Allah Swt. berfirman (yang artinya): Iblis berkata, "Demi kemuliaan-Mu, aku pasti akan menyesatkan mereka (anak-anak Adam) semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu dari kalangan al-mukhlashîn di antara mereka." (TQS Shad [38]: 82-83).
Dalam tafsirnya, al-Qurthubi menafsirkan kata al-mukhlashîn di ujung ayat ini sebagai orang-orang yang ditanamkan (dalam kalbunya) keikhlasan oleh Allah Swt. dalam mengabdi kepada-Nya. (al-Qurthubi, XV/229). Dengan demikian, al-mukhlashîn maknanya adalah al-mukhlishîn (orang-orang ikhlas). Betapa tingginya kedudukan al-mukhlashîn/al-mukhlishîn ini sehingga Iblis pun tidak sanggup untuk menyesatkan mereka.
Betapa luhurnya kedudukan ikhlas, dalam doanya, Umar bin al-Khaththab sering bermunajat, "Ya Allah, jadikanlah amalku salih, dan jadikanlah ia ikhlas semata-mata karena Wajah-Mu." (Fauzi Sinuqarth, At-Taqarrub ilâ Allâh, hlm. 11).
Betapa agungnya ikhlas dalam amalan seorang hamba, para ulama menaruh perhatian yang luar biasa dalam masalah ini. Banyak buku diterbitkan hanya untuk membahas seputar masalah ikhlas.
****
Ikhlas—pelakunya disebut dengan mukhlish—adalah kata yang sering kita ucapkan dan kita dengar. Ikhlas sering didefinisikan oleh para ulama dengan: beramal semata-mata karena Allah.
Ikhlas adalah amalan kalbu. Meski tidak diketahui kecuali oleh Allah Swt., ikhlas sesungguhnya dapat dideteksi dari amalan lahiriah pelakunya. Meski tampak sederhana, ikhlas sesungguhnya bukan sekadar tidak riya’ atau sum‘ah. Artinya, seorang yang mukhlish tidak sekadar amalnya tidak dimaksudkan agar dilihat orang (riya’) atau didengar orang (sum‘ah). Lebih dari itu, ikhlas sebetulnya mengandung konsekuensi yang tidak ringan.
Ketika Anda ikhlas dalam beramal, yakni beramal semata-mata karena Allah, berarti Anda harus benar-benar menunjukkan bahwa amal Anda semata-mata dipersembahkan hanya untuk-Nya, bukan untuk selain-Nya. Pertanyaannya: Apakah sesuatu yang dipersembahkan hanya untuk Allah itu cukup yang biasa-biasa saja, minimalis, dan terkesan ‘asal-asalan’? Ataukah sesuatu yang dipersembahkan khusus untuk Allah itu harus yang berkualitas, istimewa, dan optimal?
Ketika seseorang mempersembahkan sesuatu hanya khusus bagi orang yang dicintainya, ia tentu akan mempersembahkan yang terbaik dan istimewa untuknya; bukan yang biasa-biasa saja, apalagi yang berkualitas buruk. Demikian pula seseorang yang ikhlas, yang mempersembahkan amalnya hanya untuk Allah, Penciptanya; ia hanya akan mempersembahkan amalan terbaik dan istimewa untuk-Nya. Walhasil, ikhlas sesungguhnya harus berbuah ihsân, yakni melakukan amalan terbaik sesuai dengan yang Allah kehendaki.
Jika dikaitkan dengan aktivitas dakwah, dakwah yang ikhlas adalah dakwah yang berkualitas, yang terbaik dan optimal. Seorang da’i yang ikhlas—yang berdakwah semata-mata karena Allah Swt.—akan senantiasa melakukan dakwah yang berkualitas, yang terbaik dan optimal untuk dipersembahkan kepada-Nya. Singkatnya, ia akan ihsân dalam dakwahnya. Sebaliknya, seorang da’i yang tidak ikhlas, atau kurang ikhlas, adalah yang amalan dakwahnya ‘biasa-biasa’ saja, ‘asal-asalan’ dan minimalis; seolah-olah dakwahnya bukan karena Allah Swt.
Dalam sebuah bukunya, seorang ulama menuliskan beberapa ciri da’i yang tidak/kurang ikhlas dalam dakwahnya sebagai berikut: (1) Hanya memberikan waktu sisa bagi dakwahnya. (2) Bermalas-malasan dalam menunaikan tugas dakwahnya; sesekali berdakwah, tetapi seringkali meninggalkan dakwah. (3) Jika mungkin, berusaha melemparkan beban kewajiban dakwah kepada orang lain; jika ada kesempatan, ia akan berlepas diri dari dakwah. (4) Terkesan tidak bersungguh-sungguh dalam merencanakan dan mengerjakan tugas dakwah; tidak berusaha menghasilkan dakwah yang terbaik dan optimal. (5) Mudah putus-asa, bahkan ‘gugur’ di jalan dakwah, ketika dihadapkan pada berbagai rintangan dakwah.
Dengan merenungkan kelima ciri di atas, seseorang yang mengklaim dirinya da’i, tentu bisa menilai: apakah dakwahnya merupakan dakwah yang ikhlas ataukah tidak. Dengan itu, ia akan dapat memastikan: apakah dakwahnya menjadi amalan yang diterima Allah ataukah tidak. Jika tidak, betapa ruginya. Alasannya, karena Allah dan Rasul-Nya telah menempatkan dakwah pada kedudukan yang sangat terpuji. Allah Swt. berfirman (yang artinya): Siapakah yang ucapannya paling baik selain dari ucapan orang yang mendakwahi (manusia) ke jalan Allah dan Rasul-Nya? (QS Fushshilat [41]: 33).
Ini adalah pertanyaan retoris dari Allah Swt. yang mengandung pengertian: tidak ada ucapan yang lebih baik daripada ucapan seseorang yang mendakwahkan agama-Nya.
Rasululullah saw. juga pernah bersabda (yang artinya): Siapa saja yang menyeru (manusia) pada petunjuk (al-hudâ), baginya pahala yang setimpal dengan pahala orang yang dia tunjukki itu. (HR Muslim).
Lebih dari itu, dakwah adalah fardhu—bukan sunnah—bagi kaum Muslim. Bahkan dakwah adalah kewajiban yang—tidak bisa tidak—harus dilakukan; ia tidak bisa diganti dengan suatu kafarah (tebusan) apapun jika ditinggalkan.
Wajar jika para nabi dan para rasul Allah Swt. menjadikan dakwah sebagai poros hidup mereka. Ini, antara lain, tergambar dari ucapan Nabi Nuh as., sebagaimana terekam dalam firman Allah Swt. (yang artinya): Tuhanku, sesungguhnya aku telah mendakwahi kaumku siang-malam. (QS Nuh [71]: 5).
Disebutkan bahwa Nabi Nuh as. berdakwah tidak kurang dari 950 tahun! Itu ia lakukan siang-malam! Demikian pula yang dilakukan oleh Baginda Nabi saw. selama 23 tahun sejak Beliau diangkat sebagai rasul Allah. Ini sekaligus menunjukkan betapa ikhlasnya para nabi dan rasul Allah dalam menjalankan aktivitas dakwahnya. Jika tidak, mana mungkin mereka mempertaruhkan usia, tenaga, pikiran, harta bahkan nyawa mereka di jalan dakwah?!
‘Alla kulli hâl, semoga setiap diri kita benar-benar dijadikan oleh Allah Swt. sebagai seorang da’i yang mukhlish, yang senantiasa mengikhlaskan dakwah semata-mata karena Allah Swt., dengan mempersembahkan amal dakwah yang terbaik untuk-Nya.
Wa mâ tawfîqi illâ billâh. [Arief B. Iskandar]
0 komentar:
Posting Komentar