لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
Sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat suri teladan yang baik. (TQS. al-Ahzab [33]: 21)
Pembentukan Partai Politik
Allah Swt. berfirman dalam al-Quran:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Hendaklah ada segolongan umat di antara kalian yang menyerukan kebajikan (Islam), menyeru kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan merekalah orang-orang yang beruntung. (TQS. Ali ‘Imran [3]: 104)
Dalam ayat ini Allah Swt. menyerukan tentang harus adanya sekelompok umat dari kalangan umat sendiri (minkum ummatun). Yaitu, sekelompok orang yang membentuk kelompok tersendiri, seolah-olah membentuk umat di dalam umat, karena seruan di atas berbentuk sebagian (tab’idh) yang mengindikasikan sebagian dari umat. Kelompok yang sebagian itu harus memiliki sesuatu yang mengikat mereka, sebagaimana umat juga memiliki sesuatu yang mengikatnya sebagai satu umat. Namun, kelompok itu punya kekhususan dalam hal menyerukan yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, serta menyeru pada al-khair, yaitu Islam secara keseluruhan.
Selain itu, setiap kelompok (jama’ah) membutuhkan seorang amir, sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi saw. dalam sebuah hadis:
Apabila ada tiga orang di antara kalian (dalam perjalanan), maka pilihlah salah satu menjadi amir.
Karena itu, kelompok tersebut harus memiliki struktur agar dapat benar-benar tampil, serta memiliki pemahaman tentang apa saja yang makruf dan apa saja yang mungkar.
Walaupun demikian, pemeliharaan kemakrufan dan pencegahan kemungkaran secara efektif memang hanya dapat dilakukan oleh negara, dan mustahil oleh yang lain. Imam Qurtubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa hanya penguasalah yang memiliki kemampuan untuk menegakkan kemakrufan dan menghilangkan kemungkaran dengan cara menerapkan hudud dan melalui tangan-tangan kekuasaannya (Imam Qurtubi, Jami’u Ahkam al-Qur'an, Jilid 4, hlm. 47).
Allah Swt berfirman :
الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي اْلأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلاَةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَ ِللهِ عَاقِبَةُ اْلأُمُورِ
(Yaitu) Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka akan menegakkan shalat, menunaikan zakat, serta menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah yang mungkar. Kepada Allahlah segala urusan dikembalikan. (TQS. al-Hajj [22]: 41)
Sehubungan dengan itu, yang menjadi tugas dari partai sebagaimana disebutkan dalam Ali ’Imran (3): 104 adalah memastikan bahwa kemakrufan telah tegak di tengah masyarakat dan kemungkaran telah lenyap. Dengan kata lain, aktivitas partai itu adalah aktivitas politik, dengan cara mengawasi negara dalam melaksanakan kewajiban terhadap umat dan mengemban Islam ke seluruh dunia melalui dakwah dan jihad. Akan tetapi, keadaan yang terjadi sekarang adalah, hampir seluruh kemakrufan hilang di tengah-tengah masyarakat akibat hilangnya Islam dalam kancah kehidupan. Justru, kemungkaran yang merajalela, karena tidak adanya negara yang menerapkan syariat Islam.
Sebelum ini telah dibahas bahwa perkara utama umat saat ini adalah reunifikasi negeri-negeri Islam ke dalam satu pemerintahan Islam dengan kembali tegaknya negara Khilafah. Akar dari segala kemungkaran yang menjadi sumber segala bentuk kemungkaran yang lain adalah kekufuran berikut sistem kufurnya, sementara itu pangkal dari segala kemakrufan yang akan mengembalikan setiap bentuk kemakrufan dan menghidupkan Din al-Islam secara total adalah negara Khilafah. Negara Khilafahlah yang akan kembali menegakkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.
Karena itu, partai politik itu harus berjuang menegakkan negara Khilafah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Partai harus melakukan langkah-langkah nyata untuk mengembalikan tegaknya negara Khilafah. Jadi, partai itu harus memiliki pemahaman dalam masalah, misalnya, sistem pemerintahan, ekonomi, sosial kemasyarakatan, pendidikan, dan aturan-aturan yang telah Islam turunkan. Tanpa itu semua, partai tidak akan mampu menegakkan negara Khilafah. Selain itu, partai itu juga harus memiliki kesatuan pemahaman, karena jika tidak, partai itu tidak akan dapat bekerja secara kolektif sebagai sebuah partai. Hal ini sesuai dengan kaidah syara’ ‘jika suatu kewajiban tidak bisa sempurna tanpa sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib’. Pertanyaannya sekarang adalah, seperti apakah metode yang harus ditempuh partai itu dan bagaimana aktivitas yang harus dilakukan untuk menegakkan negara Khilafah kembali?
MENELADANI RASULULLAH SAW
Aktivitas Rasulullah saw. menjadi contoh metode sejati penegakan Khilafah dan pendirian Negara Islam, atau dengan kata lain mengubah Darul Kufur menjadi Darul Islam. Untuk itu, kita perlu memahami bagaimana rukun-rukun dari metode yang dilakukan Rasulullah saw. Setelah itu, kita terapkan ke dalam situasi kita untuk meniti jalan menuju kembalinya negara Khilafah.
Prinsip ta’assi atau meneladani perbuatan Rasulullah saw. senantiasa mendapat bagian tersendiri dalam buku-buku yang membahas masalah Ushul ketika memahami Sunnah Nabi saw. Adapun yang jadi soal dalam hal ini adalah bagaimana cara kita meneladani perbuatan Rasulullah saw. dan apa hukumnya. Allah Swt. berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
Sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik. (TQS. al-Ahzab [33]: 21)
Allah Swt. juga memerintahkan kepada Nabi saw. untuk berkata kepada orang-orang beriman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: “Apabila kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. (TQS. Ali ‘Imran [3]: 31)
Dengan demikian, kaum Muslim wajib meneladani dan mengikuti jejak langkah Rasulullah saw. jika mereka mengharapkan ampunan Allah Swt. dan surga yang dijanjikan-Nya. Oleh karena itu, meneladani dan mengikuti perbuatan Rasulullah saw. adalah wajib. Akan tetapi, kaum Muslim harus meneladani beliau dengan benar dan dalam hal-hal yang memang Allah perintahkan. Berikut adalah klasifikasi perbuatan Rasulullah saw.
Perbuatan Jibiliyyah
Perbuatan jibiliyyah adalah perbuatan yang dilakukan Nabi saw. sebagai bagian dari karakter kemanusiaannya. Misalnya, Bukhari meriwayatkan bagaimana merahnya wajah beliau ketika marah. Menurut Imam Tirmidzi dalam Syama’il, beliau saw. berjalan begitu cepatnya seolah-olah sedang menuruni bukit. Hal-hal seperti ini boleh-boleh saja kita tiru demi menunjukkan kecintaan kita terhadap Rasulullah saw, karena itu memang perbuatan beliau. Namun, perbuatan semacam itu tidak memiliki konsekuensi hukum, sehingga status hukum perbuatan-perbuatan seperti itu adalah mubah.
Perbuatan Khas
Perbuatan khas adalah perbuatan yang memang khusus dan dikhususkan bagi Nabi saw. Misalnya, di dalam al-Quran dinyatakan bahwa istri-istri beliau dilarang menikah lagi setelah menjanda, sedangkan wanita-wanita beriman dapat menikah lagi setelah suami mereka meninggal atau setelah bercerai. Nabi saw. juga dibolehkan menikahi lebih dari dari empat wanita, sementara itu lelaki Muslim dilarang. Rasulullah saw. berpuasa siang dan malam non-stop, tetapi beliau melarang kaum Muslim melakukan hal yang sama. Status hukum shalat tahajud itu wajib bagi Nabi saw, tetapi bagi kaum Muslim sunnah nafilah (Syakhshiyyah Islamiyyah, Jilid 3). Kaum Muslim dilarang mengikuti Rasulullah saw. dalam perbuatan-perbuatan semacam ini. Jadi, kita tidak boleh melakukan tahajud sebagai sebuah kewajiban. Kita pun tidak boleh melarang seorang Muslimah menikah kembali setelah mereka bercerai atau menjanda. Demikian pula laki-laki Muslim tidak boleh memiliki lebih dari empat istri. Mengikuti Rasulullah saw. dalam perbuatan-perbuatan semacam ini adalah haram.
Perbuatan Umum (Tasyri’)
Perbuatan tasyri’ adalah perbuatan, perkataan, atau persetujuan Rasulullah saw. yang mengandung konsekuensi hukum. Perbuatan itu bisa jadi berstatus wajib, mandub, atau mubah. Apabila perbuatan yang Rasulullah saw. lakukan adalah penjelasan atas suatu kewajiban, maka perbuatan itu adalah wajib. Misalnya, Allah Swt. menyatakan dalam banyak ayat al-Quran tentang wajibnya menegakkan shalat lima waktu. Dalam hadis masyhur yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah saw. bersabda:
Shalatlah kalian sebagaimana aku shalat.
Jadi, fakta bahwa Nabi saw shalat dalam urutan yang sama (tartib) dan berulang-ulang (ta’addud) merupakan penjelasan atas kewajiban shalat lima waktu tadi, karena itu cara shalat kita pun wajib mengikuti shalatnya Rasulullah saw.
Dalam ayat lain Allah Swt. berfirman:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Siapa saja yang melihat bulan, berpuasalah. (TQS. al-Baqarah [2]: 185)
Lalu, dalam sebuah hadis yang masyhur kita dapati Nabi saw bersabda:
Berpuasalah kalian manakala melihat bulan dan berbukalah tatkala melihat bulan. Adapun jika bulan tertutup awan, maka genapkanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari (bulan Sya’ban). (Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Bulugh al-Maram).
Riwayat ini menjelaskan kapan mulai berpuasa dan kapan berhenti berpuasa. Artinya, hadis ini merupakan penjelasan atas perintah Allah Swt. dalam al-Quran tadi. Hukum perbuatan yang dijelaskan dalam hadis ini sama dengan perbuatan yang diperintahkan dalam al-Quran, yaitu wajib. Selin itu, yang juga termasuk wajib adalah melihat hilal atau menggenapkannya menjadi tiga puluh hari ketika mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan.
Contoh lain ialah firman Allah Swt. dalam al-Quran:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya. (TQS. al-Maidah [5]: 38)
Dalam sebuah hadis marfu’ yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Jami’u ash-Shahih dari Aisyah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda:
Tidak dipotong tangan pencuri dalam kasus pencurian kecuali yang mencapai seperempat dinar atau lebih.
Hadis ini menjelaskan hukum sebelumnya, yaitu tentang kewajiban memotong tangan seorang pencuri.
Demikian pula dalam masalah dakwah. Rasulullah saw. wajib melakukan aktivitas dakwah dan beliau diwajibkan untuk menegakkan agama ini. Hal ini dapat kita tinjau dari fakta bahwa beliau siap mengorbankan hidupnya demi melaksanakan kewajiban tersebut. Rasulullah saw. berkata kepada pamannya:
Demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku berhenti dari perkara ini, niscaya aku tidak akan berhenti darinya hingga Allah memenangkan perkara ini atau aku mati karenanya. (Imam Thabari, Sirah, Jilid 6, par. 1179)
Dengan demikian, setiap perbuatan dan pernyataan yang menjelaskan metode itu harus dipandang sebagai bagian kewajiban dari metode untuk melangsungkan kehidupan Islam.
Aktivitas Qurbah (Mendekatkan Diri kepada Allah Swt.)
Mendekatkan diri kepada Allah Swt. dan memperoleh ridha-Nya adalah tujuan orang-orang beriman dan menjadi landasan dasar dari seluruh perbuatannya. Setiap perbuatan yang jika dilakukan akan mendatangkan ridha Allah Swt. dan jika ditinggalkan akan mengundang azab-Nya dikategorikan sebagai wajib. Perbuatan yang mendekatkan seorang Muslim kepada Allah Swt., tetapi jika tidak dilakukan tidak mengundang hukuman dipandang sebagai perbuatan yang mandub. Perbuatan Rasulullah saw. yang mengindikasikan upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. (taqarrub illa Allah) juga berstatus mandub. Misalnya, aktivitas zikir dan doa dapat mendatangkan ridha Allah Swt., sehingga keduanya berstatus hukum mandub. Dalam Syama’il, Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadis bahwa Nabi saw. terbiasa membaca basmallah sebelum makan. Aktivitas seperti ini mengingatkan diri kepada Allah Swt. dan menunjukkan rasa syukur. Oleh karena itu, membaca doa sebelum makan adalah mandub.
Mubah
Perbuatan-perbuatan yang tidak mengandung indikator qurbah atau tidak menunjukkan pahala atau siksa, berstatus hukum mubah. Kaum Muslim boleh melakukannya sesuai dengan kehendak mereka. Misalnya, Nabi saw. terbiasa meminta juru tulisnya untuk menuliskan al-Quran di pelepah daun kurma. Cara ini tidak mengandung konsekuensi pahala atau siksa, karena itu status hukumnya adalah mubah. Dalam konteks ini, menggunakan cara lain, seperti CD dan mencetaknya juga mubah-mubah saja.
Relevansi dari semua ini dengan topik yang kita bahas adalah, kita harus dapat memilah-milah perbuatan-perbuatan yang Rasulullah saw. lakukan. Aktivitas mana yang beliau lakukan semata-mata sebagai manusia sehingga tidak wajib diikuti dan aktivitas mana yang memang wajib diikuti, yang memang beliau lakukan sebagai sebuah kewajiban dan bagian dari metode beliau dalam menegakkan Diinullah.
METODE RASULULLAH SAW DALAM MENDIRIKAN NEGARA ISLAM
Nabi Muhammad saw. mendirikan Negara Islam di Madinah. Setelah beliau wafat, Abu Bakar r.a. menjadi Khalifah, lalu berturut-turut Umar r.a., Utsman r.a., dan Ali r.a.. Sistem Khilafah ini terus berlanjut selama tiga belas abad, hingga kemudian diruntuhkan pada 3 Maret 1924 M.
Adapun yang harus kita lakukan sekarang adalah menggali metode itu dari dalil syariat yang ada, dalam hal ini Sunnah Nabi saw, dengan cara menelaah dan memahami sirah Rasulullah saw. dari aspek hukum. Setelah itu, kita ikuti perbuatan-perbuatan yang beliau lakukan yang merupakan bagian dari upaya beliau untuk melaksanakan kewajiban menjalankan kehidupan yang Islami secara praktis.
TAHAP PERTAMA MEMBINA KADER
Allah Swt. memerintahkan Nabi saw.:
يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ
Wahai orang yang berselimut, bangunlah lalu berikanlah peringatan, dan agungkanlah Tuhanmu. (TQS. al-Muddatstsir [74]: 1-3)
Imam Abu Ja’far ath-Thabari mengatakan bahwa Allah memerintahkan Nabi saw. untuk bangkit dan memberikan peringatan kepada orang-orang bahwa Allah akan menghukum mereka karena tidak bersyukur kepada Tuhan mereka, serta karena kebiasaan mereka menyekutukan Allah dan menyembah berhala sehingga mengabaikan Allah yang menciptakan dan menghidupi mereka. Beliau juga diperintahkan untuk menyampaikan kepada mereka tentang karunia Tuhan yang dilimpahkan kepadanya. Menurut Ibnu Ishaq yang dimaksud adalah kenabian Muhammad saw. (Tarikh ath-Thabari, Jilid 6, par. 1156).
Setelah turun ayat ini Nabi saw. mulai mengajak orang-orang untuk mengemban dakwah. Beliau memulainya dengan mengajak mereka masuk Islam, menerima tauhid akan keesaan Allah, al-Khalik dan al-Malik yang tidak memiliki sekutu, dan untuk menerima kepemimpinan beliau. Beliau melakukan hal itu bukan dengan cara menantang orang-orang Quraisy, maupun dengan cara menentang gaya hidup mereka, melainkan dengan menjelaskan akidah kepada mereka agar mereka masuk Islam. Terhadap orang-orang yang masuk Islam, Rasulullah saw. membina mereka dengan Islam sesuai dengan ayat-ayat al-Quran yang turun pada saat itu.
Pada tahap ini dakwah Nabi saw. berlangsung selama tiga tahun dan beliau berulang kali melakukan dua hal yang diperintahkan tadi itu meskipun beliau menggunakan beragam cara. Pada satu waktu beliau mengundang orang-orang ke rumah, pada saat yang lain beliau sendiri yang datang berkunjung ke rumah-rumah mereka. Di waktu lain beliau berdiskusi dengan orang-orang di pasar dan banyak hadis yang meriwayatkan hal ini. Akan tetapi, terlepas dari beragamnya cara, yang beliau lakukan hanya meliputi dua hal saja, yaitu mengajak orang masuk Islam, serta membangun keimanan dan pemahaman akan Laa ilaaha illa Allah pada diri orang-orang yang menerima seruannya.
Perkara penting yang harus dicamkan di sini adalah bahwa pada saat itu tidak ada hukum-hukum shalat, hukum-hukum shaum, ataupun zakat. Dakwah yang dilakukan kepada orang-orang pada saat itu bukanlah mengajak mereka melakukan ibadah ritual, melainkan mengajak mereka ke dalam suatu akidah. Yaitu, akidah yang secara radikal akan mengubah pandangan hidup mereka, serta mengubah cara pandang mereka ihwal bagaimana seharusnya menjalani kehidupan di dunia ini. Dengan akidah itu, mereka tidak lagi menyembah berhala-berhala, tidak juga hidup demi kehidupan dunia semata, ataupun menjalani hidup sekadar memuaskan hawa nafsu belaka. Mereka sadar bahwa eksistensi mereka dan tujuan mereka di dunia ini adalah untuk akhirat dan karena itu mereka harus menjalani kehidupan sesuai dengan petunjuk yang Allah berikan.
Oleh karena itu, sejak masuk Islam, para sahabat r.a. sudah siap untuk mengorbankan segala yang mereka miliki demi agama ini. Bilal r.a., seorang budak dari Habasyah (Etiopia), rela ditindih oleh batu besar di bawah teriknya mentari. Sumayah r.a. sanggup mengorbankan nyawanya, demikian juga Yasir r.a. Itu semua berkat keimanan yang kuat dan kokoh yang mereka miliki. Mereka juga paham betul tanggung jawab mereka sebagai pengemban Islam.
Ayat-ayat al-Quran yang pertama-tama muncul selalu mengingatkan mereka tentang kemenangan yang akan Allah berikan berikut tanggung jawab yang harus mereka emban. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a. bahwa ketika turun ayat:
وَمَا هُوَ إِلاَّ ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ
Al-Qur'an itu tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat. (TQS. al-Qalam [68]: 52)
Mereka paham bahwa Islam akan menguasai dunia, meskipun pada saat ayat itu turun, jumlah kaum Muslim masih sangat sedikit (Imam ath-Thabari, Jami’u al-Bayan an Ta’wil al-Qur'an).
Ketika orang-orang musyrik bertemu orang-orang muslim, orang-orang musyrik selalu mengolok-olok dengan mengatakan, “Inilah para penguasa bumi yang akan mengalahkan Kisra Persia dan Kaisar Romawi” (Rahiq al-Makhtum). Pada saat itu, orang-orang Quraisy belum melihat adanya sesuatu yang membahayakan dari kaum Muslim.
Demikianlah yang terjadi pada tahap ini. Nabi saw. mengajak orang-orang masuk Islam. Setiap orang yang masuk Islam langsung dibina dengan pemahaman yang jernih dan keimanan yang kokoh akan datangnya kemenangan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Ibnu Hisyam (Jilid 1/343) mengisahkan bagaimana Umar bin Khaththab masuk Islam ketika melihat adiknya, dan suami adiknya, sedang dibina oleh Khabbab bin Arrat r.a. dan beliau mendengar al-Quran dibacakan. Juga, bagaimana para sahabat dibina di rumah al-Arqam.
Nabi Muhammad saw. terus melakukan hal itu selama tiga tahun sampai Allah Swt. memerintahkan beliau untuk melakukan tahap selanjutnya. Inilah yang harus kita jadikan teladan sebagai bagian dari metode penegakan Islam.
Dengan demikian, aktivitas pokok dalam tahap pertama ini adalah :
1. Mengajak orang-orang masuk Islam melalui diskusi, bukan melalui kekerasan.
2. Membina orang-orang yang masuk Islam dengan pemahaman yang kuat akan Islam dan keimanan yang kokoh dalam rangka mengemban tanggung jawab dakwah.
Oleh karena itu, berdasarkan hukum syara’, partai politik Islam wajib menyerukan pemikiran-pemikiran Islam, menyebarluaskan konsep-konsep Islam, dan membongkar pemikiran-pemikiran yang rusak.
Selain itu, partai tersebut juga harus membangun tubuh partai dan anggotanya agar mereka mampu memikul tanggung jawab mengemban dakwah Islam dengan disertai rasa iman yang kokoh terhadap Allah, agama-Nya, dan kemenangan yang dijanjikan-Nya. Partai tersebut harus mengubah kepribadian orang-orang muslim yang hendak mengemban tanggung jawab dakwah Islam itu secara radikal agar sesuai dengan kepribadian Islami. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad saw. bersabda:
Tidak sempurna keimanan salah seorang di antara kalian sebelum hawa nafsunya tunduk pada apa yang aku bawa (Islam). (diriwayatkan oleh al-Isfahani dalam Kitab al-Hujjah dan disahihkan oleh Imam al-Nawawi dalam Arba’in)
TAHAP KEDUA BERINTERAKSI DENGAN UMAT
Imam Abu Ja’far ath-Thabari mengatakan, “Setelah tiga tahun masa kenabian, Allah memerintahkan Rasulullah saw. untuk pergi dan menyampaikan risalah secara terbuka ke tengah-tengah masyarakat dan mengajak mereka masuk Islam. Allah Swt. berfirman kepada Muhammad saw,
فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ
Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan apa yang telah diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik. (TQS. al-Hijr [15]: 94) (Tarikh ath-Thabari, Jilid 6, par. 1170).
Pada tahap ini Nabi saw. berinteraksi dengan masyarakat. Beliau mengemban Islam kepada masyarakat agar diterapkan melalui kekuasaan. Nabi saw. menentang kekuasaan Quraisy. Beliau menentang kesalahan-kesalahan mereka dalam mengatur urusan kemasyarakatan, yaitu interaksi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Beliau juga mengekspos praktik-praktik yang rusak dalam kehidupan mereka. Tak heran kalau kemudian Nabi saw. bersama para sahabat kerapkali mendapat tuduhan, diboikot, dan menerima siksaan dalam segala bentuknya. Nabi Muhammad saw. menolak setiap ajakan kompromi dari Quraisy dan para pemimpinnya. Beliau mengemban Islam sebagai satu-satunya kepemimpinan bagi masyarakat Arab dan umat manusia seluruhnya.
Dari sini kita dapat melihat bahwa dakwah sejatinya dilakukan dengan cara pertarungan pemikiran dan perjuangan politik dalam rangka mengubah segala aspek dari sistem yang ada untuk menegakkan agama Allah, serta mencabut sistem kufur dari akarnya dan menggantinya dengan sistem Islam. Semua itu diriwayatkan di dalam Sunnah dan sirah Rasulullah saw. mengenai turunnya wahyu ayat-ayat al-Quran, peristiwa-peristiwa di seputar turunnya wahyu, dan cara Nabi saw. menyampaikan wahyu itu kepada masyarakat.
Menyerang Bentuk Interaksi dan Praktik Sosial Masyarakat
Dalam berbagai ayat al-Quran, Allah Swt. menegur sejumlah interaksi dan praktik sosial kemasyarakatan. Contohnya ayat al-Quran berikut:
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup itu ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh. (TQS. al-Takwir [81]: 8-9)
Di dalam sirah dikatakan bahwa ayat ini memiliki dampak yang sangat luas. Masyarakat Arab ketika itu terbiasa mengubur anak perempuan yang baru lahir, meskipun mereka sendiri tidak bisa membenarkan tradisi itu. Diriwayatkan bahwa Sumayah r.a., ibunda dari Ammar r.a., masuk Islam setelah turunnya ayat itu. Rupanya ayat itu membuat Sumayah berpikir tentang kebiasaannya yang rusak itu dan juga berpikir tentang agama baru yang dibawa Muhammad saw.
Nabi saw., melalui ayat al-Quran, juga menyerang praktik-praktik curang yang terjadi di pasar. Para pemimpin Quraisy terbiasa dengan praktik kotor itu terutama ketika musim haji tiba. Allah Swt. berfirman:
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ
Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (TQS. al-Muthaffifin [83]: 1)
Ath-Thabari mengutip Ibnu Ishaq melalui Ibnu Humaid dari Salamah, “Rasulullah saw. menyerukan Islam kepada orang-orang secara terbuka dan terang-terangan… . Sejauh yang saya ketahui mereka tidak menerima ataupun menolaknya sampai beliau berbicara tentang tuhan-tuhan mereka dan beliau mencelanya. Ketika beliau melakukan hal itu, mereka semua mulai terpengaruh dan bersatu memusuhi beliau. Mereka tidak suka Nabi saw. menyerang kebiasaan dan tuhan-tuhan mereka. Lalu, mereka berupaya melobi Abu Thalib (paman Rasulullah yang melindungi beliau dari Quraisy) dengan mengatakan, ‘Abu Thalib, keponakanmu itu telah mencaci-maki tuhan-tuhan kita, mencela agama kita, mencemooh nilai-nilai tradisi kita, dan mengatakan bahwa nenek moyang kita dungu’. Dalam riwayat Ibnu Sad dikatakan, ‘Tidak ada satu pun kejahatan yang belum ia lakukan”.
Begitulah, dapat kita lihat bagaimana dakwah Rasulullah saw. menyerukan perubahan radikal dalam hal cara masyarakat menjalani kehidupannya, tata cara ibadah mereka, nilai-nilai sosial, dan praktik-praktik perdagangan mereka. Identitas dan gaya hidup mereka dihantam habis-habisan, agar mereka mau menggantinya dengan agama dan gaya hidup yang baru. Nabi saw. menyerang sistem kehidupan yang dijalankan oleh Quraisy. Nabi saw. melakukan semua itu seraya menawarkan sistem Islam sebagai penggantinya, yang dipimpin oleh beliau sendiri.
Perjuangan Politik
Segala apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. di atas dengan sendirinya melibatkan dirinya dalam pertentangan dengan para pemimpin politik Quraisy yang berusaha menentang agama yang dibawanya. Dengan keteguhan sikap Rasulullah saw. dalam perjuangannya melawan Quraisy dan mengekspos mereka sebagai orang-orang yang menentang kebenaran, perjuangan beliau memasuki episode perjuangan politik yang menghebohkan. Al-Quran sendiri menyebutkan setiap pemimpin Quraisy dengan sebutan-sebutan yang jelas dan tegas.
Al-Waqidi dalam Asbab an-Nuzul Qur’an (hlm. 502) meriwayatkan kisah Abu Sufyan bin Harb pada saat belum masuk Islam. Sebagai salah seorang pemuka Quraisy, Abu Sufyan sempat menjadi perwakilan Quraisy dalam sejumlah perjanjian termasuk dengan Rasulullah saw. di kemudian hari. Suatu ketika Abu Sufyan mengadakan pesta perjamuan makan dengan memotong dua ekor kambing. Seorang anak yatim datang ke rumahnya dan meminta makanan. Abu Sufyan sangat jengkel sampai-sampai ia menghardik dan memukul kepala anak itu dengan tongkat. Berkaitan dengan peristiwa inilah Allah Swt. menurunkan surat al-Ma’un:
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ وَلاَ يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
Tahukah kamu ketahui siapakah orang yang mendustakan agama? Yaitu, orang yang menghardik anak yatim dan tidak memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang-orang yang shalat tapi lalai dalam shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan orang-orang yang enggan (menolong dengan) barang yang berguna. (TQS. al-Ma’un [107]: 1-7)
Ibnu Abbas mengatakan, “Nabi saw pergi ke al-Batha dan naik ke bukit lalu berteriak lantang, “Sahabat-sahabatku sekalian!”, sehingga orang-orang Quraisy berkumpul di sekitar beliau. Nabi saw. bertanya kepada mereka, “Percayakah kalian kalau kukatakan bahwa musuh akan menyerang kalian esok pagi atau petang?” Orang-orang yang berkumpul serempak menjawab, “Ya”. Lalu, Nabi saw. berkata, “Kalau begitu, akulah pemberi peringatan kepada kalian tentang azab yang pedih!”. Abu Lahab berkata, “Untuk inikah kau kumpulkan kami di sini? Binasalah kau”. Kemudian, Allah Swt. menurunkan:
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sungguh ia akan binasa. Harta benda dan apa yang diusahakannya tidak akan berfaedah apa-apa. Kelak ia akan masuk ke dalam api yang sangat membara. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar, yang di lehernya ada tali dari sabut. (TQS. al-Lahab [111]: 1-5)
Dampak langsung dari perjuangan itu adalah penyiksaan yang menimpa para sahabat. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Sumayah disiksa dan dibunuh. Namun, Nabi Muhammad saw. tidak menyerah dan berhenti, melainkan terus melakukan aktivitas dakwah dan berjuang menentang para pemuka Quraisy. Hal ini menjadi indikasi tentang wajibnya melakukan perjuangan politik.
Diriwayatkan bahwa tatkala Hamzah r.a. masuk Islam, ia pergi menemui Abu Jahal dan memperingatkannya untuk tidak mengganggu keponakannya, yaitu Nabi Muhammad saw., sambil mengatakan bahwa dirinya adalah salah seorang penganut agama baru yang dibawa keponakannya itu. Nabi saw. menyinggung peristiwa ini dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:
Pemimpin para syuhada ialah Hamzah dan setiap orang yang berdiri di hadapan penguasa yang lalim, lalu menasihatinya dengan kebenaran dan melarangnya melakukan kemungkaran, lantas penguasa itu membunuhnya. (Disahihkan oleh Ibnu Hajar al-Hathami dalam Majmuu’ al-Zaaid)
Dalam hadis di atas kita simak bagaimana Nabi saw. menggambarkan setiap Muslim yang gugur dalam perjuangannya menentang penguasa tiran, juga para sahabat yang dibunuh oleh para tiran karena aktivitas dakwah yang mereka lakukan, bukan saja sebagai syuhada, melainkan seperti pemimpin para syuhada. Perkara ini mencerminkan dua hal. Pertama, perjuangan menentang penguasa tiran harus dilakukan dengan berani, terbuka, dan terus terang, seraya tetap berdiri di atas kebenaran. Kedua, seorang Muslim harus siap mati dalam melakukan aktivitas seperti ini; aktivitas yang merupakan bagian dari kewajiban dalam rangka dakwah melangsungkan kehidupan Islam.
Upaya Quraisy Berkompromi dengan Rasulullah saw.
Banyak cara yang dilakukan oleh Quraisy untuk melakukan kompromi dengan Nabi saw., di antaranya dengan melobi Abu Thalib, paman Nabi saw. Akan tetapi, Nabi saw. senantiasa menolak ajakan kompromi itu sambil menegaskan kesiapannya untuk mati demi dakwah. Quraisy pernah coba menawari beliau tahta, harta, dan wanita. Mereka siap berbagi kekuasaan dengan beliau saw. Mereka berjanji akan selalu berkonsultasi dengan Nabi Muhammad saw. dalam segala urusan. Rasulullah saw. tak bergeming dengan semua tawaran itu. Beliau dengan tegas menyatakan:
Demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku berhenti dari perkara ini, niscaya aku tidak akan berhenti darinya hingga Allah memenangkan perkara ini atau aku mati karenanya. (ath-Thabari dalam Tarikh ath-Thabari, Jilid 6, par. 1179)
Dari penjelasan tersebut, tampak sekali bahwa Nabi Muhammad saw. tidak pernah melakukan kompromi. Beliau tetap berjuang agar Islam menang tanpa harus berbagi dengan kekufuran. Malah, beliau rela gugur demi perjuangannya tersebut. Nabi saw. berjuang demi perubahan politik secara radikal yang meliputi keseluruhan sistem, bukan hanya sebagian dari sistem. Beliau memperjuangkan perubahan sistem secara total dan menyeluruh, mulai dari akar hingga ke buahnya. Rasulullah saw. berupaya untuk menegakkan Islam dalam bentuk negara yang kelak akan mengemban Islam ke seluruh penjuru alam. Dengan demikian, kewajiban dalam tahap kedua ini adalah pertarungan pemikiran dan perjuangan politik melawan Quraisy dengan cara mengungkap kebobrokan sistem kufur sambil menjelaskan sistem Islam secara gamblang. Itulah yang senantiasa dilakukan Rasulullah saw., dengan mengabaikan segala bentuk penyiksaan, penderitaan, dan penawaran untuk berkompromi.
Nabi Muhammad saw. lebih memilih mati daripada mengompromikan setiap unsur dakwahnya dan menyia-nyiakan kerja kerasnya di jalan dakwah. Semua itu menjadi indikasi yang jelas tentang wajibnya melakukan pertarungan pemikiran dan perjuangan politik.
Meraih Dukungan (Thalab an-Nushrah)
وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلاَ مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللهِ وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِينَ
Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) para rasul sebelum kamu, namun mereka bersabar terhadap pendustaan dan penganiayaan terhadap mereka hingga datanglah pertolongan kami kepada mereka. Tidak ada seorang pun yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat (janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebagian berita para rasul itu. (TQS. al-An’am [6]: 34)
Ibnu Katsir meriwayatkan dari Ali karamallahu wajhah, “Tatkala Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk mendakwahi suku-suku Arab, beliau pergi ke Mina yang merupakan tempat suku-suku Arab berkumpul, dengan ditemani olehku dan Abu Bakar” (Bidayah wan Nihayah, Jilid 3).
Nabi Muhammad saw. mulai melakukan pendekatan terhadap sejumlah suku dan pemimpin suku dalam rangka mencari nushrah, yaitu dukungan fisik ataupun dukungan untuk menerapkan kekuasaan Nabi saw., yang berarti menegakkan kekuasaan Islam. Beliau pergi mencari dukungan militer dari orang-orang yang dianggap mampu menjaga kekuasaannya dan melindungi kaum Muslim. Suatu kekuasaan yang dapat menjamin diterapkannya syariat Islam dan mengemban Islam ke seluruh penjuru alam dengan dakwah dan jihad.
Imam Tirmidzi dalam al-Jami’u meriwayatkan bahwa selama festival Ukaz, Nabi Muhammad saw. senantiasa mengabarkan tentang kenikmatan surga dan menjanjikan kemenangan bagi siapa saja yang meyakini dan mengemban Islam. Secara blak-blakan beliau mengatakan bahwa mereka akan sejahtera, memimpin seluruh Jazirah Arab, dan menaklukkan Persia jika mereka memegang tauhid dan menerima kekuasaan Nabi Muhammad saw.
Ibnu Ishaq dari az-Zuhri r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. pergi ke Bani Amir bin Sha’sha’ah. Beliau mengajak mereka kepada Allah dan menawarkan dirinya kepada mereka: “Dukunglah dan lindungilah aku” (Ibnu Hisyam). Salah seorang dari mereka yang bernama Baihara bin Firas berkata, “Demi Allah, jika aku dapat mengambil anak muda ini dari Quraisy, maka aku dapat menaklukkan seluruh Arab bersamanya.” Lalu, ia pun bertanya kepada Nabi saw., “Jika kami mengikutimu dan Allah memberimu kemenangan, apakah kami dapat memiliki kekuasaan setelahmu?”
“Kekuasaan berada di tangan Allah, yang Dia berikan kepada yang dikehendaki-Nya,” ujar Nabi saw. Mendengar itu Baihara lantas berkata, “Kami harus menyerahkan leher kami kepada orang-orang Arab demi melindungimu, lalu ketika kau meraih kemenangan, kekuasaan tidak ada pada kami? Kalau begitu, kami tidak perlu agamamu!” Kabar tersebut sampai ke salah seorang pemuka Bani Amir yang tidak dapat melaksanakan haji, sehingga otomatis tidak ikut pertemuan dengan Nabi saw. Ia berkata, “Bani Amir, adakah cara untuk memperbaiki hal ini? Adakah cara agar kita dapat memperoleh kembali kesempatan yang hilang itu? Demi Dia yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada satu pun keturunan Isma’il yang pernah berbohong. Inilah kebenaran yang dijanjikan! Apa yang terjadi sehingga kalian salah menilai dia?” (Juga diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam dan Imam Ath-Thabari dalam kitab Tarikh, Jilid 6, dan juga Ibnu Katsir dalam Bidayah wan Nihayah, Jilid 3, hlm. 139).
Nabi Muhammad saw. juga berdialog dengan Bani Syaiban bin Tsa’labah. Mereka menyatakan siap mendukung beliau melawan orang-orang Arab, tetapi tidak melawan Persia. Lagi-lagi Rasulullah saw. menolak dukungan bersyarat tersebut karena yang beliau cari adalah dukungan tanpa syarat untuk melawan seluruh dunia, sebuah perkara yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw. memiliki visi ke depan untuk menyebarkan Islam dan menaklukkan perkara selain Islam, segera setelah Islam tegak.
Ibnu Katsir dalam Bidayah wan Nihayah juga meriwayatkan dari Abdullah bin Ka’ab bin Malik bahwa Rasulullah saw. pergi ke sebuah kelompok Bani Kalb yang dipimpin Malih. Nabi saw. mengajak mereka kepada Allah Swt. dan meminta perlindungan, akan tetapi mereka menolak (Bidayah wan Nihayah, Jilid 3, hlm. 139).
Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Ali r.a. berkata kepadanya: “Ketika Allah, Yang Maha Tinggi, Maha Suci, meminta Rasul-Nya untuk berdakwah di antara suku-suku Arab, beliau segera pergi ke Mina bersama Abu Bakar r.a. Kami menuju salah satu majelis suku-suku Arab. Sayidina Abu Bakar tampil ke depan dan mengucapkan salam kepada mereka. Abu Bakar selalu tampil ke depan dalam acara seperti itu karena beliau memang ahli dalam urusan silsilah orang Arab.
Abu Bakar bertanya: “Dari suku manakah kalian berasal?”
“Rabiah,” jawab mereka.
“Rabiah yang mana?” kembali Abu Bakar bertanya.
Kemudian, diriwayatkan sebuah hadis yang panjang yang di dalamnya Sayidina Ali berkata, “Lalu, kami pergi ke sebuah majelis suatu suku yang sangat terhormat dan sepi. Sejumlah laki-laki terhormat dan berwibawa duduk di sana. Abu Bakar tampil ke depan dan mengucapkan salam.” Ali melanjutkan, “Beliau selalu tampil ke muka dalam kesempatan seperti itu. Abu Bakar pun bertanya kepada mereka, ‘Dari suku mana kalian berasal?’ Mereka menjawab, ‘Kami dari Bani Syaiban Tsa’labah.’ Lalu, Abu Bakar mengatakan kepada Rasulullah saw., ‘Demi Ayah dan Ibuku, tidak ada seorang pun di suku itu yang lebih terhormat dibandingkan mereka.’ Maruq bin Amr, Hani bin Qabisah, Mathanna bin Haritsa, dan Nu’man bin Syarik juga ada di antara mereka. Mafruq bin Amr adalah relasi dekat Abu Bakar. Dia adalah orang yang paling pandai di antara mereka. Dua ikat rambutnya menjuntai hingga dadanya. Di majelis itu dialah yang duduk paling dekat dengan Abu Bakar.
Abu Bakar lantas bertanya kepada mereka, “Berapa jumlah kalian?”
“Jumlah kami seribu orang, dan seribu orang bukanlah jumlah yang kecil,” jawab Mafruq.
“Bagaimana dengan pertahanan kalian?” tanya Abu Bakar.
“Kami selalu berjuang (dan mempertahankan diri), karena setiap bangsa harus senantiasa berjuang,” ujar Mafruq.
Abu Bakar pun bertanya, “Bagaimana hasil peperangan antara kalian dan musuh-musuh kalian?”
Mafruq menjawab, “Saat kami berperang, kami mengamuk dan pertempuran berlangsung sangat dahsyat. Kami lebih mementingkan kuda-kuda yang digunakan dalam pertempuran daripada anak-anak. Selain itu, kami lebih peduli senjata daripada susu hewan. Adapun kemenangan datangnya dari Allah. Kadang kami menang, kadang mereka yang menang. Tampaknya kalian berasal dari Quraisy.”
“Aku pikir kalian telah mendapat informasi tentang Rasulullah saw. Itu dia orangnya”. ujar Abu Bakar sambil melihat Nabi saw.
“Kami memang telah menerima kabar itu,” timpal Mafruq. Lalu, ia berpaling kepada Rasulullah saw. dan bertanya, “Wahai Saudaraku dari Quraisy, apakah yang hendak kau tawarkan?”
Rasulullah saw. tampil ke muka dan duduk, sedangkan Abu Bakar tetap berdiri di belakang beliau sambil memegang kain. Rasulullah saw. berkata, “Aku mengajakmu untuk bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah, aku adalah Rasulullah, serta mengajak kalian untuk menjaga dan melindungi aku; juga membantuku hingga aku menunaikan tugas yang Allah bebankan kepadaku. Quraisy telah terang-terangan melanggar perintah Allah Swt., menolak utusan-Nya, serta merasa puas dengan kebatilan dan menolak kebenaran. Juga Allah adalah Esa, yang kepada-Nya bergantung segala sesuatu, Yang Patut Disembah.”
“Apa tadi yang kau katakan, wahai Saudaraku dari Quraisy?” tanya Mafruq.
Lalu, Rasulullah membacakan ayat berikut:
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ مِنْ إِمْلاَقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلاَ تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ وَلاَ تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لاَ نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan oleh Tuhanmu kepadamu, yaitu janganlah kamu menyekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah kepada ibu bapak, janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka. Janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali atas dasar alasan yang benar. Demikianlah yang diperintahkan oleh Tuhanmu supaya kamu memahaminya. Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat hingga ia dewasa. Sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang, kecuali menurut kadar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan oleh Allah kepadamu agar kamu ingat. Dan sesungguhnya (yang Kami perintahkan) ini adalaha jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia; dan janganlah kamu ikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan lain itu mencerai-beraikanmu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan oleh Allah kepadamu agar kamu bertakwa. (TQS. al-An’am [6]: 151-153)
Mafruq masih penasaran, “Beritahu aku sesuatu tentang ibadahmu, wahai saudaraku dari Quraisy! Demi Allah, ucapan tadi bukanlah berasal dari penduduk bumi. Karena jika berasal dari manusia, tentu kami akan mengenalinya.”
Rasulullah saw. lantas membacakan ayat berikut:
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berbuat adil, berbuat kebajikan, dan memberi kepada kaum kerabat; dan Allah melarang berbuat keji, mungkar, dan permusuhan. Dia memberi peringatan kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (TQS. al-Nahl [16]: 90)
Mendengar itu Mafruq berkata, “Wahai orang Quraisy! Demi Allah, engkau telah mengajak kami kepada sesuatu yang luhur dan perbuatan yang baik. Bangsamu itu telah secara sengaja menolak kebenaran, menolakmu, dan memerangimu.” Setelah itu, Mafruq berbicara seolah-olah dia ingin Hani bin Qabisah untuk ambil bagian dalam diskusi itu dengan mengatakan, “Dia adalah Hani bin Qabisah, pemimpin kami. Dialah pemimpin spiritual kami.”
Mendengar itu Hani berkata, “Wahai Saudaraku dari Quraisy! Aku dengar ucapanmu dan aku membenarkannya. Keputusan kami mungkin kurang baik jika kami memutuskan untuk menyerahkan agama kami dan mengikutimu di pertemuan pertama ini. Engkau tahu bahwa kita tidak pernah bertemu sebelum ini, ataupun berharap bertemu lagi di masa yang akan datang. Karena itu, berilah kami kesempatan untuk mempertimbangkan misimu, daripada kami memberikan keputusan yang keliru. Biarkan kami pertimbangkan dengan serius masalah ini karena ketergesa-gesaan bisa menimbulkan kesalahan. Kami punya sebuah bangsa di belakang kami. Tidak layak bagi kami memutuskan perkara ini tanpa meminta pertimbangan mereka. Engkau kembalilah sekarang, pikirkan lagi, dan biarkan kami mempertimbangkan hal ini.”
Tampaknya Qabisah juga ingin mengajak Mutsanna bin Haritsah untuk berpartisipasi dalam diskusi itu. Qabisah memperkenalkan Mutsanna, “Dia adalah Mutsanna, pemimpin dan komandan kami di medan tempur.”
Mutsanna menimpali, “Wahai Saudaraku dari Quraisy! Aku pun mendengar ucapanmu. Aku mengagumi ucapanmu itu. Aku pun terkesima dengan ajaranmu. Jawaban dari pihakku sama dengan jawaban yang diberikan Hani bin Qabisah. Kami tinggal di sebuah tempat yang dikelilingi oleh dua lembah di kedua sisinya, satunya Yamamah dan satunya lagi adalah Samawah.”
Rasulullah saw bertanya, “Apa yang engkau maksud dengan dua lembah itu?”
Mutsanna menjawab panjang lebar, “Yang satu adalah padang pasir Arab dan perbukitan yang tandus, sedangkan yang satunya lagi adalah wilayah Persia dengan sungai milik Kisra. Kami memiliki perjanjian dengan Kisra, Raja Persia, sehingga kami dapat tinggal di sana. Berdasarkan perjanjian itu kami tidak berhak membuat gerakan baru atau memberikan dukungan terhadap orang yang menggagas gerakan baru. Sangat mungkin misimu itu tidak disukai oleh Kisra. Di Arab, seorang pengkhianat bisa diampuni dan alasannya diterima, tapi tidak demikian halnya dengan di Persia. Di sana pelanggar tidak akan diampuni dan alasannya tidak akan diterima. Jika engkau membutuhkan bantuan dan perlindungan kami di Arab, kami siap untuk itu.”
Rasulullah saw. berkata, “Aku pikir kalian tidak akan mengajukan syarat-syarat, seandainya ucapan kalian benar. Hanya orang yang menolong agama Allahlah yang akan dilindungi dari segala sesuatu.” Setelah itu, Rasulullah saw. meraih tangan Abu Bakar r.a. dan mengajaknya pergi dari sana. (Dikisahkan oleh Abu Na’im dalam Dala’il al-Nubuwah, hlm. 96. Diceritakan juga oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah, Jilid 3 hlm. 142; diriwayatkan oleh Abu Na’im; dalam Shahih Imam al-Hakim, dan juga Sunan Baihaqi. Riwayat di sini berasal dari Abu Na’im).
Diriwayatkan bagaimana Nabi saw. tetap berjuang dan pergi menemui lebih dari 40 suku dalam rangka mencari nushrah, sampai beliau berhasil mendapatkannya dari orang-orang Madinah. Kontinuitas, kekonsistenan, dan keteguhan sikap Rasulullah saw. untuk tidak menerima syarat-syarat yang diajukan oleh Bani Amr dan Bani Syaiban, meskipun hal itu berkaitan dengan kewajiban menegakkan kekuasaan Islam yang telah beliau nyatakan sebagai masalah hidup dan mati, menunjukkan hukum syariat tentang thalab an-nushrah. Hal ini juga mengindikasikan thalab an-nushrah sebagai bagian tak terpisahkan dari metode penegakan Negara Islam.
Dukungan dari Madinah
Suku Aus dan Khazraj, dua suku yang berkuasa di Madinah, akhirnya memberikan dukungannya kepada Nabi saw. sehingga mereka dikenal sebagai kaum Anshar (penolong). Ibnu Hisyam meriwayatkan bahwa Nabi saw. bertemu dengan pemimpin Aus dan Khazraj di bukit Aqabah sebelum musim haji dan mengambil baiat dari mereka. Baiat itu dikenal sebagai bai’atul harb (janji perang). Menurut Ath-Thabari (Jilid 6 par. 1220), sebelum memberikan baiat, Abbas berbicara kepada orang-orang Aus dan Khazraj itu terlebih dahulu. Al-Barra’ dari kalangan Anshar menceritakan bahwa Abbas mengatakan kepada orang-orang Anshar, “Wahai orang-orang Khazraj (menurut tradisi Arab yang dimaksud adalah Aus dan Khazraj), sebagaimana yang kalian ketahui sesungguhnya Muhammad berasal dari golongan kami. Kami telah menjaganya dari ancaman kaum kami, dan dari orang yang memiliki kedudukan yang sama. Dia dimuliakan kaumnya dan disegani di negerinya. Akan tetapi, hal itu ditolaknya untuk pergi mendatangi kalian dan bergabung dengan kalian. Jika kalian beranggapan dapat memenuhi janji yang kalian ucapkan dan melindungi dirinya dari orang-orang yang memusuhinya, maka kalian dan apa yang akan kalian bawa menjadi tanggung jawab kalian terhadap semua itu. Jika kalian malah akan menyerahkan dan menelantarkannya setelah dia keluar dari kota ini menuju kalian, maka lebih baik sekarang juga kalian tinggalkan dia, karena dia dihormati kaumnya dan aman di negerinya.”
Mendengar pernyataan Abbas, rombongan dari Madinah berkata, “Kami mendengar apa yang engkau katakan.” Lalu, mereka berpaling kepada Rasulullah saw. “Bicaralah, wahai Rasulullah, lalu ambillah apa yang engkau sukai untuk dirimu dan Tuhanmu,” lanjut mereka.
Setelah membacakan al-Quran yang memberikan semangat Islam kepada kami, demikian tutur al-Barra’, Rasulullah saw. berkata, “Aku memercayai kalian untuk melindungiku seperti kalian melindungi istri-istri dan anak-anak kalian.”
Lalu, al-Barra’ meraih tangan beliau seraya berkata, “Kami membaiatmu, wahai Rasulullah. Demi Allah, kami adalah generasi kesatria dan penduduk dari suatu daerah yang kerap berperang. Kami mewarisi sifat-sifat kepahlawanan dan kami berasal dari keturunan para pahlawan.”
Namun, belum selesai ia mengucapkan perkataannya, al-Barra’ disela oleh Abu al-Haitsam bin at-Tiihan dengan mengatakan, “Ya Rasulullah, antara kami dan orang-orang Yahudi ada ikatan perjanjian. Kami berniat memutuskannya. Jika kami melakukan hal itu, kemudian Allah memenangkanmu, apakah engkau akan kembali kepada kaummu dan meninggalkan kami?”
Rasulullah saw. menatap mereka sejenak lalu berkata, “Aku akan memerangi orang-orang yang kalian perangi dan berdamai dengan orang yang kalian berdamai dengannya. Darahku adalah darah kalian dan perjanjianku adalah perjanjian kalian.” (Ibnu Hisyam).
Ath-Thabari menyebutkan bahwa Rasulullah saw. berkata, “Ajukan kepadaku dua belas orang pemimpin di antara kalian.” Lalu, setelah peristiwa pembaiatan itu berlangsung, kaum Quraisy bertanya kepada suku Aus dan Khazraj tentang kebenaran kabar proses pembaiatan itu. Orang-orang musyrik dari suku Aus dan Khazraj yang tidak hadir di Aqabah mengatakan bahwa mereka tidak tahu-menahu tentang perjanjian itu. Bahkan, mereka mengatakan bahwa Nabi saw. hijrah ke Madinah secara diam-diam.
Tujuan Nabi saw. meminta nushrah itu adalah untuk menegakkan Negara Islam di Madinah dengan cara meraih kekuasaan dari orang-orang yang memberikan dukungan (ahl an-nushrah). Rasulullah saw. mendirikan negara di Madinah setelah beliau menyadari bahwa dukungan yang beliau dapatkan di Makkah tidak cukup untuk sampai mendirikan negara di sana. Kriteria ahl an-nushrah itu adalah mereka secara riil harus memiliki kekuasaan, yang tidak hanya untuk mendirikan negara di negeri mereka, tetapi juga untuk mempertahankannya dari serangan musuh. Itulah sebabnya Rasulullah saw. tidak melakukan pendekatan terhadap Bani Ghifar meskipun mereka telah nyata-nyata masuk Islam melalui dakwah yang dilakukan oleh Abu Dzar al-Ghifari r.a. Itu pula sebabnya kenapa Nabi saw menolak dukungan Bani Syaiban yang tidak dapat memberikan jaminan pertahanan dari ancaman Persia.
Ketika Rasulullah saw. berhijrah ke Madinah, para ahl an-nushrah (orang-orang Aus dan Khazraj) menemui beliau dengan mengenakan pakaian dari kulit macan dan membawa pedang sebagai seragam dan perlengkapan perang mereka, untuk menegakkan hukum yang dibawa Nabi saw dan memerangi setiap penentangnya. Orang-orang Yahudi di Madinah menyadari bahwa hal itu sudah direncanakan sebelumnya. Nabi saw. mengambil kekuasaan tanpa memberikan kesempatan kepada musuh untuk membuat persiapan melawan beliau. Rupanya beliau telah menyusun suatu pengambilalihan kekuasaan. Menurut Ibnu Hisyam, Abdullah bin Ubay bin Salul yang sebelum peristiwa Baiat Aqabah itu adalah seorang Penguasa Yatsrib (Madinah), pergi ke Quraisy dan mengatakan bahwa orang-orang Madinah belum pernah membuat suatu keputusan tanpa berkonsultasi dulu dengannya. Bahkan, pengambilalihan kekuasaan itu telah membuat Nabi saw. dapat leluasa memasuki Madinah sebagai pemimpin baru di sana.
Dengan demikian, dalam konteks perjuangan partai politik, langkah-langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut.
1. Terus-menerus menyerukan Islam kepada masyarakat melalui pertarungan pemikiran, bukan dengan jalan kekerasan fisik.
2. Terus membina orang-orang yang menerima dakwah dengan pemahaman Islam yang kuat dan iman yang kokoh agar siap mengemban tanggung jawab dakwah.
3. Terus melakukan pertarungan pemikiran dan perjuangan politik. Hal ini direalisasikan dengan cara mengadopsi kemaslahatan-kemaslahatan masyarakat dan mengekspos kerusakan-kerusakan sistem yang ada, serta menjelaskan keunggulan sistem Islam. Juga, dengan mengungkapkan kebobrokan para penguasa dan kelalaian mereka dalam mengurusi kemaslahatan masyarakat. Dalam konteks kekinian, hal ini berarti mengungkapkan makar-makar kolonialis.
4. Mencari dukungan dari orang-orang yang memiliki kekuasaan dan yang memiliki kemampuan militer dalam rangka mengubah sistem yang ada, lalu menegakkan, mengamankan, dan memelihara sistem Islam,. Dukungan ini harus datang dari mereka yang masuk Islam dan tanpa syarat.
Bagian terakhir ini normalnya dilakukan oleh partai politik tersebut dengan mencari akses ke militer dalam rangka meraih kekuasaan. Hal ini dapat dilakukan setelah melakukan pengopinian kepada masyarakat tentang penerapan syariat Islam melalui pertarungan pemikiran dan perjuangan politiik, sehingga masyarakat melihatnya sebagai tujuan politis mereka dan jalan untuk menyelamatkan masyarakat. Setelah itu, kekuatan militer akan dapat menjaga kekuasaan Islam. Karena itu, pengambilalihan kekuasaan merupakan hasil perubahan politik yang dilakukan partai politik Islam tersebut di tengah-tengah masyarakat dan menjadi dukungan riil untuk mengemban Islam ke seluruh dunia melalui dakwah dan jihad.
Beberapa Perbedaan Penting
Akan tetapi, ada perbedaan yang nyata antara metode yang ditempuh Rasulullah saw. dan situasi umat terkini, dan perbedaan tersebut harus dipahami secara jelas.
1. Perbedaan yang paling penting adalah bahwa kaum Muslim saat ini tidak dibimbing oleh Allah Swt. secara langsung sebagaimana yang Nabi saw. dulu alami. Karena itu, yang menjadi titik awal (nuqthah al-ibtida’) dakwah adalah saat partai memulai dakwah di dunia Islam mana pun, dan yang sekaligus menjadi awal dari tahap pembinaan. Nabi saw. juga mendapat arahan dari Allah Swt. tentang kapan harus masuk ke tahap berinteraksi dengan masyarakat, sedangkan kaum Muslim saat ini tidak mendapat arahan seperti itu. Berdasarkan kaidah syara’ jika suatu kewajiban tidak bisa sempurna tanpa sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib, kaum Muslim saat ini harus berupaya memasuki tahap berinteraksi dengan masyarakat pada saat partai politik itu telah siap melakukannya. Jika partai tidak berhasil masuk ke tahap ini, misalnya karena anggota partai mengabaikan partainya atau dibunuh sehingga tidak dapat berinteraksi, maka partai tersebut harus kembali ke tahap pembinaan. Titik kritis ini adalah titik di mana partai berusaha untuk terjun langsung ke masyarakat. Jika berhasil, maka partai akan sukses masuk ke masyarakat dan masuk ke tahap berinteraksi dengan masyarakat. Inilah yang disebut dengan titik tolak (nuqthah al-inthilaq).
2. Saat ini, dakwah kaum Muslim berhadapan dengan konsep-konsep dan pemikiran-pemikiran kufur yang berbeda dengan yang Nabi saw. hadapi dulu, meskipun cara menghadapinya sama saja, yaitu dengan pertarungan pemikiran dan perjuangan politik. Rasulullah saw saat itu menghadapi berhala berupa Latta dan Uzza. Sementara itu, kita sekarang menghadapi berhala berwujud demokrasi dan kerajaan manusia melawan Allah Swt. Rasulullah saw. berhadapan dengan konsep pembunuhan bayi, sedang kita sekarang berhadapan dengan konsep feminisme, hak-hak asasi manusia dan kebebasan, yang semua itu adalah konsep-konsep sekuler. Nabi saw. berhadapan dengan agama orang-orang musyrik, Yahudi, dan Nasrani, kini kita berhadapan dengan Kapitalisme dan Sosialisme. Dulu kala Rasulullah saw. berhadapan dengan suku Quraisy dan para pemimpinnya. Sekarang, yang kita hadapi adalah kolonialis dan kaki-tangannya di dunia Islam.
3. Perbedaan lain berkaitan dengan masalah kekuasaan. Pada masa Rasulullah saw., kekuasaan berada di tangan suku yang berkuasa dan para pemimpinnya. Kini, kebanyakan kekuasaan berada di tangan militer di negeri-negeri muslim. Ini mempengaruhi aktivitas thalab an-nushrah; kepada siapa kita harus meminta dukungan. Kelak setelah mencapai titik ini, yang dikenal dengan istilah nuqthah al-irtikaz, partai politik tersebut akan memasuki tahap akhir, yaitu meraih kekuasaan dan menerapkan Islam, serta mengembannya ke seluruh dunia melalui dakwah dan jihad.
Inilah perbedaan-perbedaan yang memengaruhi dakwah kontemporer. Meskipun ada perbedaan-perbedaan sebagaimana disebut di atas, metodenya tetap sama dan memang hanya itulah metode yang Islam tetapkan untuk menegakkan Islam.
Jadi, partai politik Islam harus menjalani proses menegakkan Islam itu dengan mengikuti jejak langkah Rasulullah saw. dengan tanpa melenceng barang sehelai rambut pun. Jika melenceng sedikit saja, maka hal itu berarti penyimpangan terhadap metode syariat yang telah ditetapkan melalui ijtihad yang benar. Inilah Sunnah Rasulullah saw. dan tidak ada bedanya dengan hukum shalat atau kewajiban lain yang telah Allah Swt. perintahkan dan Rasulullah saw. jelaskan bagi kita.
Inilah satu-satunya jalan untuk membangkitkan umat. Satu-satunya cara untuk mengembalikan Islam ke dalam kancah kehidupan, karena hanya negara Khilafahlah yang dapat menjaga eksistensi Islam. Inilah metode yang telah Islam gariskan.
TAHAP KETIGA MERAIH KEKUASAAN
Setelah memperoleh dukungan, Nabi saw. menegakkan Islam di Madinah. Beliau segera menyusun sebuah undang-undang dasar bagi masyarakat Madinah yang mengandung perincian peraturan interaksi dan bagaimana urusan-urusan kaum muslim akan diselesaikan di antara mereka sendiri, dan antara kaum muslim dan orang-orang kafir. Dokumen tersebut dikenal juga dengan Piagam Madinah.
Berikut adalah sebagian dari isi Piagam tersebut untuk memberikan gambaran yang jelas perihal dokumen tersebut dan mengetahui bagaimana masyarakat Madinah saat itu diatur.
Dengan menyebut nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang. Ini adalah perjanjian dari Muhammad saw., utusan Allah, yang mengatur hubungan antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka.
1. Mereka adalah satu umat yang berbeda dengan umat-umat yang lain.
2. Orang-orang Muhajirin dari Quraisy tetap dalam tradisi mereka yang dilegalkan Islam. Mereka membayar diyat (ganti rugi pembunuhan atau pencederaan) kepada sebagian yang lain, serta menebus tawanan mereka dengan cara yang baik dan adil. Setiap suku dari kalangan Anshar tetap seperti keadaan mereka semula.
3. Kaum mukmin tidak boleh menelantarkan orang yang memiliki banyak utang dan tanggungan yang banyak.
4. Sesungguhnya perdamaian kaum mukmin itu satu. Orang mukmin tidak boleh berdamai dengan selain orang mukmin dalam perang di jalan Allah, kecuali atas dasar persamaan dan keadilan di antara mereka.
5. Sesungguhnya orang mukmin yang beriman kepada isi perjanjian ini, beriman kepada Allah dan beriman kepada Hari Akhir, haram membela pelaku bid’ah dan melindunginya.
6. Jika kalian berselisih dalam suatu persoalan, kembalikan kepada Allah Swt. dan Muhammad saw.
7. Siapa yang membunuh orang mukmin secara sengaja tanpa alasan yang dapat dibenarkan, maka ia dibunuh.
Ini semua dikutip dari Ibnu Hisyam (Jilid 1, hlm 502/3).
Dengan demikian, tahap akhir dari perjuangan partai politik ialah memastikan bahwa Islam diterapkan secara keseluruhan, tanpa gradualisme ataupun parsialisme. Penerapan syariat Islam harus dilakukan secara komprehensif. Selain itu, kekuasaan dan keamanan dalam dan luar negeri harus berada di tangan kaum muslim.
Menerapkan Islam dan Mengemban Dakwah
Partai politik Islam harus memiliki pemahaman yang jernih tentang sistem Islam dan juga bagaimana cara negara mengemban dakwah. Bahkan, partai politik Islam itu harus mengadopsi sejumlah permasalahan, seperti bagaimana sistem pemerintahan, struktur dan fungsinya, bagaimana pemerintahan menerapkan hukum syara’, pemahaman yang terperinci akan sistem peradilan, dan bagaimana penguasa menjalankan fungsi-fungsi pokoknya. Di samping itu, parpol tersebut memahami sistem dan prinsip-prinsip ekonomi serta anggaran negara, cara-cara mengatur masalah ekonomi, sumber daya alam, sistem perpajakan, serta hubungan negara dan perusahaan-perusahaan swasta, termasuk status kepemilikan negara dan keuangan negara. Semua itu dimaksudkan agar dapat dibuat kebijakan ekonomi yang efektif sesuai dengan syariat dan agar penggunaan anggaran benar-benar disusun berdasarkan keperluan dan prioritas. Perlu pula ada pemahaman tentang status warga negara, baik muslim maupun nonmuslim. Bagaimana aturan diterapkan kepada muslim maupun nonmuslim. Juga, masalah-masalah lain. Untuk itu, diperlukan suatu rancangan undang-undang dasar untuk memberikan gambaran perihal negara Khilafah dan juga agar dapat diajukan untuk diterapkan segera setelah Khilafah berdiri.
Untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut, Hizbut Tahrir telah mengadopsi sebuah undang-undang dasar yang terperinci, dan juga telah mengelaborasi dalil-dalil atas undang-undang dasar tersebut dan penerapannya dalam buku Muqadimah al-Dustur aw Asbab al-Muwajjabba. Buku tersebut juga mengelaborasi aspek-aspek penting dalam sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, dan pendidikan, serta kebijakan luar negeri yang telah disebutkan di dalam rancangan undang-undang dasar tersebut. Berikut adalah pasal pertama dari rancangan undang-undang dasar yang disusun oleh Hizbut Tahir yang berisi landasan negara Khilafah dan pentingnya penerapan Islam di dalam setiap aspek kehidupan, serta pentingnya mengemban dakwah.
Pasal 1. Landasan Negara adalah Akidah Islam. Segala sesuatu yang menyangkut struktur negara, penguasa, pertanggungjawaban, atau aspek lain yang berhubungan dengan kenegaraan, harus dibangun berdasarkan akidah Islam. Akidah Islam juga menjadi sumber asas undang-undang dasar dan perundang-undangan negara. Dengan demikian, segala sesuatu yang berkaitan dengan undang-undang dasar dan perundang-undangan harus bersumberkan akidah Islam.
Negara berdiri berdasarkan terbentuknya ide-ide baru yang menjadi landasan dan strukturnya. Artinya, kekuasaan dan kewenangan di dalam negara berubah seiring perubahan ide-ide tersebut. Jika ide-ide itu menjadi pemahaman dan dipahami dengan baik dan diyakini, maka pemahaman itu akan memengaruhi manusia. Manusia akan berperilaku dan menjalani hidup sesuai dengan pemahamannya itu. Tolok ukur kemaslahatan akan berubah seiring berubahnya cara pandang terhadap kehidupan, serta kekuasaan dan kewenangan berperan mengatur mekanisme yang mengawasi dan mengurusi kemaslahatan tersebut. Pemikiran yang khas akan melahirkan pandangan kehidupan yang juga khas, yang akan menjadi dasar negara serta melandasi seluruh kekuasaan, kewenangan, sistem, dan undang-undang dasarnya. Mengingat pemikiran khas tentang kehidupan itu terangkum dalam serangkaian pemahaman, standar, dan keyakinan, maka kumpulan pemahaman, standar, dan keyakinan itu menjadi dasar negara. Adapun penguasa adalah pihak yang mengurusi kepentingan-kepentingan masyarakat, serta memantau pelaksanaan kepentingan-kepentingan masyarakat itu agar sesuai dengan pemahaman, standar, dan keyakinan tadi. Sekumpulan pemikiran itu menentukan keseluruhan pandangan hidup dan cara-cara penanganan kepentingan masyarakat, sedang penguasa berperan menjalankan fungsi-fungsi tersebut. Dari pemahaman seperti ini, negara didefinisikan sebagai suatu lembaga atau entitas yang berfungsi untuk menerapkan sekumpulan pemahaman (mafahim), standar (maqayis), dan keyakinan (qana’ah) yang diterima oleh masyarakat.
Kumpulan pemikiran yang menjadi landasan suatu negara itu bisa berasal dari pemikiran yang mendasar dan khas, bisa juga berasal dari pemikiran yang tidak khas. Jika kumpulan pemikiran itu lahir dari pemikiran yang mendasar, maka negara akan memiliki landasan yang kuat dan kokoh. Dalam hal ini, negara akan tegak di atas pemikiran yang khas yang akan menjadi sumber dari segala pemikiran, perasaan, undang-undang dasar, dan sistemnya. Apabila negara tidak berdiri di atas pemikiran yang mendasar, maka negara akan memiliki landasan yang rapuh, sehingga mudah digoyang atau dijajah oleh negara asing. Lemahnya landasan negara akan membuat negara tersebut mudah tunduk kepada pemikiran dan konsep-konsep asing, yang pada gilirannya akan mengundang kekuatan asing untuk menguasai atau menghancurkan negara.
Negara Islam berdiri di atas akidah Islam, karena kumpulan pemahaman, standar, dan keyakinan yang diterima umat berasal dari akidah Islam sebagai qaidah fikriyyah (kaedah berpikir). Umat Islam menerima akidah itu dan meyakininya sebagai qaidah fikriyyah berdasarkan bukti-bukti yang qath’i dan meyakinkan. Berdasarkan keyakinan itulah, kaum Muslim wajib tunduk sepenuhnya terhadap akidah Islam dan menjadikan akidah Islam sebagai landasan hidupnya, serta sebagai standar perbuatan, pemikiran, dan perasaannya. Akidah tersebut selanjutnya akan membentuk seluruh cara pandang umat terhadap kehidupan ini dan menjadi landasan bagi cara pandang kehidupannya. Umat juga akan memandang kemaslahatan berdasarkan akidah tersebut. Dari akidah yang sama, umat juga akan mengambil sekumpulan pemahaman, standar, dan keyakinan. Dengan demikian, akidah Islam adalah dasar Negara Islam.
Negara Islam yang ditegakkan oleh Rasulullah saw. berdiri di atas landasan yang khas. Karena itu, landasan tersebut harus menjadi dasar negara Islam di mana pun dan kapan pun. Ketika Nabi saw. mengambil alih kekuasaan dan mendirikan pemerintahan Islam di Madinah, beliau mendirikannya di atas akidah Islam, meskipun ayat-ayat yang berkenaan dengan legislasi hukum belum turun seluruhnya. Nabi saw. menjadikan landasan kehidupan kaum Muslim, penilaian, interaksi, dan urusan masyarakat, serta kekuasaan, kewenangan dan pemerintahan, berdasarkan prinsip Laa ilaaha illa Allah, Muhammad al-Rasul Allah.
Nabi saw. juga memerintahkan jihad dan mewajibkan kaum Muslim untuk mengemban akidah Islam ke seluruh umat. Dengan mekanisme ini, Negara Islam mampu mempropagandakan Islam ke seluruh dunia dan memperluas wilayahnya sambil menjaga perbatasan-perbatasan dan berjaga-jaga dari setiap upaya yang akan merongrong landasan negara. Dalam sebuah hadis, Nabi saw. bersabda:
Aku diperintahkan untuk memerangi seluruh manusia hingga mereka mengatakan Laa ilaaha illa Allah, Muhammad ar-Rasul Allah. Jika mereka mengatakan hal itu, maka darah dan harta mereka terlindungi, serta aman dariku kecuali secara hak.
Islam memberikan kekuasaan kepada kaum Muslim untuk menerapkan hukum-hukum syariat. Umat menunjuk penguasa sebagai wakil untuk menjalankan tanggung jawab tersebut. Allah Swt. mewajibkan kaum Muslim untuk memastikan bahwa Islam diterapkan secara keseluruhan dengan melakukan kontrol terhadap penguasa, mengawal Negara dan para pejabatnya untuk senantiasa terikat pada hukum Islam, serta memelihara qiyadah fikriyyah (kepemimpinan berpikir) dan pemikiran Islam di antara umat. Allah Swt. menyebutkan wajibnya kaum Muslim mendirikan partai atau kelompok untuk menjalankan fungsi-fungsi berikut.
Untuk menjaga agar ketaatan dan loyalitas hanya diberikan kepada Islam, Allah Swt. memerintahkan kaum Muslim untuk menaati penguasa selama penguasa itu melakukan tugasnya dalam menerapkan hukum-hukum Islam dan menjadikan hukum syara’ sebagai rujukan dalam menghadapi segala masalah dan situasi. Banyak hadis yang menjelaskan tentang Islam sebagai satu-satunya kriteria untuk ketaatan terhadap penguasa, sekaligus menginstruksikan kaum Muslim untuk menarik diri dari ketaatan itu apabila penguasa tidak menerapkan Islam.
Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian, mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakannya. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian”. Kami bertanya, “Ya, Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka?” Beliau menjawab, “Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat” (HR Muslim)
Dalam hadis ini, kata shalat berarti menjalankan kekuasaan pemerintahan berdasarkan hukum Islam.
Semua ini menjadi dalil bahwa landasan negara adalah akidah Islam. Nabi saw. mendirikan negara di atas akidah Islam. Rasulullah saw. memerintahkan kaum Muslim untuk menjaga akidah Islam itu dengan melakukan jihad, dan mewajibkan kaum Muslim untuk siap berjuang demi mempertahankannya sebagai landasan negara. Inilah dalil-dalil yang melandasi isi pasal satu di atas.
Seluruh masalah, besar atau kecil, penting atau tidak penting, bernilai atau tidak bernilai, harus didekati, ditelaah, dan diselesaikan berdasarkan akidah Islam. Setiap ide, pemikiran, pemahaman, atau undang-undang yang bersumber dari akal manusia, penilaian manusia, atau setiap sumber selain Akidah Islam dan tidak digali dari hukum-hukum syara’, tidak dapat diterima. Konsep-konsep seperti pragmatisme, realisme, atau yang sejenisnya yang menjadikan manusia sebagai sumber hukum, tidak memiliki landasan sama sekali.
Islam adalah sistem yang sempurna yang harus diterapkan secara paripurna. Allah Swt. melarang penerapan Islam secara parsial. Karena Negara Islam berdiri di atas landasan akidah Islam, maka konsep-konsep penerapan Islam secara gradual dan parsial tidak dapat diterima. Menerapkan 20% sistem Islam berarti menerapkan 80% sistem kufur, dan Islam menolak keras hal itu. Selain itu, konsep demokrasi tidak boleh diadopsi oleh negara karena demokrasi bertentangan dengan konsep yang lahir dari akidah Islam. Terlebih lagi, demokrasi tidak bersumber dari akidah Islam. Demokrasi adalah demos kratos, yang berarti kedaulatan rakyat.
Konsep-konsep seperti nasionalisme, patriotisme, atau segala bentuk ashabiyyah (fanatik terhadap keluarga, suku, atau asal muasal) tidak memiliki tempat di dalam Islam karena semua itu tidak berasal dari akidah Islam, bahkan bertentangan dengan akidah Islam. Dalam banyak hadis, Nabi saw. secara tegas melarang segala bentuk ashabiyyah.
Sehubungan dengan bagian kedua dari pasal satu di atas, alasannya ialah bahwa konstitusi adalah undang-undang dasar negara. Dalil bahwa Allah Swt. memerintahkan penguasa untuk menerapkan hukum-hukum Islam tertuang dalam al-Quran dan Sunnah. Allah Swt. berfirman:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, dan mereka tidak merasakan suatu keberatan di hati mereka atas keputusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuh hati. (TQS. an-Nisa’ [4]: 65)
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ
يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu mereka. Dan, berhati-hatilah kamu terhadap mereka, agar mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah sesungguhnya Allah menghendaki untuk menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (TQS. al-Maidah [5]: 49)
Demikian pula, Allah Swt. telah memerintahkan agar legislasi hukum negara dilakukan dengan berdasarkan wahyu yang Allah turunkan dan melarang pemerintahan yang dijalankan selain dengan Islam.
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Siapa saja yang tidak berhukum berdasarkan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu termasuk orang-orang yang kafir. (TQS. al-Maadah [5]: 44)
Nabi saw. menyebutkan bahwa segala sesuatu yang tidak berasal dari Islam, meskipun mirip dengan Islam, tidak akan diterima. Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda:
Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan (baik) yang tidak kami perintahkan (kepada siapa pun) untuk melakukannya (atau tidak sesuai dengan Islam), maka perbuatan itu tidak akan diterima. (HR Bukhari)
Semua ini menjadi dalil bahwa legislasi hukum negara terikat dengan segala apa yang muncul dari akidah Islam dan hanya dapat dilakukan dengan cara menggali hukum syara’.(www.taman-langit7.co.cc)
(Dikutip dari buku The Method To Re-Establish The Khilafah, Syabab Inggris)