Beban hidup rakyat dipastikan semakin bertambah berat dengan keluarnya kebijakan pemerintah tentang pembatasan BBM bersubsidi, ataupun pengurangan subsidi BBM (kenaikan harga BBM). Sebab, kebijakan ini dipastikan akan disusul oleh kenaikan harga kebutuhan pokok, barang, dan jasa yang berarti meningkatnya biaya dan beban hidup rakyat. Padahal, sebelumnya, rakyat sudah menanggung beban berat akibat privatisasi PSO (public service obligation) yang telah merambah pada pelayanan public dasar, seperti air, listrik, kesehatan, dan pendidikan. Ironisnya lagi, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi -yang ujungnya adalah pencabutan subsidi BBM secara total- bukanlah kebijakan yang lahir dari aspirasi rakyat, akan tetapi lahir akibat adanya campur tangan dan intervensi asing. Atas dasar itu, kebijakan ini tidak hanya mendzalimi rakyat, lebih dari itu, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi telah membuka jalan bagi asing untuk menguasai sepenuhnya sector energy di Indonesia.
Lantas, bagaimana pandangan syariat Islam terhadap kebijakan pembatasan BBM bersubsidi atau kenaikan harga BBM?
Pembatasan BBM Bersubsidi atau Kenaikan Harga BBM: Haram
Jika diteliti secara jernih dan mendalam, dapatlah disimpulkan bahwa hukum pembatasan BBM bersubsidi dan kenaikan harga BBM adalah haram. Adapun alasan keharaman dua opsi kebijakan itu adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan Tersebut Adalah Turunan Dari Kebijakan Haram Privatisasi
Pada dasarnya, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi maupun kenaikan harga BBM merupakan akibat dari kebijakan privatisasi dan liberalisasi tambang minyak dan gas bumi yang diharamkan syariat Islam. Pasalnya, tambang minyak dan gas bumi termasuk dalam kategori kepemilikan umum (collective property)yang dari sisi kepemilikan tidak boleh diserahkan kepada individu, atau hanya bisa diakses oleh individu-individu tertentu. Negara dilarang menyerahkan atau menguasakan harta milik umum kepada seseorang atau perusahaan swasta. Negara juga dilarang memberikan hak istimewa bagi individu atau perusahaan swasta untuk mengeksploitasi, mengolah, dan memonopoli pendistribusiaannya. Ketentuan ini didasarkan pada alasan-alasan berikut ini.
Pertama, Nabi saw menarik kembali tambang garam yang diberikannya kepada Abyad bin Hamal, setelah beliau mengetahui depositnya melimpah ruah bagaikan air mengalir. Imam Abu Dawud menuturkan sebuah hadits dari Ibnu al-Mutawakkil bin ‘Abd al-Madaan, dari Abyad bin Hamal ra, bahwasanya ia berkata:
أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ قَالَ ابْنُ الْمُتَوَكِّلِ الَّذِي بِمَأْرِبَ فَقَطَعَهُ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ قَالَ فَانْتَزَعَ مِنْهُ
“Sesungguhnya, Abyad bin Hamal mendatangi Rasulullah saw, dan meminta beliau saw agar memberikan tambang garam kepadanya. Ibnu al-Mutawakkil berkata,”Yakni tambang garam yang ada di daerah Ma’rib.” Nabi saw pun memberikan tambang itu kepadanya. Ketika, Abyad bin Hamal ra telah pergi, ada seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukan Anda, apa yang telah Anda berikat kepadanya?Sesungguhnya, Anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa’ al-‘idd)”. Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah saw mencabut kembali pemberian tambang garam itu darinya (Abyad bin Hamal)”.[HR. Imam Abu Dawud]
Imam Abu Dawud juga menuturkan sebuat riwayat dari Mohammad bin Yahya bin Qais al-Ma’rabiy dari Abyad bin Hammal ra, bahwasanya dia berkata;
أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَقْطَعَهُ الْمِلْحَ ، فَلَمَّا أَدْبَرَ ، قَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَتَدْرِي مَا أَقْطَعْتَهُ ، إِنَّمَا أَقْطَعْتَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ ، قَالَ : فَرَجَعَ فِيهِ
“Sesungguhnya Abyad bin Hammal ra berkunjung kepada Nabi saw, dan Rasulullah saw memberinya tambang garam. Ketika Abyad bin Hammal telah pergi, seorang laki-laki berkata, “Ya Rasulullah, tahukah Anda apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya Anda telah memberinya sesuatu seperti air mengalir”. Abyad bin Hammal berkata, “Rasulullah saw menarik kembali pemberian itu”. [HR. Imam Abu Dawud]
Hadits di atas menjelaskan bahwasanya tambang yang depositnya melimpah tidak boleh dialihkan kepemilikannya kepada individu atau swasta. Seandainya tidak ada larangan dalam masalah ini, niscaya Rasulullah saw tidak menarik kembali apa yang telah diberikannya kepada orang lain. Sebab, dalam hadits lain, Rasulullah saw melarang seseorang untuk menarik kembali barang yang telah diberikan kepada orang lain, kecuali pemberian orang tua kepada anaknya.
Imam Bukhari menuturkan sebuah hadits bahwasanya Nabi saw bersabda:
عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ لَنَا مَثَلُ السَّوْءِ الَّذِي يَعُودُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَرْجِعُ فِي قَيْئِهِ
“Dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas ra, bahwasanya ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada bagi kami perumpamaan yang lebih buruk bagi orang yang menarik kembali hadiahnya, seperti anjing yang menjilat muntahannya kembali“.[HR. Imam Bukhari]
Dari Ibn ‘Umar dan Ibn ‘Abbas bahwa Rasulullah saw bersabda:
لايحل لرجل أن يعطي عطية أو يهب هبة فيرجع فيها إلا الوالد فيما يعطي ولده ومثل الذي يعطي العطية ثم يرجع فيها كمثل الكلب يأكل فإذا شبع قاء ثم عاد في قيئه “
“Tidak halal bagi seseorang memberikan suatu pemberian, kemudian dia mengambil kembali pemberiannya, kecuali apa yang diberikan orang tua kepada anaknya. Perumpamaan orang yang memberikan suatu pemberian lalu menarik kembali pemberiannya bagaikan anjing yang makan, setelah kenyang ia muntah, kemudian memakan muntahannya kembali”. [HR Abu Dawud, al-Nasa'i, Ibn Majah, dan al-Tirmidziy]
Dalam hadits di atas, Rasulullah saw menyebut ‘tidak halal’ perbuatan menarik kembali barang yang telah diberikan kepada orang lain. Rasulullah saw mencela perbuatan tersebut dengan menyamakannya dengan anjing yang memakan kembali makanan yang telah dimuntahkannya. Ini berarti tindakan menarik kembali pemberian yang telah diberikan -sebagaimana dipahami jumhur ulama’– adalah haram, kecuali orang tua terhadap anaknya.
Jika Rasulullah saw melarang menarik kembali barang pemberian, sementara beliau sendiri melakukannya, dan itu dilakukan setelah beliau mengetahui bahwa tambang yang diberikan itu depositnya melimpah (al-maa`u al-‘iddu), maka semua itu menunjukkan bahwa benda tersebut tidak boleh dimiliki secara pribadi. Jika sudah terlanjur dimiliki, negara harus menariknya kembali. Sebab, orang tersebut telah menguasai suatu benda yang oleh syariat dikategorikan sebagai milik bersama.
Larangan tersebut tidak terbatas pada tambang garam saja. Sebab yang menjadi ‘illat tidak diperbolehkannya tambang garam dimiliki secara pribadi adalah karena jumlahnya yang berlimpah (al-maa’u al-’iddu). Jika pelarangan itu ditujukan kepada dzat garamnya, tentu Rasulullah saw sejak awal menolak permintaan Abyad bin Hamal untuk memiliki tambang garam. Akan tetapi Rasulullah saw baru melarang tambang garam itu dimiliki secara perorangan, setelah mendapatkan penjelasan dari para sahabat bahwa tambang garam yang beliau berikan itu bagaikan air yang tak terbatas. Cakupan tambang itu bersifat umum, meliputi setiap barang tambang apa pun jenisnya tatkala jumlah (depositnya) sangat banyak atau tidak terbatas.
Kedua, kaum Muslim memiliki hak, andil, dan bagian yang sama terhadaptambang minyak dan gas bumi. Menguasakan atau memberi hak istimewa kepada individu atau perusahaan swasta untuk mengolah dan mendistribusikannya sama artinya telah merampas hak, andil, dan kesetaraan pihak lain. Imam Ahmad dan Imam Abu Dawud, Imam An Nasaaiy, dan lain-lain, menuturkan sebuah hadits bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
الناس شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ
“Manusia itu berserikat (bersama-sama memiliki) dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api”. [HR Ahmad, Abu Dawud, An Nasaaiy, dll).
Dalam hadits yang diriwayatkan Ibn Majah dari Ibn Abbas ada tambahan,"Dan harganya haram":
المسلمون شركاء في ثلاث في الماء والكلأ و النار وثمنه حرام
"Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal; air, padang rumput, dan api, dan harganya haram".[HR. Imam Ibnu Majah]
Dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa kaum Muslim berserikat terhadap tiga jenis barang, yakni air, padang rumput, dan api. Kata al-syuraka’ merupakan bentuk jamak dari kata al-syarik, berasal dari kata al-syirkah atau al-musyarakah yang berarti khilt [al-milkayn (campuran dua kepemilikan) atau sesuatu yang dimiliki oleh dua orang atau lebih]. Imam Ibnu Mandzur dalam Kitab Lisaan al-’Arab menyatakan:
الشِّرْكَةُ والشَّرِكة سواء مخالطة الشريكين يقال اشترَكنا بمعنى تَشارَكنا وقد اشترك الرجلان وتَشارَكا وشارَك أَحدُهما الآخر …وروي عن النبي صلى الله عليه وسلم أَنه قال الناسُ شُرَكاء في ثلاث الكَلإ والماء والنار قال أَبو منصور ومعنى النار الحَطَبُ الذي يُستوقد به فيقلع من عَفْوِ البلاد وكذلك الماء الذي يَنْبُع والكلأُ الذي مَنْبته غير مملوك والناس فيه مُسْتَوُون
“Asy-Syirkah wa al-Syarikah sama saja, yakni mukhaalithah al-syarikain (bercampurnya dua peserikat). Dikatakan, “Isytaraknaa (kami berserikat), maknanya adalah “tasyaaraknaa (kami saling berserikat).Wa qad isytaraka al-rajulaan (dua orang laki-laki berserikat), artinya adalah tasyaaraka (keduanya saling berserikat), dan satu dengan yang lain saling berserikat…Diriwayatkan dari Nabi saw bahwasanya beliau bersabda, “Manusia saling berserikat dalam tiga hal, padang rumput, air, dan api. Abu Manshur berkata, “Makna al-naar (api) adalah kayu yang digunakan untuk membakar dan ditebang dari tempat yang jauh. Demikian juga air yang berasal dari mata air, dan padang rumput yang tumbuh yang tidak ada pemiliknya, maka, seluruh manusia memiliki hak yang sama di dalamnya..[Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-‘Arab, juz 10/448]
Kata “al-syurakaa’” dengan makna “bercampurnya kepemilikan, juga disitir di dalam Al-Quran. Allah SWT berfirman:
فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ﴿١٢﴾
“Jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya“. [TQS An Nisaa' (4): 12]
Imam al-Baidlawiy menafsirkan frase [Fahum shuraka' fi tsuluts'] dengan:
{ فَلِكُلّ واحد مّنْهُمَا السدس فَإِن كَانُواْ أَكْثَرَ مِن ذلك فَهُمْ شُرَكَاء فِي الثلث } سوى بين الذكر والأنثى في القسمة
“[Falikulli waahid minhumaa al-sudus fain kaanuu aktsara min dzaalik fahum syurakaa` fi al-tsuluts]: disamakan antara laki-laki dan wanita dalam bagian (perolehan)..”[Imam al-Baidlawiy, Anwaar al-Tanziil wa Asraar al-Ta`wiil, juz 1/435]
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa makna “syurakaa`” adalah sama-sama memiliki bagian dan andil yang sama. Tidak disebut “perserikatan” (syurakaa’) jika orang-orang yang berserikat dalam sebuah perserikatan tidak memiliki kesamaan dan kesetaraan dengan pihak lain dalam urusan yang diperserikatkan.
Walhasil, jika dinyatakan ‘al-muslimun syuraka’ fi tsalats‘, berarti seluruh kaum Muslim sama-sama memiliki hak, andil, dan bagian yang sama dalam tiga jenis benda yang disebutkan dalam hadits di atas, yakni: air, padang rumput, dan api. Tidak boleh ada yang dilebihkan atau diistimewakan antara satu dengan yang lain dalam hal kepemilikan dan pemanfaatan tiga barang tersebut. Kesamaan dan kesetaraan dalam tiga barang ini tentu saja tidak akan pernah bisa diwujudkan jika benda itu menjadi milik pribadi. Sebab, ketika tiga barang itu dimiliki secara pribadi, niscaya akan menghalangi orang lain untuk memanfaatkannya. Selain itu, redaksi ‘dan harganya haram’ dalam riwayat Ibn Majah menunjukkan bahwa ketiga jenis benda tersebut tidak boleh diperjualbelikan.
Ketiga, di dalam kitab-kitab fikih mu’tabar, para ulama juga sepakat mengenai larangan menjual kelebihan air (fadllu al-maa`). Ketentuan ini didasarkan pada hadits yang dituturkan dari Iyas bin ‘Abd, bahwasanya ia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ فَضْلِ الْمَاءِ
“Sesungguhnya Nabi saw melarang menjual kelebihan air.” [HR Lima kecuali Ibn Majah dan disahihkan al-Tirmidziy]. Di dalam riwayat lain, dituturkan dari Jabir ra, bahwasanya ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ فَضْلِ الْمَاءِ
“Rasulullah saw melarang menjual kelebihan air”.[HR. Imam Muslim dan lain-lain]
Imam al-Qusyairiy menyatakan bahwa hadits riwayat dari Iyas bin ‘Abd adalah hadits yang memenuhi syarat Imam Bukhari dan Muslim. Sedangkan hadits Jabir ra juga dituturkan dalam Shahih Muslim, yang lafadznya sama dengan hadits riwayat Iyas bin ‘Abd ra.
Menurut Imam Asy Syaukaniy, hadits ini menunjukkan haramnya menjual kelebihan air, yakni kelebihan dari kecukupan (kebutuhan) orang yang memiliki. Tidak ada perbedaan apakah air itu berada di tanah mubah atau tanah yang sudah dimiliki (secara individu), untuk diminum atau lainnya, untuk keperluan ternak atau menyirami kebun, dalam bepergian atau tidak. Di dalam Kitab Nail al-Authar, Imam Asy Syaukaniy menyatakan:
وَالْحَدِيثَانِ يَدُلَّانِ عَلَى تَحْرِيمِ بَيْعِ فَضْلِ الْمَاءِ وَهُوَ الْفَاضِلُ عَنْ كِفَايَةِ صَاحِبِهِ . وَالظَّاهِرُ أَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ الْمَاءِ الْكَائِنِ فِي أَرْضٍ مُبَاحَةٍ أَوْ فِي أَرْضٍ مَمْلُوكَةٍ ، َسَوَاءٌ كَانَ لِلشُّرْبِ أَوْ لِغَيْرِهِ ، وَسَوَاءٌ كَانَ لِحَاجَةِ الْمَاشِيَةِ أَوْ الزَّرْعِ ، وَسَوَاءٌ كَانَ فِي فَلَاةٍ أَوْ فِي غَيْرِهَا .
“Dua hadits di atas menunjukkan haramnya menjual kelebihan air. Yakni, kelebihan air dari kecukupan pemiliknya. Dzahir hadits tersebut menunjukkan tidak ada perbedaan antara air yang terdapat di tanah yang mubah, atau tanah yang telah dimiliki; dan sama saja apakah air itu untuk minum, atau untuk yang lainnya, dan sama saja apakah air itu untuk (memenuhi) kebutuhan hewan gembalaan atau untuk pertanian, dan sama saja apakah ada di dataran, atau tempat lain”. [Imam Asy Syaukani, Nail al-Authar, juz 8/183]
Imam An Nawawiy dalam Kitab Syarah Shahih Muslim menyatakan:
قَوْله ( نَهَى رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْع فَضْل الْمَاء ) وَفِي رِوَايَة : ( عَنْ بَيْع ضِرَاب الْجَمَل ، وَعَنْ بَيْع الْمَاء وَالْأَرْض لِتُحْرَث ) ، وَفِي رِوَايَة : ( لَا يُمْنَع فَضْل الْمَاء لِيُمْنَع بِهِ الْكَلَأ ) ، وَفِي رِوَايَة ( لَا تُبَاع فَضْل الْمَاء لِيُبَاعَ بِهِ الْكَلَأ ) أَمَّا النَّهْي عَنْ بَيْع فَضْل الْمَاء لِيُمْنَع بِهَا الْكَلَأ فَمَعْنَاهُ أَنْ تَكُون لِإِنْسَانٍ بِئْر مَمْلُوكَة لَهُ بِالْفَلَاةِ ، وَفِيهَا مَاء فَاضِل عَنْ حَاجَته ، وَيَكُون هُنَاكَ كَلَأ لَيْسَ عِنْده مَاء إِلَّا هَذِهِ ، فَلَا يُمْكِن أَصْحَاب الْمَوَاشِي رَعْيه إِلَّا إِذَا حَصَلَ لَهُمْ السَّقْي مِنْ هَذِهِ الْبِئْر فَيَحْرُم عَلَيْهِ مَنْع فَضْل هَذَا الْمَاء لِلْمَاشِيَةِ ، وَيَجِب بَذْله لَهَا بِلَا عِوَض ، لِأَنَّهُ إِذَا مَنْع بَذْله اِمْتَنَعَ النَّاس مِنْ رَعْي ذَلِكَ الْكَلَأ خَوْفًا عَلَى مَوَاشِيهمْ مِنْ الْعَطَش ، وَيَكُون بِمَنْعِهِ الْمَاء مَانِعًا مِنْ رَعْي الْكَلَأ . وَأَمَّا الرِّوَايَة الْأُولَى : ( نَهَى عَنْ بَيْع فَضْل الْمَاء ) ، فَهِيَ مَحْمُولَة عَلَى هَذِهِ الثَّانِيَة الَّتِي فِيهَا لِيَمْنَع بِهِ الْكَلَأ ، وَيُحْتَمَل أَنَّهُ فِي غَيْره ، وَيَكُون نَهْي تَنْزِيه . قَالَ أَصْحَابنَا : يَجِب بَذْل فَضْل الْمَاء بِالْفَلَاةِ كَمَا ذَكَرْنَاهُ بِشُرُوطٍ : أَحَدهَا أَنْ لَا يَكُون مَاء آخَر يُسْتَغْنَى بِهِ
“Adapun perkataannya (nahaa Rasulullah saw ‘an bai’ fadll al-maa`/Rasulullah saw melarang menjual kelebihan air) dan dalam riwayat lain (‘an bai` dliraab al-jamal, wa ‘an bai` al-ardl lituhrats/Rasul saw melarang mengambil upah dari penaburan benih (sperma ) onta, dan Rasul menyewakan tanah untuk pertanian), dan dalam riwayat lain disebutkan (laa yumnaa` fadlu al-maa` liyumna` bihi al-kalaa`/janganlah ditahan kelebihan air hingga padang rumput tercegah (untuk mendapatkan) kelebihan air tersebut), dan dalam riwayat lain (laa tubaa` fadll al-maa` liyubaa` bihi al-kalaa`/janganlah dijual kelebihan air untuk pengairan padang rumput). Adapun larangan menjual kelebihan air sehingga padang rumput tercegah untuk mendapatkan kelebihan air tersebut, maknanya adalah ada seseorang memiliki sumur yang dimilikinya di sebuah dataran. Di dalam sumur itu ada air berlebih dari (kadar) kebutuhannya, dan di dekatnya ada padang rumput yang tidak ada air (untuk mengairinya) kecuali air tersebut; sehingga pemilik ternak tidak mungkin mengembalakan ternaknya kecuali ada bagi mereka pengairan dari sumur tersebut. Pemilik sumur itu dilarang menahan kelebihan air untuk hewan ternak.Kelebihan air itu wajib disedekahkan untuk ternak tanpa kompensasi. Sebab, jika ia melarang mendermakan kelebihan air miliknya, maka orang-orang akan tercegah untuk mengembalakan ternak mereka di padang rumput tersebut, karena takut ternak-ternak mereka akan kehausan. Atas dasar itu, pencegahan dirinya untuk mendermakan kelebihan air itu, akan mencegah gembalaan di padang rumput. Adapun riwayat pertama (nahaa ‘an bai` fadll al-maa`) bisa dibawa kepada dua pengertian, yakni karena alasan menahan kelebihan air itu untuk mengairi padang rumput, dan bisa juga dibawa kea rah pengertian pada selain padang rumput. Dan larang tersebut menjadi nahyu tanziih. Para ulama madzhab kami berpendapat: wajib mendermakan kelebihan air yang ada di dataran dengan syarat, sebagaimana kami telah sebutkan, (pertama): tidak ada sumber air lain yang bisa mencukupi; (kedua): (kewajiban mendermakan kelebihan air itu) untuk kebutuhan binatang ternak, bukan untuk mengairi pertanian.; (ketiga), pemilik sumur itu tidak membutuhkan kelebihan air tersebut. [Imam An Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz 5/414]
Adapun qarinah yang menunjukkan bahwa larangan menjual kelebihan air adalah larangan yang bersifat pasti (jaazim), sehingga berimplikasi pada hukum haram, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya, dari Nabi saw, bahwasanya beliau saw bersabda:
مَن ْمَنَعَ فَضْلَ الْمَاءِ لِيَمْنَعَ بِهِ فَضْلَ الْكَلَإِ مَنَعَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَضْلَهُ
“Barang siapa menghalangi (orang lain untuk mengambil atau memanfaatkan) kelebihan air atau kelebihan padang rumputnya, maka Allah Azza wa Jalla akan menghalangi keutamaanNya kepada dia pada hari kiamat“.[HR. Imam Ahmad]
Hadits-hadits yang menuturkan tentang larangan menjual kelebihan air, menunjukkan bahwa seorang Muslim dilarang mencegah orang lain untuk mengakses barang-barang yang sudah menjadi hajat hidup orang banyak, yang mana pencegahan itu bisa menimbulkan madlarrah bagi kehidupan masyarakat. Dari sinilah dapat dipahami bahwa mengalihkan harta kepemilikan umum kepada individu atau perusahaan swasta yang menyebabkan masyarakat tidak mampu mengakses harta kepemilikan tersebut adalah tindakan haram.
Keempat, larangan memindahkan kepemilikan umum kepada individu atau swasta juga ditunjukkan oleh hadits-hadits yang berbicara tentang kepemilikan umum atas harta benda yang secara tabiat pembentukannya menghalangi dimiliki secara pribadi. Dari ‘Aisyah ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
مِنًى مُنَاخُ مَنْ سَبَقَ
“Kota Mina menjadi tempat mukim siapa saja yang lebih dahulu sampai di sana“. [HR Imam Tirmidziy, Ibn Majah, dan al-Hakim dari ‘Aisyah ra].
Hadits tersebut menyatakan bahwa Mina dapat ditinggali siapa pun yang terlebih dahulu datang. Ketentuan hadits ini menunjukkan bahwasanya seluruh kaum Muslim memiliki hak yang sama atas kota Mina. Pasalnya, jika Mina menjadi milik individu, niscaya orang yang datang terlebih dahulu tidak berhak mendiami Mina .
Inilah sebagian argumentasi yang menunjukkan haramnya melakukan privatisasi barang-barang milik umum (milkiyyah al-’aamah), serta kebijakan-kebijakan yang menginduk kepadanya, semacam kebijakan pembatasan BBM bersubsidi.
2. Kebijakan Pembatasan BBM Bersubsidi Maupun Kenaikan Harga BBM Menjadi Jalan Bagi Orang Kafir Menguasai Kaum Muslim.
Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi maupun kenaikan harga BBM akan membuka jalan selebar-lebarnya bagi asing untuk menguasai kekayaan bangsa ini. Sebab, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi maupun kenaikan harga BBM tidak saja menguntungkan korporasi-korporasi minyak asing, lebih dari itu, kebijakan ini semakin menguatkan eksistensi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia. Tidak terhenti di situ saja, dengan terkuasainya migas oleh perusahaan-perusahaan asing, orang-orang kafir barat memiliki kekuatan yang sangat besar untuk mendominasi dan mengintervensi kebijakan-kebijakan ekonomi maupun politik pemerintah. Keadaan seperti ini tentu saja bertentangan dengan syariat Islam. Sebab, syariat Islam telah melarang kaum Muslim memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai kaum Muslim. Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah swt:
وَلَنْ َجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“dan sekali-kali Allah tidak akan pernah menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum Mukmin”.[TQS An Nisaa` (4):141]
Imam Asy Syaukani dalam Kitab Fath al-Qadir menafsirkan frase [wa lan yaj'al al-Allah li al-Kaafiriin ‘ala al-Mu`miniin sabiila] sebagai berikut:
{ وَلَن يَجْعَلَ الله للكافرين عَلَى المؤمنين سَبِيلاً } ، هذا في يوم القيامة إذا كان المراد بالسبيل : النصر والغلب ، أو في الدنيا إن كان المراد به الحجة . قال ابن عطية : قال جميع أهل التأويل : إن المراد بذلك يوم القيامة . قال ابن العربي : وهذا ضعيف لعدم فائدة الخبر فيه ، وسببه توهم من توهم أن آخر الكلام يرجع إلى أوّله يعني قوله : { فالله يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ القيامة } وذلك يسقط فائدته ، إذ يكون تكرار هذا معنى كلامه وقيل المعنى : إن الله لا يجعل للكافرين سبيلاً على المؤمنين يمحو به دولتهم ، ويذهب آثارهم ، ويستبيح بيضتهم ، كما يفيده الحديث الثابت في الصحيح « وألا أسلط عليهم عدواً من سوى أنفسهم ، فيستبيح بيضتهم ، ولو اجتمع عليهم من بأقطارها حتى يكون بعضهم يهلك بعضاً ، ويسبي بعضهم بعضاً » وقيل إنه سبحانه لا يجعل للكافرين سبيلاً على المؤمنين ما داموا عاملين بالحق غير راضين بالباطل ، ولا تاركين للنهي عن المنكر ، كما قال تعالى : { وَمَا أصابكم مّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ } [ الشورى : 30 ] قال ابن العربي : وهذا نفيس جداً . وقيل : إن الله لا يجعل للكافرين على المؤمنين سبيلا شرعاً ، فإن وجد ، فبخلاف الشرع . هذا خلاصة ما قاله أهل العلم في هذه الآية ، وهي صالحة للاحتجاج بها على كثير من المسائل .
“Ayat ini berlaku di hari kiamat jika yang dimaksud dengan al-sabiil adalah al-nashr (pertolongan) dan al-ghalb (kemenangan); atau berlaku di dunia jika yang dimaksud dengan al-sabiil adalah al-hujjah (argumentasi).Ibnu ‘Athiyah berkata, “Seluruh ulama ahli tafsir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hal itu adalah hari kiamat”.Ibnu al-‘Arabiy berkata, “Penafsiran seperti itu lemah dikarenakan tidak adanya faedah dari khabar tersebut”. Sebabnya, orang menyangka bahwa kalimat yang terakhir dikembalikan kepada kalimat awalnya, yakni firman Allah swt [wallahu yahkumu bainahum yauma al-qiyaamah], dan hal ini telah melenyapkan faedah kalimat tersebut. Sebab, (penafsiran seperti itu) mengulang-ulang makna dari kalamNya. Dinyatakan pula bahwa makna ayat tersebut adalah: sesungguhnya Allah swt tidak akan pernah menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menghapuskan negara kaum Muslim, melenyapkan pengaruh mereka, dan merusak kesucian mereka; sebagaimana makna yang tersebut dalam sebuah hadits shahih, “Dan tak ada seorang musuh pun dari selain kaum Muslim yang mampu mengalahkan kaum Muslim, dan merusak kesucian mereka, walaupun seluruh manusia bersatu untuk mengalahkan mereka, hingga mereka saling memerangi satu dengan yang lain, dan mencela satu dengan yang lain”. Dan ada pula yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah tidak menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum Mukmin selama kaum Mukmin masih menjalankan kebenaran dan tidak ridlo dengan kebathilan, dan tidak meninggalkan aktivitas mencegah dari kemungkaran; sebagaimana Allah swt berfirman, “Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri”.[TQS Asy Syura (42):30]. Ibnu al-‘Arabiy menyatakan, “Dan penafsiran ini sangatlah bagus”.Dan ada pula yang menyatakan, “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum Mukmin secara syar’iy. Jika terjadi –(kaum Mukmin dikuasai oleh kaum kafir), maka keadaan itu bertentangan dengan syariat. Inilah ringkasan pendapat yang dinyatakan oleh ahli ilmu mengenai ayat ini. Dan ayat ini layak dijadikan hujjah untuk banyak masalah”.[Imam Asy Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 2/321-322]
Makna yang paling tepat adalah; secara syar’iy kaum Muslim diharamkan dikuasai oleh kaum kafir.Pasalnya, realitas menunjukkan bahwasanya kaum Muslim pernah dikuasai dan dikalahkan oleh kaum kafir; seperti kekalahan kaum Muslim dari bangsa Tartar, pasukan Salib, dan negara-negara imperialis barat.Untuk itu, penafian yang terdapat di dalam ayat di atas harus dibawa ke arah penafian hukum, bukan penafian atas realitasnya.Kesimpulan seperti ini didapatkan dengan mengkaji dalalah yang terkandung pada ayat tersebut. Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani rahimahullah ketika memberi contoh tentang dalaalah al-iqtidla’, menyatakan:
ومثله أيضاً قوله تعالى: (ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلاً)، فإن وجود سبيل للكافرين على المؤمنين قد تحقق، فقد وُجد ذلك في أيام الرسول في مكة إذ كان فيها المسلمون تحت حكم الكفار، ووُجد ذلك بعد أيام الرسول صلى الله عليه وسلم، فإن بلاد الأندلس قد كان فيها المسلمون تحت حكم الكفار، وهو كذلك موجود اليوم. فنفْي أن يكون للكافرين على المؤمنين سبيل بلفظ (لن) المفيدة للتأبيد ممتنع لتحقق وقوعه، فلا بد أن يكون نفياً لحكم يمكن نفيه وهو نفي الجواز، أي يحرم أن يكون للكافرين على المؤمنين سبيل. فهذا مما يقتضيه الشرع لضرورة صدق الخبر.
“Contoh yang lain adalah firman Allah swt [wa lan yaj'al al-Allahu li al-kaafiriin ‘ala al-Mukminiin sabiila]. Sesungguhnya, adanya jalan bagi kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin kadang-kadang terjadi secara factual. Hal itu pernah terjadi pada masa Rasulullah saw di Mekah, karena kaum Muslim yang hidup di sana dikuasai oleh pemerintahan kaum kafir. Hal itu juga terjadi pada masa sesudah Nabi saw. Negeri Andalusia di mana kaum Muslim hidup di dalamnya telah dikuasai oleh pemerintahan orang-orang kafir, dan hal itu juga terjadi pada masa sekarang . Penafian adanya jalan bagi kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin dengan lafadz “lan” yang berfaedah pada “penafian yang bersifat abadi (selama-lamanya)” untuk mencegah terjadinya hal tersebut. Oleh karena itu, penafian tersebut harus diarahkan pada penafian hukum, yakni penafian terhadap perkara yang boleh (nafiy al-jawaaz).Artinya, diharamkan adanya jalan bagi orang kafir menguasai kaum Mukmin. Hal ini termasuk perkara yang menjadi konsekuensi logis (dari) syariat untuk menjamin kebenaran sebuah khabar”.[Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, Asy Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 3/183]
Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi yang menjadi derivasi kebijakan privatisasi sector migas telah membuka jalan selebar-lebarnya bagi kaum kafir untuk menguasai kaum Muslim.Oleh karena itu, kebijakan ini harus ditolak untuk membebaskan negeri ini dari penjajahan kaum kafir.
3. Kebijakan Pembatasan BBM Bersubsidi dan Kenaikan Harga BBM adalah Kebijakan Diskriminatif dan Mendzalimi Rakyat
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi -yang ujung-ujungnya adalah pencabutan subsidi secara menyeluruh– jelas-jelas akan menambah beban hidup rakyat. Padahal, sebelumnya rakyat sudah harus menanggung beban berat akibat kebijakan privatisasi yang telah merambah pada sektor pelayanan public (public service obligation), seperti pendidikan, kesehatan, kelistrikan, air, dan pelayanan publik lainnya.Atas dasar itu, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi yang jelas-jelas memberatkan rakyat adalah haram. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw:
وَمَنْ يُشَاقِقْ يَشْقُقْ اللَّهُ عَلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa menyempitkan (urusan orang lain), niscaya Allah akan menyempitkan urusannya kelak di hari kiamat“.[HR. Imam Bukhari]
Dituturkan dari Ummul Mukminiin ‘Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah berdoa:
اللَّهُمَّ مَن ْوَلِيَ مِنْ أَمْرِأُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِن أَمْرِأُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِم ْفَارْفُقْ بِهِ
“Yaa Allah, barangsiapa memiliki hak mengatur suatu urusan umatku, lalu ia menyempitkan mereka, maka sempitkanlah dirinya; dan barangsiapa memiliki hak untuk mengatur suatu urusan umatku, lalu ia memperlakukan mereka dengan baik, maka perlakukanlah dirinya dengan baik“.[HR. Imam Ahmad dan Imam Muslim]
Imam An Nawawiy, dalam Syarah Shahih Muslim, mengomentari hadits ini sebagai berikut:
هَذَا مِنْ أَبْلَغ الزَّوَاجِرعَنْ الْمَشَقَّة عَلَى النَّاس، وَأَعْظَم الْحَثّ عَلَى الرِّفْق بِهِمْ، وَقَدْ تَظَاهَرَتْ الْأَحَادِيث بِهَذَا الْمَعْنَى .
“Hadits ini berisi pencegahan yang paling jelas dari perbuatan menyempitkan urusan manusia, sekaligus dorongan yang sangat besar untuk berbuat lemah lembut kepada manusia. Hadits-hadits yang semakna dengan hadits ini sangatlah banyak”.[Imam An Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz 6/299]
Selain karena alasan di atas, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi merupakan kebijakan yang diskriminatif. Pasalnya, kebijakan ini akan berakibat pada tertutupnya akses sebagian masyarakat untuk mendapatkan BBM yang murah. Padahal, semua orang memiliki hak, andil, dan bagian yang sama terhadap harta-harta yang termasuk dalam kepemilikan umum, tanpa membedakan lagi perbedaan status social, warna kulit, suku, dan bahasa. Negara berkewajiban mengelola harta kepemilikan umum sesuai dengan syariat Islam hingga semua orang bisa mendapatkan bagian dan akses yang sama. Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi, jelas-jelas akan menutup akses sebagian orang untuk mendapatkan pasokan BBM.
Masalah lain yang sering dilupakan adalah, tidak ada istilah “subsidi pemerintah” dalam perkara-perkara yang menjadi hak seluruh rakyat. Migas adalah hak seluruh kaum Muslim, bukan hanya hak Negara maupun sekelompok orang.Rakyat bukanlah pihak yang wajib dibelaskasihani dengan adanya subsidi.Sebab, rakyat adalah pemilik sejati migas, bukan negara.Hubungan negara dengan rakyat dalam masalah ini bukanlah hubungan antara penjual dan pembeli, maupun hubungan antara si kaya yang memberi subsidi kepada yang miskin.Negara adalah institusi yang ditunjuk oleh syariat untuk mengelola kepemilikan umum agar seluruh kaum Muslim bisa mendapatkan bagian yang setara dalam hal pemanfaatan, akses, dan pembagian.Imam Ahmad menuturkan sebuah hadits dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya, dari Nabi saw, bahwasanya beliau saw bersabda:
مَن ْمَنَعَ فَضْلَ الْمَاءِ لِيَمْنَعَ بِهِ فَضْلَ الْكَلَإِ مَنَعَهُ اللَّه ُيَوْمَ الْقِيَامَةِ فَضْلَهُ
“Barang siapa menghalangi (orang lain untuk mengambil atau memanfaatkan) kelebihan air atau kelebihan padang rumputnya, maka Allah Azza wa Jalla akan menghalangi keutamaanNya kepada dia pada hari kiamat“.[HR. Imam Ahmad]
4. Kebijakan Pembatasan BBM Bersubsidi Maupun Kenaikan Harga BBM Adalah Kebijakan yang Lahir dari Sekulerisme-Liberalisme
Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi maupun kenaikan harga BBM bukanlah kebijakan yang lahir dari Islam, tetapi, lahir dari sekulerisme-liberalisme yang nyata-nyata bertentangan dengan Islam. Padahal, seorang Muslim diwajibkan untuk berbuat di atas dasar Islam, bukan atas dasar paham atau pemikiran lain.
Di dalam hadits shahih, Nabi saw bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُو َرَدٌّ
“Siapa saja yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak atas perintah kami, maka perbuatan itu tertolak“.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Sesungguhnya, sejak negeri ini menerapkan paham demokrasi-sekulerisme; sebagian besar kebijakan public yang diterapkan di negeri ini tegak di atas paham demokrasi-sekuler, bukan Islam. Akibatnya, semua kebijakan yang ada di negeri ini bertentangan dengan Islam, baik dari sisi asas maupun perinciannya. Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi maupun kenaikan harga BBM, dari sisi asasnya adalah kebijakan bathil. Sebab, kebijakan ini lahir dari paham kapitalisme-sekulerisme.Adapun dari sisi perinciannya, telah terbukti bahwa kebijakan ini bertentangan dengan syariat Islam yang mengatur pengelolaan harta kepemilikan umum. Oleh karena itu, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi maupun kenaikan harga BBM jelas-jelas bertentangan dengan aqidah dan syariat Islam.
KESIMPULAN
Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi maupun kebijakan kenaikan harga BBM merupakan salah satu dari sekian banyak kebijakan yang bertentangan dengan syariat Islam dan merugikan rakyat. Masih banyak kebijakan-kebijakan publik lain yang harus disikapi oleh kaum Muslim, wa bil khusus, oleh para alim ulama.
Jika diteliti dan dikaji kembali secara teliti, munculnya kebijakan-kebijakan yang bertentangan dan syariat tersebut disebabkan karena negeri ini menjadikan paham kapitalis-sekuler sebagai asas penyelenggaraan urusan negara; dan menerapkan hukum-hukum kufur buatan barat sebagai aturan untuk mengatur urusan rakyat. Selama asas dan sistem penyelenggaraan negara masih didasarkan pada kapitalisme-sekulerisme, kaum Muslim akan tetapi berada dalam kubangan persoalan. Oleh karena itu, tuntutan kaum Muslim tidak boleh terhenti hanya pada pencabutan kebijakannya saja, akan tetapi, harus diarahkan pada penggantian asas dan sistem yang mendasari penyelenggaraan urusan negara dan rakyat. Wallahu al-Musta’an wa Huwa Waliyu al-Taufiq.[hizbut-tahrir.or.id]