Pandangan Islam Tentang Asuransi

Asuransi syariah dikampanyekan sebagai alternatif bagi kaum muslim untuk menjalankan akad asuransi. Sesuai dengan fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) tentang Pedoman Umum tentang Asuransi Syariah disebutkan bahwa asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan / atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.

Yang Teristimewa Bagi Wanita

"...Wahai pena..! Titiplah salam kami teruntuk kaum wanita. Tak usah jemu kau kabarkan bahwa mereka adalah lambang kemuliaan. Sampaikanlah bahwa mereka adalah aurat ..."

Sistem Pemerintahan Islam Berbeda dengan Sistem Pemerintahan yang Ada di Dunia Hari ini

Sesungguhnya sistem pemerintahan Islam (Khilafah) berbeda dengan seluruh bentuk pemerintahan yang dikenal di seluruh dunia

Video: Puluhan Ribu Warga Homs Suriah Berikrar, Pertolongan Bukan dari Liga Arab atau Amerika Tapi dari Allah!

.

Analisis : Polugri AS di Asia Tenggara

Secretary of State Amerika Serikat Hillary Clinton 21 Juli 2011 lalu berkunjung ke Indonesia. Sebelumnya, dia melawat dua hari ke India untuk ambil bagian dalam konferensi tingkat menteri ASEAN yang diselenggarakan di Bali 22 Juli.

Khilafah: Solusi, Bukan Ancaman

Berbagai macam dampak destruktif akibat penerapan sistem kapitalis-sekular telah mendorong manusia untuk mencari sistem baru yang mampu mengantarkan mereka menuju kesejahteraan, keadilan, kesetaraan dan kemakmuran. Dorongan itu semakin kuat ketika kebijakan-kebijakan jangka pendek dan panjang selalu gagal mencegah dampak buruk sistem kapitalis.

MIMPI PARA ULAMA BUKAN SEMBARANG MIMPI

Apakah Anda tadi malam bermimpi? Apa mimpi Anda? Kata orang, mimpi hanyalah kembang (bunga) orang tidur. Maksudnya, mimpi tidak bermakna signifikan. Tapi, sebenarnya tidak semua mimpi tak ada artinya.

Nasehat Imam Abdurrahman bin Amru al-Auza’iy :Empat Tipe Pemimpin

Ada nasihat berharga yang disampaikan Imam Abdurrahman bin Amru al-Auza’iy kepada Khalifah Abu Ja’far al-Manshur, ketika ulama besar itu dimintai nasihat.

27 April 2010

Ancaman Terhadap Perusak Agama



إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

"Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat "(QS al-An’am [6]: 159).

Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Inna al-ladzîna farraqû dînahum (Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya). Hamzah dan al-Kasa’i membacanya fâraqû dînahum sebagaimana Ali bin Abi Thalib ra.1 Ditegaskan ath-Thabari, kedua qirâ’ah itu, yakni farraqû dan fâraqû, dapat dibenarkan karena telah dikenal dan digunakan oleh para imam qirâ’ah.
Apabila dibaca fâraqû dînahum, pengertiannya adalah mereka keluar lalu murtad dari agama mereka.2 Sebab, kata al-mufâraqah berarti at-turk wa at-takhaliyyah (meninggalkan dan mengosongkan).Jika dibaca farraqû dînahum, maknanya adalah mereka menjadikan agamanya berpecah-belah, dengan mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain.4 
Tak jauh berbeda, al-Baidhawi juga menuturkan, mereka mengimani sebagian dan mengingkari sebagian lainnya.5 Abdurrahman as-Sa’di menyatakan, mereka menceraiberaikan agama dan berpecah-belah di dalamnya. Masing-masing pihak menisbatkan dirinya pada nama-nama yang tidak berfaedah bagi manusia seperti Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Bisa pula keimanan mereka tidak sempurna, dengan hanya mengambil suatu bagian dari syariah dan dijadikan sebagai agamanya; seraya meninggalkan bagian lainnya, bahkan lebih dari itu; seperti yang dilakukan firqah-firqah ahli bid’ah, al-dhalâl (sesat), dan mufarriq (pemecah-belah) bagi umat ini.6
Fakhruddin ar-Razi dan Nizhamuddin an-Naisaburi menghimpunkan makna dua qirâ’ah tersebut. Menurut mereka, orang yang farraqa dînahu—yang berarti membenarkan sebagian dan mengingkari sebagian lainnya—sesungguhnya telah fâraqahu (meninggalkan agamanya).
Hal serupa juga dikemukakan Ibnu Jarir ath-Thabari. Menurutnya, setiap orang yang sesat sesungguhnya telah menjadi mufâriq (orang yang memisahkan diri) bagi agamanya. Kelompok-kelompok itu memecah-belah agama Allah yang diridhai-Nya kepada hamba-Nya. Lalu sebagian ada yang menjadi Yahudi, sebagian lainnya menjadi Nasrani, dan lainnya lagi menjadi Majusi. Realitas inilah yang disebut dengan tafrîq. Para pengikutnya menjadi firqah-firqah yang terpecah-belah dan tidak bersatu (mutafarriqîn ghayra mujtami’în). Karena itu, terhadap Dinullah yang haq mereka telah menjadi mufâriq (meninggalkan) sekaligus mufarriq (memecah-belah) agamanya.8 
Kemudian Allah Swt. berfirman: wakânû syiya’[n] (mereka [terpecah] menjadi beberapa golongan). Kata syiya’ merupakan bentuk jamak dari kata syî’ah. Secara bahasa, kata syî’ah berarti kaum yang bersatu dalam suatu urusan. Karena itu, setiap kaum yang bertemu dalam sebuah urusan adalah syî’ah.9 Ibnu Katsir, al-Alusi, an-Nasafi, al-Biqa’i, as-Samarqandi, dan al-Qasimi pun memaknai kata syiya’ dalam ayat ini dengan firaq (jamak dari firqah).10 Masing-masing firqah mengikuti imam mereka sesuai dengan hawa nafsu mereka.11 
Terdapat perbedaan di kalangan mufassir mengenai siapa yang dimaksud ayat ini. Sebagian mufassir berpendapat, mereka adalah kaum Yahudi dan Nasrani. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas, Qatadah, as-Sudi, dan ad-Dhahhak.12 Pendapat ini bersesuaian dengan firman Allah Swt.:

وَمَا تَفَرَّقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَةُ

Tidaklah berpecah-belah orang-orang yang didatangkan al-Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata (QS al-Bayyinah [98]: 4).13

Pendapat lainnya menyatakan, mereka adalah kaum musyrik yang menyembah berhala, malaikat, dan bintang. Penyembahan tersebut merupakan bentuk pemecahbelahan agama mereka. Ada pula yang berpendapat, mereka adalah orang sesat dari kalangan umat ini. Diriwayatkan bahwa Abu Hurairah mengatakan, mereka adalah ahli bid’ah dan syubhat, serta orang sesat dari kalangan umat ini.14 
Mufassir lainnya berpandangan, ayat ini bersifat umum sehingga mencakup semua orang kafir, pelaku bid’ah, dan mereka yang mengerjakan perkara yang tidak Allah perintahkan. Menurut asy-Syaukani dan al-Qinuji, pengertian ini yang lebih tepat. Alasannya, ungkapan ayat ini memberikan makna umum sehingga tercakup di dalamnya semua kelompok Ahlul Kitab, kelompok musyrik, dan para pelaku bid’ah dalam pemeluk Islam.15 
Pendapat senada juga disampaikan oleh Ibnu Katsir, yang menegaskan bahwa lahiriah ayat ini meliputi semua orang yang meninggalkan agama Allah dan yang menyalahinya. Sesungguhnya Allah Swt. mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk mengalahkan semua agama.16 
Tampaknya, pendapat terakhir ini lebih dapat diterima. Sebab, dalil yang bersifat umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Berkaitan dengan topik ayat ini, tidak ditemukan dalil yeng mengkhususkannya.
Selanjutnya, para perusak agama itu diancam Allah Swt. dengan firman-Nya: lasta minhum fî syay’ (tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka). Frasa ini merupakan pemberitaan dari Allah Swt. kepada Rasul-Nya, bahwa Beliau berlepas diri dari pembuat bid’ah dan penyimpang agama di kalangan umatnya, dari kelompok-kelompok musyrik serta dari Yahudi dan Nasrani.17 Fakhruddin ar-Razi mengatakan bahwa takwil frasa ini: Engkau jauh dari ucapan dan madzhab mereka. Hukuman atas kebatilan itu hanya terbatas atas mereka dan tidak melampaui mereka.18 
Menurut al-Biqa’i, kata fî syay’ merupakan dorongan paling kuat agar bersatu sekaligus ancaman paling besar terhadap perilaku iftirâq (berpecah-belah).19 
Setelah Rasulullah saw. dinyatakan terlepas dari ulah mereka, ditegaskan pula bahwa penyimpangan mereka itu menjadi urusan mereka dengan Allah Swt. Allah Swt. berfirman: Innamâ amruhum ilâ Allâh (Sesungguhnya urusan mereka terserah kepada Allah). Kata al-amr di sini bermakna balasan. Artinya, Allah Swt. akan membalas mereka atas perbuatan buruk mereka. Menurut Ibnu ‘Athiyah, frasa ini hingga akhir ayat murni ancaman. Qarinah sebelumnya meniscayakan bahwa amrullâh (urusan Allah) adalah ancaman sebagaimana dalam QS al-Baqarah [2]: 275.20 
Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: tsumma yunabbiuhum bimâ kânû yaf’alûna (kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat). Kata tsumma menunjukkan bahwa peristiwa itu terjadi di akhirat kelak.21 Bahwa di akhirat kelak, Allah Swt. akan memberitahukan kepada mereka tentang perbuatan mereka dan memberikan balasan atasnya.22 Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam QS al-Hajj [22]: 17.
Karena amal yang mereka kerjakan termasuk dalam keburukan, mereka pun mendapatkan keburukan yang setimpal. Inilah ketetapan Allah terhadap hamba-Nya. Berbeda halnya jika hamba-Nya melakukan kebaikan. Dia akan mengganjarnya dengan kebaikan yang berlipat-lipat sebagaimana ditegaskan dalam ayat selanjutnya (Lihat: QS al-An’am [6]: 160).
Dengan demikian, ayat ini memberikan dorongan agar kaum Muslim bersatu, tidak terpecah-belah dalam agama, dan tidak mengada-adakan bid’ah yang menyesatkan.23 

Menerima Secara Utuh
Islam diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia untuk menjalani kehidupannya. Dengan petunjuk Islam, manusia dapat membedakan antara yang haq dan yang batil; yang baik dan yang buruk; yang terpuji dan yang tercela; yang halal dan yang haram. Apabila dipatuhi dan dijalani, niscaya manusia akan terhindar dari kesesatan dan kecelakaan; kesempitan hidup di dunia dan kecelakaan di akhirat (lihat QS Thaha [20]: 123-124). Mereka juga akan merasakan rahmat Islam bagi alam semesta (lihat QS al-Anbiya’ [21]: 107). Patut diingat, semua kebaikan Islam itu hanya dapat dirasakan ketika Islam diterima secara utuh dan totalitas; tidak  dikurangi, ditambahi, atau diubah.
Di titik ini, terlihat jelas urgensitas menjaga kemurnian Islam. Sebagaimana kaum Muslim diperintahkan untuk memasuki Islam secara kâffah—total dan menyeluruh—(lihat QS al-Baqarah [2]: 208), kaum Muslim juga dilarang keras melakukan tafrîq (pemecahbelahan) terhadap agamanya. Larangan inilah yang ditegaskan oleh ayat ini.
Tindakan mengurangi atau mengingkari bagian tertentu dari Islam termasuk dalam cakupan ayat ini. Karena itu, kaum Yahudi yang mengimani kerasulan Musa as. tetapi mengingkari kerasulan Isa as dan Muhammad saw. jelas termasuk di dalamnya. Demikian pula kaum Nasrani yang menolak kerasulan Muhammad saw. Tak terkecuali  orang-orang yang mengaku beriman terhadap al-Quran namun mengingkari as-Sunnah sebagai sumber hukum, seperti disuarakan kelompok inkâr as-Sunnah; orang-orang yang mengakui kewajiban shalat dan menolak kewajiban membayar zakat, seperti dilakukan sekelompok orang yang akhirnya diperangi oleh Khalifah Abu Bakar ra.; juga orang-orang yang mereduksi Islam hanya sebagai ajaran ritual dan moral, sementara syariah Islam yang mengatur ekonomi, sosial, pendidikan, pemerintahan, dan sanksi-sanksi hukum ditolak dan diingkari, seperti dipropagadandakan kaum ‘Islam Liberal’ dan semacamnya.
Itu semua jelas termasuk dalam tindakan ‘mengimani sebagian dan mengingkari sebagian yang lain.’ Allah Swt. mencela mereka. Mereka disebut sebagai orang-orang kafir yang sebenar-benarnya. Allah Swt. pun mengancam mereka dengan siksaan yang menghinakan (lihat QS an-Nisa’ [4]: 150-151; lihat pula QS al-Baqarah [2]: 85).
Sebagaimana disampaikan para mufassir, ayat ini juga mencakup ahl al-bid’ah. Mereka menambahkan ‘syariah’ baru ke dalam Islam. Perkara baru yang dilekatkan pada Islam itu pun kemudian dianggap menjadi bagian dari Islam, seolah agama yang telah disempurnakan Allah Swt. itu membutuhkan penambahan Tindakan mengada-adakan yang baru itu sebut sebagai bid’ah dan seburuk-buruk perkara. Rasulullah saw. bersabda:

فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah; sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad; dan seburuk-buruk perkara  adalah mengada-adakan yang baru dan setiap bid’ah adalah sesat (HR Muslim dari Jabir bin Abdullah).
Ayat ini juga melarang umatnya berpecah-belah ke dalam firqah-firqah sesat dan menyimpang, yang berpijak pada Islam parsial, dan tidak berpegang teguh pada Islam kâffah. Larangan ayat ini sejalan dengan larangan dalam ayat lain kepada kaum Muslim menjadi kaum yang berpecah-belah (tafarruq) dan berselisih (ikhtilâf) dalam perkara yang amat jelas. Sebagai contoh, riba dan menikah dengan kaum musyrik yang jelas diharamkan Islam masih diperselisihkan. Jihad, hukuman qishah dan potong tangan atas pencuri masih diperdebatkan. Padahal dalil-dalil yang mewajibkannya amat jelas. Para pelakunya diancam dengan siksa yang berat (Lihat: QS Ali Imran [3]: 105).
Semua tindakan itu, baik mengurangi bagian dari Islam, menambahkan ‘syariah’ baru ke dalam Islam, bercerai-berai dan berselisih dalam perkara yang jelas dalam Islam, serta memecah-belah agama Allah menjadi firqah-firqah sesat merupakan tindakan merusak agama. Para pelaku perusakan agama itu diancam dengan azab yang pedih. Azab itu kian berlipat jika mereka mendapat pengikut yang meniru jejak kesesatannya.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []


Catatan kaki:
1.        Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2 (Beirut: Dar  al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 231. Demikian juga bacaan Qatadah. Demikian dikatakan ath-Thabari, Jâmi’al-Bayân fi Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 5  (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 412.  
2.        Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 231; Abu Thayyib al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 288. Lihat juga al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 120.
3.        As-Samin al-Halbi, Ad-Durr al-Mashûn, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 225.
4.        Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 231; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 4, 288.
5.        Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 169. Tak jauh berbeda, as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 527 menyatakan, mereka mengimani sebagian rasul dan tidak mengimani sebagian lainnya.
6.        As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, vol. 1 (Beirut: Alam al-Kutub, 1993),
7.        Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr , vol. 14 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 7; Nizhamudiin an-Naisaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996), 191.
8.        Ath-Thabari, Jâmi’al-Bayân fi Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 5 , 412.
9.         Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, vol. 8 (Beirut: Dar ash-Shadir, tt), 188.
10.       Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 2 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 249; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 309; an-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 299;  al-Biqa’i, Nazhm Durar, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 20; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1, 527; al-Qasimi, Mahâsin atTa’wîl, vol. 4 (Beirut: Dar  al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 550.
11.     Az-Zamaksyari, Al-Kasysyâf, vol. 2 (Beirut: Dar  al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 79 al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, vol. 4, 550; al-Ajili, Al-Futûhât al-Ilâhiyyah, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), 502.
12.     Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 2, 249; as-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), 118-120; al-Ajili, Al-Futûhât al-Ilâhiyyah, vol. 2, 501.
13.     Al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 4, 288.
14.     As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 3, 118-119; Wahbah al-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 7 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 115.
15.     Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 231; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 4, 288.
16.      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 2, 429.
17.     Ath-Thabari, Jâmi’al-Bayân, vol. 5 , 412. Bahwa makna ayat ini memberitakan bebasnya Rasulullah saw. dari tindakan kaum perusak agama itu juga dikemukan oleh Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 2, 429; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 4, 309; Ibnu Juzyi al-Kalbi, At-Tashîl li ‘Ulûm al-Qur’ân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 294; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 2, 120; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 2 (Beirut: Dar  al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 146.
18.     Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr , vol. 14, 8; al-Thabari, Jâmi’al-Bayân, vol. 5, 412.
19.     Al-Biqa’i, Nazhm Durar, vol. 2, 20
20.      Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 267.
21.     Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 231. Kendati tidak disebutkan alasannya, kesimpulan yang sama juga disampaikan oleh al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 4, 310; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 2, 120.
22.     Ath-Thabari, Jâmi’al-Bayân, vol. 5 , 412; az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 7,115
23.     Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fi Ma’âni at-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 177. Bahwa ayat ini memberikan dorongan kepada kaum Muslim untuk bersatu juga disampaikan oleh Nizhamudiin an-Naisaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, vol. 3, 192.

 

26 April 2010

Wasiat Asy Syahid (Insya Allah) Syaikh DR. Abdullah Azzam

WASIAT HAMBA ALLAH-YANG FAQIR DI HADAPAN ALLAH:
ABDULLAH ‘AZZAM

Suatu sore, senin 12 Sya’ban 1406 H. bertepatan dengan 20 April 1986 M. sepulang dari rumah kediaman syeikh Jalaluddien Haqqoni, kutulis kata-kata ini :

Segala puji bagi Allah, hanya kepada-Nya kita memuji, memohong pertolongan, memohon ampunan, serta memohon perlindungan dari kejahatan jiwa kita dan keburukan amal perbuatan kita. Barangsiapa yang diberi peunjuk oleh Allah, maka tiada seorang pun yang dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka tiada seoarang pun jua yang bisa memberi petunjuk kepadanya.

Aku bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Ya Allah ! Tiada kemudahan selain yang telah Engkau jadikan mudah, dan jika Engkau berkehendak, niscaya kesedihan akan Engkau jadikan kemudahan.
Kecintaan kepada jihad benar-benar telah melekat pada diri dan hidupku, jiwa dan perasaanku, serta hati dan inderaku.

Ayat-ayat muhkamat dalam surat at taubah yang menerangkan kewajiban jihad dalam Islam, benar-benar telah memeras kesedihan hatiku untuk mencabik-cabik jiwaku dengan duka, sedangkan aku sadar akan kekuranganku dan kekurangan kaum muslimin terhadap kewajiban jihad di jalah Allah ini.

Ayat tentang kewajiban mengangkat pedang telah memansukh (menghapus) lebih kurang 120 atau 140 ayat sebelumnya yang berbicara tentang jihad. Ini benar-benar merupakan bantahan yang telak dan jawaban yang tuntas bagi orang yang mau bermain-main dengan ayat-ayat Allah yang berkenaan dengan perang di jalan Allah. Juga buat orang yang begitu berani mentakwilkan ayat-ayat muhkamat atau berani membelokkan arti dhohir yang qoth’ie baik maksud maupun keabsahannya.

Diantara ayat-ayat yang berkaitan dengan kewajiban melaksanakan jihad tersebut adalah :

وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَآفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَآفَّةً وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ

“ ….. dan perangilah musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi semuanya; dan ketahuilah bahwasannya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa “. (QS. 9:36).

فَإِذَا انْسَلَخَ اْلأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ وَاحْصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوْا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوْا وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوْا سَبِيْلَهُمْ إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ

“ Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyirikin di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “. (QS. 9:5).

Mencari-cari alasan untuk tidak berjihad dengan alasan yang bermacam-macam akan mengotori jiwa. Maka merelakan diri untuk tidak berjihad fie sabilillah merupakan sendau gurau dan main-main bahkan mempermainkan agama Allah. Padahal kita diperintahkan berpaling mengjauhi orang-orang seperti mereka, sesuai firman Allah :

وَذَرِ الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَهُمْ لَعِبًا وَلَهْوًا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا

“ Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main main dan sendau gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia “. ( QS. Al An’am : 70).

Sesungguhnya mencari-cari alasan dengan angan-angan tanpa melakukan i’dad adalah kondisi jiwa yang kerdil yang tiada punya semangat merengkuh puncak gunung.

إِذَا كَانَتِ النُّفُوسُ كِبَارًا
تَعِبَتْ مِنْ مُرَادِهَا اْلأَجْسَامِ

“ Jika semua itu memang jiwa yang besar
bersusah payahlah badan karena cita-citanya “.

Duduk-duduk berdampingan di masjidil Harom dan memakmurkannya dengan berbagai amal ibadah tidak mungkin dapat dibandingkan dengan jihad di jalan Allah. Dalam hadits shohih muslim diriwayatkan, ketika para shahabat berselisih pendapat tentang amal yang paling utama sesudah iman, “ Memakmurkan Masjidil Harom (adalah amalan yang paling utama) “.Yang lain berkata, “ Bukan ! Tapi (amalan yang paling utama adalah) memberi minuman orang-orang yang beribadah haji “. Yang lain lagi berkata, “ Bukan ! Tapi jihad di jalan Allah! “

Dengan adanya peristiwa itu maka turunlah ayat 19 hingga 22 surat At Taubah.

أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَآجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللهِ لاَيَسْتَوُونَ عِندَ اللهِ وَاللهُ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ {19} الَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِندَ اللهِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْفَآئِزُونَ {20} يُبَشِّرُهُمْ رَبُّهُم بِرَحْمَةٍ مِّنْهُ وَرِضْوَانٍ وَجَنَّاتٍ لَّهُمْ فِيهَا نَعِيمُُ مُّقِيمٌ {21{خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا إِنَّ اللهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمُُ {22{

“ Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah. Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zhalim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan. Rabb mereka mengembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridhoan dan jannah, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal. Mereka kekal di dalanya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar “. (QS. 9:19-22)

Jadi, jelaslah bahwa jihad di jalan Allah itu lebih besar derajat dan pahalanya dibanding memakmurkan Masjidil Harom, khususnya kalau dilihat dari sebab turunnya ayat, yaitu adanya perselisihan pendapat di antara para shahabat seputar masalah ini.
Asbabun Nuzul (sebab turunnya) ayat ini tidak boleh dikhususkan untuk masalah lain, atau dita’wilkan (dipahami dengan arti jihad yang lain, umpamanya jihad melawan hawa nafsu – pent.) sebab di dalam nash tersebut sudah terdapat makna yang qoth’i.
Dan semoga Alloh merahmati Abdulloh ibnul Mubarok. Suatu ketika beliau berkirim surat kepada Al Fudzail bin ‘Iyadl, ia berkata :

يَاعَابِدَ الْحَرَمَيْنِ لَوْ أَبْصَرْتَنَا
لَعَلِمْتَ أَنَّكَ بِالْعِبَادَةِ تَلْعَبُ
مَنْ كَانَ يَخْضِبُ خَدَّهُ بِدُمُوعِهِ
فَنُحُورُنَا بِدِمَائِنَا تَتَخَضَّبُ

“ Wahai orang yang beribadah di Masjid Haromain
Seandainya engaku mengerti keadaan kami tentu engkau tahu bahwa
Engkau bermain-main dengan ibadah itu
Kalau orang pipinya dilinangi genang air mata
Maka pangkal leher kami dilumuri darah yang tertumpah “

Tahukah anda pendapat seorang yang ahli fiqih, ahli hadits dan sekaligus mujahid ini (yaitu Abdullah bin Mubarok) tentang orang yang duduk-duduk bersanding di Masjid Harom, beribadah di dalamnya, sedang saat-saat yang sama tempat-tempat suci Islam dihancurkan, darah kaum muslimin ditumpahkan, kehormatan mereka diinjak-injak dan dihinakan serta Agama Allah dicabut sampai akar-akarnya ! Saya katakan bahwa beliau berpendapat, “…. Itu adalah bermain-main dengan Agama Allah ….. “.

Benar, membiarkan kaum mulimin dibantai, dibunuh dengan semena-mena – disuatu negeri nun jauh di sana – sedangkan kita hanya membaca Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Roji’un dan Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billahil ‘Aliyyil ‘Adzim sambil membuka telapak tangan kita dari jarak jauh tanpa terdetik di hati kita untuk tampil membela mereka, sungguh ini adalah bermain-main dengan agama Allah serta mengumpatkan kedustaan dan kebekuan hati serta menipu diri sendiri.

كَيْفَ الْقَرَارُ وَكَيْفَ يَهْدَأُ مُسْلِمٌ
وَالْمُسْلِمَاتُ مَعَ الْعَدُوِّ الْمُعْتَدِي

“ Bagaimana tetap tinggal diam,
dan bagaimana hati seorang muslim tetap tenang
sedang kaum muslimat bersama musuh yang kejam “.

Saya berpendapat – seperti yang telah saya tuliskan dalam kitab Ad Difa’ ‘An Arodhil Muslimin ahammu Furudhul a’yan (Terj. Membela Bumi Kaum Muslimin Adalah Fardhu Ain yang Paling Utama)- Dan sebelum saya berpendapat seperti ini Ibnu Taimiyah telah berpendapat seperti ini. Beliau mengatakan bahwa jika musuh menyerang dan membinasakan seluruh urusan Dien dan dunia, maka tidak ada saat itu yang paling wajib setelah iman selain melawan mereka.

Saya berpendapat – sekarang ini – tidak ada bedanya antara orang yang meninggalkan jihad dengan orang yang meninggalkan sholat, puasa dan zakat ?
Saya berpendapat semua penghuni dunia memikul tanggung jawab di hadapan Allah kemudia dihadapan sejarah.

Saya berpendapat tidak ada alasan yang bisa diterima untuk meninggalkan jihad, baik alasan berda’wah, sibuk mengarang, sibuk mendidik dan sebagainya.
Saya berpendapat di atas leher setiap muslim di dunia ini sekarang ini terikat beban dan tanggung jawab disebabkan mereka meninggalkan jihad (perang di jalan Alloh). Dan semua orang Islam telah memikul dosa karena enggan memanggul senjata.

Jadi, setiap orang yang berjumpa dengan Alloh – selain ulid dzhoror – sedangkan tidak ada senjata ditangannya, ia berjumpa Alloh dengan menanggung dosa karena dia meninggalkan perang. Karena hukum perang sekarang ini adalah fardhu ‘ain bagi setiap muslim di muka bumi – selain orang-orang yang mempunyai udzur- . Sedangkan orang yang meninggalkan kewajiban itu berdosa karena kewajiban itu definisinya adalah perbuatan yang pelakunya mendapat pahala dan orang yang meninggalkannya akan dihisab atau berdosa.

Sesungguhnya saya berpendapat – wallohu a’lam – sesungguhnya orang yang dimaafkan Alloh dalam meninggalkan jihad adalah orang buta, orang pincang, orang sakit dan orang-orang lemah dari kalangan laki-laki, perempuan dan anak-anak yang tidak bisa berupaya dan tidak tahu jalan. Maksudnya tidak bisa berpindah ke medan perang dan tidak tahu jalan menuju ke sana. Maka berdosalah orang-orang yang meninggalkan tugas perang, baik di Palestina atau Afghanistan atau di belahan bumi manapun yang diinjak dan dinodai oleh orang-orang kafir dengan najisnya.

Dan saya berpendapat pada hari ini tidak diperlukan lagi ijin kepada siapapun untuk berperang atau berjihad di jalan Allah tidak perlu ijin orang tua bagi anaknya, suami bagi istrinya, atau orang yang menghutangi bagi orang yang berhutang, guru bagi muridnya, serta ijin pemimpin bagi yang dipimpinnya.

Ini adalah ijma’ seluruh ulama di segala zaman. Bahwa dalam keadaan seperti ini seorang anak pergi berperang tanpa ijin orang tuanya dan seorang perempuan pergi berperang tanpa ijin suaminya, barangsiapa berusaha mencari-cari kesalahan dalam permasalahan ini benar-benar ia telah melampaui batas dan berbuat zalim, serta mengikuti hawa nafsu tanpa berdasarkan petunjuk dari Allah.

Masalah ini sudah cukup gamblang dan tegas yang di dalamnya tiada lagi kekaburan atau kerancuan. Karena itu tidak ada peluang bagi siapa pun untuk membelokkan, menyelewengkan, atau bermain-main dengannya dan menta’wilkannya.

Sesungguhnya amiirul mu’minin tidak dimintai ijin untuk berjihad dalam tiga keadaan :
1.Bila ia menihilkan jihad
2.Bila ia menutup perijinan untuk berjihad
3.Bila sebelumnya kita telah ketahui bahwa ia akan menolak permohonan ijin.

Saya berpendapat bahwa kaum muslimin pada hari ini bertanggung jawab atas setiap kehormatan yang dinodai di Afghanstan dan sertiap darah yang tercucur di sana. Sesungguhnya – wallohu a’lam – mereka semuanya berperan dalam menumpahkan darah di Afghanistan sebab mereka kurang memperhatikan, sedangkan kaum muslimin mampu mengirim senjata untuk membela mereka, atau dokter untuk mengobati mereka, atau harta untuk membeli makanan atau buldoser untuk menggalikan parit perlindungan bagi mereka.

Dalam Hasyiyah Ad Dasyuki As Syarkhil Kabir halaman 111 – 112 juz II diterangkan :
“ Orang yang memiliki kelebihan makanan dan melihat seseorang kelaparan (tapi) ditinggalakan sampai mati, kalau orang yag memiliki makanan itu mengira orang yang kelaparan itu tidak mati, maka ia harus mambayar diyatnya (denda) dari harta kerabatnya. Dan kalau sengaja membiarkan mati maka ada dua riwayat dalam madzhab (pertama) dia harus membayar diyat dari hartanya sendiri, dan (pendapat kedua) dia harus diqishos mati, karena dia (hakikatnya) adalah pembunuh “.

Maka, hisab dan siksa macam apakah yang sedang dinanti oleh orang-orang yang memiliki kekayaan dan harta benda, lalu ia salurkan harta tersebut untuk bersenang-senang dan membelanjakan sia-sia hanya demi menuruti hawa nafsu dan kemewahan itu ?

WAHAI KAUM MUSLIMIN

Hidup kalian adalah jihad, kemuliaan kalian adalah jihad, serta wujud dan eksistensi kalian terikat erat dengan jihad.

WAHAI PARA JURU DAKWAH !

Tiada arti dan nilai hidup kalian jika kalian tidak mengayunkan pedang untuk membabat kesuburan para thoghut, kaum kuffar dan para penindas.
Sesungguhnya orang-orang yang mengira bahwa Islam ini bisa menang tanpa jihad dan perang, tanpa pertumpahan darah dan serpihan-serpihan daging mereka, sebenarnya mereka itu dalam kekaburan dan tidak mengerti tabiat naluri Dinul Islam.
Wibawa para juru dakwah, kekuatan dakwah dan kejayaan kaum muslimin tidak bakal terwujud tanpa perang.

Rosulullah shollAllahu ‘alaihiw asallam bersabda :

وَلَيَنْزِعَنَّ اللهُ مِنْ قُلُوبِ أَعْدَاءِكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللهُ فِي قُلُوبِكُمُ الْوَهْنَ قَالُوا وَمَا الْوَهْنُ يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ : حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ. وَفِي رِوَايَةٍ كَرَاهِيَةُ الْقِتَالِ

“ Dan benar-benar Allah akan mencabut rasa takut dari musuh-musuh kalian, dan melemparkan penyakit wahn ke dalam hati kalian ! para shahabat bertanya : Apakah penyakit wahn itu ya Rosul Allah ! beliau menjawab : “ Cinta dunia dan benci dengan kematian “. Dalam riwayat lain, “ benci dengan peperangan “.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

فَقَاتِلْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ لاَ تُكَلَّفُ إِلاَّ نَفْسَكَ وَحَرِّضِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَسَى اللهُ أَنْ يَكُفَّ بَأْسَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَاللهُ أَشَدُّ بَأْسًا وَاَشَدُّ تَنْكِيْلاً

“ Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(Nya) “. (QS. 4:84).

Kemusyrikanpun akan merajalela dan berjaya jika tidak ada perang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَتَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ للهِ

“ Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah ”. (QS. Al Anfal : 39).
Dan yang dimaksud dengan fitnah di sini adalah kemusyrikan.

Sesungguhnya jihad merupakan jaminan satu-satunya bagi kebaikan di permukaan bumi ini.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَلَوْلاَ دَفْعُ اللهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَّفَسَدَتِ اْلأَرْضُ

“ Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebagaian yang lain, pasti rusaklah bumi ini ”. (QS. Al Baqoroh : 251).
Sesungguhnya jihad juga merupakan jaminan satu-atunya guna memelihara syi’ar-syi’ar dan tempat-tempat peribadahan :

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَلَوْلاَ دَفْعُ اللهِ النَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدَ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللهِ كَثِيرًا

“ Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah ”. (QS. Al Haj : 40).

WAHAI PARA JURU DAKWAH ISLAM !

Gandrungi dan kejarlah kematian, nisacaya kalian akan dikaruniai kehidupan. Janganlah terpedaya oleh angan-angan, dan janganlah tertipu oleh apapun dalam mentaati Alloh.

Janganlah kalian sampai tertipu dengan kitab-kitab yang kalian baca, dan dengan ibadah-ibadah sunnah yang kalian tekuni. Kesibukan kalian dalam urusan-urusan kecil yang membuai hati jangan sampai melupakan kalian dari masalah-masalah yang besar dan agung,

وتودون أن غير ذات الشوكة تكون لكم...

…dan kalian menginginkan bahwa yang tanpa senjatalah yang akan kalian hadapi…
Janganlah kalian mentaati siapapun dalam urusan jihad. Tidak perlu ijin dari komandan untuk pergi berjihad. Sesungguhnya jihad itu adalah penegak dakwah kalian dan benteng agama kalian serta perisai syari’at-syari’at kalian.

WAHAI ULAMA ISLAM !

Tampillah memimpin generasi yang sedang kembali kepada jalan Robnya ini, dan janganlah takut menegakkan Dien, janganlah gandrung dan cinta kepada dunia serta jagalah diri kalian, jangan sampai mencicipi hidangan-hidangan thoghut, karena hal itu akan menjadikan hati kalian gelap dan mati, akan menjadi dinding pemisah bagi kalian dari generasi ini, serta penutup antara hati kalian dan hati mereka.

WAHAI KAUM MUSLIMIN !

Telah lama tidur kalian. Burung-burung pipit telah menjelma menjadi burung-burung Elang di bumi kalian. Alangkah indahnya makna bait-bait puisi ini :

طَالَ الْمَنَامُ عَلَى الْهَوَانِ فَأَيْنَ زُمْرَةِ اْلأُسُودِ
وَاسْتَنْسَرَتْ عُصْبَ الْبُغَاتِ وَنَحْنُ فِي ذُلِّ الْعَبِيْدِ
قِيْدُ الْعَبِيْدِ مِنَ الْجُنُوعِ وَلَيْسَ مِنْ زَرْدِ الْحَدِيْدِ
فَمَتَى نَثُورُ عَلَى الْقُيُودِ مَتَى نَثُورُ عَلَى الْقُيُودِ

“ Kian panjang tidur terlena dalam kehinaan
dimanakah gerangan barisan singa itu
sementara burung-burung pipit telah menjelma menjadi Elang
sedangkan kita terbelenggu bagai budak
belenggu budak itu berupa buhul nestapa
bukannya rantai dari besi
lalu, kapan kita berontak belenggu itu ?
kapan kita berontak belenggu itu?!

WAHAI KAUM WANITA !

Jagalah diri kalian dari kemewahan, karena kemewahan adalah musuh jihad. Kemewahan mengkerdilkan jiwa manusia. Hati-hatilah terhadap keadaan yang berlebih-lebihan. Cukuplah dengan yang perlu-perlu saja.

Didiklah anak-anak kalian dengan kesederhanaan, dengan sifat kejantanan dan kepahlawanan serta kemauan untuk berjihad. Jadikanlah rumah kalain sebagai kandang singa, bukannya kandang ayam yang setelah gemuk dijadikan sembelihan penguasa durhaka. Tanamkanlah dalam jiwa putra-putri kalian kecintaan berjihad, mencintai lapangan pacuan kuda dan medan-medan pertempuran.

Hiduplah dengan selalu menyertai segala kesulitan kaum muslimin. Usahakan dalam satu minggu sekali – minimal – untuk hidup seperti hidupnya kaum muhajirin dan mujahidin, yaitu hanya dengan sepotong roti kering dengan lauk yang tidak berlebihan dan beberapa teguk air teh.

WAHAI PARA REMAJA !

Tumbuhlah kalian dalam desingan peluru-peluru, dentuman meriam, raungan kapal terbang dan deru suara tank. Jauhilah kenikmatan hidup, dendangan musik dan kasur-kasur yang empuk.


ADAPUN ENGKAU WAHAI ISTRIKU !

Sebenarnya banyak hal yang ingin aku sampaikan kepadamu wahai ummu Muhammad. Semoga Allah melimpahkan balasan pahala kepadamu karena pengorbananmu kepadaku dan kepada kaum muslimin, juga karena dukunganmu kepadaku. Engkau telah lama bersabar bersamaku menempuh jalan ini, dan engkau telah merasakan pahit dan manisnya hidup bersamaku. Dan engkau adalah sebaik-baik penolong bagiku dalam menempuh perjalanan yang penuh berkah ini, dan untuk berjuang di medan jihad.

Engkau telah kutinggalkan di rumah sejak tahun 1969 M., pada saat itu kita baru mempunyai dua anak kecil perempun dan seorang bayi laki-laki. Engkau hidup di sebuah kamar yang terbuat dari tanah liat yang tidak ada dapur dan perabotnya. Dan kutinggalkan engkau dirumah ketika hamil tua dan bertambah anggota keluarga, anak-anak sudah mulai besar, dan semakin banyak kenalan kita dan semakin bertambah pula tamu-tamu kita. Engkau terima semua itu hanya karena Alloh kemudian karena aku. Maka semoga Alloh membalas jasamu terhadap diriku dan terjadap kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan. Kalau bukan karena Allah, kemudian karena kesabaranmu atas kepergianku yang sekian lama dari rumah, tidaklah aku mampu memikul beban begitu berat sendirian.

Benar-benar aku telah mengerti bahwa engkau seorang wanita zahidah (ahli zuhud), bagimu materi dunia ini tidak ada nilainya dalam hidupmu. Engakaupun tidak pernah mengeluh pada hari-hari yang berat karena sedikitnya uluran tangan pertolongan. Dan engkau pun tidak pernah bermewah-mewah juga tidak membanggakan diri pada hari-hari Allah membukakan sedikit pintu kenikmatan dunia. Dinia ini tidak pernah tinggal dalam hatimu, padahal sebagian besar kesempatan ada di tanganmu.

Sesungguhnya kehidupan jihad adalah kehidupan yang paling lezat, serta menahan sabar atas kesempitan lebih indah daripada bergelimang diantara bermacam-macam kenikmatan dan tumpukan kemewahan.

Berpegang teguhlah pada sifat zuhud, niscaya Allah akan mencintaimu. janganlah mencintai apa yang dimiliki manusia, niscaya manusia mencintaimu.

Al Qur’an adalah kenikmatan hiburan dalam kehidupan. Bangun sholat malam (tahajud), puasa sunnah, serta beristighfar pada waktu-waktu sahur (sepertiga malam terakhir) menjadikan hati lembut, beribadah menjadi manis. Bersahabat dengan orang-orang yang baik, tidak berlebih-lebihan di dunia, jauh dari glamour dan orang-orang yang sibuk dengan dunia semua itu akan menjadikan hati tenang..
Harapan kita hanya kepada Allah, mudah-mudahan kita dikumpulkan di Jannah Firdaus, sebagaimana Dia telah mengumpulkan kita di dunia.

ADAPUN KALIAN WAHAI ANAK-ANAKKU !

Sungguh kalian hanya mendapatkann sedikit saja dari waktuku, juga hanya sedikit pendidikan dariku.

Ya ! aku sibuk dan tidak sempat mengurus kalian. Tapi apakah yang harus aku perbuat, sedangkan bencana yang menimpa kaum muslimin seakan membuat wanita yang menyusui tak ingat akan nasib susuannya. Dan malapetaka yang menyiksa umat Islam begitu dahsyat seolah-olah jambul anak-anak muda beruban karenanya.

Demi Allah, tak kuat aku hidup bersama kalian sebagaimana induk ayam dalam sangkarnya hidup bersama anak-anaknya. Tak sanggup aku hidup dengan hati dingin sedangkan api ujian membakar hati kaum muslimin tak rela aku tinggal besama kalian sepanjang waktu sedangkan derita dan kaum muslimin merobek-robek setiap orang yang memiliki hati nurani atau masih tersisa akalnya. Tidaklah kesatria hidup diantara kalian sambil bergelimang dengan kenikmatan yang sebagian dihamparkan untukkku dan sebagian lagi diangkat, diantara tumpukan daging dan beraneka ragam jajanan.

Demi Allah, dalam hidupku aku telah membenci kemewahan baik berupa pakaian, makanan, ataupun tempat tinggal. Aku telah berusaha semampuku untuk mengangkat kalian kepada tingkatan para zahidin (ahli zuhud) dan menjauhkan kalian dari gelimangan orang-orang yang hidup dalam kemewahan.

Aku wasiatkan kepada kalian berpeganglah pada aqidah kaum salaf, yaitu aqidah ahlus sunnah wal jama’ah, dan jauhilah sifat berlebih-lebihan. Aku wasiatkan kepada kalian, untuk membaca dan menghafalkan Al-Qur’an. Jagalah juga lidah kalian. Begitu juga sholat malam, berpuasa, bergaul dengan teman-teman yang baik, dan bergabunglah bersama gerakan Islam. Tapi hendaklah kalian ketahui bahwa pemimpin gerakan itu tidak berhak melarang kalian berjihad, atau mengasikkan kalian dalam bidang dakwah hingga melalaikan dari medan-medan kejantaan dan medan-medan perang. Kalian tidak perlu minta ijin kepada seorang pun untuk berjihad di jalan Allah.

Belajarlah bagaimana menghentakkan senjata dan mengendarai kendaraan perang. Tapi, menembak lebih aku sukai.

Aku wasiatkan kepada kalian, wahai anak-anakku agar kalian taat kepada ibumu, menghormati kakak-kakak perempuanmu (ummu Al Hasan dan ummu Yahya). Hendaklah kalian menekuni ilmu syari’ah yang bermanfaat. Hendaklah kalian taat kepada kakak laki-lakimu (Muhammad).

Saya nasehatkan kalian untuk saling mencintai dan berbakti kepada kakek dan nenek kalian, hormatilah keduanya. Dan berbaktilah kepada kedua bibimu (ummu faiz dan ummu Muhammad). Karena kedua beliau itu memiliki jasa dan keutamaan besar kepadaku sesudah Allah.

Sambunglah kekerabatan kita dan berbuat baklah kepada keluarga dan tunaikanlah hak persahabatan kita kepada orang yang bersahabat dengan kita

ADAPUN KEPADA MAKTAB AL-KHIDMAT

(Pada aslinya tertulis: “Saya wasiyatkan agar yang menjadi penanggung jawab setelahku adalah Abu Hudzaifah yang telah menghabiskan waktu mudanya untuk maktab ini. Khususnya dia telah menyumbangkan hartanya untuk para mujahidin. [Pada teks aslinya tidak tertulis “Wakilnya” adalah] Abu Sayyaf Fat-hi dan dibantu oleh Abu Hamzah dan Abu Hajir. Namun Syaikh Abdulloh Azzam mencoret tulisan ini. Lihat aslinya)

Dan kepada ikhwah sekalian, hendaknya mereka menjaga orang-orang yang menjadi pendahulu dalam berjihad ini, dan setiap mujahid mendapat keutamaan dengan lebih cepatnya dia berada dalam medan perang ini. Dan kepada para ikhwah hendaknya mereka menghormati para pendahulu mereka dalam jihad ini, khususnya (pada teks aslinya tertulis: Abu Hudzifah, namun Syaikh Abdulloh Azzam mencoret dengan penanya. Lihat aslinya) Usamah, Abul Hasan Al-Madani, Nurud Din, Abul Hasan Al-Maqdisi, Abu Sayyaf Dan Abu Burhan. Adapun Abu Mazin sungguh saya mengetahuinya (dalam teks aslinya tertulis; Wallohi [demi Alloh] namun Syaikh Abdulloh Azzam mencoretnya dengan penanya) dia adalah orang yang lebih bersih dari air yang turun dari langit. Dia ahli puasa, sholat malam dan bersemangat dalam berjihad. Alloh menggiringnya untuk jihad maka dia membantu dengan diam-diam. (dalam teks aslinya tertulis: “meskipun orang-orang mempeributkannya dan kalian jangan terpedaya dengan mereka” namun Syaikh Abdulloh Azzam mencoretnya dengan penanya. Lihat aslinya) dan dia adalah salah satu penopang jihad.

Tundukkanlah pandangan kalian dari ketergelinciran-ketergelinciran mereka dan jagalah posisi mereka. Dan jangan kalian lupakan keutamaan Abul Hasan Al-Madani dan perannnya dalam membantu jihad. Terimalah nasehat-nasehat Abu Hajir. Dan hendaknya dia yang mengimami sholat kalian karena dia itu lembut dan khusyu’ (pada teks aslinya tertulis; “begitu pula saudara Abul Barro’ “, namun Syaikh Abdulloh Azzam mencoretnya dengan penanya. Lihat aslinya)

Dan banyaklah mendo’akan (pada teks aslinya tertulis: “dan banyaklah mendo’akan orang-orang yang menanggung maktab ini dengan harta pribadinya” namun tulisan ini ditulis dalam kurung oleh Syaikh Abdulloh Azzam dan kami tidak tahu apakah beliau bermaksud mencoretnya atau membiarkannya. Lihat teks aslinya. Dan yang benar saudara Usamah menanggung maktab ini pada awal dimulainya kerja maktab al-khidmat ini sampai pada tahun 1986 M kemudian setelah itu beliau berhalangan untuk membantu) orang yang menanggung maktab ini dengan menggunakan uang pribadinya yaitu saudara Abu ‘Abdulloh Usamah bin Muhammad bin Ladin. Saya berdo’ah semoga Alloh memberkahi keliarga dan hartanya.

Dan kami mengharap kepada Alloh untuk memperbanyak orang-orang semacam dia. Demi Alloh saya belum mendapatkan orang yang semacam dia di dunia Islam. Oleh karena itu kami berharap kepada Alloh untuk menjaga agamanya dan hartanya. (dalam teks aslinya tulisan: “semoga Alloh memberkati …. .sampai perkataannya yang berbunyi ; tiang perkemahan maktab” kalimat ini digarisbawahi dan kami tidak tahu apa maksud syaikh Abdulloh Azzam. Apakah beliau bermaksud mencoretnya atau tidak. Namun kami menguatkan bahwa beliau tidak bermaksud mencoretnya. Lihat aslinya) dqn semoga Alloh memberkati kehidupannya. Dan kalian jangan lupa bahwa Abu Hudzaifah telah benyak menanggung proyek-proyek maktab ini dengan uang pribadinya. (dalam teks aslinya kata-kata “dengan uang pribadinya” ditulis dalam kurung oleh syaikh Abdulloh Azzam, maka kami kuatkan bahwa beliau tidak bermaksud membuangnya. Lihat aslinya) maka banyaklah mendo’akannya, karena dia merupakan tiang perkemahan maktab.

ADAPUN KEPADA PERHIMPUNAN JIHAD !

Hendaklah kalian banyak memperhatikan Sayyaf, Hikmatyar, Robbani, Kholis. Karena kita mengharapkan mereka (dalam teks aslinya tertulis “keduanya”) akan melanjutkan perjalanan jihad dan memelihara agar tidak menyimpang.

Dan janganlah kalian melupakan komandan di dalam negeri, khususnya Jalaluddien, Ahmad Syah Mas’ud, Ir. Basyir, Shofiyullah ‘Afdholi, Maulawi Arsalan,(dalam teks aslinya tertulis: “dan perbaikilah hubungan kalian dengan Nasrulloh Manshur” namun dicoret oleh Syaikh Abdulloh Azzam. Lihat aslinya) Farid, Muhammad ‘Alam dan Sir Alam (Di Bagman), serta sayid Muhammad Hanif (di Logar).

سُبْحَانَكَ اَللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

" Mahasuci Engkau ya Allah, dan dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada Ilah selain Engkau, aku mohom ampun dan bertaubat kepada-Mu “.


Hari Selasa 13 Sya’ban 1406 H.
bertepatan dengan 22/4/1986 M.


( Abdullah bin Yusuf Azzam )

Surat Rahasia Dibalik Jatuhnya Sultan Abdul Hamid Ottoman Ditemukan

Setelah lebih dari 100 tahun, sebuah surat rahasia yang ditulis oleh Khilafah Utsmani ke-27, Sultan Abdul Hamid II (18842--1918) kepada guru spiritualnya, Syaikh Mahmud Abu Shammat as-Syadzili, akhirnya ditemukan.Surat rahasia tersebut merupakan kisah dan curhatan sang Sultan kepada mentornya terkait sebab utama dibalik penjungkalan dirinya dari tahta kekhalifahan Ottoman pada tahun 1909 oleh sebuah gerakan militer untuk kemudian diasingkan ke wilayah Salonica (sekarang Yunani).


Dokumen penting bersejarah itu ditemukan oleh keluarga ahli waris Syaikh Abu as-Shamat yang kini menetap di Suriah. Ammar Abu Shammat, salah satu anggota keluarga ulama tersebut, kini telah menyerahkan naskah asli tersebut ke Presiden Suriah Bashar El-Assad.Kantor Berita Turki Cihan telah menyalin naskah dan meneliti keotentikannya.Surat tersebut dikirimkan secara diam-diam kepada mentor spiritualnya, Syaikh Shammat, yang juga Mursyid Tarekat Syadzuliyyah, lewat salah seorang penjaga istana pengasingan di Salonica. Isi surat tersebut ikut menjadi salah satu data penting bagi film dokumenter tentang Sultan Abdul Hamid II yang disutradarai oleh sineas terkemuka Turki, Mehmet Fudeil. Film tersebut pernah diputar di kanal Aljazeera Documenter. (AGS/alm)

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites