19 September 2010

Kufr


Mukadimah
Salah satu cara Barat untuk memasung ajaran Islam adalah melalui distorsi makna. Setelah kata Islam cukup dimaknai sebagai sikap pasrah, jihad dijauhkan dari makna perang, dst., kini muncul upaya baru dari mereka untuk mendesakkan makna yang distortif pada istilah kekafiran (kufr). Demikianlah, setidaknya, yang pernah menjadi rekomendasi dari sejumlah Dialog Antaragama yang notabene diprakarsai Barat dalam beberapa dasawarsa terakhir ini.[i] 
Menurut mereka, sebagaimana kata muslim (orang yang bersikap pasrah pada Tuhan) bisa diberikan kepada siapa saja (yang beragama Islam ataupun bukan), demikian pula kata kafir. Sebab, secara substansial, yang lebih relevan untuk dipersoalkan saat ini adalah masalah ketidakadilan, kezaliman,  pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan, dsb.; bukan iman vs kufur dalam pengertian ‘formal’ yang mudah memicu konflik antar pemeluk agama. Artinya, dalam perspektif modern, siapa pun yang bertindak zalim, melanggar HAM, berlaku tidak adil, merusak lingkungan, dll. dapat dipandang sebagai ‘kafir’; baik Muslim ataupun non-Muslim.
            Proposisi di atas mungkin benar dalam sudut pandang sekularistik, yang menyingkirkan katagorisai-katagorisasi agama (Islam), tetapi tentu saja sangat keliru jika sudut pandangnya adalah Islam. Jika demikian, apa makna sesungguhnya dari kekafiran (kufr) dilihat dari perspektif Islam?

Kufr dalam Timbangan Bahasa
Secara bahasa, kufr merupakan bentuk masdar dari kata kerja kafara-yakfuru. Maknanya adalah menutupi, menyelubungi, mengingkari, tidak mensyukuri.[ii]
Menurut ar-Razi, kufr adalah lawan kata dari îmân. Bentuk jamak dari kâfir adalah kuffâr, kafarah, kiffâr. Bentuk jamak dari kâfirah adalah kawâfir. Kufr juga bermakna mengingkari nikmat, yakni lawan kata dari syukr (syukur).[iii]
            Menurut ar-Jurjani, kufr adalah sikap menutup-nutupi kenikmatan yang dianugerahkan oleh Zat Pemberi kenikmatan itu (Allah), baik dengan mengingkarinya dengan hati ataupun dengan perbuatan; seperti pengingkarannya di dalam penentangan terhadap Allah.[iv]
Sementara itu, menurut asy-Syaukani, kufr artinya menutupi. Orang kafir disebut kafir karena dengan kekafirannya itu ia menutupi apa yang seharusnya diimani, dijadikan bahan peringatan, disampaikan, dan disebarluaskan.[v]

Makna Kufr dalam al-Quran
Di dalam al-Quran, terdapat 525 ayat yang mengandung akar kata kafara. Dari sejumlah itu, dalam kaitannya dengan kekafiran, kata kafara sendiri berada di 20 ayat. Di luar itu, dari akar kata tersebut antara lain berkembang menjadi kata kafarû (189 ayat), kâfir (3 ayat), kâfirûn (15 ayat), kâfirîn (8 ayat),  kuffâr (10 ayat), yakfuru (15 ayat), yakfurûn (12 ayat), takfuru (1 ayat), takfurûn (12 ayat), dan kufran (4 ayat).
Dalam kaitannya dengan kekafiran ini, Allah Swt. antara lain berfirman:

]إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُونَ[
 Sesungguhnya orang-orang kafir itu, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tetap tidak akan beriman. (QS al-Baqarah [2]: 6).

Berkaitan dengan ayat ini, Ath-Thabari menyatakan bahwa ahli tafsir berbeda pendapat mengenai siapa yang dituju dengan ayat ini. Namun demikian, mengutip Ibn Abbas, ia menyatakan bahwa ayat ini ditujukan kepada orang-orang Yahudi yang ada di seluruh pelosok Madinah pada masa Rasulullah. Ayat ini dimaksudkan untuk melecehkan mereka karena pengingkaran mereka terhadap kenabian Muhammad dan pendustaan mereka terhadap beliau; meskipun mereka mengetahui bahwa Rasulullah saw. diutus untuk seluruh manusia.[vi]
Di dalam surah al-Kafirun, Allah juga berfirman demikian:

]لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ[
Untuk kalian agama kalian dan untukku agamaku.  (QS al-Kafirun [109]: 6).

Berkaitan dengan ayat ini, Abu Bakar menyatakan bahwa meskipun ia ditujukan secara khusus kepada sebagian orang kafir—karena sebagian mereka telah bersikap ‘pasrah’, sementara Allah sendiri menyatakan, “Kalian tidaklah menyembah apa yang aku sembah,” tetapi ayat tersebut menunjukkan bahwa kekufuran seluruhnya merupakan satu kesatuan. Artinya, kekafiran—meskipun berbeda-beda bentuknya—adalah satu ‘sistem keyakinan’ atau ‘agama’, sementara Islam juga merupakan satu sistem keyakinan atau agama. Keduanya saling berlawanan.[vii]
Dalam ayat lain, Allah Swt. berfirman:

]لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَابَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ[
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allah adalah al-Masih putra Maryam,” padahal al-Masih (sendiri) berkata, “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Allah mengharamkan untuknya surga, dan tempatnya ialah neraka. Tidak ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. (QS al-Maidah [5]: 72).

Ayat di atas secara tegas menunjukkan bahwa orang-orang yang menyekutukan Allah adalah orang-orang musyrik. Kemusyrikan, menurut Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya, adalah meyakini wujud (Tuhan) lain selain Allah.
Allah Swt. juga berfirman:

]إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً &أُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا[
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan, “Kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain),” serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir). Mereka itulah orang-orang kafir yang sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir itu siksaan yang menghinakan. (QS an-Nisa’ [4]: 150-151).

Berkaitan dengan ayat di atas, al-Baghawi menyatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang Yahudi. Mereka beriman kepada Musa a.s. dan Taurat. Akan tetapi, mereka mengingkari (kafir kepada) Isa a.s., Injil, Muhammad, dan al-Quran. Mereka berkeinginan untuk membeda-bedakan antara Allah dan rasul-rasul-Nya. Mereka menyatakan, “Kami mengimani sebagian dan mengingkari sebagian yang lain.” Dengan ucapannya itu, mereka berkehendak untuk mengambil jalan tengah atau suatu agama baru, yakni yang mensinkretisasikan antara Yahudi dan Islam. Mereka ini oleh Allah disebut sebagai orang-orang kafir yang sebenar-benarnya.[viii]

Kufr dalam Pengertian Lain
Menurut Abdul Mu’thi, seorang Muslim dapat jatuh pada ‘kekafiran’, meskipun bukan dalam pengertian yang hakiki. Demikian sebagaimana pernah dikatakan oleh Ibn ‘Abbas berkaitan dengan ayat berikut:

]وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ[
Siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah kafir. (QS al-Maidah [5]: 44).

Berkaitan dengan ayat ini, Ibn ‘Abbas menyatakan bahwa kekafirannya—selama dia tetap meyakini Allah, pen.—tidak sebagaimana kekafiran kepada Allah dan Hari Akhir.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Suku Aus dan Khajraj masing-masing pernah mengingat apa yang terjadi di antara mereka pada masa jahiliah. Hal ini mendorong mereka untuk saling menghunus pedang satu sama lain. Lalu turunlah ayat berikut:

]وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ ءَايَاتُ اللهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ[
Bagaimana kalian ‘kafir’ sementara telah diturunkan kepada kalian ayat-ayat Allah dan di tengah-tengah kalian pun masih ada Rasulullah. (QS Ali ‘Imran [3]: 101).

Kafir dalam pengertian ini bukan berarti mengingkari Allah, tetapi karena hilangnya rasa cinta dan kasih-sayang mereka satu sama lain.
Dalam hadis yang berkaitan dengan kemurtadan disebutkan bahwa di kalangan orang-orang Arab yang murtad ada dua kelompok. Pertama, kelompok yang murtad dari agama Islam. Mereka ada dua kelompok: (1) Para pengikut Musailamah dan Aswad al-Ansi. Mereka meyakini kenabian keduanya; (2) Kelompok yang murtad dari Islam dan kembali pada keyakinan jahiliah mereka. Berkaitan dengan kedua kelompok ini, para sahabat sepakat untuk memerangi keduanya. Kedua, kelompok orang-orang murtad dalam pengertian mereka tidak murtad dari keimanan, tetapi mengingkari kewajiban membayar zakat, karena mereka mengklaim bahwa ayat (yang artinya) Ambillah olehmu (Muhammad) dari harta-harta mereka sedekah (zakat) (QS at-Taubah [9]: 103) khusus ditujukan pada zaman Nabi saw. masih hidup. Karena itu, ‘Umar masih ragu untuk memerangi mereka karena mereka masih bertauhid dan menunaikan salat. Akan tetapi, Abubakar memutuskan untuk memerangi mereka karena mereka menolak membayar zakat. Tindakan Abubakar ternyata diikuti oleh para sahabat yang lain karena mereka dianggap sebagai bughât (pemberontak) yang memang wajib  diperangi. Karena itu pula, dari sini disimpulkan bahwa siapa saja yang mengingkari (kufr) salah satu rukun Islam adalah kafir berdasarkan ijma’. Demikian menurut Abu Abdul Mu’thi.[ix]
            Dari paparan di atas, jelas sekali bahwa kekufuran dalam pengertian mengingkari Allah secara i’tiqadi (artinya kufur sebagai lawan kata dari iman) hanya pantas ditujukan kepada orang-orang non-Mukmin (baik Yahudi, Nasrani, ataupun kaum musyrik), meskipun mereka dipandang baik dalam kacamata manusia, dan tidak selayaknya dialamatkan kepada orang-orang Mukmin, meskipun mereka bertindak zalim atau tidak adil. Sebab, keimanan ataupun kekufuran dalam hal ini tidak berkaitan dengan aspek perbuatan (af’âl al-jawârih), tetapi dengan aspek keyakinan (af’âl al-qalbi). Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. Wa mâ taufîqî illâ billâh. [ABI]




[i]   Lihat: Abdul Qadim Zallum, 1988. Mafâhîm Khatirah li Dharb al-Islâm wa Tarkîz Hadhârah al-Gharbiyyah, hlm. 8. Dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir.
[ii]   Lihat: Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Mudhor,  Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, hlm. 1512. Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pontren Krapyak.
[iii]             Muhammad ibn Abi Bakr ibn Abdul Qadir ar-Razi, t.t. Mukhtâr as-Shahâh, I/239.  Beirut: Maktabah Lebanon. Lihat juga: Muhammad ibn Mukrin ibn Manzhur al-Afriqi al-Mishri, t.t., Lisân al-‘Arab, 5/145-147. Beirut: Dar ash-Shadir.
[iv] Ali ibn Muhammad ibn Ali al-Jurjani, t.t. At-Ta’rîfât. I/237. Beirut: Darul Kitab al-‘Arabi.
[v]   Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad asy-Syaukani, t.t. Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fanni ar-Riwâyah wa ad-Dirâyah min ‘Ilm a-Tafsîr, I/39. Beirut: Dar al-Fikr.
[vi] Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Khalid ath-Thabari, 1405 H. Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl ay al-Qur’ân, I/108. Beirut: Darul Fikr).

[vii] Ahmad ‘Ali ar-Razi al-Jashash, 1405 H. Ahkâm al-Qur’ân, 5/376. Beirut: Dar al-Ihya’ at-Turarts al-‘Arabi.
[viii]             Al-Husain ibn Mas’ud al-Fira’ al-Baghawi, 1407 H. Ma’âlim at-Tanzîl, I/494. Beirut: Darl al-Ma’rifah.

[ix] Lihat: Muhammad ibn Umar ibn Ali ibn Nawawi al-Jawi Abu Abdul Mu’thi, t.t., Nihâyah az-Zayn fî Irsyâd al-Mubtadi’în, IV/185-186 dan Beirut: Darul Fikr.


0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites