Pandangan Islam Tentang Asuransi

Asuransi syariah dikampanyekan sebagai alternatif bagi kaum muslim untuk menjalankan akad asuransi. Sesuai dengan fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) tentang Pedoman Umum tentang Asuransi Syariah disebutkan bahwa asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan / atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.

Yang Teristimewa Bagi Wanita

"...Wahai pena..! Titiplah salam kami teruntuk kaum wanita. Tak usah jemu kau kabarkan bahwa mereka adalah lambang kemuliaan. Sampaikanlah bahwa mereka adalah aurat ..."

Sistem Pemerintahan Islam Berbeda dengan Sistem Pemerintahan yang Ada di Dunia Hari ini

Sesungguhnya sistem pemerintahan Islam (Khilafah) berbeda dengan seluruh bentuk pemerintahan yang dikenal di seluruh dunia

Video: Puluhan Ribu Warga Homs Suriah Berikrar, Pertolongan Bukan dari Liga Arab atau Amerika Tapi dari Allah!

.

Analisis : Polugri AS di Asia Tenggara

Secretary of State Amerika Serikat Hillary Clinton 21 Juli 2011 lalu berkunjung ke Indonesia. Sebelumnya, dia melawat dua hari ke India untuk ambil bagian dalam konferensi tingkat menteri ASEAN yang diselenggarakan di Bali 22 Juli.

Khilafah: Solusi, Bukan Ancaman

Berbagai macam dampak destruktif akibat penerapan sistem kapitalis-sekular telah mendorong manusia untuk mencari sistem baru yang mampu mengantarkan mereka menuju kesejahteraan, keadilan, kesetaraan dan kemakmuran. Dorongan itu semakin kuat ketika kebijakan-kebijakan jangka pendek dan panjang selalu gagal mencegah dampak buruk sistem kapitalis.

MIMPI PARA ULAMA BUKAN SEMBARANG MIMPI

Apakah Anda tadi malam bermimpi? Apa mimpi Anda? Kata orang, mimpi hanyalah kembang (bunga) orang tidur. Maksudnya, mimpi tidak bermakna signifikan. Tapi, sebenarnya tidak semua mimpi tak ada artinya.

Nasehat Imam Abdurrahman bin Amru al-Auza’iy :Empat Tipe Pemimpin

Ada nasihat berharga yang disampaikan Imam Abdurrahman bin Amru al-Auza’iy kepada Khalifah Abu Ja’far al-Manshur, ketika ulama besar itu dimintai nasihat.

24 Februari 2012

Konferensi Khilafah Mahasiswa


Konferensi Khilafah Mahasiswa Sulawesi Tenggara

Ahad, 4 Maret 2012

Auditorium Mokodompit Universitas Haluoleo
Diselenggarakan oleh:
Hizbut Tahrir Indonesia Chapter Universitas Haluoleo
Sekretariat:
Kompleks Perumahan Kendari Permai Blok P5 No. 3
Telp: 081943340839 (Mahmud) 085241872774 (Asma)
E-mail: panpelkkm2012@yahoo.com
Facebook: Konferensi Khilafah Mahasiswa Sultra
Blog: kkmsultra2012.wordpress.com



20 Februari 2012

Seruan Kebangkitan Khilafah di Amerika Syarikat agar Derita Umat Islam di Syria Diselesaikan Segera

Chicago, 19 Februari 2012 - Umat Islam dari seluruh kawasan Chicago di negara utama kapitalis Amerika Syarikat telah menghadiri satu seruan pada hari Sabtu, 24 Disember 2011 yang lalu untuk menyokong perjuangan rakyat Syria terhadap rejim kejam yang menindas iaitu rejim Bashar Al-Assad.

Selama lebih lima dekad, keluarga Al-Assad telah menjalankan salah satu kerajaan yang paling kejam dan melakukan penindasan kepada rakyat Syria.

Pada masa yang sama, Syria juga telah digunakan sebagai kuasa talibarut oleh kuasa-kuasa Barat untuk mengekalkan kepentingan mereka di rantau tersebut dengan menjalankan operasi terancang di Lubnan dan Iraq untuk melindungi Israel.

Perhambaan kepada tuan-tuan mereka iaitu Amerika, Russia dan China, rejim Al-Assad telah menjalankan salah satu daripada pemerintahan diktator yang paling kejam, menjalankan pembunuhan beramai-ramai termasuk pembunuhan beramai-ramai Hama, membunuh lebih daripada 40,000 orang dan pembunuhan beramai-ramai terhadap penunjuk perasaan pada tahun ini.

Umat ​​Islam di Syria telah menuntut penyingkiran rejim yang menindas ini dan ingin mengembalikan keadilan Islam melalui tertegaknya kembali Negara Islam Global / Daulah Khilafah Islamiyah walaupun setelah beribu-ribu insan yang telah dibunuh dengan kejam.

Dengan menggunakan slogan-slogan dan memegang papan tanda, peserta perhimpunan aman di Chicago menyokong saudara-saudara mereka di Syria dan menyeru seruan yang sama untuk penyingkiran rejim Al-Assad, penyingkiran ejen Barat dan penubuhan semula Khilafah. [ hizb-america.org / arrayah.info / taman-langit7.co.cc ]

Sumber : http://hizb-america.org/activism/local/2270-photos-a-video-protest-support-the-people-of-syria

Video

Pembatasan BBM Bersubsidi atau Kenaikan BBM: Kebijakan Khianat dan Dzalim Terhadap Rakyat

Beban hidup rakyat dipastikan semakin bertambah berat  dengan keluarnya kebijakan pemerintah tentang pembatasan BBM bersubsidi, ataupun pengurangan subsidi BBM (kenaikan harga BBM).  Sebab, kebijakan ini dipastikan akan disusul oleh kenaikan harga kebutuhan pokok, barang, dan jasa yang berarti meningkatnya biaya dan beban hidup rakyat.  Padahal, sebelumnya, rakyat sudah menanggung beban berat akibat privatisasi PSO (public service obligation) yang telah merambah pada pelayanan public dasar, seperti air, listrik, kesehatan, dan pendidikan.  Ironisnya lagi, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi -yang ujungnya adalah pencabutan subsidi BBM secara total- bukanlah kebijakan yang lahir dari aspirasi rakyat, akan tetapi lahir akibat adanya campur tangan dan intervensi asing.  Atas dasar itu, kebijakan ini tidak hanya mendzalimi rakyat, lebih dari itu, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi telah membuka jalan bagi asing untuk menguasai sepenuhnya sector energy di Indonesia.

Lantas, bagaimana pandangan syariat Islam terhadap kebijakan pembatasan BBM bersubsidi atau kenaikan harga BBM?

Pembatasan BBM Bersubsidi atau Kenaikan Harga BBM: Haram

Jika diteliti secara jernih dan mendalam, dapatlah disimpulkan bahwa hukum pembatasan BBM bersubsidi dan kenaikan harga BBM adalah haram. Adapun alasan keharaman dua opsi kebijakan itu adalah sebagai berikut:

1. Kebijakan Tersebut Adalah Turunan Dari Kebijakan Haram Privatisasi

Pada dasarnya, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi maupun kenaikan harga BBM  merupakan akibat dari kebijakan privatisasi dan liberalisasi tambang minyak dan gas bumi yang diharamkan syariat Islam. Pasalnya, tambang minyak dan gas bumi termasuk dalam kategori kepemilikan umum (collective property)yang dari sisi kepemilikan tidak boleh diserahkan kepada individu, atau hanya bisa diakses oleh individu-individu tertentu. Negara dilarang menyerahkan atau menguasakan harta milik umum kepada seseorang atau perusahaan swasta. Negara juga dilarang memberikan hak istimewa bagi individu atau perusahaan swasta untuk mengeksploitasi, mengolah, dan memonopoli pendistribusiaannya. Ketentuan ini didasarkan pada alasan-alasan berikut ini.

Pertama, Nabi saw menarik kembali tambang garam yang diberikannya kepada Abyad bin Hamal, setelah beliau mengetahui depositnya melimpah ruah bagaikan air mengalir.   Imam Abu Dawud menuturkan sebuah hadits dari Ibnu al-Mutawakkil bin ‘Abd al-Madaan, dari Abyad bin Hamal ra, bahwasanya ia berkata:

أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ قَالَ ابْنُ الْمُتَوَكِّلِ الَّذِي بِمَأْرِبَ فَقَطَعَهُ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ قَالَ فَانْتَزَعَ مِنْهُ
“Sesungguhnya, Abyad bin Hamal mendatangi Rasulullah saw, dan meminta beliau saw agar memberikan tambang garam kepadanya.  Ibnu al-Mutawakkil berkata,”Yakni tambang garam yang ada di daerah Ma’rib.”  Nabi saw pun memberikan tambang itu kepadanya.  Ketika, Abyad bin Hamal ra telah pergi, ada seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukan Anda, apa yang telah Anda berikat kepadanya?Sesungguhnya, Anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa’ al-‘idd)”. Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah saw mencabut kembali pemberian tambang garam itu darinya (Abyad bin Hamal)”.[HR. Imam Abu Dawud]

Imam Abu Dawud juga menuturkan sebuat riwayat dari Mohammad bin Yahya bin Qais al-Ma’rabiy dari Abyad bin Hammal ra, bahwasanya dia berkata;

أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَقْطَعَهُ الْمِلْحَ ، فَلَمَّا أَدْبَرَ ، قَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَتَدْرِي مَا أَقْطَعْتَهُ ، إِنَّمَا أَقْطَعْتَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ ، قَالَ : فَرَجَعَ فِيهِ
“Sesungguhnya Abyad bin Hammal ra berkunjung kepada Nabi saw, dan Rasulullah saw memberinya tambang garam. Ketika Abyad bin Hammal telah pergi, seorang laki-laki berkata, “Ya Rasulullah, tahukah Anda apa yang telah Anda berikan kepadanya?  Sesungguhnya Anda telah memberinya sesuatu seperti air mengalir”. Abyad bin Hammal berkata, “Rasulullah saw menarik kembali pemberian itu”. [HR. Imam Abu Dawud]

Hadits di atas menjelaskan bahwasanya tambang yang depositnya melimpah tidak boleh dialihkan kepemilikannya kepada individu atau swasta.  Seandainya tidak ada larangan dalam masalah ini, niscaya Rasulullah saw tidak menarik kembali apa yang telah diberikannya kepada orang lain. Sebab, dalam hadits lain, Rasulullah saw melarang seseorang untuk menarik kembali barang yang telah diberikan kepada orang lain, kecuali pemberian orang tua kepada anaknya.

Imam Bukhari menuturkan sebuah hadits bahwasanya Nabi saw bersabda:

عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ لَنَا مَثَلُ السَّوْءِ الَّذِي يَعُودُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَرْجِعُ فِي قَيْئِهِ
“Dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas ra, bahwasanya ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada bagi kami perumpamaan yang lebih buruk bagi orang yang menarik kembali hadiahnya, seperti anjing yang menjilat muntahannya kembali“.[HR. Imam Bukhari]

Dari Ibn ‘Umar dan Ibn ‘Abbas bahwa Rasulullah saw bersabda:

لايحل لرجل أن يعطي عطية أو يهب هبة فيرجع فيها إلا الوالد فيما يعطي ولده ومثل الذي يعطي العطية ثم يرجع فيها كمثل الكلب يأكل فإذا شبع قاء ثم عاد في قيئه “
Tidak halal bagi seseorang memberikan suatu pemberian, kemudian dia mengambil kembali pemberiannya, kecuali apa yang diberikan orang tua kepada anaknya. Perumpamaan orang yang memberikan suatu pemberian lalu menarik kembali pemberiannya bagaikan anjing yang makan, setelah kenyang ia muntah, kemudian memakan muntahannya kembali”. [HR Abu Dawud, al-Nasa'i, Ibn Majah, dan al-Tirmidziy]

Dalam hadits di atas, Rasulullah saw menyebut ‘tidak halal’ perbuatan menarik kembali barang yang telah diberikan kepada orang lain. Rasulullah saw mencela perbuatan tersebut dengan menyamakannya dengan anjing yang memakan kembali makanan yang telah dimuntahkannya. Ini berarti tindakan menarik kembali pemberian yang telah diberikan -sebagaimana dipahami jumhur ulama’– adalah haram, kecuali orang tua terhadap anaknya.

Jika Rasulullah saw melarang menarik kembali barang pemberian, sementara beliau sendiri melakukannya, dan itu dilakukan setelah beliau mengetahui bahwa tambang  yang diberikan itu depositnya melimpah (al-maa`u al-‘iddu), maka semua itu menunjukkan bahwa benda tersebut tidak boleh dimiliki secara pribadi.  Jika sudah terlanjur dimiliki, negara harus menariknya kembali. Sebab, orang tersebut telah menguasai suatu benda yang oleh syariat dikategorikan sebagai milik bersama.

Larangan tersebut tidak terbatas pada tambang garam saja. Sebab yang menjadi ‘illat tidak diperbolehkannya tambang garam dimiliki secara pribadi adalah karena jumlahnya yang berlimpah (al-maa’u al-’iddu).  Jika pelarangan itu ditujukan kepada dzat garamnya, tentu Rasulullah saw sejak awal menolak permintaan Abyad bin Hamal untuk memiliki tambang garam. Akan tetapi Rasulullah saw baru melarang tambang garam itu dimiliki secara perorangan, setelah mendapatkan penjelasan dari para sahabat bahwa tambang garam yang beliau berikan itu bagaikan air yang tak terbatas. Cakupan tambang itu bersifat umum, meliputi setiap barang tambang apa pun jenisnya tatkala jumlah (depositnya) sangat banyak atau tidak terbatas.

Kedua, kaum Muslim memiliki hak, andil, dan bagian yang sama terhadaptambang minyak dan gas bumi. Menguasakan atau memberi hak istimewa kepada individu atau perusahaan swasta untuk mengolah dan mendistribusikannya sama artinya telah merampas hak, andil, dan kesetaraan pihak lain.  Imam Ahmad dan Imam Abu Dawud, Imam An Nasaaiy, dan lain-lain,  menuturkan sebuah hadits bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

الناس شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ
Manusia itu berserikat (bersama-sama memiliki) dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api”. [HR Ahmad, Abu Dawud, An Nasaaiy, dll).

Dalam hadits yang diriwayatkan Ibn Majah dari Ibn Abbas ada tambahan,"Dan harganya haram":

المسلمون شركاء في ثلاث في الماء والكلأ و النار وثمنه حرام
"Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal; air, padang rumput, dan api, dan harganya haram".[HR. Imam Ibnu Majah]

Dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa kaum Muslim berserikat terhadap tiga jenis barang, yakni air, padang rumput, dan api. Kata al-syuraka’ merupakan bentuk jamak dari kata al-syarik, berasal dari kata al-syirkah atau al-musyarakah yang berarti khilt [al-milkayn (campuran dua kepemilikan) atau sesuatu yang dimiliki oleh dua orang atau lebih].  Imam Ibnu Mandzur dalam Kitab Lisaan al-’Arab menyatakan:

الشِّرْكَةُ والشَّرِكة سواء مخالطة الشريكين يقال اشترَكنا بمعنى تَشارَكنا وقد اشترك الرجلان وتَشارَكا وشارَك أَحدُهما الآخر …وروي عن النبي صلى الله عليه وسلم أَنه قال الناسُ شُرَكاء في ثلاث الكَلإ والماء والنار قال أَبو منصور ومعنى النار الحَطَبُ الذي يُستوقد به فيقلع من عَفْوِ البلاد وكذلك الماء الذي يَنْبُع والكلأُ الذي مَنْبته غير مملوك والناس فيه مُسْتَوُون

“Asy-Syirkah wa al-Syarikah sama saja, yakni mukhaalithah al-syarikain (bercampurnya dua peserikat). Dikatakan, “Isytaraknaa (kami berserikat), maknanya adalah “tasyaaraknaa (kami saling berserikat).Wa qad isytaraka al-rajulaan (dua orang laki-laki berserikat), artinya adalah tasyaaraka (keduanya saling berserikat), dan satu dengan yang lain saling berserikat…Diriwayatkan dari Nabi saw bahwasanya beliau bersabda, “Manusia saling berserikat dalam tiga hal, padang rumput, air, dan api.  Abu Manshur berkata, “Makna al-naar (api) adalah kayu yang digunakan untuk membakar dan ditebang dari tempat yang jauh. Demikian juga air yang berasal dari mata air, dan padang rumput yang tumbuh yang tidak ada pemiliknya, maka, seluruh manusia memiliki hak yang sama di dalamnya..[Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-‘Arab, juz 10/448]

Kata “al-syurakaa’” dengan makna “bercampurnya kepemilikan, juga disitir di dalam Al-Quran. Allah SWT berfirman:

فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ﴿١٢﴾
Jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya“. [TQS An Nisaa' (4): 12]

Imam al-Baidlawiy menafsirkan frase [Fahum shuraka' fi tsuluts'] dengan:

{ فَلِكُلّ واحد مّنْهُمَا السدس فَإِن كَانُواْ أَكْثَرَ مِن ذلك فَهُمْ شُرَكَاء فِي الثلث } سوى بين الذكر والأنثى في القسمة
“[Falikulli waahid minhumaa al-sudus fain kaanuu aktsara min dzaalik fahum syurakaa` fi al-tsuluts]: disamakan antara laki-laki dan wanita dalam bagian (perolehan)..”[Imam al-Baidlawiy, Anwaar al-Tanziil wa Asraar al-Ta`wiil, juz 1/435]

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa makna “syurakaa`” adalah sama-sama memiliki bagian dan andil yang sama.   Tidak disebut “perserikatan” (syurakaa’) jika orang-orang yang berserikat dalam sebuah perserikatan tidak memiliki kesamaan dan kesetaraan dengan pihak lain dalam urusan yang diperserikatkan.

Walhasil, jika dinyatakan ‘al-muslimun syuraka’ fi tsalats‘, berarti seluruh kaum Muslim sama-sama memiliki hak, andil, dan bagian yang sama dalam tiga jenis benda yang disebutkan dalam hadits di atas, yakni: air, padang rumput, dan api.  Tidak boleh ada yang dilebihkan atau diistimewakan antara satu dengan yang lain dalam hal kepemilikan dan pemanfaatan tiga barang tersebut. Kesamaan dan kesetaraan dalam tiga barang ini tentu saja tidak akan pernah bisa diwujudkan jika benda itu menjadi milik pribadi. Sebab, ketika tiga barang itu dimiliki secara pribadi, niscaya akan menghalangi orang lain untuk memanfaatkannya. Selain itu, redaksi ‘dan harganya haram’ dalam riwayat Ibn Majah menunjukkan bahwa ketiga jenis benda tersebut tidak boleh diperjualbelikan.

Ketiga, di dalam kitab-kitab fikih mu’tabar, para ulama juga sepakat mengenai larangan menjual kelebihan air (fadllu al-maa`).  Ketentuan ini didasarkan pada hadits yang dituturkan dari Iyas bin ‘Abd, bahwasanya ia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ فَضْلِ الْمَاءِ
Sesungguhnya Nabi saw melarang menjual kelebihan air.” [HR Lima kecuali Ibn Majah dan disahihkan al-Tirmidziy].  Di dalam riwayat lain, dituturkan dari Jabir ra, bahwasanya ia berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ فَضْلِ الْمَاءِ
“Rasulullah saw melarang menjual kelebihan air”.[HR. Imam Muslim dan lain-lain]

Imam al-Qusyairiy menyatakan bahwa hadits riwayat dari Iyas bin ‘Abd adalah hadits yang memenuhi syarat Imam Bukhari dan Muslim.  Sedangkan hadits Jabir ra juga dituturkan dalam Shahih Muslim, yang lafadznya sama dengan hadits riwayat Iyas bin ‘Abd ra.

Menurut Imam Asy Syaukaniy, hadits ini menunjukkan haramnya menjual kelebihan air, yakni kelebihan dari kecukupan (kebutuhan) orang  yang memiliki. Tidak ada perbedaan apakah air itu berada di tanah mubah atau tanah yang sudah dimiliki (secara individu), untuk diminum atau lainnya, untuk keperluan ternak atau menyirami kebun, dalam bepergian atau tidak.  Di dalam Kitab Nail al-Authar, Imam Asy Syaukaniy menyatakan:

وَالْحَدِيثَانِ يَدُلَّانِ عَلَى تَحْرِيمِ بَيْعِ فَضْلِ الْمَاءِ وَهُوَ الْفَاضِلُ عَنْ كِفَايَةِ صَاحِبِهِ . وَالظَّاهِرُ أَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ الْمَاءِ الْكَائِنِ فِي أَرْضٍ مُبَاحَةٍ أَوْ فِي أَرْضٍ مَمْلُوكَةٍ ، َسَوَاءٌ كَانَ لِلشُّرْبِ أَوْ لِغَيْرِهِ ، وَسَوَاءٌ كَانَ لِحَاجَةِ الْمَاشِيَةِ أَوْ الزَّرْعِ ، وَسَوَاءٌ كَانَ فِي فَلَاةٍ أَوْ فِي غَيْرِهَا .

“Dua hadits di atas menunjukkan haramnya menjual kelebihan air. Yakni, kelebihan air dari kecukupan pemiliknya. Dzahir hadits tersebut menunjukkan tidak ada perbedaan antara air yang terdapat di tanah yang mubah, atau tanah yang telah dimiliki; dan sama saja apakah air itu untuk minum, atau untuk yang lainnya, dan sama saja apakah air itu untuk (memenuhi) kebutuhan hewan gembalaan atau untuk pertanian, dan sama saja apakah ada di dataran, atau tempat lain”. [Imam Asy Syaukani, Nail al-Authar, juz 8/183]

Imam An Nawawiy dalam Kitab Syarah Shahih Muslim menyatakan:

قَوْله ( نَهَى رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْع فَضْل الْمَاء ) وَفِي رِوَايَة : ( عَنْ بَيْع ضِرَاب الْجَمَل ، وَعَنْ بَيْع الْمَاء وَالْأَرْض لِتُحْرَث ) ، وَفِي رِوَايَة : ( لَا يُمْنَع فَضْل الْمَاء لِيُمْنَع بِهِ الْكَلَأ ) ، وَفِي رِوَايَة ( لَا تُبَاع فَضْل الْمَاء لِيُبَاعَ بِهِ الْكَلَأ ) أَمَّا النَّهْي عَنْ بَيْع فَضْل الْمَاء لِيُمْنَع بِهَا الْكَلَأ فَمَعْنَاهُ أَنْ تَكُون لِإِنْسَانٍ بِئْر مَمْلُوكَة لَهُ بِالْفَلَاةِ ، وَفِيهَا مَاء فَاضِل عَنْ حَاجَته ، وَيَكُون هُنَاكَ كَلَأ لَيْسَ عِنْده مَاء إِلَّا هَذِهِ ، فَلَا يُمْكِن أَصْحَاب الْمَوَاشِي رَعْيه إِلَّا إِذَا حَصَلَ لَهُمْ السَّقْي مِنْ هَذِهِ الْبِئْر فَيَحْرُم عَلَيْهِ مَنْع فَضْل هَذَا الْمَاء لِلْمَاشِيَةِ ، وَيَجِب بَذْله لَهَا بِلَا عِوَض ، لِأَنَّهُ إِذَا مَنْع بَذْله اِمْتَنَعَ النَّاس مِنْ رَعْي ذَلِكَ الْكَلَأ خَوْفًا عَلَى مَوَاشِيهمْ مِنْ الْعَطَش ، وَيَكُون بِمَنْعِهِ الْمَاء مَانِعًا مِنْ رَعْي الْكَلَأ . وَأَمَّا الرِّوَايَة الْأُولَى : ( نَهَى عَنْ بَيْع فَضْل الْمَاء ) ، فَهِيَ مَحْمُولَة عَلَى هَذِهِ الثَّانِيَة الَّتِي فِيهَا لِيَمْنَع بِهِ الْكَلَأ ، وَيُحْتَمَل أَنَّهُ فِي غَيْره ، وَيَكُون نَهْي تَنْزِيه . قَالَ أَصْحَابنَا : يَجِب بَذْل فَضْل الْمَاء بِالْفَلَاةِ كَمَا ذَكَرْنَاهُ بِشُرُوطٍ : أَحَدهَا أَنْ لَا يَكُون مَاء آخَر يُسْتَغْنَى بِهِ

“Adapun perkataannya (nahaa Rasulullah saw ‘an bai’ fadll al-maa`/Rasulullah saw melarang menjual kelebihan air) dan dalam riwayat lain (‘an bai` dliraab al-jamal, wa ‘an bai` al-ardl lituhrats/Rasul saw melarang mengambil upah dari penaburan benih (sperma ) onta, dan Rasul menyewakan tanah untuk pertanian), dan dalam riwayat lain disebutkan (laa yumnaa` fadlu al-maa` liyumna` bihi al-kalaa`/janganlah ditahan kelebihan air hingga padang rumput tercegah (untuk mendapatkan) kelebihan air tersebut), dan dalam riwayat lain (laa tubaa` fadll al-maa` liyubaa` bihi al-kalaa`/janganlah dijual kelebihan air untuk pengairan padang rumput).  Adapun larangan menjual kelebihan air sehingga padang rumput tercegah untuk mendapatkan kelebihan air tersebut, maknanya adalah ada seseorang memiliki sumur yang dimilikinya di sebuah dataran. Di dalam sumur itu ada air berlebih dari (kadar) kebutuhannya, dan di dekatnya ada padang rumput yang tidak ada air (untuk mengairinya) kecuali air tersebut; sehingga pemilik ternak tidak mungkin mengembalakan ternaknya kecuali ada bagi mereka pengairan dari sumur tersebut.  Pemilik sumur itu dilarang menahan kelebihan air untuk hewan ternak.Kelebihan air itu wajib disedekahkan untuk ternak tanpa kompensasi.  Sebab, jika ia melarang mendermakan kelebihan air miliknya, maka orang-orang akan tercegah untuk mengembalakan ternak mereka di padang rumput tersebut, karena takut ternak-ternak mereka akan kehausan.  Atas dasar itu, pencegahan dirinya untuk mendermakan kelebihan air itu, akan mencegah gembalaan di padang rumput.  Adapun riwayat pertama (nahaa ‘an bai` fadll al-maa`) bisa dibawa kepada dua pengertian, yakni karena alasan menahan kelebihan air itu untuk mengairi padang rumput, dan bisa juga dibawa kea rah pengertian pada selain padang rumput.   Dan larang tersebut menjadi nahyu tanziih.   Para ulama madzhab kami berpendapat: wajib mendermakan kelebihan air yang ada di dataran dengan syarat, sebagaimana kami telah sebutkan, (pertama): tidak ada sumber air lain yang bisa mencukupi; (kedua): (kewajiban mendermakan kelebihan air itu) untuk kebutuhan binatang ternak, bukan untuk mengairi pertanian.; (ketiga), pemilik sumur itu tidak membutuhkan kelebihan air tersebut. [Imam An Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz 5/414]

Adapun qarinah yang menunjukkan bahwa larangan menjual kelebihan air adalah larangan yang bersifat pasti (jaazim), sehingga berimplikasi pada hukum haram, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya, dari Nabi saw, bahwasanya beliau saw bersabda:

مَن ْمَنَعَ فَضْلَ الْمَاءِ لِيَمْنَعَ بِهِ فَضْلَ الْكَلَإِ مَنَعَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَضْلَهُ
Barang siapa menghalangi (orang lain untuk mengambil atau memanfaatkan) kelebihan air atau kelebihan padang rumputnya, maka Allah Azza wa Jalla akan menghalangi keutamaanNya kepada dia pada hari kiamat“.[HR. Imam Ahmad]

Hadits-hadits yang menuturkan tentang larangan menjual kelebihan air, menunjukkan bahwa seorang Muslim dilarang mencegah orang lain untuk mengakses barang-barang yang sudah menjadi hajat hidup orang banyak, yang mana pencegahan itu bisa menimbulkan madlarrah bagi kehidupan masyarakat.  Dari sinilah dapat dipahami bahwa mengalihkan harta kepemilikan umum kepada individu atau perusahaan swasta yang menyebabkan masyarakat tidak mampu mengakses harta kepemilikan tersebut adalah tindakan haram.

Keempat, larangan memindahkan kepemilikan umum kepada individu atau swasta juga ditunjukkan oleh hadits-hadits yang berbicara tentang kepemilikan umum atas harta benda yang secara tabiat pembentukannya menghalangi dimiliki secara pribadi. Dari ‘Aisyah ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

مِنًى مُنَاخُ مَنْ سَبَقَ
Kota Mina menjadi tempat mukim siapa saja yang lebih dahulu sampai di sana“. [HR Imam Tirmidziy, Ibn Majah, dan al-Hakim dari ‘Aisyah ra].

Hadits tersebut menyatakan bahwa Mina dapat ditinggali siapa pun yang terlebih dahulu datang. Ketentuan hadits ini menunjukkan bahwasanya seluruh kaum Muslim memiliki hak yang sama atas kota Mina.  Pasalnya, jika Mina menjadi milik individu, niscaya orang yang datang terlebih dahulu tidak berhak mendiami Mina .

Inilah sebagian argumentasi yang menunjukkan haramnya melakukan privatisasi barang-barang milik umum (milkiyyah al-’aamah), serta kebijakan-kebijakan yang menginduk kepadanya, semacam kebijakan pembatasan BBM bersubsidi.

2. Kebijakan Pembatasan BBM Bersubsidi Maupun Kenaikan Harga BBM Menjadi Jalan Bagi Orang Kafir Menguasai Kaum Muslim.

Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi maupun kenaikan harga BBM akan membuka jalan selebar-lebarnya bagi asing untuk menguasai kekayaan bangsa ini.  Sebab, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi maupun kenaikan harga BBM tidak saja menguntungkan korporasi-korporasi minyak asing, lebih dari itu, kebijakan ini semakin menguatkan eksistensi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia.  Tidak terhenti di situ saja, dengan terkuasainya migas oleh perusahaan-perusahaan asing, orang-orang kafir barat memiliki kekuatan yang sangat besar untuk mendominasi dan mengintervensi kebijakan-kebijakan ekonomi maupun politik pemerintah.    Keadaan seperti ini tentu saja bertentangan dengan syariat Islam. Sebab, syariat Islam telah melarang kaum Muslim memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai kaum Muslim.  Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah swt:

وَلَنْ َجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“dan sekali-kali Allah tidak akan pernah menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum Mukmin”.[TQS An Nisaa` (4):141]

Imam Asy Syaukani dalam Kitab Fath al-Qadir menafsirkan frase [wa lan yaj'al al-Allah li al-Kaafiriin ‘ala al-Mu`miniin sabiila] sebagai berikut:

{ وَلَن يَجْعَلَ الله للكافرين عَلَى المؤمنين سَبِيلاً } ، هذا في يوم القيامة إذا كان المراد بالسبيل : النصر والغلب ، أو في الدنيا إن كان المراد به الحجة . قال ابن عطية : قال جميع أهل التأويل : إن المراد بذلك يوم القيامة . قال ابن العربي : وهذا ضعيف لعدم فائدة الخبر فيه ، وسببه توهم من توهم أن آخر الكلام يرجع إلى أوّله يعني قوله : { فالله يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ القيامة } وذلك يسقط فائدته ، إذ يكون تكرار هذا معنى كلامه وقيل المعنى : إن الله لا يجعل للكافرين سبيلاً على المؤمنين يمحو به دولتهم ، ويذهب آثارهم ، ويستبيح بيضتهم ، كما يفيده الحديث الثابت في الصحيح  « وألا أسلط عليهم عدواً من سوى أنفسهم ، فيستبيح بيضتهم ، ولو اجتمع عليهم من بأقطارها حتى يكون بعضهم يهلك بعضاً ، ويسبي بعضهم بعضاً » وقيل إنه سبحانه لا يجعل للكافرين سبيلاً على المؤمنين ما داموا عاملين بالحق غير راضين بالباطل ، ولا تاركين للنهي عن المنكر ، كما قال تعالى : { وَمَا أصابكم مّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ } [ الشورى : 30 ] قال ابن العربي : وهذا نفيس جداً . وقيل : إن الله لا يجعل للكافرين على المؤمنين سبيلا شرعاً ، فإن وجد ، فبخلاف الشرع . هذا خلاصة ما قاله أهل العلم في هذه الآية ، وهي صالحة للاحتجاج بها على كثير من المسائل .

“Ayat ini berlaku di hari kiamat jika yang dimaksud dengan al-sabiil adalah al-nashr (pertolongan) dan al-ghalb (kemenangan); atau berlaku di dunia jika yang dimaksud dengan al-sabiil adalah al-hujjah (argumentasi).Ibnu ‘Athiyah berkata, “Seluruh ulama ahli tafsir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hal itu adalah hari kiamat”.Ibnu al-‘Arabiy berkata, “Penafsiran seperti itu lemah dikarenakan tidak adanya faedah dari khabar tersebut”.  Sebabnya, orang menyangka bahwa kalimat yang terakhir dikembalikan kepada kalimat awalnya, yakni firman Allah swt [wallahu yahkumu bainahum yauma al-qiyaamah], dan hal ini telah melenyapkan faedah kalimat tersebut. Sebab, (penafsiran seperti itu) mengulang-ulang makna dari kalamNya.   Dinyatakan pula bahwa makna ayat tersebut adalah: sesungguhnya Allah swt tidak akan pernah menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menghapuskan negara kaum Muslim, melenyapkan pengaruh mereka, dan merusak kesucian mereka; sebagaimana makna yang tersebut dalam sebuah hadits shahih, “Dan tak ada seorang musuh pun dari selain kaum Muslim yang mampu mengalahkan kaum Muslim, dan merusak kesucian mereka, walaupun seluruh manusia bersatu untuk mengalahkan mereka, hingga mereka saling memerangi satu dengan yang lain, dan mencela satu dengan yang lain”.  Dan ada pula yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah tidak menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum Mukmin selama kaum Mukmin masih menjalankan kebenaran dan tidak ridlo dengan kebathilan, dan tidak meninggalkan aktivitas mencegah dari kemungkaran;  sebagaimana Allah swt berfirman, “Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri”.[TQS Asy Syura (42):30].  Ibnu al-‘Arabiy menyatakan, “Dan penafsiran ini sangatlah bagus”.Dan ada pula yang menyatakan, “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum Mukmin secara syar’iy.  Jika terjadi –(kaum Mukmin dikuasai oleh kaum kafir), maka keadaan itu bertentangan dengan syariat.  Inilah ringkasan pendapat yang dinyatakan oleh ahli ilmu mengenai ayat ini. Dan ayat ini layak dijadikan hujjah untuk banyak masalah”.[Imam Asy Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 2/321-322]

Makna yang paling tepat adalah; secara syar’iy kaum Muslim diharamkan dikuasai oleh kaum kafir.Pasalnya, realitas menunjukkan bahwasanya kaum Muslim pernah dikuasai dan dikalahkan oleh kaum kafir; seperti kekalahan kaum Muslim dari bangsa Tartar, pasukan Salib, dan negara-negara imperialis barat.Untuk itu, penafian yang terdapat di dalam ayat di atas harus dibawa ke arah penafian hukum, bukan penafian atas realitasnya.Kesimpulan seperti ini didapatkan dengan mengkaji dalalah yang terkandung pada ayat tersebut.  Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani rahimahullah ketika memberi contoh tentang dalaalah al-iqtidla’, menyatakan:

ومثله أيضاً قوله تعالى: (ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلاً)، فإن وجود سبيل للكافرين على المؤمنين قد تحقق، فقد وُجد ذلك في أيام الرسول في مكة إذ كان فيها المسلمون تحت حكم الكفار، ووُجد ذلك بعد أيام الرسول صلى الله عليه وسلم، فإن بلاد الأندلس قد كان فيها المسلمون تحت حكم الكفار، وهو كذلك موجود اليوم. فنفْي أن يكون للكافرين على المؤمنين سبيل بلفظ (لن) المفيدة للتأبيد ممتنع لتحقق وقوعه، فلا بد أن يكون نفياً لحكم يمكن نفيه وهو نفي الجواز، أي يحرم أن يكون للكافرين على المؤمنين سبيل. فهذا مما يقتضيه الشرع لضرورة صدق الخبر.

“Contoh yang lain adalah firman Allah swt [wa lan yaj'al al-Allahu li al-kaafiriin ‘ala al-Mukminiin sabiila].  Sesungguhnya, adanya jalan bagi kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin kadang-kadang terjadi secara factual.  Hal itu pernah terjadi pada masa Rasulullah saw di Mekah, karena kaum Muslim yang hidup di sana dikuasai oleh pemerintahan kaum kafir.  Hal itu juga terjadi pada masa sesudah Nabi saw.  Negeri Andalusia di mana kaum Muslim hidup di dalamnya telah dikuasai oleh pemerintahan orang-orang kafir, dan hal itu juga terjadi pada masa sekarang . Penafian adanya jalan bagi kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin dengan lafadz “lan” yang berfaedah pada “penafian yang bersifat abadi (selama-lamanya)” untuk mencegah terjadinya hal tersebut.  Oleh karena itu, penafian tersebut harus diarahkan pada penafian hukum, yakni penafian terhadap perkara yang boleh (nafiy al-jawaaz).Artinya, diharamkan adanya jalan bagi orang kafir menguasai kaum Mukmin.   Hal ini termasuk perkara yang menjadi konsekuensi logis (dari) syariat untuk menjamin kebenaran sebuah khabar”.[Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, Asy Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 3/183]
Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi yang menjadi derivasi kebijakan privatisasi sector migas telah membuka jalan selebar-lebarnya bagi kaum kafir untuk menguasai kaum Muslim.Oleh karena itu, kebijakan ini harus ditolak untuk membebaskan negeri ini dari penjajahan kaum kafir.

3. Kebijakan Pembatasan BBM Bersubsidi dan Kenaikan Harga BBM adalah Kebijakan Diskriminatif dan Mendzalimi Rakyat

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi -yang ujung-ujungnya adalah pencabutan subsidi secara menyeluruh– jelas-jelas akan menambah beban hidup rakyat.   Padahal, sebelumnya rakyat sudah harus menanggung beban berat akibat kebijakan privatisasi yang telah merambah pada sektor pelayanan public (public service obligation), seperti pendidikan, kesehatan, kelistrikan, air, dan pelayanan publik lainnya.Atas dasar itu, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi yang jelas-jelas memberatkan rakyat adalah haram.  Ketentuan ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw:

وَمَنْ يُشَاقِقْ يَشْقُقْ اللَّهُ عَلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa menyempitkan (urusan orang lain), niscaya Allah akan menyempitkan urusannya kelak di hari kiamat“.[HR. Imam Bukhari]

Dituturkan dari Ummul Mukminiin ‘Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah berdoa:

اللَّهُمَّ مَن ْوَلِيَ مِنْ أَمْرِأُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِن أَمْرِأُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِم ْفَارْفُقْ بِهِ
“Yaa Allah, barangsiapa memiliki hak mengatur suatu urusan umatku, lalu ia menyempitkan mereka, maka sempitkanlah dirinya; dan barangsiapa memiliki hak untuk mengatur suatu urusan umatku, lalu ia memperlakukan mereka dengan baik, maka perlakukanlah dirinya dengan baik“.[HR. Imam Ahmad dan Imam Muslim]

Imam An Nawawiy, dalam Syarah Shahih Muslim, mengomentari hadits ini sebagai berikut:

هَذَا مِنْ أَبْلَغ الزَّوَاجِرعَنْ الْمَشَقَّة عَلَى النَّاس، وَأَعْظَم الْحَثّ عَلَى الرِّفْق بِهِمْ، وَقَدْ تَظَاهَرَتْ الْأَحَادِيث بِهَذَا الْمَعْنَى .
“Hadits ini berisi pencegahan yang paling jelas dari perbuatan menyempitkan urusan manusia, sekaligus dorongan yang sangat besar untuk berbuat lemah lembut kepada manusia.  Hadits-hadits yang semakna dengan hadits ini sangatlah banyak”.[Imam An Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz 6/299]

Selain karena alasan di atas, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi merupakan kebijakan yang diskriminatif.   Pasalnya, kebijakan ini akan berakibat pada tertutupnya akses sebagian masyarakat untuk mendapatkan BBM yang murah.  Padahal, semua orang memiliki hak, andil, dan bagian yang sama terhadap harta-harta yang termasuk dalam kepemilikan umum, tanpa membedakan lagi perbedaan status social, warna kulit, suku, dan bahasa.   Negara berkewajiban mengelola harta kepemilikan umum sesuai dengan syariat Islam hingga semua orang bisa mendapatkan bagian dan akses yang sama.  Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi, jelas-jelas akan menutup akses sebagian orang untuk mendapatkan pasokan BBM.

Masalah lain yang sering dilupakan adalah, tidak ada istilah “subsidi pemerintah” dalam perkara-perkara yang menjadi hak seluruh rakyat.  Migas adalah hak seluruh kaum Muslim, bukan hanya hak Negara maupun sekelompok orang.Rakyat bukanlah pihak yang wajib dibelaskasihani dengan adanya subsidi.Sebab, rakyat adalah pemilik sejati migas, bukan negara.Hubungan negara dengan rakyat dalam masalah ini bukanlah hubungan antara penjual dan pembeli, maupun hubungan antara si kaya yang memberi subsidi kepada yang miskin.Negara adalah institusi yang ditunjuk oleh syariat untuk mengelola kepemilikan umum agar seluruh kaum Muslim bisa mendapatkan bagian yang setara dalam hal pemanfaatan, akses, dan pembagian.Imam Ahmad menuturkan sebuah hadits dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya, dari Nabi saw, bahwasanya beliau saw bersabda:

مَن ْمَنَعَ فَضْلَ الْمَاءِ لِيَمْنَعَ بِهِ فَضْلَ الْكَلَإِ مَنَعَهُ اللَّه ُيَوْمَ الْقِيَامَةِ فَضْلَهُ
Barang siapa menghalangi (orang lain untuk mengambil atau memanfaatkan) kelebihan air atau kelebihan padang rumputnya, maka Allah Azza wa Jalla akan menghalangi keutamaanNya kepada dia pada hari kiamat“.[HR. Imam Ahmad]

4. Kebijakan Pembatasan BBM Bersubsidi Maupun Kenaikan Harga BBM Adalah Kebijakan yang Lahir dari Sekulerisme-Liberalisme

Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi maupun kenaikan harga BBM bukanlah kebijakan yang lahir dari Islam, tetapi,  lahir dari sekulerisme-liberalisme yang nyata-nyata bertentangan dengan Islam.  Padahal, seorang Muslim diwajibkan untuk berbuat di atas dasar Islam, bukan atas dasar paham atau pemikiran lain.  

Di dalam hadits shahih, Nabi saw bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُو َرَدٌّ
“Siapa saja yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak atas perintah kami, maka perbuatan itu tertolak“.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
 
Sesungguhnya, sejak negeri ini menerapkan paham demokrasi-sekulerisme; sebagian besar kebijakan public yang diterapkan di negeri ini tegak di atas paham demokrasi-sekuler, bukan Islam. Akibatnya, semua kebijakan yang ada di negeri ini bertentangan dengan Islam, baik dari sisi asas maupun perinciannya. Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi maupun kenaikan harga BBM, dari sisi asasnya adalah kebijakan bathil. Sebab, kebijakan ini lahir dari paham kapitalisme-sekulerisme.Adapun dari sisi perinciannya, telah terbukti bahwa kebijakan ini bertentangan dengan syariat Islam yang mengatur pengelolaan harta kepemilikan umum. Oleh karena itu, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi maupun kenaikan harga BBM jelas-jelas bertentangan dengan aqidah dan syariat Islam.

KESIMPULAN

Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi maupun kebijakan kenaikan harga BBM merupakan salah satu dari sekian banyak kebijakan yang bertentangan dengan syariat Islam dan merugikan rakyat.  Masih banyak kebijakan-kebijakan publik lain yang harus disikapi oleh kaum Muslim, wa bil khusus, oleh para alim ulama.

Jika diteliti dan dikaji kembali secara teliti, munculnya kebijakan-kebijakan yang bertentangan dan syariat tersebut disebabkan karena negeri ini menjadikan paham kapitalis-sekuler sebagai asas penyelenggaraan urusan negara; dan menerapkan hukum-hukum kufur buatan barat sebagai aturan untuk mengatur urusan rakyat.  Selama asas dan sistem penyelenggaraan negara masih didasarkan pada kapitalisme-sekulerisme, kaum Muslim akan tetapi berada dalam kubangan persoalan.  Oleh karena itu, tuntutan kaum Muslim tidak boleh terhenti hanya pada pencabutan kebijakannya saja, akan tetapi, harus diarahkan pada penggantian asas dan sistem yang mendasari penyelenggaraan urusan negara dan rakyat.  Wallahu al-Musta’an wa Huwa Waliyu al-Taufiq.[hizbut-tahrir.or.id]


19 Februari 2012

MAFAHIM, MAQAYIS, & QANAAT

Pengantar
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam beberapa kitabnya acapkali menyinggung 3 (tiga) istilah khas, yaitu mafahim, maqayis, dan qanaat. Misalnya, dalam kitab Dukhul Al-Mujtama’ (1958) beliau menyebutkan istilah-istilah tersebut ketika membicarakan perubahan pemikiran masyarakat yang akan melahirkan sebuah negara (Lihat Terjun ke Masyarakat, 2000:28). Dalam kitabnya yang lain, Muqaddimah Ad-Dustur (1963:5-6), beliau menyebut tiga istilah tersebut dalam konteks definisi negara dan pemikiran-pemikiran yang mendasari lahirnya sebuah negara. Definisi negara dalam kitab Muqaddimah Ad-Dustur ini lalu ditegaskan formulasinya oleh Abdul Qadim Zallum dalam Mitsaqul Ummah (1989:57), yakni bahwa negara, adalah institusi pelaksana bagi sekumpulan mafahim, maqayis, dan qanaat yang telah diterima oleh umat. Berikutnya dalam kitab At-Tafkir (1973:121-122) beliau menyinggung tiga istilah tersebut dalam konteks berpikir tentang perubahan. Lalu apa pengertian mafahim, maqayis, dan qanaat itu? Tulisan ini mencoba menjelaskan secara ringkas hakikatnya masing-masing dan sekaligus implikasinya dalam upaya perubahan umat, bertolak dari kitab-kitab tersebut, khususnya dari kitab Dukhul Al-Mujtama’.


Pengertian
Mafahim adalah bentuk jamak dari mafhum, diartikan sebagai persepsi atau konsep. Maqayis adalah jamak dari miqyas, yang artinya standar, kriteria, atau tolok ukur. Sedang qanaat adalah bentuk jamak dari qana`ah, yang bisa diartikan keyakinan (Inggris : conviction, lihat Ilyas, 1962:565), atau penerimaan, atau kepuasan. 
 
Pada dasarnya, mafahim, maqayis, dan qanaat adalah pemikiran-pemikiran (al-afkar). Namun ketiganya bukanlah pemikiran mendasar, yaitu aqidah, melainkan pemikiran-pemikiran cabang yang dibangun dari suatu aqidah. Dalam kitab At-Tafkir (1973:122-123), Taqiyuddin An-Nabhani menyatakan bahwa aqidah adalah mafhum asasi (konsep/persepsi dasar) yang akan mendasari semua mafhum (mafahim), miqyas asasi (standar/kriteria dasar) yang akan mendasari semua miqyas (maqayis), dan qanaat asasi (keyakinan/penerimaan dasar) yang akan mendasari semua qanaat. Dalam kitab tersebut, beliau berbicara dalam konteks perubahan individu, keadaan, atau masyarakat, yang dapat terjadi dengan mengubah aqidah masyarakat terlebih dulu, kemudian mengubah segala mafahim, maqayis, dan qanaat yang lahir dari aqidah tersebut.
 
Meskipun semuanya adalah pemikiran, akan tetapi masing-masingnya memiliki pengertian khusus. Mafahim, adalah pemikiran yang telah dipahami maknanya dan dibenarkan oleh seseorang (Shalih, 1988:24-26; Al-Qashash, 1995:141; Athiyat, 1996:49). Jadi, sebuah pemikiran akan berubah menjadi mafahim bagi seseorang jika memenuhi dua syarat, yaitu : Pertama, orang tersebut telah memahami makna pemikiran (idrak madlul al-fikrah) dengan tepat. Kedua, orang tersebut telah membenarkan pemikiran itu (at-tashdiq bi al-fikrah) (Muqaddimah Ad-Dustur, 1963:5-6). Jika suatu pemikiran hanya dipahami maknanya, tetapi tidak dibenarkan, maka pemikiran itu tidak menjadi mafahim bagi seseorang, melainkan hanya sekedar informasi (al-ma’lumat). Demikian juga jika suatu pemikiran telah dibenarkan, tetapi tidak dipahami maksudnya, pemikiran itu juga belum menjadi mafahim. Misalnya, ada pemikiran bahwa mendirikan Khilafah adalah suatu kewajiban syar’i. Jika seseorang telah memahami apa yang dimaksud dengan Khilafah, telah memahami dalil-dalil yang mewajibkan keberadaannya, lalu dia membenarkannya, berarti pemikiran itu telah menjadi mafahim baginya. Jika seseorang telah paham apa itu Khilafah, tetapi tidak membenarkannya, atau malah menentangnya, maka pemikiran itu hanya menjadi pengetahuan saja baginya, bukan menjadi mafahim. Posisi seperti ini misalnya ada di kalangan para orientalis non-muslim dalam menyikapi pemikiran Islam. Lalu, apa urgensinya membedakan pemikiran dengan mafahim, atau apa urgensinya menjelaskan proses perubahan pemikiran menjadi mafahim? Urgensinya, untuk mengubah perilaku (as-suluk) manusia. Sebab, yang mempengaruhi perilaku manusia bukanlah pemikiran semata, melainkan mafahim yang ada pada dirinya. Kepentingan untuk mengubah perilaku inilah yang menjadi fokus atau penekanan dari istilah mafahim.
 
Adapun maqayis, ia hakikatnya adalah juga pemikiran dan sekaligus juga mafahim. Hanya saja, maqayis memiliki fungsi khusus untuk menjadi standar atau kriteria, sebab maqayis adalah pemikiran yang digunakan sebagai kriteria/standar untuk menilai berbagai pemikiran dan realitas. Jika kita bicara mafahim, maka penekanannya adalah pada aspek pengaruh pemikiran terhadap perilaku. Sedang jika kita bicara maqayis, penekanannya adalah pada fungsinya sebagai standar atau kriteria untuk menilai, bukan pada fungsinya sebagai suatu faktor yang mempengaruhi perilaku. Misalkan, sudah diketahui, bahwa syara’ mengharamkan penguasa untuk memberikan jalan bagi orang kafir untuk mendominasi umat Islam (lihat QS An-Nisaa` : 141). Maka dengan kriteria ini seorang muslim akan bisa menilai, apakah penguasanya telah menyimpang dari Islam atau tidak. Ketika dia melihat penguasanya meminta bantuan kepada IMF, atau memihak kepada Amerika Serikat dalam propagandanya yang keji untuk memerangi terorisme, maka tahulah dia, penguasanya telah menyeleweng jauh dari Islam. Sebab meminta bantuan IMF dan bekerjasama dengan AS dalam perang melawan terorisme, telah menjadi jalan untuk memperkokoh dominasi kaum penjajah yang kafir atas umat Islam. 
 
Mengenai qanaat, maka ia sesungguhnya juga pemikiran dan juga mafahim. Jadi, karakter dasar dari qanaat adalah pemikiran yang telah dipahami dan dibenarkan oleh seseorang. Namun, qanaat lebih menekankan adanya unsur keyakinan atau penerimaan yang bulat terhadap suatu pemikiran. Qanaat adalah pemikiran yang telah diyakini secara mantap oleh seseorang. Jadi, qanaat, walaupun berupa pemikiran, namun mekanisme pembentukannya dari pemikiran, melibatkan pekerjaan hati, yaitu pembenaran (at-tashdiq). Inilah bedanya dengan mafahim dan maqayis seperti telah disinggung di atas. Qanaat lebih menekankan aspek pembenaran hati terhadap suatu pemikiran, atau, lebih melihat bagaimana suatu pemikiran itu diterima secara meyakinkan dan memuaskan bagi seseorang. Bukan melihat dari segi bagaimana pengaruh pemikiran terhadap perilaku (dalam konteks mafahim), juga bukan melihat fungsi pemikiran sebagai tolok ukur untuk menilai (dalam konteks maqayis). 
 
Selanjutnya, pembenaran terhadap suatu pemikiran, pada dasarnya terwujud karena adanya argumen (dalil). Tidak mungkin ada pembenaran terhadap suatu pemikiran, kecuali didasarkan pada argumen, baik argumen yang berupa fakta (dalil aqli), maupun argumen yang berupa teks (dalil naqli) (Hasan, 2000:2-8). Jika keberadaan suatu argumen (dari suatu pemikiran) telah dipahami dan juga telah dibenarkan oleh seseorang, maka akan terwujudlah penerimaan dan kepuasan yang mantap pada dirinya. Inilah cara pembentukan qanaat. Maka dari itu, kita akan dapat memahami apa yang dimaksudkan Taqiyuddin An-Nabhani ketika beliau menerangkan bagaimana qanaat itu dapat terwujud pada masyarakat (Terjun ke Masyarakat, hal.28-29). Yaitu, bisa karena adanya gambaran yang jelas akan suatu pemikiran, atau karena pemikiran itu mempunyai realitas yang dapat diindera dan dirasakan, atau karena adanya kesesuaian yang sering terjadi antara pemikiran dengan realitasnya, atau karena seringnya terjadi pengulangan (katsrah at-takrar), sehingga akhirnya terwujud pembenaran yang meyakinkan akan suatu pemikiran. Semua ini sebenarnya berfokus pada suatu hal, yaitu adanya argumen/bukti (dalil), untuk melahirkan qanaat. 
 
Contohnya dalam fakta praktis, misalkan si Ahmad sudah dikenal sebagai pedagang yang jujur. Jika seseorang sudah sering kali bermuamalah dengan Ahmad, bukan hanya sekali, lalu ia dapat merasakan dan membuktikan kejujurannya, maka akan terbitlah qanaat padanya, bahwa si Ahmad memang pedagang yang jujur. Contoh lain dalam politik, katakan ada pemikiran bahwa Amerika adalah negara penjajah yang memusuhi Islam dan umat Islam, bukan negara sahabat. Mungkin seseorang pada awalnya apatis atau tidak begitu yakin dengan hal itu. Tapi katakan dia lalu mempelajari sejarah hitam politik AS terhadap Dunia Islam. Dia lalu mengetahui betapa keji perilaku politik AS pada Perang Teluk (1991) yang merekayasa pasukan multinasional untuk mengeroyok bangsa Irak yang muslim. Dia juga mengkaji perilaku politik AS yang mentolerir pembantaian umat Islam di Bosnia dan Chechnya, atau serangan AS yang buas di Afghanistan dan Irak dengan alasan palsu, atau pembelaan AS yang memuakkan kepada Israel yang telah banyak membunuh orang Islam tak berdosa di Palestina, atau politik terorisme AS yang licik untuk menyerang Islam dan kelompok-kelompok Islam, dan sebagainya. Berulang-ulangnya bukti ini akhirnya akan memunculkan suatu qanaat dalam dirinya, bahwa AS memang musuh Islam dan umat Islam. Demikian seterusnya. Dan qanaat tentu juga ada pada pemikiran-pemikiran yang menyangkut nilai (pandangan hidup), yaitu hukum syara’, bukan hanya pemikiran yang menyangkut fakta seperti yang baru saja diuraikan. Misalkan, pemikiran bahwa jihad adalah wajib, dan merupakan metode baku untuk membangun politik luar negeri dari negara Islam (khilafah). Pemikiran ini akan menjadi qanaat pada diri seseorang, setelah dia puas mengkaji dalil-dalil yang mendasari wajibnya jihad, dari Al-Qur`an, Al-Hadits, dan Ijma’ Shahabat. Atau setelah mendapat penjelasan yang gamblang mengenai konsep jihad secara menyeluruh sebagai metode untuk menyebarkan Islam ke luar negeri, termasuk bagaimana prakteknya pada masa Rasulullah, shahabat, tabiin, dan tabi’it tabiiin.

Implikasi
Apa implikasi penting dari pemahaman kita terhadap tiga terminologi di atas, yakni mafahim, maqayis, dan qanaat? Dalam kitab-kitabnya, Taqiyuddin An-Nabhani menyebut tiga istilah tersebut dalam konteks perubahan masyarakat menuju terbentuknya negara Khilafah. Maka, nilai strategis pemahaman tiga konsep tersebut adalah untuk memberikan kesadaran yang lebih mendalam bagi pengemban dakwah mengenai proses-proses yang harus dilakukannya dalam perubahan masyarakat, khususnya yang menyangkut pemikiran. 
 
Dalam kitab Dukhul Al-Mujtama’ diuraikan bahwa tugas partai politik adalah mengemban pemikiran-pemikiran tertentu tentang kehidupan --terrepresentasikan dalam sekumpulan mafahim, maqayis, dan qanaat-- untuk disampaikan kepada masyarakat (An-Nabhani, 2000:28). Jadi, semula pemikiran itu ada dalam internal partai, kemudian partai mengintrodusir dan menanamkankannya secara eksternal kepada masyarakat luas. Jika pemikiran ini lalu diterima oleh satu kelompok yang kuat dalam masyarakat, atau kelompok masyarakat yang kuat itu rela dan mendiamkannya, maka secara alami dan pasti akan terwujud sebuah negara baru (An-Nabhani, 2000:29). Itulah secara ringkas gambaran terbentuknya sebuah negara baru, yang akan mengatur berbagai kepentingan (maslahat, interest) berdasarkan pemikiran baru itu. Jadi, negara baru akan muncul dengan adanya seperangkat pemikiran baru tentang kehidupan yang termanifestaikan dalam sekumpulan mafahim, maqayis, dan qanaat (Muqaddimah Ad-Dustur, hal. 5).
 
Di sinilah bisa dipahami peran strategis peran partai yang hendak mengubah masyarakat, yaitu menyampaikan pemikiran-pemikiran baru kepada masyarakat, lalu memproses pemikiran itu agar menjadi mafahim, maqayis, dan qanaat. Sejumlah proses harus dilakukan, agar pemikiran yang disampaikan tidak mandeg hanya menjadi informasi atau pengetahuan. Pemikiran itu haruslah diproses agar berubah menjadi mafahim, yang pada gilirannya akan mengubah perilaku masyarakat. Caranya, dengan memahamkan maknanya dan menjelaskan argumen-argumennya sehingga terwujud pembenaran (at-tashdiq). Pemikiran itu juga harus diproses agar menjadi maqayis, dengan cara mengajak masyarakat menjadikan pemikiran tersebut sebagai standar untuk menilai segala sesuatu. Dan pemikiran itu juga harus diproses agar menjadi qanaat, dengan cara menunjukkan dan membuktikan argumen-argumennya secara berulang-ulang dan terus-menerus kepada masyarakat, sehingga akhirnya masyarakat dapat menerimanya secara mantap dan yakin. Jika semua proses ini berjalan dengan baik, dan sebuah kelompok kuat dalam masyarakat menerima sekumpulan mafahim, maqayis, dan qanaat yang ditawarkan, maka lahirnya sebuah negara baru hanya tinggal masalah waktu. Atau dengan kata lain, hancurnya negara yang lama juga tinggal masalah waktu. [MSA/taman-langit7.co.cc]


 
DAFTAR PUSTAKA
 
Al-Qashash, Ahmad. 1995. Usus An-Nahdhah Ar-Rasyidah. Cetakan I. (Beirut : Darul
Ummah)

An-Nabhani, Taqiyuddin. 1963. Muqaddimah Ad-Dustur. (t.tp : t.p)

----------. 1973. At-Tafkir. (t.tp : t.p)

----------. 2001. Terjun ke Masyarakat (Dukhul Al-Mujtama’). Alih bahasa Maghfur Wahid. (Jakarta : Pustaka Thariqul Izzah).

Athiyat, Ahmad. 1996. Ath-Thariq : Dirasah Fikriyah fi Kayfiyah Al-‘Amal li Taghyir
Waqi’ Al-Ummah wa Inhadhiha. Cetakan II. (Beirut : Darul Bayariq-Darun Nahdhah al-Islamiyah).

Hasan, Mahmud Abdul Karim. 2000. Metode Perubahan Sosial Politik (At-Taghyir
Hatmiyah Ad-Daulah Al-Islamiyah). Alih bahasa Yahya Abdurrahman. (Jakarta : PSKII Press)

Ilyas, Ilyas Anton. 1962. Al-Qamush Al-‘Ashri. Cetakan IX. (Kairo : Elias’ Modern Press)

Zallum, Abdul Qadim. 1989. Mitsaqul Ummah. (t.tp : t.p) 

15 Februari 2012

Khalifah Wakil Umat Dalam Pemerintahan Dan Penerapan Syariah

Pengantar

Khalifah adalah kepala negara Islam, yang disebut juga dengan Amîrul Mu’minîn (pemimpin kaum beriman) dan al-Imâmul A’dzam (pemimpin tertinggi). Dialah satu-satunya yang memiliki otoritas dalam kekuasaan dan pemerintahan, serta tidak ada seorang pun yang menyekutuinya. Dalilnya adalah sabda Rasulullah Saw:

فَاْلإِمَامُ الأَعْظَمُ الذِّي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَتِهِ
Pemimpin tertinggi (al-Imâmul A’dzam) masyarakat adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari).

Artinya semua urusan yang terkait dengan pemeliharaan urusan rakyat dan negara merupakan kewenangan al-Imâmul A’dzam (pemimpin tertinggi), yakni Khalifah. Oleh karena itu, asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullâh berkata: “Asas Daulah Islam adalah Khalifah. Sedang yang lainnya adalah wakil Khalifah atau tim penasihat (mustasyâr) baginya. Dengan demikian, Negara Islam adalah Khalifah yang menerapkan sistem Islam.” (an-Nabhani, ad-Daulah al-Islâmiyah, hlm. 231).

Lalu, Khalifah ini mewakili siapa ketika menjalankan kewenangan dan otoritasnya yang begitu besar dalam kekuasaan dan pemerintahan, serta  dalam penerapan sistem Islam?

Telaah kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 24, yang berbunyi: “Khalifah mewakili umat dalam pemerintahan dan penerapan syariah.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 124).

Terkait dengan Khalifah ini mewakili siapa ketika menjalankan kewenangan dan otoritasnya dalam kekuasaan dan pemerintahan, serta  dalam penerapan sistem Islam, maka dalam hazanah pemikiran Islam kita temukan pendapat-pendapat ulama sebagai berikut:

Khalifah Wakil Allah

Ini adalah pendapat sebagian ulama, di antanya az-Zujad, seperti yang dikatakan Ibnu Mandzur dalam “Lisânul Arab” bahwa boleh para imam (Khalifah) disebut dengan para wakil (pengganti) Allah di muka bumi. Dalilnya adalah firman Allah: “Hai Daud, sesungguhnya Kami  menjadikan kamu Khalifah di muka bumi.” (TQS. Shad [38] : 26). Bahkan berdasarkan firman Allah: “Dan Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi.” (TQS. Al-An’am [6] : 165), ada sebagian ulama yang membolehkan Khalifah dipanggil dengan: “Yâ khalîfatullâh, hai wakil (pengganti) Allah.” (Majalah al-Khilafah al-Islamiyah, No. 2, Ramadhan 1315 H/Pebruari 1995 M, hlm 25).

Sementara al-Baghawi membolehkan sebutan khalîfatullâh, wakil atau pengganti Allah itu hanya kepada Nabi Adan dan Dawud-‘alaihimâs salâm-saja, tidak untuk selain keduanya. Beliau berkata: “Dan tidak seorang pun dinamakan khalîfatullâh, wakil atau pengganti Allah sesudah keduanya.” (al-Qalqasyandi, Mâtsirul al-Inâfah fi Ma’âlim al-Khilâfah, 1/8).

Sedang al-Imam az-Zamakhsyari memboleh sebutan khalîfatullâh, wakil atau pengganti Allah itu kepada semua Nabi selain keduanya. Ketika menjelaskan firman Allah “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.“(TQS. Al-Baqarah [2] : 30), Beliau berkata: “Firman Allah ini boleh diartikan dengan wakil atau pengganti-Ku (khalîfah minni), sebab Adam itu khalîfatullâh, wakil atau pengganti Allah di muka bumi, begitu juga setiap Nabi.” (az-Zamakhsyari, Tafsîr al-Kasysyâf, 1/271).

Pendapat bahwa “Khalifah wakil Allah” ini lemah, dan penggunaan ayat-ayat tersebut sebagai dalil bukan pada tempatnya. Sebab pembahsan di sini tentang sandaran jabatan Khilafah, yakni “Kepemimpinan umum bagi semua kaum Muslim di dunia guna menerapkan syariah Islam, dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia”, bukan tentang Khalifah secara mutlak. Jadi, masalahnya berbeda.

Oleh karena itu, mayoritas ulama melarang sebutan tersebut, bahkan orang yang mengatakannya disebut fâjir (pelaku maksiat). Mereka berkata: “Khalifah itu menggatikan orang yang tiada atau meninggal, sedang Allah tidak ghaib dan tidak meninggal.” Khalifah Abu Bakar menolak ketika dikatakan kepadanya: “Yâ khalîfatullâh, hai wakil (pengganti) Allah.” Abu Bakar dengan tegas berkata: “Aku bukan khalîfatullâh, wakil (pengganti) Allah, namun aku pengganti Rasulullah.” (al-Mawardi, al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 15). Begitu juga Umar bin Khattab, dalam hal ini, beliau bersikap tegas menolak sebagaimana Abu Bakar. Sikap tegas Abu Bakar dan Umar menunjukkan bahwa telah ada Ijma ‘ Sahabat yang melarang penamaan pemimpin negara Islam dengan sebutan khalîfatullâh, wakil (pengganti) Allah.

Dengan begitu, gugurlah hujjah mereka yang berpendapat bahwa Khalifah adalah wakil Allah (khalîfatullâh). Khalifah bukan wakil Allah, apapun alasannya. Sehingga penggunaan sebuat “khalîfatullâh” secara mutlak tidak boleh berdasarkan syariah (al-Khalidi, Qawa’id Nidzam al-Hukmi fil Islam, hlam. 232).

Khalifah Wakil Nabi Saw

Pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya Ibnu Khaldun, Abu Ya’la, al-Mawardi, al-Baidhawi, Aduddin al-Iji, an-Nawawi dan Ibnu Taimiyah (al-Khalidi, Qawâ’id Nidzâm al-Hukmi fil Islâm, hlam. 231). Mereka menggunakan sebutan Khalifah kepapa setiap orang yang mengurusi urusan kaum Muslim, sebab ia menggantikan Rasulullah dalam mengurusi umatnya. Sehingga setiap Khalifah disebut dengan “Khalifah Rasulullah, pengganti Rasulullah”. Oleh karena itu mereka sepakat bahwa “Imamah itu dibuat untuk khilafah nubuwah (kepemimpinan Nabi) dalam menjaga agama dan mengatur dunia.” (al-Mawardi, al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 5).

Dalil mereka yang berpendapat bahwa Khalifah wakil Nabi adalah perkataan Abu Bakar. Ketika dikatan kepada Abu Bakar: “Yâ khalîfatullâh, hai wakil (pengganti) Allah.” Abu Bakar dengan tegas berkata:

لَسْتُ بِخَلِيْفَةِ اللهِ، وَلَكِنيِّ خَلِيْفَةُ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Aku bukan khalîfatullâh, wakil (pengganti) Allah, namun aku pengganti Rasulullah Saw.” (al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubi, 14/355).

Pendapat ini juga lemah karena tidak didukung oleh dalil yang kuat. Sebab jelas sekali dengan mengkaji fakta sejarah bahwa Abu Bakar bukan wakil Nabi Saw. Bahkan tidak ada satu pun nash yang menujukkan bahwa Rasulullah mengangkat Abu Bakar untuk menggantikannya dalam mengurusi semua urusan kaum Muslim. Akan tetapi, Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah memalui proses pemilihan yang dilakukan kaum Muslim di Saqifah Bani Saidah, lalu beliau benar-benar menjadi Khalifah dengan baiat kaum Muslim. Sebab syara’ telah menjadikan kekuasaan di tangan umat, sehingga umat dapat membaiat siapa saja yang dikehendaki untuk mewakilinya dalam kekuasaan (Majalah al-Khilafah al-Islamiyah, No. 2, Ramadhan 1315 H/Pebruari 1995 M, hlm 27).

Sementara perkataan Abu Bakar “Khalîfah Rasulullah” adalah majazi bukah sesungguhnya. Dalam arti bahwa beliau datang setelah Rasulullah dalam mengurusi urusan kaum Muslim, dan beliau tidak menjadi Khalifah karena diangkat Nabi Saw untuk menggantikannya. Jika tidak demikian, tentu Umar, Utsman dan Ali disebut dengan “Khalîfah Rasulullah“. Namun hal ini tidak pernah terjadi sama sekali, dan tidak seorang pun mengatakannya (al-Khalidi, Qawâ’id Nidzâm al-Hukmi fil Islâm, hlam. 233).

Khalifah Wakil Khalifah Sebelumnya 

Al-Qalqasyandi berkata: “Sesungguhnya jabatan Khilafah itu terkadang didapat oleh seorang Khalifah dari Khalifah sebelumnya.” Sehingga dikatakan Fulan menggantikan Fulan secara berurutan hingga berakhir pada Abu Bakar radhiyallâhu ‘anhu. Lalu, beliau disebut dengan “Khalîfah Rasulullah Saw“. Karenanya di awal berkuasa, Umar dipanggil dengan “Khalîfah Khalifah Rasulullah Saw“. (al-Qalqasyandi, Mâtsirul al-Inâfah fi Ma’âlim al-Khilâfah, 1/6).

Ketika menjelaskan firman Allah “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.“(TQS. Al-Baqarah [2] : 30), ath-Thabari berkata: “Khalifah yang sesungguhnya berasal dari perkataanmu, Fulan menggantikan Fulan dalam perkara ini ketika ia menjalankan perkara itu sesudahnya. Dari sini, maka Penguasa Tertinggi (as-Sulthân al-A’dzam) disebut dengan Khalifah, sebab ia menggantikan penguasa sebelumnya. Kemudian ia menduduki kekuasaan menggantikannya. Dengan demikian, ia khalifah (wakil atau pengganti) sebelumnya.” (ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, 1/153 ).

Mereka yang berpendapat dengan pendapat ini sama sekali tidak memiliki hujjah, baik al-Qur’an maupunn al-Hadits. Mereka memahami hal itu hanya berdasarkan pada pengertian kata “khalîfah” menurut bahasa. Padahal arti bahasa saja tidak cukup dalam hal ini. Sebab masalahnya terkait dengan kepemimpinan negara tidak dengan pengangkatan pengganti (al-istikhlâf), dan tidak pula dengan sistem putra mahkota (wilâyah al-‘ahd), sehingga dikatakan bahwa Khalifah adalah wakil Khalifah sebelumnya. Apalagi, sistem putra mahkota (wilâyah al-‘ahd), dan pengangkatan pengganti (al-istikhlâf) tidak diakui dalam sistem pemerintahan Islam, bahkan sangat bertentangan. Sebab dalam sistem pemerintahan Islam kekuasaan berada di tangan umat, bukan di tangan khalifah. Dengan demikian pendapat ini pun tertolak sebagaimana pendapat-pendapat sebelumnya (al-Khalidi, Qawâ’id Nidzâm al-Hukmi fil Islâm, hlam. 233; Majalah al-Khilafah al-Islamiyah, No. 2, Ramadhan 1315 H/Pebruari 1995 M, hlm 26).

Khalifah Wakil Umat 

Pendapat ini adalah pendapat yang râjih (kuat), sebab Khalifah itu bukan wakil Allah SWT, bukan wakil Nabi Saw, dan tidak pula terbayangkang secara syar’iy dan akal bahwa Khalifah adalah wakil dari Khalifah sebelumnya. Khalifah tidak lain adalah wakil umat bukan yang lainnya. Umat yang membaiat Khalifah untuk memimpin pemerintahan dan kekuasaan menggantikan atau mewakilinya. Mengingat, umat dituntut untuk menerapkan hukum Islam, menegakkan hudûd (sanksi hukum pidana), menyiapkan tentara, berjihad, menaklukkan negeri dan lain-lainnya. Allah SWT berfirman:

﴿ إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ﴾
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (TQS. An-Nisâ’ [4] : 58).

Dan firman-Nya:

﴿ وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا ﴾
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.” (TQS. Al-Mâidah [5] : 38).

Allah SWT berfirman:

﴿ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً ﴾
Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya.” (TQS. At-Taubah [9] : 36).

Dan firman-Nya:

﴿ وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ ﴾
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi.” (TQS. Al-Anfâl [8] : 60).

Khithâb atau seruan dalam ayat-ayat tersebut ditujukan pada umat. Sebab kekuasaan berada di tangan umat. Akan tetapi, syara’ mengharuskan Khalifah saja yang memiliki otoritas menerapkan hukum Islam mewakili umat. Dengan demikian, realitasnya bahwa Khalifah adalah wakil umat dalam kekuasaan dan penerapan syariah Islam. Mengingat seseorang tidak akan menjadi Khalifah kecuali dengan dibaiat oleh umat, maka baiat ini saja sudah cukup menjadi dalil bahwa Khalifah adalah wakil dari umat (al-Khalidi, Qawâ’id Nidzâm al-Hukmi fil Islâm, hlam. 234; Majalah al-Khilafah al-Islamiyah, No. 2, Ramadhan 1315 H/Pebruari 1995 M, hlm 28; dan An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 125).

Dengan ketentuan UUD negara Islam pasal 24 ini, maka terjawab sudah kekhawatiran sebagian orang bahwa Khalifah yang insya Allah tidak lama lagi akan terwujudkan akan memimpin dengan sewenang-wenang dan diktator. Sebab Khalifah itu tidak memiliki kekuasaan, dan pemilik kekuasaan adalah umat. Keberadaa Khalifah tidak lain hanyalah menjadi wakil umat. Sehingga umat dapat mengambil kembali kekuasaannya, kapanpun umat mau ketika Khalifah tidak lagi bisa menjaga amanahnya. WalLâhu a’lam bish-shawâb.(Muhammad Bajuri/hizbut-tahrir.or.id)


Daftar Bacaan
Ibnu Mandzur, Muhammad bin Mukarram bin Ali Abu al-Fadhal Jamaluddin, Lisânul Arab, (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi), tanpa tahun.
Al-Khalidi, Dr. Mahmud, Qawâid Nizâmul Hukm fil Islâm, (Beirut:Maktabah al-Muhtasib), Cetakan II, 1983.
Majalah al-Khilafah al-Islamiyah, No. 2, Ramadhan 1315 H /Pebruari 1995 M.
Al-Mawardi, Abi al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habin al-Bashri al-Baghdadi, al-Ahkâm as-Sulthâniyah, (Beirut: Dar al-Fikr), Cetakan I, 1960.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
An-Nabhanai, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Ad-Daulah al-Islâmiyah, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VII, 2002.
Ath-Thabari, Muhammad bin Jarir bin Yazid, Tafsîr ath-Thabari, (Beirut: Muassasah ar-Risalah), Cetakan I, 2000.
Al-Qalqasyandi, Ahmad bin Abdullah, Mâtsirul al-Inâfah fi Ma’âlim al-Khilâfah, (Kuwait: Mathba’ah Hukumah al-Kuwait), Cetakan II, 1985.
Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farah al-Anshari Abu Abdillah, Tafsîr al-Qurthubi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), tanpa tahun.
Az-Zamakhsyari, Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Ahmad al-Khawarizmi, Tafsîr al-Kasysyâf, (Beirut: Dar al-Fikr), tanpa tahun.

Riset : SBY Lebih Banyak Urus Demokrat Dibanding Negara

JAKARTA - Lembaga riset monitoring media The Founding Fathers House (FFH) memaparkan, energi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lebih banyak tercurah untuk Partai Demokrat sehingga keberadaan partai yang didirikannya itu tampak hanya menjadi beban.

Kepada pers di Jakarta, Rabu, Sekjen FFH Syahrial Nasution mengatakan bahwa berdasarkan hasil riset yang dilakukan lembaganya, komentar-komentar presiden di media lebih banyak menyasar persoalan internal Partai Demokrat.

"Riset menunjukkan bahwa keberadaan Demokrat justru membebani konsentrasi presiden dalam menjalankan tugasnya. Seharusnya Demokrat ada untuk membantu tugas presiden selaku pendiri dan bukannya malah menjadi beban," ujarnya.

Dikatakannya bahwa kondisi seperti ini tidak boleh dibiarkan terus terjadi. Elit Partai Demokrat seharusnya mampu menyelesaikan masalah tanpa harus membebani presiden. "Sayangnya yang terjadi tidak bisa begitu. Kasus-kasus di Demokrat malah membuat presiden melupakan tugasnya sebagai presiden yang dipilih rakyat," ungkapnya.

Sementara itu analis riset FFH, Dian Permata Putra, mengatakan bahwa pernyataan presiden sepanjang 2011, lebih banyak mengarah kepada kasus-kasus yang menyeret kader-kader Demokrat.

"Ada dua kasus yang menyita perhatian presiden, yang kebetulan menyangkut Demokrat, yakni kasus Nazaruddin dan Rakornas Demokrat. Riset ini kami lakukan sejak 17 Maret sampai 31 Desember 2011," katanya.

Di media cetak, lanjutnya, SBY berkomentar seputar kasus Nazaruddin sebanyak 19 kali (6 persen). Selanjutnya komentar soal KTT Asean tahun 2011 sebanyak 17 kali (5 persen). Sedangkan statement soal reshuffle kabinet menempati peringkat terakhir sebanyak 13 kali (4 persen).

Untuk tayangan TV, Dian menyebutkan sebanyak 22 tayangan presiden menyoal kasus Nazaruddin (19 persen). Sepuluh tayangan terkait perompak Somalia (4 persen).

Sedangkan di media online, pernyataan SBY tentang kasus Nazaruddin tercatat sebanyak 22 artikel (19 persen), KTT Asean tahun 2011 sebanyak 18 kali (18 persen), Rakornas Demokrat sebanyak 18 artikel (18 persen).

Dalam analisis monitoring media FFH itu, terdapat 43300 materi publikasi dari enam media elektronik (TV), 11 media cetak dan tujuh media online. Analisa media dilakukan dengan metode purpose sampling. Sedangkan media massa yang dipilih adalah yang berskala nasional dan teruji kredibilitasnya.(antara/republika,15/02/12/taman-langit7.co.cc)


MENUJU ISLAM KAAFFAH: MASIHKAH BERALASAN DENGAN DARURAT?

Kewajiban utama seorang muslim adalah menjalankan perintah Allah secara menyeluruh.   Al-Quran telah menyatakan hal ini dengan sangat jelas. 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Iislam secara menyeluruh.  Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kamu.” [Qs.Al-Baqarah:208]

Dalam  menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menyatakan: “Allah swt telah memerintahkan hamba-hambaNya yang mukmin dan mempercayai RasulNya agar mengadopsi system keyakinan Islam (‘aqidah) dan syari’at Islam, mengerjakan seluruh perintahNya dan meninggalkan seluruh laranganNya selagi mereka mampu.”[Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir I/247]

Imam al-Nasafiy  menyatakan bahwa, ayat ini merupakan perintah untuk senantiasa berserah diri dan taat kepada Allah swt atau Islam.   Kata “kaaffah”adalah haal dari dlamir “udkhulu , dan bermakna “jamii’an”(menyeluruh. )[Imam al-Nasafiy, Madaarik al-Tanzil wa Haqaaiq al-Ta’wiil, I/112]

Imam Qurthubiy menjelaskan bahwa, lafadz “kaaffah” merupakan “haal” dari dlamiir “mu’miniin’.   Makna “kaaffah” adalah “jamii’an”[Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy, III/18]
Diriwayatkan dari Ikrimah bahwa, ayat ini diturunkan pada kasus Tsa’labah, ‘Abdullah bin Salam, dan beberapa orang Yahudi.  Mereka mengajukan permintaan kepada Rasulullah saw agar diberi ijin merayakan hari Sabtu sebagai hari raya mereka.   Selanjutnya, permintaan ini dijawab oleh ayat tersebut di atas.  

Imam Thabariy menyatakan : “Ayat di atas merupakan  perintah kepada  orang-orang beriman untuk menolak selain hukum Islam; perintah untuk menjalankan syari’at Islam secara menyeluruh; dan larangan mengingkari satupun hukum yang merupakan bagian dari hukum Islam.”[Imam Thabariy, Tafsir Thabariy, II/337]

Ayat di atas merupakan penjelasan yang sangat gamblang, bahwa kaum mukmin diperintahkan untuk menjalankan perintah Allah secara menyeluruh.   

Anehnya ada sebagian kaum muslim enggan atau bahkan bersikap apriori terhadap “Islam kaaffah”. Tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa, memberlakukan Islam secara kaaffah merupakan sebuah kemustahilan dan utopia belaka.   

Sebagian lagi beralasan bahwa, mereka tidak memiliki kemampuan untuk menjalankan syari’ah Islam secara kaaffah. Akibatnya, mereka tetap saja bergelimang dengan aktivitas-aktivitas haram dengan dalih tidak mampu dan darurat.  

Lalu, bagaimana kita menyikapi persepsi-persepsi semacam ini? Lalu, batasan apa saja yang menjadikan seorang muslim diperbolehkan untuk melakukan “tindak menyimpang dari hokum Islam”. Apa ukuran mampu dan tidak mampu itu? Apa ukuran darurat dan tidak darurat itu?


Apa Darurat Itu? 

Secara literal beberapa ‘ulama mendefinisikan dlarurat (darurat) sebagai berikut; Al-Jurjani menyatakan: “Darurat itu berasal dari kata al-dlarar yang bermakna sesuatu yang turun tanpa ada yang bisa menahannya.”[Al-Jurjani, al-Ta’riifaat, hal.120]

Imam Ibnu Mandzur berkata: “Makna dari idlthiraar ialah, membutuhkan sesuatu”.  [Ibnu Mandzur, Lisaan al-‘Arab].  Al-Laits menyatakan : idlthaara bermakna, bahwa seseorang itu benar-benar membutuhkan sesuatu.”

Dalam kamus Muhith disebutkan bahwa, makna dari idlthiraar adalah al-ihtiyaaj ila al-syaai (membutuhkan sesuatu).   

Secara syar’iy yang disebut dengan darurat adalah sebagai berikut:

Al-Hamawiy dalam catatan pinggir atas Kitab Al-Asybah wa al-Nadzaair, mendefinisikan darurat:
Sebuah keadaan dimana seseorang berada dalam suatu batas apabila ia tidak melanggar sesuatu yang diharamkan maka ia bisa mengalami kematian atau nyaris mati.”

Sebagian ulama madzhab Maliki menyatakan:

Darurat adalah mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau sekedar sangkaan kuat.”[Syarah Kabiir Ma’a Hasyiyaat al-Dasuqiy, jilid II/85]

Menurut ‘ulama madzhab Hanafi, makna dlarurat yang berkaitan dengan rasa lapar, ialah seandainya seseorang tidak mau mengkonsumsi barang yang diharamkan dikhawatirkan ia bisa mati atau setidaknya ada anggota tubuhnya yang akan menjadi cacat.  Seorang yang dipaksa akan dibunuh atau dipotong salah satu anggota tubuhnya, apabila tidak mau memakan atau meminum sesuatu yang diharamkan, itu berarti ia sedang dalam keadaan dlarurat. …Tetapi, kalau ancangannya tidak terlalu berat, seperti hanya dipenjara setahun atau dihukum dengan diikat, namun tetap diberi makan dan minum, itu berarti ia masih punya pilihan.  Dengan kata lain ia tidak sedang dalam keadaan dlarurat. [Dr. ‘Abdullah Ibn Mohammad Ibn Ahmad al-Thariqiyal-Idlthiraar Ila al-Ath’imah wa al-Adwiyah al-Muharramaat.  Lihat pula Kasyful Asraar, jilid IV, hal.1517] 

          Dalam kitab Ahkaam al-Quran, Abu Bakar al-Jash-shash disebutkan, bahwa makna dlarurat adalah rasa takut seseorang kepada bahaya yang dapat melenyapkan nyawa, atau bisa mencelakai salah satu anggota tubuhnya, karena ia tidak mau makan atau meminum sesuatu yang diharamkan.[Abu Bakar al-Jash-shash, Ahkaam al-Quran  jilid I, hal.159]

          Walhasil, selama kita masih memiliki pilihan dan tidak berada dalam kondisi darurat sebagaimana definisi di atas, maka kita diharamkan sama sekali untuk melanggar aturan Allah swt, meninggalkan kewajiban maupun mengerjakan tindak yang diharamkan Allah swt.  


Memahami Istitha’ah (Kemampuan)

          Benar,  Al-Quran telah mengkaitkan antara kewajiban untuk menjalankan hukum Islam dengan kemampuan (istitha’ah).   

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا...و
          “Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dan dengarlah serta taatlah…”[Qs.al-Thaghabun:16]

          Ayat ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa, kewajiban untuk menjalankan perintah Allah akan gugur jika kita tidak memiliki kemampuan. Sebab, Allah swt mengkaitkan kewajiban untuk mengerjakan perintahNya dengan kemampuan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda, ‘

          “Jika aku memerintahkan kepada kalian suatu perkara, maka  kerjakanlah apa yang kalian mampu.”[lihat catatan pinggir dalam, Al-Hafidz Suyuthiy, al-Asybah wa al-Nadzaair].  

Atas dasar itu, apa yang kita tidak mampu mengerjakannya maka kita tidak diwajibkan untuk memikulnya.  

Ibadah haji adalah wajib. Namun, bagi mereka yang tidak mampu secara finansial maupun fisik, diberi keringanan untuk tidak melaksanakan ibadah tersebut. Begitu pula zakat dan puasa.  Zakat hanya diwajibkan bagi orang yang memiliki kemampuan secara finansial dan telah terpenuhi syarat-syaratnya. Puasa diwajibkan bagi mereka yang mampu melaksanakannya. Orang sakit, maupun orang yang sudah tua renta diberi keringanan untuk tidak mengerjakan ibadah tersebut.

          Ulama fiqh membagi istitha’ah (kemampuan) menjadi  tiga.
  1. Kemampuan secara materi (istitha’ah maaliyah)
  2. Kemampuan secara fisik (istitha’ah jasadiyah)
  3. Kemampuan secara pemikiran (istitha’ah fikriyah)
 Kemampuan materi adalah kemampuan material yang memungkinkan seseorang mengerjakan perintah Allah swt. 

Apabila perintah disertai dengan syarat istitha’ah maaliyyah, maka siapa saja yang tidak memiliki kemampuan maaliyah, maka ia diberi keringanan untuk tidak melaksanakan kewajiban tersebut.  Contohnya, ibadah haji, zakat, dan lain-lain.  Orang yang tidak memiliki kemampuan keuangan, maka dirinya diberi keringanan untuk tidak melaksanakan ibadah tersebut.

Kemampuan fisik, adalah kemampuan dari sisi fisik yang memungkinkan seseorang mengerjakan perintah Allah swt. Contohnya ibadah haji, jihad, dan lain sebagainya. Ibadah haji tidak dibebankan bagi orang yang tidak memiliki kemampuan fisik yang prima. Demikian juga jihad.  Jihad tidak dibebankan kepada orang yang sakit, anak kecil maupun tua renta. 

Kemampuan fikriyah, adalah kemampuan dari sisi pemikiran yang memungkinkan seseorang mengerjakan perintah Allah swt. Contohnya, ijtihad. Ijtihad adalah suatu aktivitas menggali hukum yang memerlukan kemampuan secara pemikiran. Orang bodoh yang tidak memahami Islam dengan benar tidak dibebani untuk melakukan ijtihad.  Ijtihad hanya diwajibkan bagi orang-orang yang memiliki kemampuan pemikiran. 

Akan tetapi, jika kita mencermati nash-nash syari’at, kita akan mendapatkan bahwa, kemampuan (istitha’ah) selalu dikaitkan dengan perintah untuk menjalankan hukum Allah.  

Berbeda dengan konteks meninggalkan larangan Allah. Setiap orang pasti mampu meninggalkan perbuatan yang diharamkan oleh Allah. Oleh karena itu, dalam konteks meninggalkan larangan Allah, al-Quran tidak mengkaitkannya dengan istitha’ah |(kemampuan). Sebab, setiap orang pasti mampu meninggalkan larangan Allah. Atas dasar itu, tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak meninggalkan zina, riba, maupun perbuatan yang dilarang oleh Allah.  

Meskipun demikian, seluruh penjelasan di atas tidak boleh dipersepsi bahwa ada ajaran Islam yang tidak bisa dipikul oleh umat manusia. Sebab, taklif (ajaran Islam) yang dibebankan kepada kita merupakan taklif yang seluruh manusia bisa memikulnya. Allah swt berfirman, artinya:

لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”[Qs.Al-Baqarah:286].   

Ayat ini merupakan bukti nyata bahwa, Islam merupakan ajaran yang mudah, dan seluruh manusia pasti bisa memikulnya. Kita sama sekali tidak boleh mempersepsi ada sebagian ajaran Islam yang manusia tidak sanggup untuk memikulnya, meskipun dalam pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan istitha’ah. Menuju Islam kaaffah merupakan kewajiban setiap muslim.  Menuju Islam kaaffah adalah perkara yang mudah dan pasti bisa diwujudkan dalam kenyataan hidup kita, selama kita memahami thariqah (jalan) untuk menuju ke sana. Bagi orang yang memahami bagaimana cara menuju Islam kaaffah, maka perjuangan untuk merealisasikannya bukanlah sesuatu yang susah dan mustahil.  Hanya orang yang tidak tahu jalan menuju ke sana saja yang akan menyatakan susah dan utopis. Atas dasar itu, kewajiban yang tahu adalah memberi tahu yang tidak tahu. Wallahua'lam bish-Shawab.


Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites