17 September 2010

Keutamaan Shaum Syawal


مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Siapa saja yang berpuasa Ramadhan kemudian melanjutkannya dengan puasa enam hari pada bulan Syawal, ia seperti berpuasa sepanjang masa. (HR Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah, an-Nasa’i, Ahmad, ad-Darimi, al-Baihaqi dan Ibn Hibban)

Imam Muslim berkata, hadis ini dituturkan dari Yahya ibn Ayyub, Qutaibah ibn Sa’id dan Ali ibn Hujrin; semuanya dari Ismail. Ibn Ayyub juga berkata, hadis ini dituturkan dari Ismail ibn Ja’far, dari Saad ibn Said ibn Qays, dari Umar ibn Tsabit ibn al-Harits al-Khazraji, dari Abu Ayyub al-Anshari ra., dari Rasulullah saw. 

Adapun Imam at-Tirmidzi meriwayatkan hadis tersebut dari Ahmad ibn Mani’, dari Abi Muawiyah, dari Saad ibn Said, dari Umar ibn Tsabit, dan dari Abu Ayyub al-Abshari. Imam Tirmidzi berkata, “Hadis Abu Ayyub ini hadis hasan sahih.” 

Dalam sanad hadis di atas terdapat satu perawi yang diperselisihkan. Imam at-Tirmidzi berkata, “Sebagian ahli hadis mempermasalahkan Saad ibn Said dari sisi hapalannya.” 

Al-Mubarakfuri1 berkomentar: Al-Hafizh Ibn Hajar berkata di dalam At-Taqrîb, “Saad ibn Said ibn Qays ibn Amru al-Anshari, saudaranya Yahya, adalah seorang yang jujur, namun hapalannya buruk, termasuk thabâqât keempat.” 

Sekalipun demikian, Imam at-Tirmidzi mensahihkan hadis di atas. Al-Mubarakfuri menjelaskan, “Yang jelas, bahwa pensahihan beliau adalah karena banyaknya jalan periwayatan hadis tersebut. Sudah dijelaskan dalam Muqadimah (mukadimah Tuhfah al-Ahwâdzî, pen.) bahwa adakalanya Imam at-Tirmidzi mensahihkan hadis karena beragamnya jalan periwayatan. Apalagi Saad (dalam hadis di atas) tidak menyendiri (dalam meriwayatkannya), tetapi diikuti oleh Shafwan ibn Sulaim.”

Terdapat banyak riwayat lain yang semakna. Di antaranya riwayat yang dituturkan oleh Abu Hurairah, diriwayatkan oleh al-Bazar, ath-Thabrani dan Abu Nu’aim. Menurut al-Mubarakfuri, riwayat al-Bazar dan ath-Thabrani tersebut adalah hasan. Al-Mundziri sendiri mengatakan, salah satu jalur riwayat al-Bazar adalah sahih. Demikian juga riwayat yang dituturkan oleh Tsauban, mawla Rasulullah saw, diriwayatkan oleh Ibn Majah, an-Nasai, Ahmad, ad-Darimi, al-Bazar, Ibn Hibban dan Ibn Khuzaimah di dalam Shahîh-nya. Juga riwayat yang dituturkan oleh Bara’ ibn Azib yang diriwayatkan oleh ad-Daraquthni.2



Makna
Dari berbagai riwayat tersebut, dapat di istinbâth bahwa puasa enam hari pada bulan Syawal hukumnya adalah sunah. Ini pendapat Ibn al-Mubarak, Hasan Bashri, asy-Syafii, Ahmad dan mayoritas ulama. Pelaksanaannya, menurut mayoritas fukaha, bisa dilakukan sepanjang bulan Syawal baik di awal, tengah maupun akhir. Pelaksanaannya bisa berurutan ataupun terpisah-pisah.

Adapun Imam Malik dalam al-Muwatha’ dan Abu Hanifah berpendapat, puasa enam hari pada bulan Syawal itu hukumnya makruh. Alasannya, karena Imam Malik tidak mengetahui seorang pun dari ulama dan fukaha salaf yang menjalankannya dan karena khawatir orang awam akan mengaitkannya dengan Ramadhan; atau alasan Abu Hanifah dan Malik, karena bisa jadi orang akan menganggapnya wajib. Pendapat tersebut adalah keliru.3 Alasannya: Pertama, jelas ada pemisah dengan puasa Ramadhan, yaitu hari Idul Fitri. Kedua, tidak adanya orang yang menjalankannya tidak bisa dijadikan alasan untuk menolak as-Sunnah. Ketiga, karena sunnah puasa enam hari pada bulan Syawal itu dinyatakan di dalam as-Sunnah dengan sangat jelas.

Puasa Ramadhan diikuti enam hari pada bulan Syawal itu “seperti puasa sepanjang masa”—dalam riwayat lain dinyatakan “seperti berpuasa setahun penuh”—karena Allah Swt. berfirman:

مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا
Siapa saja yang membawa amal yang baik, baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya (QS al-An‘am [6]: 160).

Dengan demikian, puasa Ramadhan sebanding dengan puasa sepuluh bulan, dan puasa enam hari sebanding dengan puasa enam puluh hari atau dua bulan sehingga genap dua belas bulan atau setahun penuh. Itu pula yang dijelaskan oleh riwayat Tsauban, mawla Rasulullah saw. Ia berkata, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

صِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بِشَهْرَيْنِ فَذَلِكَ صِيَامُ سَنَّةٍ
Puasa Ramadhan sebanding dengan puasa sepuluh bulan dan puasa enam hari sebanding dengan puasa dua bulan, dan itu sebanding dengan puasa setahun (HR. an-Nasa’i)

Hadis yang semakna dengan redaksi sedikit berbeda diriwayatkan oleh Ahmad, Ibn Majah, ad-Darimi, Ibn Hibban dan al-Baihaqi. Jadi, puasa Ramadhan yang diikuti enam hari di bulan Syawal seperti puasa setahun penuh. Jika setiap tahun seseorang berpuasa demikian maka ia bagaikan berpuasa sepanjang masa. 

Wallâh a‘lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

 


Catatan Kaki:
1   Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwâdzî, III/388-390, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut. tt.
2   Al-Mubarakfuri, Ibid; Al-Haytsami, Majma’ az-Zawâ’id, III/183-184, Dâr ar-Rayân li at-Turâts- Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, Kaero-Beirut. 1407; Asy-Syaukani, Nayl al-Awthâr, IV/322, Dâr al-Jayl, Beirut. 1973.
3   Al-Mubarakfuri, Ibid; asy-Syaukani, Ibid; an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, VIII/56, Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, Beirut, cet. II. 1392; Mahmud Abd al-Lathif ‘Uwaidhah, al-Jâmi’ li Ahkâm ash-Shiyâm, hlm. 146-147, Muassasah ar-Risalah, Beirut, cet. II. 2005.



0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites