Oleh: Hafidz Abdurrahman
Di tengah maraknya gelombang unjuk rasa di negeri-negeri Arab, Hai'ah Kibar 'Ulama' Saudi mengeluarkan fatwa yang mengharamkan aksi tersebut. Bagaimana sebenarnya kedudukan aksi yang menuntut perubahan tersebut, boleh atau tidak?
Menarik untuk ditelaah alasan yang dijadikan dasar fatwa Hai'ah Kibar ‘Ulama' Saudi. Dalam fatwanya dinyatakan bahwa:
"Kerajaan Saudi Arabia berdiri berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul, baiat, berpegang teguh pada jamaah dan ketaatan. Karena itu, perbaikan dan nasihat terhadapnya hendaknya tidak dilakukan dengan unjuk rasa serta berbagai cara dan sarana yang bisa menimbulkan fitnah dan perpecahan jamaah. Inilah yang diharamkan oleh ulama' negeri ini, baik dulu maupun sekarang."
"Hai'ah menegaskan keharamnya unjuk rasa di negeri ini. Sebab, cara yang syar'i untuk mewujudkan kemaslahatan, dan tidak menimbulkan kerusakan, adalah saling memberi nasihat (munshahah). Itulah cara yang diajarkan Nabi saw. dan diikuti dengan baik oleh para Sahabat serta para pengikut mereka."
Selain alasan di atas, banyak dinyatakan dalil-dalil yang terkait dengan menjaga persatuan (QS Ali 'Imran [3]- 103), larangan berpecah-belah (QS Ali 'Imran [3]: 105 dan al-An'am [6]: 109), baiat dan ketaatan (HR Muslim).
Perlu dicatat, bahwa fatwa seperti ini bukan yang pertama kali. Sebelumnya, ketika terjadi aksi untuk menumbangkan rezim diktator di Mesir, Husni Mubarak, mufti Arab Saudi, 'Abd al-'Aziz Ali as-Syaikh juga mengeluarkan fatwa tentang keharaman aksi tersebut. Fatwa ini juga ditentang oleh sejumlah ulama' lain dari berbagai negara. Fatwa ini pun bukan untuk kepentingan Islam dan kaum Muslim, tetapi untuk kepentingan rezim Saud, yang mengabdi untuk Inggris dan Amerika.
Fatwa Hai'ah ini juga dipenuhi berbagai klaim. Pertama: Kerajaan Saudi Arabia (KSA) mengklaim konstitusinya berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah, serta menjalankan hukum syariah yang bersumber dari keduanya. Ini jelas klaim bohong karena kenyataannya jelas berbeda. Sistem kerajaan itu sendiri bukanlah sistem Islam karena sistem pemerintahan Islam adalah Khilafah. Sistem kerajaan (monarki) bertentangan dengan sistem pemerintahan Islam yang tidak mengenal, putra mahkota (wilayah al-'ahd). Ini ditegaskan oleh 'Abdurrahman bin 'Abu Bakar saat menolak cara Muawiyah mengangkat Yazid menjadi penggantinya:
“Abdullah al-Madani memberitahuku. Dia berkata, "Aku pernah berada di masjid, ketika Marwan menyampaikan pidato. Dia berkata, 'Sesungguhnya Allah telah menunjukkan kepada Amirul Mukminin pandangan yang baik pada Yazid. Sekiranya beliau menunjuknya sebagai penggantinya, sesungguhnya Abu Bakar dan Umar juga telah melakukannya.' 'Abdurrahman (bin Abu Bakar) berkata, "(Itu tuntunan) Heraklius. Demi Allah, sesungguhnya Abu Bakar tidak pernah menjadikan baiat untuk salah seorang anaknya, maupun anggota keluarganya."’
Kedua: kerajaan ini juga bukan negara kaum Muslim, tetapi entitas keluarga Saud. Ini bertentangan dengan negara yang disyariatkan dalam al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat, yaitu Khilafah. Khilafah adalah negara kaum Muslim di seluruh dunia, bukan hanya entitas keluarga. Bahkan kerajaan ini awalnya justru didirikan oleh Inggris sebagai hadiah atas pengkhianatan Sharif Husein terhadap Khilafah 'Utsmaniyah.
Ketiga: selain bentuk kerajaan yang bertentangan dengan syariah Islam, cara pembaiatan yang dilakukan kepada raja-raja Kerajaan Saudi Arabia juga bertentangan dengan syariah Islam. Sebab, baiat diberikan kepada mereka bukan untuk menjalankan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, dengan menerapkan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Memang sebagian hukum syariah diterapkan di wilayah itu, tetapi di bidang pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan serta politik luar negeri jelas-jelas tidak menerapkan Islam. Di bidang ekonomi, seluruh kekayaan milik umat, seperti minyak, gas dan tambang yang terkandung di perut bumi wilayahnya dimonopoli oleh keluarga kerajaan. Akibatnya, mereka bergelimang harta dan foya-foya, sementara 50% lebih rakyatnya tidak mempunyai rumah. Di bidang sosial, kehidupan di Riyadh, Jeddah atau kota metropolitannya tidak jauh berbeda dengan Paris maupun London. Kaum perempuan dan lelakinya banyak yang bergaul bebas, berzina, pesta seks bahkan menjadi konsumen film porno terbesar. Di bidang pendidikan, Kerajaan Saudi telah menghilangkan materi penting dalam kurikulum mereka, yaitu al-Wala' wa al-Barra' (loyalitas dan disloyalitas) untuk menjalankan proyek deradikalisasi AS. Dalam politik luar negerinya, kerajaan ini juga telah berkhianat kepada kaum Muslim di Palestine dan Irak. Bahkan memberikan wilayahnya kepada AS untuk membuka pangkalan militernya.
Karena itu, baiat untuk mereka justru menyalahi Kitab Allah dan Sunnah Rasul. Dengan begitu, dalil baiat dan ketaatan, sebagaimana riwayat Muslim di atas, tidak relevan untuk diberlakukan. Sebab, baiat dalam hadits tersebut hanya berlaku untuk Khalifah kaum Muslim.
Make dari itu, apa yang dinyatakan dalam konstitusi Kerajaan Saudi itu hanya klaim penuh dusta dan penyesatan untuk menutupi pengkhianatan kerajaan ini kepada Allah, Rasul-Nya dan seluruh kaum Muslim. Inilah yang membuat kaum Muslim di sana marah dan menuntut adanya perubahan. Karena itu, tuntutan untuk melakukan perubahan yang diwujudkan dengan unjuk rasa adalah tuntutan yang sah karena justru Rasul saw. Telah bersabda:
“Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin 'Abd al-Muthallib serta seseorang yang mendatangi seorang imam yang zalim, kemudian memerintah imam itu (pada kemakrufan) dan mencegah dirinya (dari kemungkaran), lalu imam itu pun membunuh dia."
Keempat: puja-puji untuk KSA sebagai khadim al-Haramain (pelayan dua Tanah Suci, Makkah - Madinah), khususnya Masjid al-Haram, karena merupakan kiblat kaum Muslim yang merupakan kemuliaan bagi KSA, sebenarnya justru bertentangan dengan fakta. Di Masjid al Haram tidak boleh ada imam/khatib menyampaikan khutbah, hatta doa yang berisi nasihat, apalagi kritik untuk KSA. Di masjid yang mulia ini tidak boleh ada ulama dari mazhab lain mengajarkan ilmunya, kecuali mazhab Wahabi. Ini berbeda dengan zaman Khilafah dulu saat Imam Syafii, Hanafi, Malik dan Ahmad maupun, imam mazhab lain bisa dengan leluasa mengajarkan ilmunya di masjid mulia ini. KSA juga tidak becus mengurus jamaah haji yang merupakan tamu-tamu Allah. Bahkan KSA menjadikan haji sebagai bisnis tahunan keluarga istana. Semuanya ini bukti, bahwa dalil tentang kemuliaan Tanah Haram dan masjid al-Haram itu tidak layak diberikan kepada mereka.
Kelima: fatwa yang mengutip nas-nas tentang mitsaq yang diambil oleh Allah dari para ulama untuk menyampaikan isi al-Quran (QS Ali 'Imran [3]: 187) dan tidak menyembunyikannya (QS al-Baqarah [2]: 159) seharusnya membuat para mufti itu malu. Sebab, ayat ini menjadi hujjah yang akan memberatkan mereka di hadapan Allah, karena mereka tidak pernah menyampaikan muhasabah dan kritik, kepada raja/penguasa mereka, bahkan menutupi ayat-ayat tentang kewajiban menegakkan Islam secara kaffah di bawah naungan Khilafah. Namun sayangnya, mereka tidak pernah mempunyai rasa malu baik kepada Allah, Rasul-Nya maupun umat Islam. justru mereka terus-menerus menjadi stempel kekuasaan despot, yang menjadi kaki tangan negara-negara penjajah.
Keenam, tentang alasan fitnah dan mafsadat, sebenarnya ini bukan dalil syariah. Karena itu, alasan fitnah maupun mafsadat untuk mengharamkan unjuk rasa tidak ada nilainya di dalam syariah. Sebaliknya, justru adanya KSA dengan segala atributnya, termasuk khadim al-Haramain, telah menjadi fitnah bagi kaum Muslim, yang menyesatkan umat dari kewajibannya untuk menegakkan Islam secara kaffah di bawah naungan Khilafah. KSA sering diklaim sebagai negara Islam yang berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah sehingga baik rakyat Saudi maupun yang lain dininabobokkan seolah sudah ada negara Islam, yaitu KSA. Selain itu, ini juga menjadi mafsadat bagi Islam dan kaum Muslim, karena citra Islam justru diperburuk dengan prilaku KSA dan rakyatnya, termasuk Islam yang mereka praktikkan, yang tidak mencerminkan kemuliaan Islam.
Referensi :
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath at-Bari Syarh Shahih al Bukhari, Dar al-Fikr, Beirut, cet, 1993. IX/547.
An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Kitab al-janaiz, Dar al Fikr, Beirut, 1995, VII/ 32: Ibn Sa'ad, Atht-Thabaqat al Kubra, Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, Beirut, 1997, III/135.
Perjanjian Sykes Picot, pasal 10. Dr. Maufaq Bani Marjeh, Shahwah ar-Rajul al-Marid, Dar al-Bayariq, Beirut, cet. VIII, 1996,
Mahmud al-Khalidi, Al-Bai'ah fi al-Fikr as-Siyasi al-Islami, Muassasah ar-Risalah, 'Amman-Yordania, cet I, 1985
HR al-Hakim, Al-Mustadrak 'ala as-Shahihain, Dar al Kutub al-'Ilmiyyah, Beirut, cet, 1990, III/214.
Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Dar al-Ummah, Beirut, cet III, 2005, III/372.
Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nidzam al-ljma'i. Dar al-Urnmah, Beirut, cet IV, 2003, hlm. 69-70.
0 komentar:
Posting Komentar