“Islam adalah satu-satunya peradaban yang telah menempatkan kelangsungan hidup Barat dalam keraguan …”
[Samuel P. Huntington, Clash of Civilisation and the Remaking of the World Order]
Kebijakan konvensional saat ini di Washington menegaskan bahwa Amerika harus mengatur dunia terlebih dahulu , jika tidak maka kekacauan akan merajalela, dan Amerika sendiri memiliki kekuatan untuk menetapkan dan menerapkan suatu tatanan global. Negara itu menjaga agar tidak ada negara lain yang memiliki visi, kemauan dan persepsi yang diperlukan untuk memimpin. Visi ini mencakup hak untuk mengartikulasikan prinsip-prinsip yang menentukan tatanan internasional. Doktrin-doktrin ini adalah nilai-nilai Amerika namun nilai-nilai ini harus diterima secara universal. Dalam pandangan mayoritas - jika bukan semuanya - dari para elit politik Amerika, seluruh dunia membutuhkan kepemimpinan Amerika, ini adalah keyakinan dasar yang mereka pegang. Selanjutnya, tanggung jawab tunggal membutuhkan hak prerogatif tunggal; daripada menunggu suatu peristiwa terjadi, para elit Amerika Serikat mendukung suatu sikap aktif.
Namun, ketika berkaitan dengan kekuasaan, Amerika Serikat membebaskan dirinya dari norma-norma yang mengharapkan negara-negara lain untuk mengikutinya. Sebagai contoh, standar ganda yang berkaitan dengan Islam, dukungan yang tak tergoyahkan terhadap Israel untuk melawan bangsa Palestina, prasangka yang berkaitan dengan nuklir Korea Utara yang berlawanan dengan tindakan atas Iran yang non-nuklir, dan penolakannya untuk menandatangani perjanjian NPT (Non-Proliferation Treaty) sejak pemberlakuannya pada tanggal 5 Maret 1970 .
Keunggulan Amerika tidak akan bertahan lama. Fakta yang jelas adalah bahwa pembawa bendera ideologi sistem ekonomi kapitalis, sedang sekarat. Ketika pasar keuangan jatuh, dan memicu resesi di seluruh dunia, tidak seorangpun pakar ekonomi Barat yang bisa menyembunyikan masalah atau penyebab sebenarnya, apalagi mengutarakan suatu solusi yang bisa berjalan. Ketika suatu ide menghasilkan suatu masalah yang tidak bisa diselesaikannya maka ide itu dikatakan mati. Perang terhadap Islam pada saat ini merupakan pengganti Perang Dunia I, II dan III (yang terakhir lebih dikenal sebagai Perang Dingin). Sebuah headline surat kabar New York Times tanggal 21 Jan 1996 memuat berita ‘Bahaya Merah hilang, tapi datanglah Islam’ menghiasi halaman surat kabar itu. Namun, berbeda dengan peristiwa-peristiwa sejarah sebelumnya, Amerika berada dalam posisi yang jauh lebih lemah untuk melakukan Perang Dunia IV yang baru ini- yang disebut oleh George Bush Jr sebagai ‘Perang Melawan Teror’.
Meskipun ada tanda-tanda yang jelas bahwa perang ideologi ini sedang mengarah ke Islam, Amerika membujuk semua negara untuk bergabung dengan perang mereka yang tanpa akhir ini. Pendekatan ini merupakan tanda menurunnya pengaruh Barat - dan pepanjangan kepemimpinan Amerika - hanya karena kepemimpinan memerlukan suatu arah yang bisa memobilisasi negara lain, sementara kekuasaan yang dilakukan demi dominasi hanya berfungsi untuk menundukkan pihak sekutu yang enggan mengikuti kemauan sebuah negara dengan kekerasan. Saat ini, Amerika telah mengerahkan peralatan militer berpresisi tinggi pada arsenalnya, yang diperlukan untuk menghadapi musuh yang setara, namun kita mungkin lupa bahwa hal itu hanyalah memerangi sekelompok kecil orang Islam, bahkan bukan melawan musuh yang setara. “Barat menundukkan dunia bukan karena keunggulan ide-ide atau nilai-nilai atau agamanya, melainkan dengan keunggulannya dalam menerapkan kekerasan yang terorganisir, Orang-orang Barat sering melupakan fakta ini, tetapi orang-orang non-Barat tidak pernah melupakannya “(Samuel P. Huntington).
Apalagi setelah 11/9, Amerika menanggapi kejadian itu dengan cara yang memperburuk situasi yang sudah buruk, sehingga hasil akhirnya akan sangat sulit bagi Barat untuk mendefinisikannya. Mengingat fakta hari ini, bahwa Amerika bersikap antagonis di dunia Muslim. Terutama respons Amerika akan ketakutannya terhadap perang melawan Islam, sehingga pada gilirannya, membuat orang Amerika merasa kurang aman dan telah menginspirasi lebih banyak ancaman dan serangan. Namun demikian konsekuensi-konsekuensinya pasti akan berakhir dengan apa yang paling mereka takutkan, suatu entitas Islam tunggal. “Militer pada saat ini merupakan satu-satunya alat Amerika dan akan tetap demikian sementara kebijakan-kebijakan saat ini berlaku. Tidak ada diplomasi publik, pujian presiden kepada Islam., atau politik debat yang benar yang menutupi kenyataan bahwa banyak dari 1,3 miliar kaum Muslim dunia yang membenci kita karena tindakan-tindakan kita dan bukan karena nilai-nilai kita, yang dapat membuat Amerika keluar dari perang ini. ” Anonymous, Keangkuhan Imperial.
Presiden Obama mewarisi situasi berbagai kebijakan luar negeri pemerintahan sebelumnya, dan tidak memiliki pilihan lain kecuali untuk mencoba dan mengelola kekacauan yang diwariskan . Pada akhirnya, hal ini akan menjadi faktor yang menentukan posisinya sebagai presiden dan ukuran kunci suatu pendirian. Sebagaimana yang dikatakan oleh Dmitry Shlapentokh dari laman website Asian Times : “Masalahnya bukanlah sikap naïf geopolitik Presiden Barack Obama, rasa malu atau bahkan pengkhianatan, sebagaimana yang dikatakan oleh banyak kritikus, melainkan kemungkinan bisa dilaksanakannya disain geopolitik Kaum Neo-Con, yang dibangun dengan cara yang sama seperti dibangunnya ekonomi AS, yang didasarkan pada spekulasi keuangan yang cepat atau pencetakan dolar “.
Keyakinan bahwa membangun Demokrasi melalui laras senjata akan bisa berjalan di dunia Muslim, malah menjadikannya ditinggalkan dan kembali ke pangkuan Islam dan kini telah berubah menjadi kubangan. Terlepas dari kenyataan pidato Obama di Kairo itu dimaksudkan untuk mengembalikan nama Amerika Serikat, dengan meyakinkan kaum Muslim bahwa Amerika tidaklah bertabrakan dengan Islam, diungkap oleh Wikileaks, dengan menghapus setiap ambiguitas bahwa hal ini nyata terjadi. Untuk menanggapinya, umat Muslim harus mengerahkan dirinya untuk dapat menggunakan haknya untuk menentukan nasib sendiri dan membebaskan diri dari hegemoni barat. Akibatnya Revolusi di Timur Tengah pada saat ini harus menuntut bagi adanya suatu Al-dawlah Al-Islamiyah (Negara Islam).
Selain itu, AfPak (Afghanistan-Pakistan) adalah sebuah kata baru yang digunakan dalam lingkaran kebijakan luar negeri AS untuk menunjuk Afghanistan dan Pakistan sebagai suatu teater operasi tunggal. Pemikiran di balik konflik Afghanistan ini terkait dengan sistem pengiriman nuklir Pakistan untuk seluruh wilayah itu dan di luar wilayah itu dan kemungkinan bertemunya kedua isu membuat pemikiran untuk meninggalkan wilayah ini pada saat ini sebagai hal yang tak terbayangkan bagi Amerika. Namun, opini publik AS sekarang terpolarisasi dan tidak lagi berkelompok-kelompok atas isu ini. Sebuah jajak pendapat CNN terbaru menunjukkan ; “Data jajak pendapat juga mengungkapkan bahwa 52% orang Amerika percaya bahwa perang ini telah berubah menjadi perang Vietnam yang lain”, dikarenakan tingginya angka kematian tentara AS [situs CNN].
Jika presiden Amerika melepaskan diri dari konflik AfPak dan situasi memburuk, maka dia selamanya pasti akan dicap sebagai seorang presiden yang kalah, sehingga menjadikan hal ini penting untuk berada di sana sampai akhir. Oleh karena itu, tiap hari diperlukan gelombang serangan pesawat Predator dan serangan Reaper tak berawak terhadap kaum perempuan muslim yang tak berdosa dan anak-anak.
Selain itu, Amerika perlu bantuan Pakistan di Afghanistanl; diketahui bagaimana pentingnya bagi elit Pakistan untuk mendesak dilaksanakannya tindakan brutal. Kebanyakan solusi yang diajukan dirancang untuk menarik elemen-elemen konflik AfPak yang tidak bertujuan melakukan Jihad global, seperti Taliban yang moderat, menjadi semacam pengaturan dalam rangka memfasilitasi strategi keluar Amerika dari kedua negara itu. Meskipun demikian, kekurangan dari strategi ini adalah bahwa Afghanistan bersekutu dengan musuh bebuyutannya Pakistan, yakni India. Akibatnya, upaya berulang-ulang oleh Washington untuk meyakinkan Islamabad bahwa India tidak akan menimbulkan ancaman bagi Pakistan jika mereka mendukung penghancuran Taliban dipandang sebagai kunci kemenangan AS di Afghanistan. Ini adalah perang yang Amerika tidak pernah bisa menang.
Beralih ke pertanyaan mengapa dunia Muslim memegang sangat tidak menyukai AS, marilah kita pertimbangkan beberapa fakta dan angka. Amerika hampir memiliki 800 pangkalan militer di seluruh dunia, yang sebagian besarnya berada di negeri-negeri muslim, sementara pangkalan-pangkalan yang baru dan bahkan lebih besar masih sedang dibangun. Negara itu menduduki Afghanistan dan Irak, memaksa pasukan Muslim yang besar untuk melakukan tawar-menawar di Pakistan, mengerahkan pasukan khusus ke berbagai negara-negara Muslim (Somalia, Sudan, dan Yaman), memenjara ribuan orang tanpa perlindungan, dan mengobarkan perang ide besar-besaran yang melibatkan ulama-ulama Islam untuk memutar balik konsep-konsep Islam dan mendirikan lembaga-lembaga untuk menyerang negara-negara Muslim dengan norma-norma barat. Demikian juga, memang benar bahwa jutaan guru, dokter, perawat, insinyur, diplomat dll, dari barat yang hidup di dunia Muslim digunakan sebagai mata-mata, yang diwawancarai oleh berbagai badan keamanan ketika mereka kembali ke negeri mereka. Anehnya, sejauh ini Amerika masih tampak bingung atas kenyataan mengapa sebagian umat Islam masih marah atas situasi ini.
Keyakinan bahwa umat Islam memiliki Allah (SWT) dan Nabi-Nya (SAW) adalah jauh lebih bergairah dan abadi dari pada keyakinan yang ditunjukkan oleh orang-orang Israel Amerika yang mendukung Neo-Cons dan gerakan Kristen Zionis yang telah memainkan peran utama dalam mengarahkan kebijakan AS ke arah yang mereka ingin, termasuk juga riba ekonomi. Meskipun demikian, barat juga suka pada agama mereka, Tuhan dan saudara-saudara mereka yang mirip dengan kelompok “Islamis”, suatu istilah yang diciptakan barat. Perbedaannya adalah bahwa para penginjil belum mengambil langkah perjuangan untuk pertahanan-Nya, karena semua orang telah menerima pemisahan yang legal di Amerika dan Eropa antara gereja dan negara. Tidak ada pemimpin agama kontemporer Barat yang telah menganjurkan pembentukan negara berdasarkan iman Kristen, sedangkan umat Muslim menyerukan pelaksanaan Quran dan Sunnah, yang merupakan pegangan bagi semua aspek kehidupan, pribadi, keluarga, sosial, ekonomi, politik dan internasional. Allah SWT berfirman dalam Quran :
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
“Menetapkan hukum hanyalah hak Allah” [al-Anaam, 6:57]
Ide ini adalah inti yang merupakan pusat dari perang tak terbatas yang dikobarkan Amerika melawan Islam. “Lupakan strategi keluar, kita melihat suatu keterlibatan berkelanjutan yang tidak ada batas waktu” kata Donald Rumsfeld [New York Times 27 September 2001].
Amerika juga mahir dalam mendapatkan izin untuk menyerang musuh-musuhnya, target terakhirnya adalah Iran. Dengan dukungan dari para anggota parlemen ternama Amerika, pemerintah Israel tidak mengesampingkan diluncurkankaanya serangan pre-emptive terhadap fasilitas nuklir Iran, “Jam terus berdetak dan pada kenyataannya, kita hampir kehabisan waktu” kata Perwakilan Demokrat, Howard Berman ketika berbicara kepada para pemimpin Yahudi dalam komentar yang dimaksudkan untuk menghilangkan kekhawatiran bahwa pemerintahan Presiden Obama tidak melakukan hal yang cukup dalam menjinakkan ambisi nuklir Teheran. AFP
Di sisi lain, pilihan yang diambil adalah strategi pengurungan (strategy of containment). Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh George F. Kennan, seorang diplomat terkenal dan penasehat Departemen Luar Negeri Amerika untuk urusan Soviet. Dia menyarankan suatu “pengurungan jangka panjang, yang penuh kewaspadaan sabar namun tegas atas kecenderungan ekspansif Rusia”. Konsep politik ini dimaksudkan untuk mencapai tiga sasaran: pemulihan keseimbangan kekuasaan di Eropa, pemotongan proyeksi kekuasaan Soviet, dan modifikasi konsepsi Soviet dalam hubungan internasional. Iran bukanlah negara ideologis atau sebuah kekuatan superpower, sehingga jika Uni Soviet bisa dikurung dan akhirnya hancur tanpa satu peluru ditembakan, maka hal yang sama bisa dilakukan atas desain nuklir para mullah di Iran. Singkatnya, Teheran bukanlah Moskow. Dengan menggunakan sanksi tidak berprikemanusiaan dan, pada suatu tingkat, pembatasan akses terhadap kebutuhan dasar seperti makanan, Iran dapat dibujuk untuk mengubah arah kebijakannya.
Seruan untuk kembali kepada Islam memerlukan bentuk pemikiran tertinggi, yakni Pemikiran Politik . Ini merupakan penggabungan dari legislatif (Quran & Sunnah), Rasional, dan pemikiran Ilmiah tentang peristiwa-peristiwia dunia untuk menyimpulkan suatu solusi politik praktis. Untuk menjaga Islam dan umat Islam dari musuh-musuh mereka memerlukan pengawasan yang ketat dan konstan pada setiap episode politik di seluruh dunia.
Di masa depan, untuk bertahannya Negara Islam yang akan segera terwujud juga perlu menutup celah di antara yang ada diantara cara-cara militer dan tujuan-tujuan strategis. Negara Islam harus menjembatani kesenjangan antara apa yang diminta oleh tentara Islam untuk dilakukan dan apa yang mereka mampu lakukan dan selalu harus bergantung pada keberanian ideologi. Tentara Amerika dengan segala kecanggihan teknologi majunya belum mampu mencapai salah satu misi yang ditugaskan sejak tragedy 11/9. Memang, mereka telah gagal untuk memenuhi salah satu tujuan seperti memberikan pertempuran bagi musuh, mengganggu rencananya, dan menghadapi ancaman terburuk sebelum mereka muncul. Selanjutnya, dunia Barat sekarang harus mempersiapkan diri bagaimana untuk bisa hidup berdampingan dengan Negara Islam yang pasti muncul.
Juga, kebijakan energi nuklir harus dirumuskan sekarang, bukan nanti. Hal ini harus dibimbing secara khusus dari sudut pandang Islam. Hal ini akan membantu proyek kekuatan militer Negara Islam untuk berada di luar batas negaranya, sambil memberikan kemandirian keamanan dari ancaman keamanan potensial.
Perasaan Ummat, yakni perasaan muak kolektif yang ada di sekitar keadaan saat ini harus terkonsentrasi pada pembangunan Politik Islam. Negara adalah satu-satunya yang membawa jaminan perlindungan terhadap ancaman, ketidakamanan dan permusuhan bagi Nabi selama masa hidupnya saat itu, dan hal itu pasti akan membawa hal yang sama pada saat ini bagi umat-Nya. Persatuan di bawah satu Negara adalah solusi yaitu Islam harus menggabungkan kekuatan ideologi dan kekuatan militer untuk mengakhiri perang yang tidak adil ini yang dilancarkan pada negeri-negeri Islam dan pada kaum muslim.
“Tidak peduli seberapa kuat militer anda, anda tidak dapat menghancurkan pikiran dengan peluru dan bom, terutama ide-ide yang berakar pada kebutuhan untuk menentukan nasib sendiri, keadilan dan hak-hak politik.” Alan Harts, mantan koresponden Vietnam ITN. (rza)
Sumber: khilafah.com (1/6/2011)