Menggugat Hukum Jahiliyyah
Tafsir Q.S. Al-Maidah: 50
Oleh: Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I
أَفَحُكمَ الجٰهِلِيَّةِ يَبغونَ ۚ وَمَن أَحسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكمًا لِقَومٍ يوقِنونَ
"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?(QS.Al Maidah : 50)
Diriwayatkan Ibnu ishaq, Ibnu Jarir, Ibnu hatim dan al-baihaqi dalam ad-Dalaail yan bersumber dari Ibnu Abbas:
Kaab bin Usaid, Abdullah bin Suraya dan Syasy bin Qais berkata, "Pergilah kalian bersama kami menghadap Muhammad, mudah-mudahan kita dapat memalingkan dari agamanya." Sesampai di tempat Nabi Saw. mereka berkata, "ya Muhammad, sesungguhnya engkau mengetahui bahwa kami adalah pendeta-pendeta yahudi, orang-orang terhormat, dan pemimpin-pemimpin mereka. Jika kami mengikutimu, niscaya orang-orang yahudi mengikuti kami dan mereka tidak menyalahi kehendak kami. Antara kami dan mereka ada perselisihan dan kami mengajak mereka untuk memutuskan perkara kepada engkau. Karena itu, berilah keputusan yang memenangkan kami atas mereka dalam perkara ini, lalu kami akan beriman kepadamu dan membenarkanmu." nabi Saw. menolak keinginan mereka. Lalu turunlah QS al-Maidah ayat 49 - 50.[1]
Keterkaitan dengan Ayat sebelumnya
Konteks ayat ini masih terkait erat dengan ayat-ayat sebelumnya. Dalam ayat-ayat sebelumnya, Allah Swt. memerintahkan kepada setiap kaum untuk memutuskan perkara dengan hukum yang telah diturunkan-Nya. bani Israil diperintahkan berhukum dengan Taurat. Dalam ayat 44, disebutkan: yahkumu bihaa al-nabiyyuun al-laziina aslamuu li-ladziina haaduu wa al-rabbaniyyuun wa al-akhbaar(dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang yahudi oleh nabi-nabi yang berserah diri kepada Allah, orang-orang alim mereka, dan pendeta-pendeta mereka). Bani Israil, setelah diutusnya Nabi Isa as., diperintahkan berhukum dengan Injil. Dalam ayat 47 dinyatakan: walyahkum ahl al-Injiil bimaa anzalaLlaah(hendaklah pengikut injil memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya).
Seruan yang sama juga ditujukan kepada RasuluLlah Saw. dan umtnya. Merekadiperintahkan memutuskan perkara dengan al-Quran. Sebagai kitab pamungkas, al-Quran ditetapkan sebagai pembenar (mushaddiq[an]) dan muhaymiin[an] 'alayh(batu ujian atau penghapus berlakunya) kitab-kitab sebelumnya (QS al-Maidah: 48). Dengan demikian, sejak al-Quran diturunkan, seluruh manusia wajib berhukum kepadanya,[2] termasuk kaum yang menjadi pengikut nabi-nabi sebelumnya.[3] Hal ini disebabkan karena syariat nabi Muhammad saw. telah menghapus syariat nabi sebelumnya.[4] Dalam ayat 48 Allah Swt. berfirman: fahkum baynahum bimaa anzalaLlaah(hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan). Jika dirunut ke belakang, dhamir hum (kata ganti mereka) dalam ayat ini merujjuk kepada kaum Yahudi.[5]
Perintah memutuskan perkara dengan hukum Allah itu sampai derajat wajib. dalam ayat-ayat tersebut cukup banyak qarinah/indikator yang menunjukkannya. Di antaranya adalah celaan yang amat keras terhadap orang yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan-Nya. Mereka disebut kaafiruun (ayat 44), dzaalimuun (ayat 45), faasiquun (ayat 47). Tindakan berpaling dari hukum Allah Swt mendapatkan sanksi di dunia[6] berupa ditimpa musibah.
Ayat ini (QS Al-Maidah: 50) juga menjadi qarinah berikutnya. Allah Swt. mencela orang yang menolak untuk mengikuti hukum Allah Swt. dengan menyebut orang yang mencari hukum jahiliyyah. Padahal, tidak satu pun hukum yang dapat mengungguli, menandingi atau bahkan menyamai hukum-Nya.
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: afahukm al-jaahiliyyah yabghuun(apa hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki?). Kalimat dalam ayat ini bermakna li al-inkaar wa tawbiikh[7]
Menurut Mujahid,[8] Qatadah,[9] dan beberapa mufassir lainnya, yang menjadi sasaran celaan ayat ini adalah Yahudi.[10] Apabila dikaitkan dengan ayat sebelumnya beserta sabab nuzul-nya maka pendapat tersebut memang tepat. Celaan terhadap kaum yahudi makin menemukan relevansinya mengingat mereka adalah ahlul kitab, yang penentuan halal dan haramnya berasal dari Allah, namunmereka justru berpaling dari hukum-Nya dan lebih memilih hukum jahiliyyah. Padahal, hukum Jahiliyyah itu hanya sekedar memperturutkan hawa nafsu yang mementingkan dan memenangkan kalangan elit mereka. Oleh karena itu, ungkapan ayat ini dinilai sebagai celaan paling keras terhadap mereka.[11]
Kendati demikian, cakupan ayat ini tidak bisa dibatasi hanya untuk kaum Yahudi. Sebab, sebagaimana dinyatakan al-Hasan, ayat ini bersifat umum sehingga berlaku untuk semua orang yang mencari hukum selain hukum Allah Swt.[12]
Pendapat Ibnu Katsir sejalan dengan pendapat tersebut. Menurutnya, dalam ayat ini Allah Swt. mengingkari setiap orang yang keluar dari hukum-Nya yang muhkam, yang mencakup seluruh kebaikan, melarang semua keburukan, dan berpaling dari semua pendapat, kesenangan, dan istilah selainnya yang dibuat oleh seseorang tanpa sandaran syariat-Nya sebagaimana dilakukan kaum jahiliyyah yang hukumnya didasarkan atas kesesatan dan kebodohan.[13]
kata al-jaahiliyyah berasal dari kata al-jahl yang berarti bodoh atau dhid al-'ilmu (lawan dari mengetahui). Akan tetapi, kata tersebut dapat ditransformasikan maknanya sehingga memiliki makna baru yang berbeda dengan makna etimologinya. menurut al-Baidhawi, yang dimaksud al-jaahiliyyah adalah agama jahiliyyah yang memperturutkan hawa nafsu.[14] Kesimpulan tersebut didasarkan pada frasa berikutnya. Allah Swt. berfirman: waman ahsan minallaah hukm[an] liqawm[in] yuuqinuun hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?).
Jika dalam frasa sebelumnya disebut hukm al-jaahiliyyah maka dalam frasa ini dikomparasikan dengan hukmuLlaah(hukum Allah). Berdasarkan ayat ini, as-Sudi mengklasifikasikan hukum hanya menjadi dua, yaitu hukum Allah dan hukum jahiliyyah.[15] Al-Hasan juga membagi hukum menjadi dua: Pertama : hukum yang didasarkan ilmu, yakni hukum Allah. Kedua: hukum yang didasarkan pada kebodohan, yakni hukum syetan.[16] Selanjutny al-Hasan mengatakan, "Barangsiapa yang berhukum dengan selain hukum Allah maka itulah hukum jahiliyah."[17]
Al-Baqai juga menyatakan,"Barangsiapa yang berpaling dari hukum Allah niscaya dia menerima hukum setan yang semata-mata hawa nafsu yang merupakan agama orang jahil yang tidak memiliki kitab, pemberi petunjuk dan syariah."[18]
Sayyid Quthb memberi gambaran lebih gamblang mengenai hukum jahiliyah. Dalam tafsirnya,Fii Zhilaal al-Quraan, dipaparkan: "Sesungguhnya makna jahiliyyah itu didefinisikan oleh nash ini. Jahiliyyah -sebagaimana digambarkan Allah dan didefinisikan al-Quran- adalah hukum manusia untuk manusia. Sebab, jahiliyyah merupakan bentuk penyembahan manusia terhadap manusia lainnya,keluar dari penghambaan Allah, menolak ketuhanan Allah dan memberikan pengakuan -lawan dari penolakan- terhadap ketuhanan sebagian manusia dan penghambaan terhadap mereka selain Allah"[19]
Bertolak dari paparan para mufassir tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud hukum jahiliyyah adalah semua hukum yang tidak berasal dari Allah Swt. kaum beriman tidak selayaknya mengambil dan mengadopsi hukumjahiliyyah tersebut. Sebab, Allah Swt. telah memberikan hukum-Nya yang tidak bisa disamai dan ditandingi oleh hukum selainnya.
Kalimat tanya dalam frasa akhir ayat ini juga bermakna "li al-inkar" [20] Artinya: "Laa ahsana min hukmiLlaah 'inda ahl al-yaqiin" (tidak ada yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang yang yakin).[21] Dengan demikian, ayat ini memberikan makna bahwa sesungguhnya hukum Allah merupakan puncak kebaikan dan keadilan.[22]
Menurut al-Zujjaj, qawm[in] yuuqinuun adalah orang-orang yang yakin terhadap jelasnya keadilan Allah dalam hukum-Nya.[23] Pengertian lebih luas mereka adalah orang yang meyakini semua perkara yang wajib diimani.
Wujud Jahiliyyah
Dalam beberapa riwayat hadis, baik dalam sabda Rasulullah Saw. maupun ungkapan dan pertanyaan para sahabat, kata "jahiliyyah" seolah menunjukkan pada masa sebelum Islam. secara faktual, penunjukkan tersebut tidak salah. Sebab, keadaan bangsa Arab sebelum pra Islam memang diliputi oleh akidah, hukum dan perilaku yang berlawanan dengan Islam. Karena itu,ketika mereka menyebut masa itu, para Sahabat tidak jarang menyatakan,"Dahulu kami pada masa jahiliyyah."
Namun, bukan berarti hanya zaman itu yang bisa menyandang zaman jahiliyyah. Sebab, istilah jahiliyyah merujuk pada segala sesuatu yang berlawanan dengan Islam. Sayyid Quthb menegaskan, istilah jahiliyyah tidak menunjuk pada rentang suatu zaman tertentu, namun menunju pada suatu keadaan, yakni keadaan yang berlawanan dengan Islam. Tentu saja, keadaan tersebut bisa terjadi pada masa lalu, masa kini, maupun masa yang akan datang.
Keadaan jahiliyyah yang melingkupi suatu masyarakat itu bisa berkaitan dengan beberapa hal. Selain terkait dengan hukum sebagaimana telah terpapar, jahiliyyah juga bisa menyangkut masalah akidah dan perilaku. Berkenaan dengan akidah jahiliyyah, Allah Swt. berfirman:
"Kemudian setelah kalian berduka cita, Allah menurunkan kepada kalian keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari kalian, sedangkan segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah dengan sangkaan jahiliyah"[QS Ali Imran : 154]
Adapun yang berbentuk perilaku cukup banyak. di antara perilaku jahiliyyah yang disebut al-Quran adalah(berhias dengan memperlihatkan kecantikan dan menampakkan keindahan tubuh dan kecantikan wajah). Allah Swt. berfirman:
"Hendaknya kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian ber-tabarruj seperti orang jahiliyyah."[QS. Al-Ahzab : 33]
Berdiri di Atas Kebodohan
Sebagaimana telah terungkap, hukum jahiliyyah merupakan sebutan untuk semua hukum produk manusia. Sebab hukum manusia memang terlahir dari kebodohan. diantara buktinya:
Pertama, Hukum produk manusia senantiasa menjadikan fakta empirik sebagai dasar argumentasi. Metode berfikir ini dipastikan akan menafikan fakta-fakta non empirik. Ini menunjukkan keterbatasan manusia dalam menangkap fakta kehidupan secara utuh, total dan integral. Sebagai akibatnya, akan terjadi kesalahan asumsi-asumsi terhadap fakta tersebut. Jika asumsi dasarnya sudah keliru, mustahil menghasilkan hukum yang benar-benar adil dan sempurna. Sebab, bagaimana mungkin membuat aturan tentang sesuatu, sementara fakta dari sesuatu itu sendiri tidak dipahami dengan benar?
Kedua, Hukum manusia didasarkan pada analisis dampak. Itu artinya, manusia tidak bisa memastikan baik buruknya hukum kecuali setelah diterapkan. Metode penetapan hukum seperti ini meniscayakan komunitas masyarakat terus-menerus menjadi 'kelinci percobaan' bagi hukum yang diterapkan.
Ketiga, Hukum manusia senantiasa dibatasi ruang dan waktu. tatkala hukum dibuat, pada hakikatnya ia dibuat untuk mengatur masyarakat pada masa datang, bukan masa lalu. Padahal siapakah yang mampu memastikan kondisi masyarakat pada masa datang secara tepat? Jika manusia tidak pernah mengetahui kondisi kehidupan masyarakat pada masa datang secara pasti, bagaimana mungkin dia membuat perangkat hukum untuk mengaturnya?
Itu semua menunjukkan, bahwa hukum buatan manusia benar-benar didasarkan atas kebodohan. Disamping itu, hukum buatan manusia juga tak pernah benar-benar steril dari kepentingan individu atau kelompok yang berkuasa. Jika demikian, mengapa kita masih betah mempertahankan hukum jahiliyyah yang dihasilkan oleh kebodohan dan telah terbukti menimbulkan aneka bencana, kesengsaraan, kebobokan dan kerusakan?
Wallahu a'lamu bish shawaab
[1] As-suyuthi, Ad-Durr al-Mantsuur, Vol 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyyah, 1990), 512-513; ath_thabari, Jami' al-bayan fi Ta'wiil al-Quran, Vol 4 (Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyyah, 1992) 614; al-Khazin, Lubaab al-Ta'wiil wa fii ma'aanii al-Tanziil, Vol 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 51-52.
[2] Ibnu Katsir, Tafsiir al-Quraan al-Azhiim, vol 2 (Riyadh: Dar 'Alam al-Kutub, 1997), 86; al-Zuhaili.
[3] Ibnu Katsir, Tafsiir al-Quraan al-Azhiim, vol 2, 86
[4] Az-Zuhaili, Tafsiir al-Muniir, vol 5 (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), 216-217; Mahmud Hijazi, al-Tafsiir al-waadhiih (t.t.: Dar at-Tasir, 1992), 522
[5] Ath-thabari, jaami' al-Bayaan, vol. 4, 613; Abu Hayan al-Andalusi, Tafsiir al-Bahr al-Muhiith, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 512; al-Qinuji, Fath al-Bayaan fii Maqaashiid al-Quraan, vol. 3 (Qathar: Dar Ihya' al-Turats al-Islami, 1989), 446.
[6] Al-Baghawi, Ma'aalim al-Tanziil, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyyah, 1994), 35; al-Samarqandi, bahr al-'uluum, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyyah, 1994), 442.
[7] Asy-Syaukani, Fath al-Qadiir, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyyah, 1994), 61; al-Qinuji,Fath al-Bayaan, vol. 3, 447.
[8] Ath-Thabari, Jaami' al-Bayaan, vol. 4, 614-615.
[9] As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsuur, vol. 2, 514
[10] Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsiir al-Bahr Muhiith, vol. 3, 516 ; al-Khazin, Lubaab al-Ta'wiil wa fii Ma'aanii al-Tanziil, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 51-52; Ibnu juzyi al-Kalbi, at-Tasyhiil li 'Uluum al-Tanziil, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 240; al-Wahidi al-Naysaburi, Al-Wasiith fii Tafsiir al-Quraan al-Majiid, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994),196; al-Jazairi, Aysaar at-Tafaasiir li kalm al-'Aliyy al-Kabiir, vol. 1 (tt: Nahr al-Khair, 1993), 640; ar-Razi, at-tafsiir al-Kabiir, vol. 12 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 14.
[11] Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsiir al-Bahr Muhiith, vol. 3, 516. Meskipun dengan ungkapan yang sedikit berbeda, hal itu juga diungkapkan Nizhamuddin al-Naisaburi, tafsiir fii gharaaib al-Qur'aan, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 601.
[12] Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsiir al-Bahr Muhiith, vol. 3, 516.
[13] Ibnu Katsir, Tafsiir al-Quraan al-Azhiim, vol 2, 88. Hal yang sama dikemukakan Az-Zuhaili,Tafsiir al-Muniir, vol 5, 218.
[14] Al-baidhawi, Anwaar at-Tanziil wa Asraar at-Ta'wiil, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyyah, 1988), 270.
[15] As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsuur, vol. 2, 514.
[16] Az-Zamakhsyari, al-Kasyaaf, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyyah, 1995), 628.
[17] Ibnu Katsir, Tafsiir al-Quraan al-Azhiim, vol 2, 88.
[18] Al-Baqai, Nazhm ad-Durar, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyyah, 1995), 479.
[19] Sayyid Quthb, tafsiir fii Zhilaal al-Qur'aan, vol. 1
[20] Al-'Ajili, Al-Futuuhaat al-Ilaahiyyah, vol. 2 (Dar al-Fikr, 2003), 250; al-Qasimi, Mahaasin at-Ta'wiil, vol. 4 (Dar al-Kutub al-ilmiyyah, 1997), 160.
[21] Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsiir al-Bahr Muhiith, vol. 3, 516.
[22] Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsiir al-Bahr Muhiith, vol. 3, 516.
[23] al-Wahidi al-Naysaburi, Al-Wasiith fii Tafsiir al-Quraan al-Majiid, vol. 2, 196.
0 komentar:
Posting Komentar