "Dahulu kami bersenang-senang di dalamnya ketika kami masih dalam kondisi jahiliyah." Maka Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah Subhânahu wa ta'ala telah menggantinya untuk kalian dengan sesuatu yang lebih baik, yaitu hari raya idul fitri dan hari raya idul adha."[1]
I. Ramadhan & Iedhul Fitri Masa Khulafa Ar-Rasyidin.
Karakteristik Ramadhan dan hariraya idul fitri pada masa Khulafa ar-Rasyidin tidak jauh berbeda dengan apa yang nampak pada masa Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wa sallam, karena memang jarak mereka yang tidak jauh dengan masa Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wa sallam. Hukum syariat begitu jelas, kesederhanaan hidup mereka sehingga mereka tidak mengenal hura-hura, kemewahan, kesenangan-kesenangan hidup yang banyak menenggelamkan para pemimpin dan kaunmuslimin belakangan ini. Di antara karakteristik-karakteristik tersebut ialah sebagai berikut:
a. Berusaha Melihat Langsung Hilal Ru'yat Bulan
Orang berduyun-duyun ke luar rumah sore hari untuk melihat hilal–ru'yah-. Kaum Muslimin pada masa Khulafaar-Rasyidin berusaha melihat hilal bulan Ramadhan, bulan Syawal dan bulan DzulHijjah. Bagi mereka melihat hilal adalah fardhu kifayah untuk seluruh Kaum Muslimin dan merupakan kewajiban atas pemerintah.
Pada masa Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wa sallam pemerintahan yang mulia tersebut telah melakukan kewajibannya dengan baik. Saat itu Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wasallam berusaha melihat hilal secara langsung di samping bahwa beliau jugame memerintahkan seluruh kaum muslimin untuk melihatnya, juga memerintahkan kepada para wali, para gubernur, untuk melihat hilal untuk memulai puasa maupun mengakhirinya dan untuk semua ibadah yang lainnya. Diriwayatkan dari gubernur Makkah, al-Hârits bin Hâthib ia berkata:
"Rasûlullâh Shallallâhu'alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami untuk memulai ibadah berdasarkan ru'yah hilal. Jika kami tidak melihatnya kemudian ada dua orang adil yang melihatnya, maka kami diperintahkan untuk memulai ibadah berdasarkan ru'yah kedua orang tersebut."[2]
b. Shaum dan Ied Serentak pada Hari yang Sama
Berpuasa dan merayakan hariraya pada hari yang sama, para Khulafa ar-Rasyidin menetapkan peraturan tersebut untuk daerah-daerah yang berdekatan. Namun untuk daerah yang berjauhan hal itu tidak mungkin dilakukan karena tidak adanya sarana untuk menyampaikan berita tersebut dengan cepat.
As-Sya'rani meyebutkan bahwasannya para Shahabat Radhiyallâhu 'anhum tidak memerintahkan daerah-daerah yang jauh untuk mengikuti hasil ru'yah penduduk Madinah, Syam, mesir dan Maroko dan lain sebagainya.[3] Hal itu mungkin berdasarkan kepada apa yang mereka dengar dari RasûlullâhShallallâhu 'alaihi wa sallam bahwasannya beliau memerintahkan semua Kaum Muslimin di seluruh Negara untuk berpuasa dan merayakan hari raya pada hariyang sama:
"Berpuasalah berdasarkan ru'yahnya, berbukalah berdasarkan ru'yahnya dan mulailah ibadah berdasarkan hal tersebut."[4]
Beliau tidak menyinggung orang-orang yang berada di wilayah yang jauh, jika ada ru'yah yang berbeda. Al-Ghasanidan al-Harbi menyebutkan bahwa penduduk Najd memberitahu Rasûlullâh Shallallâhu'alaihi wa sallam bahwa ru'yah mereka lebih cepat sehari dari pada ru'yah penduduk Madinah, maka Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda kepada mereka:
"Untuk setiap Negara berlaku ru'yah masing-masing."
Inilah jalan keluar yang diambil oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wa sallam saat kondisi memaksa mereka untuktidak bisa menyampaikan berita adanya ru'yah ke wilayah yang jauh dengan cepat.
c. Khalifah Khutbah Awal Malam Ramadhan
Itulah yang dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wa sallam pada malam malam terakhir dari bulan Sya'ban, kemudian para Khulafa ar-Rasyidin mengikutinya.
"Bahwasannya jika telah memasuki malam pertama dari bulan Ramadhan, khalifah Umar Radhiyallâhu 'anhu mendirikan salat maghrib kemudian beliau berkata:
'Duduklah kalian'. Lalu beliau menyampaikan khutbah singkatnya, beliau berkata:
'Sesungguhnya pada bulan ini telah diwajibkan atas kalian berpuasa. Namun shalat malamnya tidak diwajibkan atas kalian. Siapa saja yang bisa mendirikan shalat malam, maka lakukanlah, karena ia adalah ibadah sunah yang Allah telah berfirman dalam hal tersebut:
'Siapa saja yang tidak bisa melakukannya maka hendaklah ia tidur di atas tempat tidurnya, dan jangan sampai salah seorang dari kalian berkata, 'Aku akan berpuasa jika si Fulan berpuasa, dan aku akan mendirikan salat jika si Fulan mendirikan salat'.
Siapa saja yang berpuasa atau mendirikan salat maka hendaklah ia berpuasa atau mendirikan salat karena Allah saja. Ingatlah, janganlah salah seorang dari kalian mendahului bulan (beliaum menyebutnya tiga kali). Ingatlah, janganlah kalian memulai puasa sebelum kalian melihatnya –hilal-. Jika cuaca mendung menutupi kalian maka genapkanlah hitungan –bulan Sya'ban- tiga puluh –hari-. Kurangilah bercanda di dalam masjid-masjid. Ketahuilah bahwa kalian dianggap mendirikan shalat selama kalian menunggu shalat. Ingatlah, janganlah kalian berbuka hingga gelapnya malam menutupi bukit az-Zirab (nama sebuah bukit).'"[5]
d. Shalat Tarawih Berjamaah di Masjid
Masa khalifah Abu Bakar Radhiyallâhu'anhu, Kaum Muslimin mendirikan shalat tarawih sendiri-sendiri di masjid atau berjamaah dalam beberapa kelompok. Lalu Umar Radhiyallâhu 'anhu berkeinginan menyatukan mereka dengan satu imam dalam satu jamaah. Beliaulah khalifah pertama yang menganjurkan shalat tarawih berjamaah. Beliau memerintahkan hal tersebut kepada seluruh wali dan gubernur di setiap wilayah agar menyeru kepada seluruh penduduk Negara untuk mendirikan shalat tarawih berjamaah di masjid. Hal ini terjadi pada tahun 14 H. Beliau menetapkan Ubai bin Kaab Radhiyallâhu'anhu sebagai imam untuk para lelaki dan Sulaiman bin Hatsmah Radhiyallâhu'anhu sebagai imam untuk para wanita[6].
Beliau juga telah mengatur berapa rekaat bagi mereka yang mendirikan salat dan apa yang harus dibaca dalam shalat tersebut. Imam Malik telah meriwayatkan dari as-Sâib bin Abi Yazîd:
"Bahwasannya Umar Radhiyallâhu'anhu telah memerintahkan Ubai bin Kaab dan Tamim ad-Dâri agar mereka shalat sebelas rekaat. Ia (Umar) berkata, 'Para imam membaca surat-surat miîn –surat yang terdiri dari sekitar seratus ayat- hingga kami harus bertelekan pada tongkat karena terlalu lama berdiri dalam shalat. Saat itu kami tidak keluar dari masjid kecuali saat fajar telah dekat.'"[7]
Didorong oleh semangat Kaum Muslimin dalam beribadah pada saat itu, memaksa imam mendirikan shalat sebanyak duapuluh rakaat. Diriwayatkan dari Yazîd bin Ruman Radhiyallâhu 'anhu, ia berkata:
"Pada bulan Ramadhan, orang-orang pada masa Umar mendirikan salat sebanyak dua puluh tiga rekaat bersama witir."[8] Dan Ibnu al-Jauzi meriwayatkan, "Bahwasannya Umar Radhiyallâhu 'anhu memanggil tiga orang imam pada bulan Ramadhan, kemudian beliau memerintahkan kepada orang yang paling cepat bacaannya untuk membaca tiga puluh ayat dalam setiap rekaat,memerintahkan kepada orang yang bacaannya sedang cepatnya untuk membaca dua puluh lima ayat dalam setiap rekaat dan memerintahkan kepada orang yang paling lambat bacaannya untuk membaca dua puluh ayat dalam setiap rekaat."[9]
e. Menerangi Masjid pada Bulan Ramadhan
Pada zaman Rasûlullâh Shallallâhu'alaihi wa sallam masjid-masjid diterangi dengan sabut pohon Tamar ketika shalatisya' dan shalat subuh saja. Namun pada masa khalifah Umar Radhiyallâhu 'anhu,masjid-masjid diterangi dengan pelita sepanjang malam. Ismail bin Ziyad meriwayatkan:
"Bahwasannya Ali bin Abi Thalib Radhiyallâhu 'anhu melewati masjid-masjid pada bulan Ramadhan yang diterangi dengan pelita. Beliau berkata, 'Semoga Allah menerangi Umar dalam kuburnya, sebagaimana ia telah menerangi masjid-masjid kita.'"[10]
f. Menyediakan Ta'jil Berbuka dan Dianjurkan Banyak Bersedekah
Kaum Muslimin dan para Khulafaar-Rasyidin menyukai jika ada orang yang ikut berbuka bersamanya. Hal itu didorong oleh keinginan untuk mendapat pahala agung yang dijanjikan oleh AllahSubhânahu wa ta'ala. Mereka telah mendengar sabda Rasûlullâh Shallallâhu'alaihi wa sallam:
"Siapa saja yang memberi makanan untuk berbuka puasa kepada seseorang yang menunaikan puasa, maka hal itu akan menjadi penghapus dosanya, kebebasan dirinya dari neraka dan ia akanmendapatkan pahala seperti pahala orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi apapun dari pahala orang yang berpuasa tersebut."[11]
Umar Radhiyallâhu 'anhu telahmendirikan bangunan khusus untuk menerima para tamu, para musafir yangkekurangan bekal dalam perjalanan dan orang-orang yang membutuhkan.[12] Sedangkan Utsman bin Affan Radhiyallâhu 'anhu biasanya menyuguhkan makanan kerajaan –makanan terbaik- sementara beliau sendiri masuk ke dalam rumahnya untukmenyantap cuka dan zaitun saja.[13]
Sedangkan Thalhah al-Fayyadh mendermakan hartanya. Beliau tidak membiarkan seorangpun dari Bani Tamim kekurangan kecuali mencukupinya dan juga melunasi hutangnya.
Sementara semua penduduk Madinah menjadi tanggungan Abdurrahman bin Auf: Sepertiga dari mereka mendapatkan pinjaman dari Abdurrahman, sepertiganya beliau lunasi hutangnya dan sepertiganya lagi beliau menyambungkan sillaturrahmi dengan mereka.[14]
g. Mengkhatamkan Al Qur'an Bulan Ramadhan
Beberapa Shahabat dan Tabi'in mengakhirkan salat isya' hingga seperempat malam berlalu, dengan harapan mereka bisa mengkhatamkan al-Qur'an sekali atau dua kali semalam. Di antara mereka adalah Utsman bin Affan, Tamim ad-Dâri dan Said bin Zubair. Mereka ini mengkhatamkan al-Qur'an dalam sehari semalam.
Mujahid mengkhatamkannya antara salat maghrib dan salat isya' setiap malam selama Ramadhan. Ada kebiasaan Manshur bin Zâdân mengkhatamkannya antara salat Dhuhur dan salat Ashar pada hari-hari selain Ramadhan, sedangkan pada bulan Ramadhan beliau terbiasa mengkhatamkannya antarasalat maghrib dan salat isya' sebanyak dua kali khatam.[15]
h. Menghidupkan (Mengharapkan) Lailatul Qadar
Telah menjadi kebiasaan kaum muslimin sejak zaman Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wasallam untuk menghidupkan lailatul qadar di rumah-rumah mereka dengan memperbanyak ibadah, zikir dan ketaatan kepada Allah Subhânahu wa ta'ala.
Dahulu mereka mencari lailatul qadar pada malam-malam ganjil dalam sepertiga terakhir dari bulan Ramadhan. Ada sebagian dari mereka yang beriktikaf di masjid selama sepuluh malam terakhir dalam rangka mendapatkan lailatul qadar. Tetapi para Khulafa ar-Rasyidin dan kebanyakan Shahabat tidak melakukan hal tersebut. Imam Malik berkata:
"Aku belum pernah mendapatkan berita bahwa Abu Bakar, Umar, Ustman tidak pula dari pendahulu umat ini beriktikaf, tidak juga Ibnu Musayib maupun seseorang dari tabiin, tidak juga dari seseorang yang bisa menjadi panutan. Ibnu Umar adalah seorang mujtahid dan ia hidup untuk waktu yang panjang, akan tetapi aku tidak pernah mendapatkan berita bahwa beliau beriktikaf, kecuali seseorang –yang beriktikaf- bernama Abu Bakar bin Abdurrahman binal-Harits bin Hisyam."[16] Imam Ibnu Hajar berkata:
"Mungkin yang ia maksud dengan iktikaf di sini ialah iktikaf yang menggunakan tatacara tertentu, karena iktikaf yang biasa, telah kami riwayatkan berasal dari beberapa orang Shahabat."[17]
i. Berzakat dan Menghidupkan Malam Iedhul Fithri
Kaum Muslimin pada masa Nabi Muhammad Shallallâhu 'alaihi wa sallam dan masa Khulafa ar-Rasyidin mengeluarkan zakatnya pada pagi hari Idul Fitri sebelum pergi menuju tempat shalat Ied. Setelah itu kaum muslimin mengeluarkannya pada malam idul fitri. Sedangkan Ibnu Umar mengeluarkan zakat fitrahnya sehari atau dua hari sebelum hari rayaidul fitri.
Pada masa Utsman bin Affan Radhiyallâhu 'anhu bayi yang masih di dalam kandungan dikeluarkan zakat fitrah untuknya, disebutkan dalam al-Mushnaf:
"Dahulu Utsman mengeluarkanzakat fitrah atas bayi yang masih di dalam kandungan."[18]
Dahulu beberapa sahabat seperti Abdullah bin Umar bermalam di masjid saat malam idul fitri, kemudian dari sana beliau langsung menuju ke tempat shalat idul fitri setelah melaksanakan shalat subuh."[19]
Pada masa itu Kaum Muslimin tidak bertakbir pada malam Idul Fitri, tetapi mereka bertakbir saat keluar menuju ke tempat shalat hingga imam menyampaikan khutbahnya. Sedangkan pada hari raya Idul Adha, mereka bertakbir sejak pagi hari Arafah hingga akhir hari tasyriq.
Dahulu Umar Radhiyallâhu 'anhu bertakbir mulai pagi hari Arafah hingga waktu ashar akhir hari tasyriq."[20] Sedangkan Ibnu Umar dan Abu Hurairah keluar menuju ke pasar pada sepuluh hari–Dzul Hijjah- mereka mengumandangkan takbir, kemudian orang-orangpun bertakbir setelah mendengarkan takbir keduanya."[21]
j. Shalat Ied di Tempat Khusus
Shalat ied pada masa Nabi Muhammad Shallallâhu 'alaihi wa sallam, masa Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali Radhiyallâhu 'anhum dilaksanakan di mushalla –lapangan- pintu timur kota Madinah, bukan di masjid. Abdullah bin 'Amir meriwayatkan bahwa pada masa Umarbin Khattab Radhiyallâhu 'anhu turun hujan pada saat penduduk hendakmelaksanakan salat ied. Karena itu, mereka tidak ke lapangan yang biasanya digunakan untuk melaksanakan salat idul fitri maupun salat idul adha. Mereka justru berkumpul di masjid, lalu Umarpun shalat bersama mereka, kemudian beliau berdiri di atas mimbar dan berkata:
"Wahai kaum muslimin, sesungguhnya dahulu Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wa sallam keluar bersama para penduduk ke mushalla –lapangan- untuk shalat bersama mereka, karena hal itu lebih baik dan lebih luas untuk mereka dan karena masjid saat itu tidak bisa menampung mereka, akan halnya hujan yang turun ini maka masjid lebih baik untuk mereka –Kaum Muslimin-."[22]
Lalu para Shahabat saat itu jika bertemu dengan saudaranya mereka saling mengucapkan 'Taqabbalallahu minnâ wa minkum' –semoga Allah Subhânahu wa ta'ala menerima amal ibadah kita dan amal ibadah kamu-."[23]
k. Bermain, Bernyanyi dan Bekerja pada Idul Fitri
Kaum Muslimin pada masa Nabi Muhammad Shallallâhu 'alaihi wa sallam merayakan sukacitanya atas datangnyahari raya Idul Fitri menghibur hati dengan berbagai macam permainan yang diperbolehkan, seperti bermain tameng dan tombak, dan bernyanyi dengan nyanyian yang diperbolehkan. Akan tetapi kebiasaan ini tidak berlanjut hingga masa Khulafa ar-Rasyidin, karena Kaum Muslimin ketika itu disibukkan oleh jihad dan membuka daerah baru.
Mengenai bekerja pada hari raya Idul Fitri maka para sahabat telah berijma' bahwa hal itu tidak dilarang, baik di hari jumat maupun pada hari Ied."[24]
II. Ramadhan & Ied Masa khilafah Umawiyah
Sesungguhnya corak kehidupan saat puasa dan hari raya pada masa Nabi Muhammad Shallallâhu 'alaihi wa sallam dan para Khulafa ar-Rasyidin adalah corak teladan yang nampak sepanjang masa, walaupun di sana-sini ada beberapa perbedaan, baik sedikit maupun banyak, tergantung keadaan dan kondisi ketika itu, kemewahan para khalifah dan para wali, kemerosotan kesadaran beragama dan rusaknya hati nurani keislaman yang terjadi di kalangan muslimin. Pada masa Umawiyah muncullah fenomena-fenomena berikut ini:
a. Khutbah & Azan Sebelum Shalat Ied
Dahulu shalat ied dilaksanakan tanpa azan dan tanpa iqamah, sementara khutbahnya di sampaikan setelah salat. Inilah tatacara yang berlaku di seluruh wilayah, mulai zaman Rasûlullâh Shallallâhu'alaihi wa sallam hingga akhir zaman Khulafa ar-Rasyidin.
Ketika Mu'awiyah memegah tampuk kekhilafahan, ia berlaku sebagai imam dan melakukan perubahan tatacara di atas. Az-Zuhri berkata:
"Orang yang pertama kali mengadakan khutbah ied sebelum shalat adalah Mu'awiyah", dan Sa'id al-Musayyib berkata, "Orang yang pertama kali mengadakan azan sebelum salat ied adalah Mu'awiyah, dan orang yang pertama kali mengurangi takbir adalah Mu'awiyah."[25]
b. Dikawal dalam Rombongan Khusus
Khalifah keluar dalam rombongan khusus menuju ke mushalla. Dahulu para khalifah pada masa Khulafa ar-Rasyidin tidak pernah keluar menuju ke tempat shalat dalam rombongan dan pengawalan. Baru pada masa Yazid bin al-Walîd bin Abdul Malik sebagai orang pertama yang keluar dalam rombongan dengan pengawalan bersenjata. Utsman bin al-'Atikah berkata:
"Orang yang pertama keluar menuju ke tempat salat dengan bersenjata adalah Yazîd bin al-Walîd. Saat itu ia keluar dalam dua barisan pasukan berkuda yang bersenjata dari benteng (istana) hingga ke tempat shalat."[26]
III. Ramadhan& Ied Masa Abbasiyah
Secara umum masyarakat Muslimin di wilayah timur selalu merayakan kedatangan bulan Ramadhan. Mereka menghidupkan malam-malamnya dengan membaca al-Qur'an dan shalat tarawih. Merekajuga merayakan hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha. Keluar pada pagi hari di hari raya dengan pakaian baru menuju ke masjid-masjid untukmelaksanakan kewajiban hari raya serta membagikan zakat fitrah dan daging korban kepada para fakir dan miskin. Di antara corak dan fenomena yang muncul pada masa ini adalah:
a. Para Qadhi Keluar untuk Melihat Hilal
Beberapa qadhi berpendapat bahwa melihat hilal bulan Ramadhan adalah salah satu kewajiban mereka. Al-Kindi meriwayatkan:
"Bahwa Abdullah bin Luhai'ah keluar bersama beberapa orang-orang masjid yang terkenal kesalehannya untuk melihat hilal bulan Ramadhan, ia (Al Kindi) berkata, 'Dia adalah qadhi pertama yang ikut hadir untuk melihat hilal.'"[27]
b. Pengajian Kitab Shahih Bukhari di Kairo
Diadakan pengajian kitab Shahih Bukhari di Kairo, yaitu pada masa khalifah Al-Mutawakkil 'alallâh pada tahun 775H. Shahih Bukhari dibacakan pada bulan Ramadhan di benteng di hadapan sultan Sya'ban yang agung. Saat itu al-Hâfidh Zainuddin al-'Iraqi ditunjuk sebagai pembacanya, kemudian di bantu olehal-Syahbâni al-'Uryâni hari demi hari."[28]
c. Bagi-bagi Hadiah, Pemberian & Sedekah
Para khalifah Abbasiyahter biasa untuk membagi-bagikan hadiah, pemberian dan sedekah kepada rakyat pada bulan Ramadhan, hari raya Idul Fitri, hari raya Idul Adha, awal tahun hijriyah, hari kelahiran Nabi Muhammad Shallallâhu 'alaihi wa sallam dan pada harikelahiran khalifah yang sedang bertahta. Kebiasaan ini juga dilakukan saat hariraya niruz dan mahrajan dan hari-hari raya Persia lainnya.[29]
Begitulah para khalifah yang mulia, mulai keluar dari syariat agama Islam yang suci dengan ikut serta dalam merayakan hari raya orang-orang kafir. Walaupun mereka ikut andil dalam hari raya orang-orang Kristen dan orang-orang Persia, tetapi perhatian utama mereka masih tetap tertuju pada saat-saat dan hari-hari raya Kaum Muslimin.
Pada saat-saat itu dibuatlahnampan hidangan sepanjang 300 Dira' dengan lebar 7 Dira', yang terdiri dari Khaskunan–roti yang terbuat dari tepung murni, yang di isi dengan gula dan kacang-, al-Fânîddan al-Basnad. Jika khalifah telah selesai menunaikan shalat, beliau duduk dan menyilahkan masyarakat untuk menikmati hidangan tersebut. Kemudian mereka serentak menikmati hidangan tersebut juga membawa pulang hidangan tersebut sebisanya.[30]
d. Menteri-Qadhi-Hakim-Polisi, Sediakan Ta'jil Berbuka
Para menteri, para Qhadi–hakim- dan para polisi ikut serta menikmati hidangan tersebut. Hidangan berbuka puasa (ta'jil) diadakan selama bulan Ramadhan. Ini diselenggarakan oleh para aparat pemerintahan, mulai keluarga khalifah, menteri, qadhi, hakim sampai polisi.
Sebagai contoh, rumah menteri Ibnu Abbad tidak pernah sepi dari 1000 orang yang berbuka di sana setiap harinya, bahkan sedekahnya pada bulan ini sama dengan jumlah sedekahnya selama satu tahun.[31]
Diriwayatkan bahwa pada akhir Ramadhan tahun 308 H. beliau menyuruh Ya'nis al-Shaqlabi seorang polisi rendahan untuk membawa hidangan-hidangan, miniatur-miniatur istana yang terbuat dari gula dan boneka-boneka, juga pinggan-pinggan yang dipenuhi dengan boneka-boneka dari permen –manisan-, beliau juga memerintahkan Ali bin Saadal-Muhtasib untuk membawa istana-istanaan dan boneka-boneka dari gula-gula, kemudian mereka berdua berkeliling di jalan-jalan Kairo membagi-bagikan kepada masyarakat.[32]
e. Terangi Kota dengan Lampu (Penjor) Malam Ied
Kota-kota Islam pada masa kekhalifahan Abbasiyah bermandikan cahaya pada malam-malam hari raya. Suara orang yang bertakbir dan bertahlil saling bersahutan. Sungai-sungai penuh dengan perahu-perahu yang dihiasi dengan indahnya. Dari sisi sungai memancar cahaya yang terang dari pelita-pelita. Dari kejauhan terlihat gemerlap cahaya yang indah dari istana kekhalifahan.
Kota Bagdad masa itu berhias dengan bendera-bendera dan umbul-umbul sutra yang berwarna-warni. Genderang ditabuh dan pintu-pintu diketok saat hari raya. Para pengrajin membuat boneka-boneka hewan untuk anak-anak kecil.[33]
f. Arakan Rombongan Khalifah
Para khalifah Abbasiyah merayakan hari raya Idul Fitri dengan hadir ke masjid dengan pakaian yang paling bagus, yang diikuti oleh para pembesar-pembesar Negara, sedangkan masyarakat berdiri di kedua sisi jalan untuk memberikan penghormatan kepada khalifah sambil mengucapkan, "Assalamu 'ala amiril mukminin wa nural-Islam" –"Keselamatan bagi Amirul mukminin dan bagi cahaya Islam".
Mereka juga merayakannya saat datang musim haji. Jika hari kesepuluh dari bulan Dzul Hijjah telah datang, para penduduk merayakan hari raya Idul Adha, hewan-hewan kurban di sembelih untuk dibagikan kepada fakir-miskin.[34]
IV. Ramadhan & Ied Masa Khilafah Fathimiyah
Kekhilafahan Fathimiyah tidak kurang-kurang dalam merayakan kedatangan bulan Ramadhan, idul fitri dan idul adha. Mereka bahkan merayakan segala perayaan yang bersifat Islami maupun tidak Islami yang diadakan oleh agama-agama lain, sehingga hari raya mereka berjumlah 21 macam. Di antaranya ialah pesta sehari-semalam di sungai Nil, hari raya al-Ghuthâs, hari raya kelahiran, hari raya al-niruz, hari Asyura dan idul ghadir. Semua ini adalah bentuk penyelewengan dari ajaran Islam.
Namun di antara fenomena Ramadhan dan hari raya yang paling penting saat itu ialah:
a. Qadhi Mengawasi dan Memeriksa Masjid-masjid
Pada masa itu masjid-masjid diKairo berada di bawah pengawasan qhadi. Biasanya jika Ramadhan tinggal tiga hari lagi, sang qhadi mengunjungi masjid-masjid untuk memeriksa hamparannya, pelita-pelitanya, bangunannya dan apa-apa yang mulai rusak.[35]
b. Rayakan Ied sejak 10 Hari Terakhir Ramadhan
Kekhilafahan Fatimiyah membuat pintu khusus di istana kekhilafahan yang disebut dengan pintu ied –pintu hariraya-. Khalifah biasanya keluar dari pintu tersebut saat menuju ke mushallayang terletak di sebelah timur istana untuk menunaikan dua hari raya yaitu hariraya idul fitri dan hari raya idul adha. Sekarang, mushalla atau lapangan tersebut telah berubah berfungsi sebagai kuburan yang bernama 'Bab al-Nashr' yang terletak di belakang komplek al-Husainiyah.
Pemerintah Fatimiyah banyakmengambil berkah dari hari raya. Kebaikan hari itu meliputi seluruh penduduk. Di antara kebaikan tersebut adalah dalam bentuk pembagian zakat fitrah, pakaian dan dibuatnya hidangan di dalam nampan yang panjang.[36]
c. Mempercantik Kairo dengan Hiasan dan Lampu
Kota Kairo dipercantik dengan hiasan dan cahaya lampu. Dahulu jalan-jalan di Kairo berhias saat malam-malam hariraya dan saat-saat pesta. Menara-menara tempat azan dan masjid-masjid di sinari dengan cahaya yang terang benderang. Sungai Nil dipenuhi dengan perahu hias yang cantik. Dari kedua sisinya, lampu-lampu terlihat gemerlap. Dari kejauhan nampak istana kekhilafahan berkilat-kilat dengan cahaya yang menarik perhatian.[37]
d. Arakan Rombongan Khalifah pada Bulan Ramadhan
Rombongan para khalifah pada bulan Ramadhan, para khalifah Fatimiyah berkumpul pada saat shalat jumat. Rombongan khalifah mengunjungi rumah-rumah, toko-toko dan pasar-pasar, pada tiga harijumat dari bulan Ramadhan.
Pada hari raya idul fitri dan hari raya idul adha, beliau naik kendaraan menuju shalat ied, dan orang-orang berdiri di sisi jalan untuk mengucapkan salam kepadanya. Rombongan ini biasanya keluar pada saat pada permulaan bulan Ramadhan, awal tahun baru hijriyah, tiga hari jumat terakir dari bulan Ramadhan, dan ketika menuju tempat salat idul fitri maupun idul adha yang dikenal sebagai rombongan besar.[38]
Ibnu Bathuthah menyebutkan bahwa di antara rombongan khalifah masa itu adalah keluarnya khalifah untukmengumumkan tentang ru'yah hilal bulan Ramadhan dalam rangka menyambut kedatangan bulan puasa.[39]
V. Ramadhan & Ied Masa Utsmaniyah
Fenomena dan corak bulan puasa dan hari raya pada masa Abbasiyah dan Fatimiyah masih terus berlanjut sampai masa Utsmaniyah, walaupun di sana-sini ada sedikit perbedaan, di antaranya adalah:
a. Shaum & Ied Hari yang Sama untuk Seluruh Wilayah Negara Islam
Puasa dan hari raya di tetapkan pada hari yang sama untuk seluruh wilayah Negara Islam. Kekhilafahan Ustmaniyah berpegang kepada mazhab Imam Hanafi dalam masalah ini di mana disebutkan:
"Bahwa perbedaan munculnya hilal –terbitnya- tidak dihiraukan, maka penduduk wilayah barat harus mengikuti penduduk wilayah timur –dalam masalah ini- jika ru'yah yang kuat untukdijadikan sebagai dasar hukum telah ditetapkan di sana."[40]
Dengan begitu mereka menetapkan persamaan awal puasa dan saat hari raya untuk seluruh wilayah Negara. Pada waktu itu penyebaran informasi sudah menggunakan selebaran-selebaran –koran-, wire equipment dan wireless equipment, seperti telegraph, telephone dan lain sebagainya, di samping mereka juga menggunakan meriam untuk mengumumkan awal bulan Ramadhan, datangnya bulan Syawal –idul fitri- dan datangnya hari raya idul adha di seluruh penjuru negeri. Meriam bulan Ramadhan biasanya dinyalakkan dua kali setiap hari yaitu saat berbuka dan saat imsak, untuk menjaga persamaan waktu di ibu kota, dan di semua egala penjuru dan kota-kota besar.
b. Arakan Rombongan Sultan pada Hari Ied
Para sultan biasanya pergi menuju masjid jami' saat hari-hari raya. Dalam perjalanan menuju ke masjid, al-Jauqadar–kepala pelayan sultan- membagi-bagikan uang kepada para penduduk atas nama sultan, sedangkan Qabi Jiler katkhudasi agha –kepala penjaga pintu gerbang istana- ikut dalam rombongan sambil mengumpulkan barang-barang dari masyarakat yang dihadiahkan untuk sultan pada hari-hari jumat maupun hari-hari raya.[41]
Penutup
Inilah fenomena dan corak warna puasa bulan Ramadhan serta hari raya pada masa-masa kekhilafahan Islam. Kami menulis catatan ini berkenaan dengan datangnya bulan Ramadhan tahun ini.
Kita berharap semoga bisa bertemu dengan bulan Ramadhan tahun ke depan dalam kondisi wilayah Islam telah menjadi satu kesatuan Negara yang baru, untuk menyelamatkan dunia Islam dan seluruh dunia dari apa yang menimpanya saat ini, berupa berbagai kemerosotan, kemelaratan, perbudakan, penghinaan, kezaliman politik, kecurangan ekonomi, ketundukan yang menghinakan yang dilakukan oleh Negara adidaya yang telah memaksakan kehendak dan aturan kepada kita. Mengubah hal tersebut tidaklah sulit bagi Allah Subhânahu wa ta'ala. Firman-Nya:
"Dan apakah mereka tidakmelihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah (orang-orang kafir),lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya?Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolakketetapan-Nya; dan Dia-lah Yang Mahacepat hisabNya. Danorang-orang kafir yang sebelum mereka (kafir Mekah) sungguh telah membuat tipudaya,tetapi semua tipudaya itu adalah dalam kekuasaan Allah. Dia mengetahui apa yangdiusahakan oleh setiap diri. Dan orang-orang kafir akan mengetahui untuk siapatempat kesudahan (yang baik) itu" (ar-Ra'd: 41-42).
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini pertama kali diterbitkan di Majalah Al Khilafah dalam bahasa Arab. Diterjemahkan oleh Muhamad Isnani. Diedit bahasakan oleh Islisyah Asman Footnote dan Kepustakaan
=================================================================
[1] H.R. Abu Dawud, 1134
[2] H.R. Abu Dawud, 2334
[3] Kasyfal-Ghummah 'an jami'i al-Ummah 1/250
[4] Musnad Imam Ahmad 6/18917
[5] Musnaf Abdur Razaq 4/264
[6] al-Majmu' an-Nawawi 3/528
[7] al-Muwaththa' 1/115
[8] al-Muwaththa' 1/115 dan Mushnaf Abdurrazaq 4/260
[9] Tarikh Umar bin Khattab hal. 71
[10] Tarikhal-Khulafa as-Suyuthi hal. 128
[11] Sahih Ibnu Huzaimah 3/192
[12] Awwaliyat al-Farûq as-Siyasah Ghalib Abdul al-Kâfi al-Qurasyi hal. 393
[13] Hayat al-Shahabah 2/270
[14] Siyar A'lam al-Nubala' 1/33 dan 88
[15] at-Tibyân fî Hamalah al-Qur'an an-Nawawi hal. 47-48
[16] al-Mudawwanah al-Kubra 1/237
[17] Fath al-Bari 4/272
[18] Ibnu Abi Syaibah 1/140
[19] Saryh al-Zarqawi 'ala al-Muwaththa' 1/362
[20] al-Muwaththa' 1/404
[21] H.R.Bukhari secara mu'allaq, dalam bab Keutamaan Amal pada hari-hari tasyriq, Fath al-Bari 2/457
[22] Sunan al-Baihaqi 3/310
[23] al-Mughni Ibnu Quddamah 2/399
[24] al-Muhalla Ibnu Hazm 5/81
[25] Tarikh al-Khulafa karangan Imam al-Suyuthi hal. 187
[26] Tarikhal-Khulafa' hal. 236
[27] al-Wulâh wa al-Qudhâh hal. 370
[28] Tarikh al-Khulafa hal. 462
[29] Tarikh al-Islami DR. Hasan Ibrahim Hasan 3/461, Tajârib al-Umam karangan Maskawaih 2/75, 248, 402
[30] Al-Khuthat oleh al-Maqrizi 1/387
[31] Yatimah al-Dahri oleh al-Tsa'labi 3/36
[32] Tarikh Abu al-Mahasin 2/473
[33] Tarikhal-Islam oleh DR. Hasan Ibrahim Hasan 3/460
[34] Tarikhal-Islam 4/603
[35] Al-Khuthat oleh al-Maqrizi 1/295
[36] Tarikh al-Islam DR. Hasan Ibrahim Hasan 3/461
[37] Khuthath oleh al-Maqrizi 1/490 Tarikh al-Islam 3/460
[38] Tarikh al-Islam 3/463 Shubhu al-A'sya 3/503, 520
[39] al-Rihlah 27-28
[40] al-Durr al-Mukhtâr wa al-Radd al-Muhyâr 2/131-132
[41] Album al-Utsmaniyîn hal. 90, 92
0 komentar:
Posting Komentar