Oleh : Muhammad. Rosyid Aziz
(praktisi ekonomi syariah dan bisnis Islami)
(praktisi ekonomi syariah dan bisnis Islami)
Sektor keuangan dan jasa di dalam perekonomian dewasa ini memiliki share yang makin besar. Diantara bisnis di sektor ini yang mengalami booming adalah asuransi. Di dalam negeri hal itu bisa dilihat dari banyaknya perusahaan asuransi yang ada. Data Dewan Asuransi Indonesia Per akhir Juli 2000, terdapat 178 perusahaan asuransi dan reasuransi yang terdiri dari 62 perusahaan asuransi jiwa, 107 perusahaan asuransi kerugian, 4 perusahaan reasuransi, 2 perusahaan penyelenggara program asuransi sosial & Jamsostek, dan 3 perusahaan penyelenggara asuransi untuk PNS dan TNI & Polri yang memiliki izin usaha untuk beroperasi di Indonesia. Sementara itu juga terdapat 124 perusahaan penunjang asuransi yang terdiri dari 69 perusaaan pialang asuransi, 14 perusahaan pialang reasuransi, 23 perusahaan adjuster asuransi dan 18 konsultan aktuaria. Selama tahun 1999 sampai dengan akhir Juli 2000 terdapat 6 (enam) perusahaan pialang asuransi baru, dan 1 (satu) perusahaan adjuster.
Begitu pula bisnis asuransi syariah mengalami kenaikan pesat. Secara industri, asset asuransi jiwa syariah mengalami kenaikan lebih dari 100% dari tahun 2006 ke tahun 2007. Data KARIM Business Consulting menunjukkan bahwa asset asuransi jiwa syariah meningkat pesat dari 620 milyar pada Desember 2006 menjadi lebih dari 1,5 trilliun pada akhir 2007. Demikian juga dari sisi produksi premi mengalami peningkatan fantastis dari 300 an milyar di akhir tahun 2006 menjadi lebih dari 1 trilliun pada akhir 2007 atau mengalami peningkatan tiga kali lipat. Walaupun jika dicermati kenaikan tersebut disumbang 30% nya oleh Prudential life Assurance yang baru membuka cabang syariah dan menawarkan produk unit link syariah nya pada kuartal ke 4 tahun 2007. Asset Prudential cabang syariah mencapai 496 Milliar dan premi bruto sebesar 410 milliar (laporan publikasi tahun 2007). Namun secara rata-rata perusahaan maupun cabang asuransi syariah mengalami peningkatan asset maupun premi antara 50% - 100% di tahun 2007. Sebut saja seperti AJB Bumiputera 1912, Allianz Life Cabang Syariah, AIA Cabang Syariah ataupun BNI Life Syariah yang di tahun 2007 assetnya mengalami peningkatan diatas 100%. Demikian juga Asuransi Syariah Mubarakah yang kembali bergairah ditandai dengan produksi premi brutonya yang mengalami peningkatan lebih dari 500% dari tahun sebelumnya.
Sedangkan asuransi kerugian di tahun 2007 mengalami peningkatan asset secara industri berkisar 70% dengan pertumbuhan tahun 2006 - 2007 berkisar 50%. Rata-rata perusahaan/cabang asuransi kerugian syariah mengalami peningkatan asset sebesar 30 - 50% dari tahun 2006 kecuali MAA General yang assetnya meningkat tajam dari 3 milyar menjadi 36 milyar di tahun 2007. Demikian juga peningkatan premi rata-rata industri sebesar 50% di tahun 2007 dimana ada beberapa cabang syariah mengalami peningkatan premi diatas 100% seperti Bumida, Adira ataupun Staco, namun beberapa asurani lain pertumbuhan preminya di level 50 - 100% bahkan ada juga yang dibawah 10%.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa transaksi asuransi baik konvensional maupun yang syariah sangat besar dari sisi jumlah maupun nilai nominalnya. Pelaku dan pengguna asuransi itu tentu saja kebanyakan adalah dari kaum muslim. Besar dan banyaknya transaksi asuransi itu sayangnya belum diiringi oleh pengetahuan kaum muslim tentang pandangan syariah atas asuransi itu. Padahal setiap muslim berkewajiban terikat dan patuh kepada syariah dalam semua aktivitas dan transaksi yang dilakukan, termasuk dalam transaksi asuransi. Karenanya penting disampaikan kepada masyarakat bagaimana pandangan syariah tentang asuransi yang ada dan berjalan saat ini.
Sekilas Sejarah Asuransi
Banyak dari para ahli berpendapat bahwa jenis asuransi yang pertama muncul adalah asuransi maritim (pelayaran), yang saat itu dipergunakan oleh Kaum Babilonia dengan nama Akad Pinjam-Meminjam di atas Kapal. Bahkan beberapa pengamat berpendapat bahwa Akad Pinjam-Meminjam ini telah disinggung sebelumnya oleh Hukum Hamurabi Tahun 250 SM. Baru kemudian Akad ini tersampaikan kepada Kaum Babilonia melalui Kaum Phoenisia dan Hunud kuno. Lalu menyusul Romawi di abad 6-7 SM dan Yunani di abad 4 SM.
Tapi Akad Pinjam-Meminjam ini kemudian ditentang oleh Pihak Gereja Roma. Karena konon akad ini memfasilitasi timbulnya aktivitas riba. Penentangan inilah yang selanjutnya menyebabkan Akad Pinjam-Meminjam ini diamandemen menjadi Akad Asuransi.
Dokumen asuransi pertama pasca amandemen Akad Pinjam-Meninjam yang bisa didapatkan adalah Dokumen Italia tertanggal: 23 Oktober 1347 M, tentang Asuransi Maritim (Pelayaran). Kemudian asuransi ini mulai menggaung di beberapa kota di Italia dan negara-negara sekitar Laut Tengah. Tetapi konsep asuransi kala itu hanya terbatas pada barang dagangan yang dibawa oleh kapal, tidak pada asuransi atas kapal itu sendiri ataupun awak kapalnya.
Sementara, Asuransi Darat baru muncul paruh kedua abad ke tujuh Masehi di Inggris. Yakni saat terjadi kebakaran besar selama empat hari di London tahun 1666 M yang membumihanguskan lebih dari tiga belas ribu tempat tinggal dan seratusan gereja. Akhirnya dibentuk jasa asuransi kebakaran dan disusul beberapa jenis lainnya. Lalu konsep asuransi ini menyebar di beberapa negara semisal Jerman, Perancis dan negara-negara lainnya. Kemudian konsep Asuransi Jiwa mulai dirumuskan di Inggris pada awal abad ke-19. Pasca Revolusi Industri di Eropa, muncul jenis asuransi baru, yakni asuransi mas'uliah (asuransi tanggung jawab).
Asuransi dengan berbagai jenisnya itu kemudian menyebar di negeri-negeri Islam. Hanya saja kemudian tampak bahwa asuransi itu dalam pandangan syariah bermasalah, terutama karena adanya unsur gharar, gambling, riba dan sebagainya. Karenanya pada sekitar tahun 1960-an banyak cendekiawan muslim mulai melakukan pengkajian ulang atas penerapan sistem hukum Eropa ke dalam industri keuangan dan sekaligus memperkenalkan penerapan prinsip syariah islam dalam industri keuangannya.
Pada awalnya prinsip syariah islam diterapkan pada industri perbankan. Dan, Cairo merupakan negara yang pertamakali mendirikan bank Islam sekitar tahun 1971 dengan nama “Nasser Social Bank” yang operasionalnya berdasarkan sistem bagi hasil. Kemudian diikuti dengan berdirinya beberapa bank Islam lainnya seperti Islamic Development Bank (IDB) dan the Dubai Islamic pada tahun 1975, Faisal Islamic Bank of Egypt, Faisal Islamic Bank of Sudan dan Kuwait Finance House tahun 1977.
Majma’ al-Fiqh al-Islâmy, pada kongresnya tanggal 10 Sya’ban 1398 H telah bersepakat mengharamkan asuransi konvensional (asuransi komersial/at-ta’mîn at-tijârî) dengan sejumlah alasan, yaitu: Asuransi mengandung gharar, mempraktikkan riba, mengandung unsur judi, dan mengakibatkan memakan harta orang lain secara tidak sah.
Karenanya kemudian dikembangkan asuransi dengan prosedur dan tata cara yang dinilai sesuai dengan prinsip syariah berbeda dengan asuransi komersial dan menghilangkan unsur riba, gharar, jahalah, qimar dan kezaliman. Yaitu asuransi yang bersifat tolong menolong (ta’âwunî) dan saling menanggung (takâfulî) diantara peserta asuransi. Asuransi yang pertama kali didirikan adalah Asuransi Takaful di Sudan pada tahun 1979, yang dikelola oleh Dar al-Mal al-Islami (DMI) Group. Dar al-Mal melebarkan sayap bisnisnya ke negara-negara Eropa dan Asia lainnya. Setidaknya ada empat asuransi takaful dan retakaful pada tahun 1983, yang berpusat di Geneva, Bahamas, Luxemburg, dan Inggris.
Dari sisi legalitas, sistem asuransi syariah baru diakui dan diadopsi oleh ulama dunia pada tahun 1985. Pada tahun ini, Majma al-Fiqhî al-Islâmî mengadopsi dan mengesahkan takaful sebagai sistem asuransi yang sesuai dengan syariah. Artinya, perkembangan takaful lebih didasarkan atas kreasi dan kebutuhan umat muslim, ketimbang didorong oleh fatwa. Sistem asuransi diadopsi sebagai sistem saling menolong dan membantu di antara para pesertanya.
Sejak saat itu asuransi syariah berkembang bukan hanya ke negeri-negeri islam tetapi juga ke seluruh dunia. Perkembangan asuransi dibilang cukup pesat. Dari asset $550 juta pada tahun 2000, $193 juta diantaranya berada di Asia Pasifik, meningkat menjadi $1,7 milyar. Pada tahun 2004 asetnya sudah mencapai $2 milyar. Angka-angka di atas merupakan kumulasi untuk asuransi jiwa dan selain jiwa. Asuransi keluarga syariah mendominasi perkembangan asuransi dunia, mencapai 75%, di mana 60%nya berasal dari asuransi jiwa syariah.
Perkembangan asuransi syariah yang cukup progressif terjadi di negara-negara Arab, terutama Arab Saudi, Qatar, Kuwait dan Bahrain. Di Bahrain pertama kali berdiri Asuransi Takaful Internasional pada tahun 1989. Pangsa pasar asuransi di Bahrain diperkirakan mencapai 65 juta dinar ($172 juta). Produk yang diluncurkan oleh asuransi Bahrain antara lain, Asuransi Haji dan Umrah sejak Januari 2004, asuransi kesehatan (The Best Doctors Takaful Health Care) sejak September 2004, dan takaful pendidikan. Di Arab Saudi berkembang perusahaan asuransi syariah diantaranya: Islamic Arab Insurance Company (al-Baraka Group tahun 1980), Islamic Corporation for the Insurance, Investment dan Export Credit (1995), Islamic Insurance Company Ltd., Islamic Insurance and Reinsurance Company (1985), al-Aman co-Operative Insurance (ar-Rajhi tahun 1985), Global Islamic Insurance co. (1986), Islamic Takaful and Retakaful Company (Dar al-Mal al-Islami (DMI) Group tahun 1986). Sementara di Afrika, di Ghana pertama kali berdiri perusahaan Metropolitan Insurance Company Limited (MIT) tahun 1994 dan menjadi satu-satunya asuransi syariah di Ghana dengan sistem mudharabah dan takafuli. Di Nigeria, African Alliance Insurance Company Limited mendirikan Islamic Life Insurance System (Takaful) pada oktober 2003. Di Senegal didirikan Islamic Takaful and Retakaful Co. dan Sonar al-Amane (al-Baraka Group). Di Trinidad and Tobago didirikan Takaful Trinidad and Tobago Friendly Society pada tahun 1999.
Sementara di Eropa, Inggris merupakan pelopor pengembangan asuransi syariah. Melalui HSBS’s Amanah, Inggris bercita-cita menjadi leading sector bagi pengembangan asuransi syariah di Eropa dan negara lainnya. Selain itu juga berdiri International Co-operative and Mutual Insurance Federation (ICMIF) yang menghimpun 150 orang dari 82 anggota organisasi dari 52 negara di dunia. Lembaga ini bertujuan untuk memajukan dan memperkenalkan sistem asuransi syariah ke berbagai negara.
Di Amerika, asuransi syariah pertama berdiri pada Desember 1996 yaitu Takaful USA Insurance Company untuk menampung sedikitnya 12 juta penduduk muslim di sana. Di Australia berdiri Australia Takaful Assosiation Inc.
Konsep takaful (asuransi Islami) pertama sekali diperkenalkan di Malaysia pada tahun 1985. Malaysia mendirikan Lembaga Penelitian dan Pelatihan Bank Syariah (BIRTI), yang konsen pada bidang pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia. Lembaga ini telah memberi andil dalam pengembangan industri syariah di belahan asia. Dengan dukungan BIRTI, Takaful Malaysia menjalin kerjasama dengan Sri Lanka, Arab Saudi, dan pernah pula memberikan dukungan teknis (technical assistance) untuk operasionalisasi Takaful Australia. BIRTI juga memberikan dukungan teknis di Lebanon, Bangladesh, dan Algeria. Kemudian pada tahun 1997, didirikan lagi The Asean Retakaful International Labuan Ltd (ARILL). Saat ini, Malaysia memiliki beberapa industri asuransi syariah, diantaranya : CIMB Aviva Takaful Berhad, Hong Leong Tokio Marine Takaful Berhad, HSBC Amanah Takaful (Malaysia) Berhad, MAA Takaful Berhad, Prudential BSN Takaful Berhad, Syarikat Takaful Malaysia Berhad, Takaful Ikhlas Sdn Berhad, Takaful Nasional Sdn Berhad.
Sementara di Indonesia, asuransi syariah mulai berkembang sejak tahun 1994. Diawali dengan berdirinya perusahaan asuransi syariah pertama di Indonesia yaitu PT Syarikat Takaful Indonesia (STI) pada 24 Februari 1994 yang dimotori oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Departemen Keuangan RI, serta beberapa pengusaha Muslim Indonesia. Selanjutnya, STI mendirikan dua anak perusahaan: perusahaan asuransi jiwa syariah yaitu PT Asuransi Takaful Keluarga (ATK) pada 4 Agustus 1994 dan perusahaan asuransi kerugian syariah bernama PT Asuransi Takaful Umum (ATU) pada 2 Juni 1995. Setelah Asuransi Takaful dibuka, berbagai perusahaan asuransi pun menyadari cukup besarnya potensi bisnis asuransi syariah di Indonesia.
Hal tersebut kemudian mendorong berbagai perusahaan ramai-ramai masuk bisnis asuransi syariah. Diantaranya dilakukan dengan langsung mendirikan perusahaan asuransi syariah penuh seperti yang dilakukan oleh Asuransi Syariah Mubarakah yang bergerak pada asuransi jiwa syariah. Sedangkan kebanyakannya dilakukan dengan membuka divisi atau cabang asuransi syariah seperti yang dilakukan oleh PT MAA Life Assurance, PT MAA General Assurance, PT Great Eastern Life Indonesia, PT Asuransi Tri Pakarta, PT AJB Bumiputera 1912, dan PT Asuransi Jiwa Bringin Life Sejahtera, dan lainnya. Saat ini sesuai data Dewan Syariah Nasional (DSN) terdapat 42 asuransi syariah, tiga reasuransi syariah dan enam broker asuransi dan reasuransi.
Asuransi Konvensional
Dengan perkembangan seperti diatas, saat ini dikenal dua macam asuransi, yaitu asuransi konvensional dan asuransi syariah. Asuransi konvensional merupakan asuransi yang mengikuti model asuransi dari barat. Asuransi konvensional sering juga disebut asuransi komersial (at-ta’mîn at-tijârî). Sedangkan asuransi syariah merupakan asuransi yang dipercaya diselenggarakan berdasarkan prinsip syariah. Asuransi syariah juga sering disebut asuransi yang bersifat tolong menolong dan saling menanggung (at-ta’mîn at-ta’âwunî wa at-takâfulî).
Tentang asuransi konvensional terdapat banyak definisi yang telah diberikan. Secara sepintas tidak ada kesamaan antara definisi yang satu dengan yang lainnya. Hal ini bisa dimaklumi, karena perbedaan sudut pandang dalam mendefinisikan asuransi.
Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Republik Indonesia –dulunya diambil dari KUHD Belanda yang dipengaruhi oleh KUHD Perancis hasil kodifikasi Napoleon Bonaparte– mendefinisikan, “Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri pada tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu”.
Sementara itu UU tentang Usaha Perasuransian yaitu UU No. 2 tahun 1992 pasal 1 menyebutkan, “Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dimana pihak penanggung mengikat diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu peristiwa pembayaran yang didasarkan atas meninggalnya atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Prof. Robert I. Mehr dan Emerson Cammack, dalam bukunya Principles of Insurance menyatakan bahwa suatu pengalihan risiko (transfer of risk) disebut asuransi. Ia menyatakan, “Asuransi merupakan suatu alat untuk mengurangi resiko keuangan, dengan cara pengumpulan unit-unit exposure dalam jumlah yang memadai, untuk membuat agar kerugian individu dapat diperkirakan. Kemudian kerugian yang dapat diramalkan itu dipikul merata oleh mereka yang tergabung”.
Menurut Prof. Mark R. Green, “Asuransi adalah suatu lembaga ekonomi yang bertujuan mengurangi risiko, dengan jalan mengkombinasikan dalam suatu pengelolaan sejumlah obyek yang cukup besar jumlahnya, sehingga kerugian tersebut secara menyeluruh dapat diramalkan dalam batas-batas tertentu”. Sedangkan D.S. Hansell, dalam bukunya Elements of Insurance menyatakan bahwa asuransi selalu berkaitan dengan risiko (Insurance is to do with risk).
Tujuan asuransi konvensional ini adalah pengalihan resiko (transfer of risk) yang mungkin diderita oleh pihak tertanggung yang muncul dari suatu peristiwa tak tertentu dari pihak tertanggung kepada penanggung. Untuk itu pihak tertanggung harus membayarkan sejumlah uang yang disebut premi kepada pihak penanggung.
Dalam asuransi konvensional ini, pihak Penanggung adalah perusahaan asuransi, sedangkan pihak tertanggung adalah orang yang membeli produk asuransi dan disebut juga pemegang Polis. Tertanggung atau Pemegang Polis membayar sejumlah uang yang disebut premi kepada perusahaan asuransi sebagai kompensasi atas kesediaan Penanggung menanggung resiko yang mungkin dihadapi oleh tertanggung itu. Premi asuransi yang dibayarkan oleh Tertanggung menjadi pendapatan perusahaan Asuransi. Artinya terjadi perpindahan kepemilikan dana premi dari Tertanggung kepada Perusahaan Asuransi. Bila Tertanggung mengalami risiko sesuai dengan yang tertuang dalam kontrak asuransi, maka Perusahaan Asuransi harus membayar sejumlah dana yang disebut Uang Pertanggungan kepada Tertangggung atau yang berhak menerimanya. Sebaliknya bila sampai akhir masa kontrak Tertanggung tidak mengalami risiko yang diperjanjikan maka kontrak Asuransi berakhir dan semua hak dan kewajiban kedua belah pihak juga berakhir. Dari proses diatas dapat disimpulkan bahwa terjadi perpindahan risiko financial yang dalam istilah asuransi disebut dengan transfer of risk dari Tertanggung kepada Penanggung. Dimana untuk itu penanggung memperoleh sejumlah uang sebagai kompensasinya.
Contoh, ketika seseorang membeli polis asuransi kebakaran untuk rumah tinggal dia akan membayar uang (premi) yang telah ditentukan oleh perusahaan asuransi, disaat yang sama perusahaan asuransi akan menanggung risiko finansial bila terjadi kebakaran atas rumah tinggal tersebut. Jika selama masa pertanggungan terjadi kebakaran rumah itu, maka perusahaan asuransi harus membayar uang pertanggungan sesuai klausul perjanjian. Sebaliknya jika selama masa pertanggungan itu tidak terjadi kebakaran atau kejadian yang tertuang di dalam klausul perjanjian, maka uang premi yang dibayarkan tertanggung akan menjadi hak perusahaan asuransi dan tertanggung tidak akan mendapatkan pembayaran apapun.
Contoh lain dalam asuransi jiwa, ketika seseorang membeli asuransi kematian (term insuransce) dengan jangka waktu perjanjian 10 (sepuluh) tahun dengan uang pertanggungan 100 juta rupiah, maka dia harus membayar premi yang telah ditentukan oleh perusahaan asuransi (misal satu juta rupiah) per tahun. Maka bila tertanggung meninggal dunia dalam masa perjanjian diatas (10 tahun), ahli waris atau orang yang ditunjuk akan memperoleh uang dari perusahaan asuransi sebesar 100 juta. Sebaliknya bila tertanggung masih hidup sampai akhir masa perjanjian maka dia, keluarga atau orang yang ditunjuk tidak akan memperoleh apapun.
Motiv dalam asuransi ini bagi penanggung bukan motiv kemanusiaan, tetapi motiv bisnis yaitu untuk mendapatkan keuntungan. Pihak penanggung sebagai perusahaan dengan model statistik dan probabilitas jelas lebih bisa menghitung berapa besar resiko yang dihadapi oleh tertanggung dan kemungkinan klaim yang akan dibayarkan. Perusahaan pun juga bisa menghitung besarnya nilai penggantian yang harus dibayarkan. Kemudian perusahaan pun masih memasukkan biaya operasional dan nisbah keuntungan yang diinginkan. Dengan itu perusahaan bisa menentukan besaran premi yang harus dibayar oleh tertanggung. Semakin banyak nasabah yang bisa direkrut oleh perusahaan maka lebih mudah memperhitungkan itu dan keuntungan yang bisa diraih oleh perusahaan pun bisa lebih besar.
Memang bisa saja perhitungan itu meleset. Namun pada kebanyakan kondisi dan dalam situasi normal, perhitungan itu tidak meleset. Kecuali dalam kondisi terjadi bencana sehingga perusahaan harus membayar pertanggungan dalam jumlah banyak sekaligus. Namun sekali lagi kejadian seperti itu kemungkinannya kecil. Dan pada umumnya perusahaan asuransi berupaya mengalihkan resiko itu agar juga ditanggung oleh pihak lain dengan jalan mereasuransikan ke perusahaan reasuransi.
Asuransi Syariah
Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun), menurut Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. Maksud dari Akad yang sesuai dengan syariah adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), perjudian, riba, penganiayaan/kezaliman, suap, barang haram dan maksiat. Sedangkan AAOIFI menyebutkan bahwa asuransi syariah adalah sistem menyeluruh yang pesertanya mendonasikan (derma) sebagian atau seluruh kontribusinya yang digunakan untuk membayar klaim atas kerugian akibat musibah pada jiwa, badan, atau benda yang dialami oleh sebagian peserta yang lain.
Dalam asuransi syariah transaksi atau akad yang ada di dalamnya ada tiga macam akad, yaitu akad tabarru’, akad mudharabah dan akad wakalah bil ujrah. Penggunaan ketiga akad tersebut bergantung pada model pengelolaan asuransi syariahnya. Secara garis besar asuransi syariah ada dua jenis, non saving dan yang disertai saving.
Konsep dasar asuransi syariah atau takaful adalah pembagian resiko (sharing of risk) kepada seluruh peserta asuransi. Mudahnya adalah bahwa seluruh peserta sepakat untuk saling menolong dan saling menanggung diantara mereka. Maka setiap peserta menyetorkan sejumlah uang (premi) yang telah disepakati (ditentukan), dan disebut sebagai tabarru’ (derma/sumbangan). Seluruh uang premi dari seluruh peserta itu dihimpun menjadi satu dan dimasukkan dalam satu akun yang disebut dana tabarru’. Jika terjadi sesuatu yang telah disepakati pada salah seorang peserta maka ia akan diberi uang pertanggungan yang diambil dari dana tabarru’.
Dalam asuransi syariah (takaful) akad tabarru’ ini harus ada. Karena akad tabarru’ inilah yang menjadi konsep dasar dari takaful. Jika akad ini tidak ada maka dengan sendirinya takâful yang dirumuskan itu menjadi tidak ada.
Dalam asuransi yang non saving, akad yang digunakan adalah akad tabarru’. Pengelolaan atau menejemen dana tabarru’ dan saling menanggung diantara peserta diamanahkan kepada perusahaan asuransi syariah. Perusahaan asuransi syariah berhak mendapat konpensasi atas administrasi dan menejemen yang dilakukan. Akad yang digunakan dengan perusahaan dalam hal ini adalah akad wakalah bil ujrah.
Sedangkan dalam asuransi yang disertai saving, maka premi yang dibayarkan peserta sejak awal dibagi dua bagian. Sebagian diakadkan sebagai tabarru’ dan dikelola seperti pengelolaan dana tabarru’ diatas. Sedangkan sebagian lagi dan bisanya bagian yang lebih besar, diakadkan sebagai penyertaan modal. Pengelolaan dana saving ini dilakukan oleh perusahaan asuransi syariah sebagai pengelola. Akad yang digunakan dalam hal ini adalah mudharabah. Hasil pengelolaan dana saving ini dibagi diantara nasabah dengan perusahaan degan nisbah tertentu misalnya 40:60.
Model kedua inilah yang kebanyakan dipakai oleh perusahaan asuransi syariah. Dalam konteks ini, maka untuk pengelolaan dana tabarru’, perusahaan berstatus sebagai pihak yang mengelola, memenej dan melakukan kegiatan administrasi termasuk pemasaran dengan mendapatkan kompensasi. Akad yang digunakan adalah wakalah bil ujrah. Pada saat yang sama, perusahaan juga berposisi sebagai pengelola dalam syarikah mudharabah dimana nasabah berposisi sebagai pemilik modal (shâhib al-mâl). Keuntungan dari pengelolaan mudharabah ini dibagi diantara perusahaan sebagai pengelola dengan nasabah sebagai pemilik modal.
Contoh prakteknya: A menjadi peserta asuransi jiwa syariah untuk masa pertanggungan 10 tahun. Misal premi yang ia bayarkan sebesar seratus ribu per bulan (1,2 juta/tahun). Dari jumlah itu sepuluh ribu/bulan ditetapkan sebagai tabarru’. Maka seandainya A meninggal setelah lima tahun, maka keluarganya akan menerima: (a) savingnya selama lima tahun sebesar Rp. 5.400.000,-; ditambah (b) yaitu bagi hasil selama lima tahun itu misalnya sebesar Rp. 500.000,- dan (c) sisa premi yang belum A bayar sebesar Rp. 6.000.000,-. Sehingga total keluarganya akan mendapatkan: a + b + c = Rp. 11.900.000,-. Uang sebesar Rp. 6.000.000,- yaitu besaran sisa premi yang belum A bayar itu diambilkan dari dana tabarru’.
Misalnya A mengundurkan diri setelah lima tahun. Maka A akan menerima pengembalian dana sebesar: total saving lima tahun (Rp. 5.400.000) ditambah bagi hasil (misalnya Rp. 500.000). Jadi A akan menerima pengembalian dana sebesar Rp. 5.900.000,-.
Sedangkan jika sampai akhir masa pertangungan A masih hidup, maka A akan mendapat pengembalian dana sebesar total saving dia selama sepuluh tahun (Rp. 1.080.000,- x 10 tahun = Rp. 10.800.000,-) ditambah bagi hasil yang A peroleh selama sepuluh tahun itu, misalnya sebesar Rp. 2.000.000. Jadi A akan menerima pengembalian dana sebesar Rp. 12.800.000,-.
Bagi seorang muslim yang berkeinginan taat pada hukum syariah agamanya, menjadi penting mengetahui status hukum dari muamalah asuransi. Untuk mengetahuinya, muamalah asuransi itu harus dibedah secara rinci untuk mengetahui fakta muamalahnya dengan baik. Setelah diketahui fakta muamalahnya akan bisa diukur dengan ketentuan syariah tentang muamalah tersebut dan ditentukan status hukumnya menurut kaca mata syariah islam.
Menilik pengertian dan deskripsi asuransi diatas tampak bahwa asuransi itu baik asuransi konvensional maupun asuransi syariah (takaful) merupakan akad yang berkaitan dengan pertanggungan (adh-dhamân). Dengan demikian instrument fikih yang bisa digunakan untuk menilai muamalah asuransi adalah ketentuan tentang akad secara umum dan tentang pertanggungan (adh-dhamân) secara khusus. Disamping itu, sebagian pihak juga menyatakan bahwa di dalam asuransi konvensional yang terjadi adalah transaksi pertukaran (tabâduli) sehingga untuk menilainya juga sering digunakan ketentuan fikih tentang pertukaran.
Sementara itu muamalah asuransi syariah (takaful), unsur yang harus ada di dalamnya adalah akad tabarru’ yang merupakan hibah dan akad takâfuli (saling menanggung). Untuk memenej akad dan dana tabarru’ ini diserahkan kepada perusahaan asuransi dengan akad wakalah bil ujrah. Akad wakalah bil ujrah ini termasuk di dalam akad ijâratul ajîr. Disamping itu di dalam jenis asuransi syariah yang disertai saving, pengelolaan dana saving/investasi nasabah dilakukan oleh perusahaan asuransi dengan pola syarikah. Akad syarikah yang secara luas digunakan adalah mudharabah –karena biasanya perusahaan asuransi juga ikut andil modal, dalam beberapa literatur termasuk di dalam fatwa DSN disebut akad mudharabah musytarakah–. Dengan demikian untuk melihat asuransi syariah instrumen yang digunakan selain ketentuan fikih tentang akad secara umum dan tentang adh-dhamân, juga ketentuan fikih tentang akad tabarru’ (hibah), akad ijaratul ajir, dan akad syarikah terutama mudharabah.
Terdapat perbedaan pendapat tentang hukum asuransi konvensional. Mayoritas cendekiawan muslim dan para ulama mengharamkannya. Hanya sebagian kecil yang memperbolehkannya. Diantara yang memperbolehkan adalah Mushthafa Zarqa. Kemudian pendapatnya itu diungkapkan kembali oleh Ali al-Khafif, Muhammad Yusuf Musa, Abdul Wahab Khalaf dan Abdurrahman Isa. Mereka yang mengharamkannya diantaranya: Ibn Abidin ulama hanafiyah abad ke-13 H, Muhammad Bakhit al-Muthi’i mufti Mesir, Rasyid Ridha, Muhammad Abu Zahrah, Abdullah al-Qalqili mufti Yordania, Muhammad Abu al-Yaser Abidin mufti Suria, Dr. Shadiq adh-Dharir, syaikh Jad al-Haq syaikh al-Azhar, syaikh Muhamamd bin Ibrahim Ali asy-Syaikh, Abdul Karim Zaydan, Sayid Sabiq dan lainnya. Keharamannya juga difatwakan oleh Hai’ah Kibâr al-’Ulamâ’ di Saudi, Majma’ al-Fiqhî al-Islâmî dibawah Rabithah al-’Alam al-Islami, Majma’ al-Fiqhî ad-Dawlî di bawah OKI, Mu’tamar al-’Alami li al-Iqtishâd al-Islâmî dan lainnya.
Pandangan Syariah Tentang Asuransi Konvensional
Dari deskripsi di atas tampak jelas bahwa akad asuransi merupakan akad yang berkaitan dengan pertanggungan (adh-dhamân). Maka untuk mengetahui pandangan syariah tentangnya dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek akad secara umum dan dari aspek akad pertanggungan (adh-dhamân).
Pertama, dari sisi akad secara umum. Suatu akad agar bisa dinilai sah secara syar’i harus memenuhi rukun dan syaratnya. Rukun akad secara umum adalah: 1) dua pihak yang berakad (al-‘âqidân); 2) ijab dan qabul (shighât); dan 3) obyek yang diakadkan (al-ma’qûd ‘alayh). Jika salah satu dari rukun akad itu tidak terpenuhi, maka akad menjadi batil.
Dan jika kita telaah semua akad yang dijelaskan syariah, maka tampak jelas bahwa akad itu wajib terjadi atas barang atau manfaat; baik disertai kompensasi atau tidak. Jadi akad bisa terjadi atas barang disertai kompensasi contohnya jual beli, salam, syarikah, dan sebagainya; atau tidak disertai kompensasi contohnya hibah, shadaqah, hadiah dan sebagainya. Bisa juga akad terjadi atas manfaat disertai dengan kompensasi contohnya ijaratul ajîr (kontrak kerja) dan sewa menyewa (ijârah/kirâ’), dan kadang tidak disertai kompensasi seperti ‘âriyah (pinjaman). Jika akad itu tidak terjadi atas benda atau manfaat, maka akad seperti itu secara syar’i merupakan akad yang batil, karena tidak terjadi atas sesuatu yang bisa menjadikannya sebagai akad dalam pandangan syara’.
Di dalam akad asuransi konvensional, memang ada dua pihak yang berakad, yaitu perusahaan sebagai penanggung (insurer/al-muammin/adh-dhâmin) dan nasabah sebagai tertanggung (insured/al-muamman ‘anhu/al-madhmûn ‘anhu). Begitu juga terdapat ijab dan qabul yang tercermin dalam klausul asuransi yang disepakati. Tetapi jika kita perhatikan di dalam akad asuransi itu tidak terpenuhi ketentuan tentang obyek akad (al-ma’qûd ‘alayh).
Di dalam asuransi konvensional, yang terjadi adalah nasabah berakad dengan perusahaan asuransi dimana nasabah bersedia membayar sejumlah uang sebagai premi kepada perusahaan dan perusahaan berjanji atau menjamin akan membayar sejumlah uang pertanggungan jika terjadi peristiwa yang disebutkan di dalam klausul kontrak. Yang menjadi obyek akad dalam akad asuransi itu adalah jaminan atau janji untuk membayar sejumlah uang pertanggungan kepada tertanggung (insured/al-muamman ‘anhu/al-madhmûn ‘anhu) atau orang yang ditunjuk oleh tertanggung (al-muamman lahu/al-madhmûn lahu). Jadi akad asuransi itu terjadi atas janji (ta’ahud) atau jaminan (dhamânah). Janji atau jaminan itu sendiri bukanlah harta karena tidak bisa dikonsumsi. Janji atau jaminan itu juga tidak bisa diambil manfaatnya dan tidak bisa dipandang sebagai manfaat atau jasa, karena janji atau jaminan itu sendiri tidak bisa diambil manfaatnya baik dalam bentuk sewa (upah) ataupun dipinjamkan. Sementara obyek akad (al-ma’qûd ‘alayh) menurut syara’ wajib berupa harta atau manfaat (jasa). Dengan demikian akad asuransi konvensional itu tidak memenuhi ketentuan syara’ tentang obyek akad (al-ma’qûd ‘alayh). Obyek akad (al-ma’qûd ‘alayh) sendiri merupakan salah satu rukun akad yang wajib dipenuhi sehingga akad itu bisa dinilai sah secara syar’i. Karena yang tidak terpenuhi adalah salah satu rukun akad maka status akad asuransi konvensional itu adalah akad yang batil.
Kedua, dari sisi akad pertanggungan (adh-dhamân). Di dalam asuransi konvensional perusahaan (penanggung) memberikan janji atau jaminan untuk membayar uang pertanggungan sesuai syarat-syarat yang tertentu. Akad seperti itu termasuk akad pertanggungan (adh-dhamân). Karenanya agar sah secara syar’i harus memenuhi ketentuan akad adh-dhamân menurut syara’.
Ad-Dhamân secara bahasa artinya al-iltizâm (keharusan/komitmen). Adh-dhamân sama dengan kafâlah dan za’âmah. Secara syar’i, adh-dhamân (pertanggungan) adalah:
ضَمُّ ذِمَّةِ الضَّامِنِ إِلَى ذِمَّةِ الْمَضْمُوْنِ عَنْهُ فِيْ اِلْتِزَامِ الْحَقِّ
Penggabungan tanggungjawab (tanggungan) penanggung kepada tanggungjwab tertanggung dalam kewajiban menunaikan hak
Di dalam adh-dhamân harus ada: penggabungan tanggungjawab kepada tanggungjawab pihak lain (dhammu dzimmah ilâ dzimmah), penanggung (adh-dhâmin), tertanggung (al-madhmûn ’anhu), dan pihak yang menerima tanggungan (al-madhmûn lahu). Adh-dhamân (pertanggungan) merupakan komitmen untuk menunaikan hak yang berada di dalam tanggungan tanpa disertai kompensasi.
Hal itu dijelaskan di dalam hadis dari jalur Jabir bin Abdullah ra.:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا فَقَالَ هَلْ عَلَى صَاحِبِكُمْ مِنْ دَيْنٍ؟ فَقَالُوْا: نَعَمْ دِيْنَارَانِ، فَقَالَ: صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ، فَقَالَ أَبُوْ قَتَادَةَ: هُمَا عَلَيَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ فَصَلَّى عَلَيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Bahwa Nabi saw, di datangkan sesosok jenazah agar Beliau menshalatkannya. Maka Nabi bertanya: “apakah ia mempunyai utang?” Para sahabat berkata: “benar, dua dinar”. Lalu Nabi bersabda: “shalatkan teman kalian!” Maka Abu Qatadah berkata: “keduanya (dua dinar) menjadi kewajibanku ya Rasulullah”. Maka Nabi saw pun menshalatkannya (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan al-Hakim)
Kisah tersebut juga diriwayatkan oleh imam Bukhari dari Salamah bin al-Akwa’ secara panjang lebar dan disebutkan bahwa utangnya tiga dinar. Di dalam riwayat Ibn Majah dari Abu Qatadah, ia ketika itu berkata: “wa anâ attakaffalu bihi –aku menjadi penanggungnya-“. Sedangkan di dalam riwayat al-Hakim tentang riwayat Jabir di atas terdapat tambahan sesudahnya:
" فَقَالَ هُمَا عَلَيْك وَفِي مَالِك وَالْمَيِّت مِنْهُمَا بَرِيء ؟ قَالَ نَعَمْ ، فَصَلَّى عَلَيْهِ ، فَجَعَلَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا لَقِيَ أَبَا قَتَادَةَ يَقُول : مَا صَنَعَتْ الدِّينَارَانِ ؟ حَتَّى كَانَ آخِر ذَلِكَ إِنْ قَالَ : قَدْ قَضَيْتهمَا يَا رَسُول اللَّه ، قَالَ : الْآن حِين بَرَّدْت عَلَيْهِ جِلْده "
Nabi bersabda kepada Abu Qatadah: “keduanya menjadi kewajibanmu dan di dalam hartamu sedangkan mayit tersebut terbebas?” Abu Qatadah menjawab: “benar”. Lalu Nabi saw menshalatkannya. Maka Rasul saw jika bertemu Abu Qatadah beliau bertanya: “apa yang telah dilakukan oleh dua dinar?” Hingga akhirnya jika Abu Qatadah berkata: “aku telah membayar keduanya ya Rasulullah” Nabi saw bersabda: “sekarang kulitnya telah dingin”
Abu Sa’id al-Khudzri juga menuturkan:
كَانَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أُتِيَ بِجِنَازَةٍ لَمْ يَسْأَل عَنْ شَيْء مِنْ عَمَل الرَّجُل ، وَيَسْأَل عَنْ دَيْنه ، فَإِنْ قِيلَ عَلَيْهِ دَيْن كَفّ ، وَإِنْ قِيلَ لَيْسَ عَلَيْهِ دَيْن صَلَّى . فَأُتِيَ بِجِنَازَةٍ ، فَلَمَّا قَامَ لِيُكَبِّر سَأَلَ هَلْ عَلَيْهِ دَيْن فَقَالُوا : دِينَارَانِ ، فَعَدَلَ عَنْهُ فَقَالَ عَلِيّ : هُمَا عَلَيّ يَا رَسُول اللَّه وَهُوَ بَرِيء مِنْهُمَا ، فَصَلَّى عَلَيْهِ . ثُمَّ قَالَ لِعَلِيٍّ جَزَاك اللَّه خَيْرًا وَفَكَّ اللَّه رِهَانَكَ كَمَا فَكَكْتَ رِهَانَ أَخِيْكَ
Bahwa Rasulullah saw jika didatangkan sesosok jenazah, Beliau tidak bertanya tentang amalnya, tetapi Beliau bertanya tentang utangnya. Jika dikatakan jenazah itu memiliki utang, Beliau menahan diri, Sebaliknya jika dikatakan jenazah itu tidak mempunyai utang, Beliau pun menshalatkannya. Maka didatangkan sesosok jenazah. Ketika Beliau berdiri dan hendak bertakbir, Beliau bertanya tentang utangnya. Para sahabat mernjawab: “dua dinar”. Beliau pun urung menshalatkannya. Maka Ali bin Abi Thalib berkata: “keduanya menjadi kewajibanku ya Rasulullah dan jenazah itu bebas dari keduanya”. Maka Beliau menshalatkannya. Kemudian Beliau bersabda kepada Ali: “semoga Allah membalasmu dengan yang lebih baik, dan semoga Allah membebaskan tanggunganmu sebagaimana engkau telah membebaskan tanggungan temanmu” (HR. ad-Daraquthni)
Di dalam hadis diatas jelas bahwa Abu Qatadah dan Ali bin Abi Thalib telah menggabungkan tanggung jawabnya kepada tanggung jawab si mayit dalam hal kewajiban menunaikan hak finansial kepada pihak yang memberikan utang. Juga jelas bahwa penggabungan tanggung jawab itu dilakukan oleh Abu Qatadah dan Ali bin Abiy Thalib tanpa ada kompensasi. Disamping juga tampak jelas di dalam adh-dhamân itu ada penanggung (adh-dhâmin) yaitu Abu Qatadah dan Ali bin Abiy Thalib, tertanggung (al-madhmûn ‘anhu) yaitu si mayit; pihak yang menerima tanggungan (al-madhmûn lahu) yaitu pihak yang memberikan utang kepada si mayit; dan ada sesuatu yang ditanggung (al-madhmûn bihi) yaitu kewajiban membayar utang itu.
Meski dalam adh-dhamân itu tidak disyaratkan, tertanggung (al-madhmûn ‘anhu) dan yang menerima tanggungan (al-madhmûn lahu) harus jelas, melainkan keduanya boleh majhul (tidak jelas). Hal itu karena di dalam hadis diatas, jelas Rasul menyetujui adh-dhamân yang dilakukan oleh Abu Qatadah dan Ali bin Abiy Thalib. Sementara Rasul tidak menanyakan siapa jati diri jenazah itu dan siapa yang menghutanginya.
Dari hadis ini para ulama kemudian mengistinbath bahwa di dalam akad adh-dhamân itu harus ada dhammu dzimmah ilâ dzimmah (penggabungan tanggungan kepada tanggungan pihak lain). Jika tertanggung tidak memiliki tanggungan maka jelas tidak ada penggabungan tanggungan sehingga tidak akan ada adh-dhamân (pertanggungan). Adanya tanggungan (adz-dzimmah) itu akan tampak pada hak atau tanggungan yang wajib ditunaikan. Artinya adh-dhamân itu ada jika ada hak atau tanggungan finansial yang wajib ditunaikan dan terbukti sudah ada (haqq[un] wâjib[un] tsâbit[un] fî adz-dzimmah). Contohnya adalah utang si mayit itu adalah jelas merupakan hak atau tanggungan finansial yang wajib ditunaikan dan terbukti ada di dalam tanggungan si mayit. Adh-dhamân juga bisa ada jika ada hak atau tanggungan yang nantinya wajib ditunaikan dan terbukti berada di dalam tanggungan (haqq[un] yuawalu ilâ al-wâjib wa tsâbit fî adz-dzimmah). Contohnya, jika A berkata kepada seorang wanita, “menikahlah Anda dan mahar anda saya jamin”. Pada saat A mengatakannya, kewajiban mahar itu belum ada. Tetapi, nanti jika wanita itu menikah maka jelas mahar bagi si wanita itu akan menjadi hak atau tanggungan yang wajib ditunaikan dan menjadi tanggungan mempelai pria. Dalam konteks ini penanggung adalah si A, tertanggung adalah mempelai pria dan yang mendapat tanggungan adalah si wanita itu.
Inilah ketentuan syariah tentang pertanggungan (adh-dhamân). Jika kita terapkan ketentuan tersebut terhadap akad asuransi konvensional, maka tampak bahwa ketentuan syariah tentang pertanggungan itu tidak terpenuhi.
Di dalam asuransi itu tidak ada penggabungan tanggung jawab (dhammu dzimmah ilâ dzimmah) sama sekali. Perusahaan asuransi tidak menggabungkan tanggung jawabnya kepada tanggung jawab seseorang pun dalam menunaikan kewajiban finansial. Pihak penerima pertanggungan (al-muamman lahu) tidak memiliki hak finansial yang menjadi kewajiban atau yang nanti menjadi kewajiban si nasabah sebagai tertanggung (insured/al-muamman ‘anhu). Misalnya, dalam asuransi jiwa, ketika nasabah meninggal jelas pihak yang menerima pertanggungan yaitu keluarganya atau orang yang ditunjuk, tidak memiliki hak finansial yang menjadi kewajiban si nasabah yang meninggal itu. Begitu pula dalam asuransi kerugian, semisal asuransi mobil. Ketika mobil itu rusak karena sesuatu atau hilang atau dicuri, jelas bahwa nasabah yaitu pemilik mobil itu tidak memiliki hak finansial yang menjadi kewajiban pihak lain untuk memperbaiki kerusakan atau mengganti mobil itu. Jadi jelas di dalam asuransi konvensional tidak ada hak finansial yang menjadi kewajiban atau nantinya menjadi kewajiban bagi tertanggung (insured/al-muamman ‘anhu). Sementara adanya tertanggung itu ditentukan oleh adanya hak finansial yang wajib atau nantinya wajib ia tunaikan. Jika hak finansial yang wajib ditunaikan itu tidak ada maka tidak akan ada pihak yang menjadi tertanggung (insured/al-madhmûn ‘anhu). Dengan demikian dalam asuransi tersebut tidak ada yang menjadi pihak tertanggung karena tidak adanya tanggungjawab (dzimmah) atau hak finansial yang wajib atau nantinya wajib ditunaikan.
Dengan demikian akad asuransi konvensional itu telah kosong dari unsur-unsur adh-dhamân (pertanggungan) sehingga bisa dinilai sebagai adh-dhamân. Yaitu tidak ada tertanggung (insured/al-madhmûn ‘anhu). Di dalamnya juga tidak ada penggabungan tanggung jawab (dhammu dzimmah ilâ dzimmah), sementara adh-dhamân itu adalah dhammu dzimmah ilâ dzimmah. Pihak yang menerima pertanggungan juga tidak memiliki hak finansial yang wajib ditunaikan oleh nasabah yang dikatakan sebagai tertanggung. Karena semua alasan itu, maka secara syar’i akad asuransi konvensional itu merupakan akad yang batil.
Ibn Abidin (w. 1252 H/1836 M) di dalam Hasyiyah Radd al-Mukhtâr (4/170) menyatakan: “telah berlangsung kebiasaan bahwa para pedagang jika mereka menyewa kapal dari seorang kafir harbi, mereka selain menyerahkan uang sewanya juga menyerahkan sejumlah uang kepada orang kafir harbi yang tinggal di negerinya itu. Harta yang dibayarkan itu disebut sawkarah. Jika terjadi kerusakan apapun atas harta di kapal itu baik karena terbakar, tenggelam, dirampok atau lainnya, maka orang kafir harbi itu menjadi penjaminnya dengan kompensasi berupa harta yang ia terima dari para pedagang itu. Orang kafir harbi itu memiliki wakil seorang musta’man –orang kafir yang masuk ke negeri muslim karena mendapat izin– di negeri kita yang tinggal di negeri-negeri pantai bagian dari negeri Islam atas izin dari penguasa. Wakil itulah yang menerima uang sawkarah dari para pedagang tersebut. Dan jika harta para pedagang itu rusak di laut manapun, maka orang musta’man itu (wakil orang kafir harbi) akan menyerahkan pengganti harta tersebut secara sempurna kepada para pedagang itu. Yang tampak jelas bagiku adalah bahwa para pedagang itu tidak halal mengambil uang pengganti hartanya yang rusak itu karena itu artinya iltizâm mâ lâ yalzam (mewajibkan sesuatu yang tidak wajib).” Pernyataan ini agaknya merupakan jawaban Ibn Abidin tentang status hukum asuransi maritim yang marak pada masa itu dan masuk ke negeri Islam berasal dari Eropa. Di Eropa sendiri asuransi maritim itu sudah berkembang sejak abad ke-14. Kata sawkarah itu sendiri menurut Muhthafa Zarqa berasal dari bahasa perancis “sekurity” yang artinya aman dan menjadi aman. Dari sini jelas bahwa menurut Ibn Abidin, asuransi seperti itu hukumnya haram.
Disamping semua itu, ketika perusahaan asuransi berjanji atau menjamin akan membayar sejumlah uang pertanggungan jika terjadi peristiwa tak tertentu yang disebutkan di dalam klausul kontrak, perusahaan asuransi itu berkomitmen atas hal itu dengan mendapat kompensasi. Maka itu merupakan iltizâm (komitment) dengan mendapat imbalan. Yang demikian secara syar’i tidak sah. Karena syarat sah adh-dhamân adalah harus tanpa imbalan. akad asuransi karena adanya imbalan itu juga merupakan akad adh-dhamân yang batil.
Pendapat lain dalam masalah asuransi ini menilai akad asuransi sebagai akad yang bersifat pertukaran (tabâdulî). Yaitu terjadi pertukaran dimana nasabah mempertukarkan uang premi yang ia bayarkan secara berangsur dengan sejumlah uang pertanggungan yang akan ia, keluarganya atau orang yang ia tunjuk, peroleh ketika terjadi peristiwa tak tertentu yang disebutkan di dalam klausul kontrak. Penilaian demikian menjadi penilaian kebanyakan orang ketika menganalisis akad asuransi. Meski yang lebih tepat adalah memandang akad asuransi itu sebagai akad adh-dhamân (pertanggungan) yang disertai kompensasi.
Jika akad asuransi itu dipandang sebagai tabâdulî, maka juga tampak jelas hal-hal yang menjadikannya sebagai akad yang batil dan haram hukumnya. Yaitu bahwa di dalamnya tampak terdapat unsur gharar, jahalah, maisir (perjudian/gambling), riba dan kezaliman.
Gharar yang ada terjadi pada obyek yang diakadkan. Nasabah (tertanggung) asuransi pada saat akad/kontrak tidak mengetahui secara jelas/pasti berapa jumlah uang yang harus ia bayar dan sampai kapan. Ia juga tidak tahu apakah akan bisa mendapatkan uang pertanggungan atau tidak. Begitu pula perusahaan asuransi pada saat akad/kontrak tidak mengetahui berapa jumlah uang premi yang akan ia peroleh dan juga tidak bisa memastikan apakah harus membayar uang pertanggungan atau tidak. Jadi unsur jahalah (ketidakjelasan) sangat menonjol dalam akad asuransi. Dimana jahalah ini ada pada harta yang dipertukarkan dari kedua pihak. Jahalah yang besar itu terjadi pada obyek akad yang merupakan salah satu rukun akad. Dengan demikian akad asuransi itu batil karena salah satu rukunnya tidak terpenuhi.
Nasabah dan perusahaan asuransi juga mendasarkan kewajiban dan apa yang akan diperoleh pada unsur gambling (untung-untungan) karena mendasarkan pada peristiwa tak tertentu. Peristiwa itu bisa terjadi kapan saja, dan sebaliknya bisa juga tidak terjadi. Jika peristiwa itu terjadi maka nasabah akan mendapat uang pertanggungan meski misalnya baru dua kali membayar uang premi. Seakan nasabah mempertaruhkan sedikit uang untuk mendapatkan uang yang banyak. Sebaliknya perusahaan asuransi seakan mempertaruhkan uang pertanggungan untuk mendapatkan kumulasi uang premi. Jika sampai akhir masa pertanggungan tidak terjadi peristiwa yang disepakati maka nasabah tidak akan mendapatkan uang pertanggungan. Sebaliknya perusahaan asuransi akan mendapatkan kumulasi uang premi itu tanpa mengeluarkan kompensasi. Dari deskripsi ini tampak jelas adanya unsur maysîr (gambling/judi). Sementara maysîr sangat tegas dilarang (diharamkan) di dalam al-Quran (QS. al-Mâidah [5]: 90).
Disamping itu di dalam akad asuransi itu jika dipandang sebagai pertukaran, tampak di dalamnya ada riba. Nasabah mempertukarkan sejumlah uang dengan mendapat uang yang lebih banyak. Karena jumlah uang pertanggungan biasanya jauh lebih besar dari kumulasi premi yang dibayar. Dilihat dari sisi ini tampak jelas adanya riba fadhl, karena mempertukarkan uang jenis yang sama (misalnya, rupiah dengan rupiah) dengan jumlah yang tidak sama. Disamping itu, nasabah akan mendapatkan uang pertanggungan itu sebagai kompensasi dari uang premi yang ia bayarkan secara berangsur. Artinya ia mendapat uang pertanggungan setelah jangka waktu tertentu dari waktu ia menyerahkan uang premi. Dimana uang pertanggungan lebih besar dari kumulasi uang premi. Dilihat dari sisi ini tampak jelas adanya riba nasiah, sebab tambahan itu terjadi karena adanya tempo.
Dengan demikian jika akad asuransi itu dipandang sebagai pertukaran sekalipun, tampak jelas kebatilan dan keharamannya. Karena obyek akadnya (al-ma’qûd ’alayh) tidak jelas atau majhûl. Di dalam obyek akad itu terdapat gharar. Juga bahwa akad asuransi itu merupakan bentuk gambling. Disamping tampak jelas di dalamnya terdapat riba.
Konsekuensinya, sebagai akad yang batil maka haram bagi seorang muslim siapapun dia melangsungkan akad asuransi. Akad yang batil dalam pandangan syariah dinilai gugur sejak awal, seakan tidak pernah terjadi akad itu. Jika sudah terlanjur, maka harus dikembalikan kepada keadaan awal sebelum terjadinya akad asuransi tersebut. Selain itu, sebagai akad yang batil, semua harta yang diperoleh dengan akad yang batil statusnya adalah harta yang diperoleh dengan tata cara yang tidak sesuai dengan syariah, atau diperoleh dengan cara yang tidak haq. Karenanya harta yang diperoleh dari akad asuransi itu adalah harta yang haram.
Asuransi Syariah, Beberapa Catatan
Asuransi syariah dikampanyekan sebagai alternatif bagi kaum muslim untuk menjalankan akad asuransi. Sesuai dengan fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) tentang Pedoman Umum tentang Asuransi Syariah disebutkan bahwa asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan / atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud tersebut adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat. Asuransi syariah itu disebut ta’mîn, takâful atau tadhâmun. Konsep dasarnya adalah adanya saling menanggung diantara peserta asuransi. Dengan demikian jelas bahwa asuransi syariah itu juga merupakan adh-dhamân (pertanggungan).
Dipercaya oleh banyak kalangan bahwa asuransi syariah dijalankan sesuai dengan prinsip syariah. Hanya saja dari perkembangan berjalannya asuransi syariah, tampak ada kesenjangan antara tataran konsep dengan tataran aplikasi. Dalam tataran konsep dan aplikasi masih ada beberapa pertanyaan dan catatan.
Pertama, bahwa asuransi syariah jelas termasuk adh-dhamân. Agar sah maka akad asuransi syariah itu harus memenuhi syarat dan ketentuan syariah tentang adh-dhamân. Yaitu di dalamnya harus ada: penanggung (adh-dhâmin), tertanggung (al-madhmûn ‘anhu), yang mendapat pertanggungan (al-madhmûn lahu) dan penggabungan tanggung jawab penanggung kepada tanggungan jawab tertanggung (dhammu dzimmah adh-dhâmin ilâ dzimmah al-madhmûn ‘anhu). Agar ada dhammu dzimmah adh-dhâmin ilâ dzimmah al-madhmûn ‘anhu, harus ada hak finansial yang wajib atau nantinya wajib ditunaikan oleh tertanggung. Jika kita telaah akad asuransi syariah, tampak bahwa dari sisi jenis asuransinya tidak berbeda dengan asuransi konvensional. Yang berbeda hanya prosedur dan mekanismenya saja. Di dalam akad asuransi syariah tampak bahwa di dalamnya tidak terdapat hak finansial yang wajib atau nantinya wajib ditunaikan oleh nasabah. Misalnya, asuransi jiwa syariah, jelas tidak ada hak finansial yang wajib atau nantinya wajib ditunaikan oleh nasabah kepada pihak yang mendapat pertanggungan (keluarganya atau pihak yang dia tunjuk). Begitu juga dalam asuransi kerugian syariah seperti dalam asuransi kebakaran syariah. Didalamnya tidak ada hak finansial yang wajib atau nantinya wajib ditunaikan oleh nasabah sebagai tertanggung kepada pihak yang mendapat pertanggungan. Hal yang sama dapat dilihat pada semua bentuk asuransi syariah yang ada.
Tidak adanya hak finansial yang wajib atau nantinya wajib ditunaikan oleh nasabah sebagai tertanggung (al-madhmûn ‘anhu) agaknya merupakan konsekuensi yang terlihat sejak awal dirumuskannya asuransi syariah. Hal itu karena asuransi syariah disodorkan sebagai alternatif untuk menghilangkan aspek-aspek bermasalah yang ada pada asuransi konvensional. Sementara dari berbagai analisis yang ada, hal-hal bermasalah dalam asuransi konvensional itu adalah gharar, jahalah, riba, kezaliman, maysîr (gambling). Hal itu karena akad asuransi konvensional dipandang sebagai akad tabâdulî. Padahal semestinya, akad asuransi konvensional itu pertama-tama harus dipandang dan dianalisis sebagai akad adh-dhamân (pertanggungan).
Karena tidak ada hak finansial yang wajib atau nantinya wajib (haqq wâjib aw yuawwal ilâ al-wâjib) ditunaikan oleh tertanggung (nasabah) kepada pihak yang mendapat pertanggungan, itu artinya tidak ada tanggung jawab (dzimmah) bagi nasabah. Karena itu tidak mungkin akan ada penggabungan dzimmah (tidak akan ada dhammu dzimmah ilâ dzimmah). Padahal suatu akad adh-dhamân sehingga bisa dinilai sebagai akad adh-dhamân yang sah secara syar’i harus ada penggabungan tanggungjawab (harus ada dhammu dzimmah ilâ dzimmah).
Kedua, Jika asuransi syariah itu menggunakan model tabarru’ murni atau model non saving, artinya akad yang ada adalah akad tabarru’ yang diniatkan untuk saling menanggung (takâfulî). Tabarru’ secara syar’i adalah hibah. Hibah adalah pemindahan kepemilikan tanpa kompensasi apapun. Nah apakah hal itu benar-benar terpenuhi? Bagaimanapun juga setiap nasabah ketika ikut serta menjadi peserta asuransi, ia berharap akan mendapat uang pertanggungan ketika terjadi peristiwa yang disebutkan di dalam kontrak. Disamping itu hibah tidak dibenarkan ditarik kembali, apalagi dengan pengembalian yang lebih besar. Dari Ibn Abbas bahwa Rasul saw pernah bersabda:
الْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ
Orang yang menarik hibahnya seperti anjing yang menjilati ludahnya (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, an-Nasai, Ibn Majah dan Ahmad)
Pada sebagian praktek asuransi syariah yang menggunakan model tabarru’ murni (non saving) terdapat pengembalian dana kepada nasabah yang disebut pengembalian kelebihan pengelolaan dana tabarru’ atau pengembalian surplus underwriting. Apakah yang demikian tidak menyalahi ketentuan hibah tersebut?
Ketiga, adanya dua transaksi dalam satu akad. Pada asuransi yang disertai saving, premi nasabah dipisahkan menjadi dua, sebagian kecil dijadikan dana tabarru’, dan sebagian besarnya dijadikan penyertaan modal dalam syarikah mudharabah dimana perusahaan asuransi dikatakan sebagai pengelola dan nasabah sebagai pemilik modal. Pertanyaannya adalah bisakah nasabah ikut salah satu saja, misalnya ikut akad tabarru’ saja atau ikut akad mudharabah saja? Jika jawabannya tidak, artinya nasabah harus ikut dua-duanya sekaligus dan kedua transaksi itu diakadkan dalam satu akad sekaligus, maka jelas terjadi dua transaksi dalam satu akad. Atau melangsungkan satu akad dengan mempersyaratkan akad lain. Dalam hal ini Ibn Mas’ud menuturkan bahwa Nabi saw pernah bersabda:
« نَهَى رَسُولُ اللَّهِ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ »
Rasulullah saw melarang dua transaksi dalam satu akad (HR. Ahmad, al-Bazar dan ath-Thabrani)
Makna shafqatayn fî shafqatin wâhidah adalah wujûd ‘aqdayn fî ‘aqdin wâhidin (adanya dua akad dalam satu akad). Disamping itu Rasulullah saw juga pernah bersabda:
« لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلاَ شُرْطَانُ فِيْ بَيْعٍ، وَلاَ رِبْحٌ مَا لَمْ يُضْمَنْ، وَلاَ بَيْعٌ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ »
Tidak halal salaf dan jual beli, tidak halal dua syarat dalam satu jual beli, tidak halal keuntungan selama (barang) belum didalam tanggungan dan tidak halal menjual apa yang bukan milikmu (HR. an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan ad-Daruquthni)
Menurut para fukaha, larangan hadis ini diantaranya mencakup adanya bay’ wa syarth yaitu salah satu pihak dalam akad bay’-nya mensyaratkan kepada pihak lain akad/transaksi lain baik utang, sewa, kontrak kerja, bay’ lainnya, atau yang lain. Dalam hadis tersebut Nabi saw menyatakan “la yahillu (tidak halal)”. Ini adalah qarinah jazim yang menunjukkan bahwa apa yang dilarang itu adalah haram, karena lafal “tidak halal” maknanya adalah haram. Dengan demikian akad yang di dalamnya terjadi dua transaksi atau disyaratkan akad/transaksi lain, merupakan akad/transaksi yang batil.
Keempat, tentang kedudukan perusahaan asuransi syariah. Di dalam asuransi syariah non saving murni, perusahaan asuransi berfungsi sebagai wakil para peserta takaful untuk mengelola takaful dan memenejnya termasuk memasarkannya. Untuk itu perusahaan berhak mendapat kompensasi berupa upah. Akad yang digunakan adalah wakalah bil ujrah. Dalam asuransi jenis ini, maka perusahaan berstatus sebagai wakil para peserta dengan mendapat fee. Perusahaan tidak berhak mendapat bagi hasil dari pengelolaan dana tabarru’. Sedangkan dalam asuransi yang disertai saving, maka selain akad wakalah bil ujrah, perusahaan juga melangsungkan akad mudharabah dengan peserta (nasabah) baik perusahaan ikut andil modal ataupun tidak.
Ketentuan syariah tentang mudharabah, bahwa mudharabah merupakan syarikah antara modal dengan badan. Artinya harus ada pihak pemilik modal dan pihak pengelola. Pihak pengelola sendiri juga boleh ikut andil modal. Pihak pengelola merupakan pihak yang mengelola kegiatan bisnis syarikah itu. Masalahnya di dalam asuransi, benarkah perusahaan asuransi berfungsi dan menjalankan peran sebagai pengelola? Benarkah perusahaan asuransi mengelola langsung dana/modal yang disetor nasabah? Jawabannya adalah tidak. Hal itu karena perusahaan asuransi termasuk lembaga keuangan non bank. Menurut UU, lembaga keuangan non bank hanya boleh menghimpun dan tidak boleh menyalurkannya apalagi memutarnya sendiri dalam kegiatan usaha riil. Jika tidak dikelola/diputar sendiri lalu dana/modal nasabah itu diapakan? Jawabannya adalah disalurkan ke bank. Jika disalurkan ke bank konvensional, jelas bahwa pendapatannya berasal dari riba. Tentu saja hal ini haram. Jika disalurkan ke Bank syariah, ternyata bank syariah juga tidak mengelola/memutar modal yang diterimanya dalam kegiatan usaha riil. Hal itu karena sesuai UU, lembaga keuangan berupa bank hanya boleh menghimpun dan menyalurkan dana tetapi tidak boleh melakukan kegiatan usaha riil. Dengan demikian, jika disalurkan ke bank syariah, dana itu akan disalurkan lagi oleh bank syariah itu kepada pengusaha. Artinya, di sini perusahaan asuransi sebagai pengelola syarikah mudharabah dana premi nasabah, tidak mengelola langsung dana itu, tetapi justru menyalurkannya ke bank. Artinya perusahaan asuransi bertindak sebagai pemilik modal dalam syarikah dengan bank. Selanjutnya bank sebagai pengelola dana yang diterima dari perusahaan asuransi itu juga tidak mengelola langsung dana itu, tetapi kembali menyalurkan kepada pengusaha dan bertindak sebagai pemilik modal. Masalahnya terjadi di sini. Bolehkah secara syar’i, pihak pengelola dalam syarikah mudharabah, tidak mengelola atau memutar langsung modal syarikah itu, dan hanya menyalurkannya kepada pihak lain yang kemudian mengelolanya? Secara syar’i apakah dibenarkan, pengelola syarikah mudharabah itu lalu menyalurkan modal syarikah itu dan bertindak sebagai pemilik modal?
Jawabnya adalah tidak boleh. Karena pengelola ikut serta dalam syarikah itu dengan badan, tenaga dan pikirannya. Karenanya pengelola harus mengelola langsung usaha syarikah itu dengan badan, tenaga dan pikirannya. Jika kemudian dana syarikah itu disalurkan dalam syarikah lainnya kepada pengelola lainnya, maka pada saat itu pengelola itu tidak lagi bertindak sebagai pengelola tetapi bertindak sebagai pemilik modal terhadap pengelola lain itu. Jika perusahaan asuransi sebagai pengelola menyalurkan lagi dana mudharabah itu kepada bank, maka pada saat itu bank lah yang bertindak sebagai pengelola atas dana yang sama, sedangkan perusahaan asuransi bertindak sebagai pemilik modal. Artinya yang bertindak sebagai pengelola langsung atas modal itu adalah bank. Hak pengelolaan dana itu sepenuhnya menjadi wewenang pengelola yaitu bank. Itu artinya perusahaan asuransi tersebut tidak lagi mengelola dana mudharabah dari nasabah, padahal ia berstatus sebagai pengelola. Hal yang sama terjadi lagi ketika bank menyalurkan kembali dana itu kepada pengusaha. Maka yang mengelola dana itu secara langsung adalah pengusaha itu, bukan perusahaan asuransi dan bukan pula bank. Padahal perusahaan asuransi dan bank berstatus sebagai pengelola, namun faktanya tidak mengelola langsung modal syarikahnya. Dengan demikian hal itu tidak memenuhi ketentuan syariah tentang syarikah.
Lalu jalan keluarnya bagaimana? Jalan keluarnya, perusahaan asuransi bisa bertindak sebagai perantara antara nasabah dan pengusaha. Sebagai perantara, perusahaan asuransi bisa mendapat komisi. Atau perusahaan asuransi bisa juga bertindak sebagai wakil dari nasabah dalam berhubungan dengan pengusaha. Perusahaan asuransi dalam hal ini bisa menerima fee (upah).
Solusi Akhir
Masalah asuransi ini muncul dalam konteks sistem kapitalisme dimana peran negara harus seminimal mungkin. Masalah asuransi ini tidak akan marak dalam kerangka sistem islam. Hal itu karena dalam sistem islam, negara berkewajiban menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok tiap-tiap individu rakyat, dan menjamin pemberian kemungkinan kepada tiap orang untuk bisa memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kemampuannya. Kebutuhan pokok yang wajib dijamin pemenuhannya oleh nagara untuk tiap individu rakyat itu adalah pangan, sandang dan tempat tinggal. Negara juga wajib menjamin langsung pemenuhan kebutuhan akan kesehatan, pendidikan dan keamanan. Dengan demikian tentu tidak akan diperlukan adanya asuransi pendidikan dan kesehatan karena pemenuhan pendidikan dan pelayanan kesehatan diberikan oleh negara secara gratis dan memadai kepada setiap individu rakyat. Begitu pula dengan diterapkan sistem islam, peluang berusaha menjadi terbuka bagi setiap orang. Dalam ketentuan islam, negara berkewajiban memelihara segala urusan rakyat. Diantara pemeliharaan uruasan rakyat itu, negara memberi bantuan yang diperlukan oleh rakyat dalam menjalankan usaha baik modal, sarana, informasi atau lainnya. Jika hal demikian diterapkan, maka asuransi dengan berbagai jenisnya tidak menjadi sesuatu yang penting di tengah-tengah masyarakat.
Tambal sulam atau modifikasi asuransi yang ada agar islami, tidak akan menyelesaikan permasalahan yang ada secara tuntas. Jadi untuk mensolusi masalah asuransi secara tuntas tidak lain adalah dengan menerapkan syariah islam dalam bingkai sistem islam yaitu Khilafah Islamiyah. WaLlâh a’lam wa ahkam.(www.taman-langit7.co.cc)
0 komentar:
Posting Komentar